Selasa, 27 Agustus 2024

Penulisan Etnografi Bersama JET dan Geger Riyanto

Belajar adalah passion-ku, ini mungkin statement pertama yang ingin kutekankan ke diriku sendiri. Untuk itu, rasanya aku tak bisa melewatkan satu hari pun tanpa belajar. Terutama belajar hal-hal yang aku sukai, salah satunya Antropologi. Aku punya mimpi bisa belajar ini dengan serius, banyak imajinasi-imajinasi yang membuatku excited untuk hidup ketika aku belajar antropologi dan etnografi, meski banyak juga ketakutan-ketakutan yang masih kurasakan: Apa aku bisa?

Puzzle pembelajaran antropologi yang kulakukan berlangsung hari ini. Aku mengikuti Lokakarya yang diselenggarakan oleh Jaringan Etnografi Terbuka (JET) bertajuk "Penulisan Etnografi". Materi ini diampu oleh Dosen Antropologi UI yang juga guru saya di bidang profesionalisme dan akademik, Mas Geger Riyanto. Acara dilaksanakan pukul 14.00-17.05 WIB di Unika Atma Jaya Jakarta (Kampus Semanggi). Ini untuk pertama kalinya aku ke UAJY, yang secara arsitektur nuansa bible-nya terasa, sebagaimana aku pernah pergi ke Kampua Sadhar di Jogja. 

Tentu, aku izin dengan bos di kantor untuk mengikuti kelas ini. Kukendarai motor ke kantor hingga ke UAJY sambil mendengarkan lagu-lagu di album Variasi Pada Tema Pulang oleh Jalan Pulang. Aku sampai sekitar pukul 13.30 WIB, tak lama kemudian Mas Geger datang. Semua peserta yang kucatat ada 10: Mentari, aku, Titin, Wawan, Ansar, Jason, Adi, Mera, Mahmul, dan Firdaus. Mereka dari bermacam-macam afiliasi: AJAR, ICJR, Atmajaya sendiri, Museum Indonesia, UI, dlsb. Sungguh aku merasakan vibes akademia kembali, vibes yang sudah jarang kurasakan selama tiga tahunan aku kerja. Apalagi yang ngajar Mas Geger, semangatku bertambah besar.

Di sini, aku ingin mencatat beberapa poin penting berkaitan dengan materi Mas Geger, dia menjelaskan, etnografi itu adalah sebuah metode untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kehidupan. Secara tradisional dicirikan dengan pengamatan terlibat yang intens, serta kehadiran di lapangan. Jadi faktor "immersion" di etnografi itu penting, tenggelam di lapangan. Dia memperlihatkan foto-fotonya Margaret Mead saat bikin atau ngolah field note, bersama dengan Malinowski.

Dulu, kerja-kerja etnografi itu didominasi oleh orang kulit putih yang mengerjakan pekerjaan orang kulit putih. Singkatnya, dahulu, etnografi itu sangat kulit putih. Saat ini, posisi etnografi lebih egaliter, kamu bisa menangkap apa yang orang lain juga tangkap dari lapangan, melalui field note atau catatan yang kita buat. Biasanya kerja-kerja pengetikan dilakukan ketika malam, di mana siangnya turun lapangan. Mas Geger cenderung tidak menggunakan perekam ketika turun lapangan, untuk menciptakan sesuatu yang berbeda, dan agar luwes. 

Etnografi juga lekat dengan meneliti masyarakat non-modern, non-industrial, dan non-negara, bahkan hingga hari ini. Bahkan proyek saat ini digugat karena dianggap lekat dengan kolonialisme dan imperialisme. Karena masih adanya akar-akar kolonial dan modernisasi, melalui kerja making sense hal-hal yang sebenarnya gak make sense. Mas Geger merekomendasikan buku berjudul "Cold War Antrhopology" karya David Price (terkait perang dingin antropologi gitu), juga karya-karya antropolog anarkis James Scott. Antropolog terakhir ini deskripsinya bagus.

Sementara itu menutur Koentjaraningrat menyebut, sejak lama, ketika antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu tulisan yang aneh-aneh, namun, kenapa itu layak dipertahankan? Jawabannya banyak.

Mas Geger melanjutkan salah satu prinsip utama di etnografi, bahwa "etnografi sebagai proyek penerjemahan/translasi". Etnografi proses penerjemah dari satu tempat ke tempat lain, ke tengah-tengah bentuk kehidupan lainnya. Dia dilakukan oleh siapa pun. Dari satu kebudayaan ke kebudayaan, dari universitas ke non-universitas (non-modern), juga sangat mungkin dilakukan secara terbalik dari yang lemah ke kuat. Pertanyaannya kemudian, mau menerjemahkan kemana? Audience siapa? Apakah ke universitas, publik, NGO, Twitter, dll, setiap penerjemahan ini akan menggunakan bahasa yang berbeda.

Inti lain, etnografi itu: "Making the strange, familiar. Making the familiar, stranger."

Kalau mengutip David Graeber, "The ambition of etnography used to be at least...."

Juga tokoh lainnya, "exposes their normalness without reducing their particularity." (kita buat itu jadi banal, tapi termengerti).

Kadang kita sendiri itu punya ritual yang gak kita sadari. Kalau di daerah, misal ada seseorang yang naik pohon lintar yang tingginya 20-30 meteri untuk cari gula (kata Max Havelaar orang yang gak makan, cuma makan gula). Yang naik pohon tinggi ini dia sambil nyanyi dan liriknya lirik sedih, yang ketika diteliti, ini sebenarnya untuk menghibur pohonnya. Kalau di Jakarta, hal aneh yang sering kita lakukan itu misal tiap kali sedih di kerjaan, larinya ke toilet untuk nangis. Bagi orang desa ini itu aneh. Di kelasnya, Mas Geger juga memberi kelas bagi yang ambil TA untuk membuat life history orang yang berbeda dengan mereka (pekerjaan, agama, etnis, dll).

Kata Mas Geger kemudian, "Karya antropologi yang bagus itu kayak film dan novel yang bagus. Meski dia jahat, tapi itu masuk akal. Terjelaskan, alasannya apa." Ada yang bilang etnografi itu fiksi. Dia emang gak netral; dengan audiens yang sempit, makin melibatkan penulis makin baik. Kita acknowledge siapa kita, siapa pembaca. Sederhananya: memahami yang nampak tidak masuk akal dengan mendalam hingga menjadi masuk akal dan manusiawi. Misal ada ambiguitas, kita perlu sadar "etnografi" itu metode penerjemahan.

Ada beberapa poin terkait pentingnya memahami medium translasi etnografi:

  1. Penting untuk mengetahui ke medium apa dia paling efektif diterjemahkan.
  2. Etnografi lekat dengan monograf tebal/artikel jurnal, karena bagian dari proyek-proyek universitas.
  3. Dalam konteks lain mungkin saja lebih cocok dengan medium persentasi lain: esai, cerita (sastrawi), bahkan video.

Watak dan kekuatan etnografi:

  1. Deskripsi tebal: misal digambarkan oleh Geertz, orang yang ngedip itu aja punya banyak makna. Misal satu kali ngedip, lihat apa yang nampak itu tak sekedar yang tampak, tapi apa juga di baliknya. Ini banyak "kode rahasia" yang harus diungkapkan, dan emang perlu engagement lama. Ini implisit teories, norma yang tidak diomongkan tapi dilakukan sehari-hari.
  2. Memperlihatkan keseharian dan vibe lanskap yang diteliti. Misal cerita terkait NGO yang punya kode-kode tersendiri. Lanskap di sini tuh lanskap sosial dan kultural. Emang sekali lagi, perlu engage yang lama, misal nongkrong bareng.
  3. Menonjolkan informalits dan sisi-sisi implisit (norma dan nilai lebih sering implisit--dipraktikkan tapi tidak dieksplisitkan).
  4. Lokalitas: Menyadarkan abstraksi-abstraksi teoritis besar acapkali bermasalah. Menyodorkan ethnography counterforce.
  5. Acapkali empatik dan berpihak. Jika tak ada ini, peneliti akan kehilangan akses. (Kasus paling santer sekarang terkait tulisan yang tak punya empati tuh "Aktivisme Borjuis" yang ditulis Mughis dan istrinya Rafiqa, terbit di Project Multatuli).

Dengan watak seperti itu, sebenarnya tidak aneh kalau ada wawancara dengan arwah yang sudah meninggal pun.

Aku bertanya ke Mas Geger: Seberapa lama waktu engagement diperlukan dari pengalaman Mas Geger? Inti yang aku tangkap, Mas Geger menjawab kalau kita merasa sudah penuh. Penuh ini juga bisa didebat kusirkan, karena dasarnya agak ke feeling. Dasar pula dari feeling ini tuh, apakah kita sudah merasa utuh atau belum? Apakah data ini itu tuh thin atau thick? Ini bisa bermacam-macam waktunya, kalau gak ngerti bahasanya bisa bertahun-tahun. Sisi lain yang berguna tuh, "ada perasaan bersalah". Perasaan bersalah ini penting untuk nulis. Dengan kita bertanya ke pribadi, piece-nya masih kurang di mana? Kadang kita gak punya privilege waktu lama. Yang penting kontekstualisasi. 

Mas Geger cerita lucu, ada etnografer Cina yang ditemani pacarnya penelitian, pas putus dia pas ke lapangan jadi ngah-ngoh wkwk. Tapi dari pengalaman Mas Geger, wawancara paling fruitful itu tuh pas kita nongkrong bareng. Penting untuk tahu vibes-nya. Apapun yang berguna untuk membantu kita mendeskripsikan, karena inti etnografi lainnya: mendeskripsikan kehidupan sehari-hari. Etnografi itu ada wajahnya.

Metode etnografi atau pengambilan datanya itu ada beberapa: Metode pengambilan data yang lekat dengan etnografi itu pengamatan terlibat, wawancara, life history. Lalu, yang jarang disinggung pula itu terkait arsip dan data statistik. Mas Geger mencontohkan penelitiannya di Parigi, daerah timur dekat Ambon sana. Di sana masyarakatnya bilang ketika Covid-19 melanda, bahwa tak ada Covid masuk, Covid itu cuma untuk Jawa. Masyarakat di sana lebih percaya pada orang-orang dekat atau tetangga daripada informasi yang didapat dari televisi, karena mereka berjarak, apalagi teori konspirasi Covid, jauh-jauh.

Pertanyaannya kemudian, apa beda tulisan etnografi dengan liputan mendalam?

  1. Liputan mendalam sangat mungkin bersifat etnografis, karena etnografi metode memahami bentuk kehidupan dengan kehidupan lain.
  2. Etnografi sulit dilakukan karena sifatnya yang lama dan intens. Berita butuh publikasi cepat agar bernilai.
  3. Jurnalis yang sudah akrba dengan isu dan lingkungan tertentu sebetulnya sudah memiliki pengetahuan etnografis (tapi belum memiliki kesempatan menuangkan).

Rambu-rambu: acap, penelitian yang mengklaim etnografi tidak mendemonstrasikan deskripsi yang etnografis, misal etnografi di medsos. 

Bagaimana dengan etnografi orang dalam? Ini jadi tantangan tersendiri karena orang cenderung gak sensitif, padahal itu menarik, kita kehilangan kepekaan pada sesuatu yang menjadi kebiasaan. Kekuatannya padahal kita sudah memiliki pengetahuan, tak membutuhkan waktu untuk riset. Solusinya dengan menyadari bahwa kita selalu menyeberangi beragam ranah kebudayaan. Ketika berusaha mencerna kebudayaan kita sendiri, posisikan diri dari sudut pandang budaya kita yang berbeda--misal: jadikan diri akademisi ketika kita sebagai aktor komunitas, meneliti untuk komunitas. Jalan lainnya dengan ngobrol sama teman.

Akhirnya, lokakarya ini ditutup dengan simulasi menuliskan babak pertama dari sebuah esai etnografis. Memberi judul dan lead singkat yang mendeskripsikan isinya. Referensinya bisa dilihat di tulisan-tulisan Mas Geger dan penulis lain di berbagai media:

  1. Menonton Bagaimana Televisi Ditonton di Seram
  2. Cinta dan Tragedi, Kerja LSM dan Eksploitasi
  3. Tuna Trouble, Inside Indonesia
  4. Kampung yang Khusyuk Mengail Tuna
  5. Janji Pendidikan dan Paradoksnya di Pedesaan Flores, Indonesia Timur

Pesan penting dari Mas Geger saat pembahasan karya: Gunakan fignet etnografi, yang dibuka oleh cerita yang menjadi jantung penting cerita. Ini akan bantu dikte kisah kita selanjutnya, ini juga bantu menciptakan mood tulisan. Di fignet ini, elemen spesifik peristiwalah yang menegaskan pesan. Selain itu, "kalau nulis jangan serakah". Kalau ada data lain, pakailah untuk tulisan lain, jangan diborong ke satu tulisan. Terkait anonimitas juga, anonimkan, Geertz itu pakai nama tempat Mojokuto, tapi orang akan tahu kalau daerah yang diteliti itu adalah Kediri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar