Kamis, 15 Agustus 2024

Catatan Film #17: The Road to Red Restaurants List (2020)

Setelah mencari genre film apa yang menarik untuk kutonton, akhirnya aku nemu serial Jepang yang tokohnya bisa merepresentasikan diriku yang introvert, suka berpetualangan, keuangan pas-pasan, dan people pleasing: "The Road to Red Restaurants List". Lewat tokohnya Tamio Suda (Takayuki Hamatsu), yang kata temanku gantengnya kurang berstandar khas yang disukai kamera TV-TV sekarang, dia tokoh yang biasa saja, berwajah pas-pasan, tapi mampu mewakili banyak orang yang punya nasib serupa. Dia seroang Bapak beranak satu. Anak perempuannya yang remaja, dan ibunya Kanae Suda (Wakana Sakai) setiap akhir pekan keluar kota untuk nonton konser boy band favoritnya, yang ada tears-tears-nya gitu.

Restauran Kokoro
Tamio ini punya tiga aturan dalam perjalanan self healing-nya: (1) dia tak mau mengajak siapa pun, (2) keuangan yang dikeluarkan tak boleh mengganggu budget bulanannya, (3) dilakukan Jumat setelah pulang kerja, hingga Sabtu malam sebelum anak dan istrinya pulang dari nonton konser. Dan perjalanan Tamio ini memberinya banyak sekali pelajaran dan tempat-tempat tak terduga. Dirangkum dalam 12 episode yang tiap episodenya sepanjang 24 menit, serial ini sumpah pelepas stress banget. Banyak makanan yang dicoba oleh Tamio dari ramen, udon, curry, dan masakan Jepang lainnya. Meskipun kalau dipikir-pikir ulang, sebenarnya jenis masakannya gak langka; hanya tempat dan orangnya saja yang langka.

Makan lagi

The Road to Red Restaurants List: serial yang bagus banget motret berbagai makanan dan tempat makan langka dan hampir punah di Jepang. Restaurant-restaurant ini dijalankan berpuluh-puluh tahun dan mayoritas udah gak ada lagi yang meneruskan. Menariknya, tiap episodenya gak cuma fokus ke makanan, tapi cerita menyentuh di baliknya, tentang hidup, mimpi, keluarga, mengelola ekspektasi, keuangan, dan indahnya pemandangan transisi kota ke desa... heartwarming scenes... Tayangan yang gak nambah stress, tapi tayangan yang bikin orang punya hati besar.

Makan
Kisah-kisah hangat itu seperti, ada kedai yang hanya dirawat oleh istri sendiri setelah suami meninggal, dia ingin keliling banyak tempat, tapi suaminya meninggal duluan dan hanya menyisakan seekor kucing. Ada pula restauran di tepi danau yang dirawat oleh suami-istri (rata-rata banyak yang dirawat suami-istri). Juga teman Tamio yang menamai Tamio sebagai Mr. Normal. Teman yang ketemu di jalan ini, Tsutomu Kaburagi (Kōji Yamamoto) punya van mewah yang enak banget buat keliling dunia pakai itu van. Ada ruang makan, ruang tidur, dll, dibuat nyaman banget. Tapi reparasinya juga lumayan, jutaan yen, yang buat istrinya marah dan pulang ke rumah orang tua. Akhirnya, lewat bantuan Tamio dia berkeinginan untuk rujuk dengan istrinya.

Lof
Berikutnya, ada pula kisah pengunjung yang tidak membayar, tapi karmanya itu dijaganya sampai belasan tahun, lalu kembali lagi. Ada kedai yang dulunya jadi tempat konser jazz, ada kedai yang dirawat seorang bapak dan dibantu anak perempuannya yang buka salon kuku. Ada kedai yang dijaga seorang kakek dengan cucunya, meski si kakek belum sepenuhnya memberi kepercayaan. Ada kedai yang ibunya setelah sakit diteruskan oleh anaknya, lalu ibu itu jadi penjaga di depan pintu. Ada kedai yang suaiminya belasan tahun gak pulang, tapi pas pulang dan menderita penyakit, si istri masih menerima. Ada kedai unik yang penuh batu. Rata-rata arsitektur restauran-restauran di sini tuh ketara banget oldish-nya, mirip dengan suasana ketika aku makan ke Bakmi Gang Kelinci di Pasar Baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar