Sabtu, 31 Agustus 2024

Catatan Buku #11: Kim Sae Byoul & Jeon Ae Won - Things Left Behind (2022)

Saat pertama megang buku ini, udah ada isyarat kalau aku harus membacanya. Tema-tema yang berkaitan dengan ruh, spirit, kehidupan pasca-kematian jadi salah satu savana bacaanku, aku tertarik karena percaya hal seperti ada. Dan setelah membacanya, ternyata aku tak butuh lama menghabiskan buku berteman 200 halaman ini, dua hari di tengah pekerjaan cukup. Buku ini kabarnya juga menginspirasi serial drakor "Move to Heaven". 

Genre buku slice of life, bagaimana penggalangan hidup sehari-hari diceritakan. Kim Sae Byoul adalah CEO perusahaan yang bergerak di bidang membersihkan dan membereskan barang-barang peninggalan orang meninggal--serta membantu almarhum pindah ke surga (begitu keyakinannya). 

Klien-klien mereka kebanyakan adalah orang-orang yang mati bunuh diri, mati karena usia tua dan kesepian, mati kecelakaan, mati dibunuh, mati karena tindakan kriminal dan peristiwa kejahatan. Sementara itu, Jeon Ae Won adalah karyawannya, manager perusahaan, ibu satu anak yang tak takut dengan stigma masyarakat Korsel terkait pekerjaan aneh, tapi berpotensi bisnis itu. 

Buku ini ditulis murni dari pengalaman keduanya, terutama Kim Syae Byoul, banyak kisah yang mengundang tangis, perasaan nano-nano sebegitu jahatnya manusia, fakirnya kasih anak ke orangtua yang vis a vis dengan kasih sayang orangtua yang tak putus dan selalu memberi, beberapa kisah yang menyentuhku secara personal dan kuingat:

  1. Pemuda kedokteran gigi Universitas Seoul yang berprestasi dan bunuh diri karena kesepian, jauh dari ibu, dan menjalani cita-cita tidak sebagaimana mimpinya di bidang seni, menulis lagu, dan memainkan gitar.
  2. Seseorang yang mati di rumah penuh tumpukan sampah, dan dia biasa menganggap itu sebagai kenyamanan.
  3. Anak yang membunuh ibu kandungnya sendiri secara sadis karena dipaksa untuk selalu dapat rangking pertama di setiap kelas dan kompetisi, jika tidak akan disiksa.
  4. Seorang pacar yang tak tahu diri, dikasi tumpangan malah nglunjak, malas-malasan dan bertindak sesukanya, hingga dia membakar rumah pacarnya itu. Adik si pacar meninggal di dalam rumah semacam apartemen ketika tidur sehabis pulang kerja.
  5. Tiga anak yang hanya menginginkan surat warisan tanah rumah dan uang, tapi tak sedih ketika orangtua mereka meninggal.
  6. Seorang nenek yang hidup tekun, membuat origami, dan mati di kamar mandi.
  7. Seorang bapak yang mencuri karena merasakan hidupnya kesepian, diceraikan istri, dan tak dipedulikan lingkungan.
  8. Perempuan muda sempurna fisik dan finansialnya, tapi meninggal tragis sebagai paranormal ditemani anjingnya yang matanya pecah. Anjing ini akhirnya diadopsi penulis dan dinamai Shong-i, sementara itu ada anjing lain bernama Choco yang dirawat di rumah penulis juga dari seorang pemiliknya yang telah menjadi almarhum dan mati tragis.
  9. Seorang bapak yang tak mau merepoti anak perempuannya, gak mau nelepon, lupa nomor, dan mati kesepian.
  10. Seorang bapak yang hidupnya tanpa ambisi meskipun dari keturunan orang kaya, tapi anak-anaknya memaksa dia buka bisnis dan gagal total. Padahal yang dia suka hanya merawat bunga-bunga yang disukainya saja setelah istrinya meninggal.
  11. Mati bahagia seorang nenek ketika tidur dengan tenang dan dikelilingi keluarga yang menyayanginya.
  12. Kisah pekerja miskin yang memberi makan banyak tunawisma dan para tunawisma itulah yang mengantar kematiannya di peristirahatan terakhir. 

Aku jujur menangis berkali-kali membaca buku ini. Buku yang ditulis dengan jernih dan menyentuh. Aku teringat ibuku, bapakku, dan orang-orang yang mengasihiku. Dari buku ini aku belajar: bukan prestasi, materi, harta, uang, piala, berbagai sertifikat, pekerjaan mentereng, kebanggaan yang sifatnya kesombongan, yang akan diingat orang lain, tapi kasih dan kepedulian kita pada orang yang membuat kita dikenang. Bahkan penulis juga bilang, barang-barang favorit dan berharga yang kita miliki tak ada gunanya ketika meninggal, orang-orang yang hidup pun malas menyimpannya. Jadi untuk apa menggenggamnya sekuat itu? 

Buku ini adalah tipe bacaan yang bisa membersihkan jiwa, memupuk rasa empati, membuat orang lebih bijak, dan mensyukuri hidup. Ditulis dengan gaya khas antropologi di bidang pekerjaan yang digeluti, tak ada teori ndakik-ndakik soal kematian yang ditulis di sini. Semua adalah pengalaman lapangan penulis. Meskipun buku ini tak lepas dari kritik, salah satunya, penulis dianggap gegabah menghakimi almarhum yang mati kesepian, dia pahit sekali menggambarkan mereka. 

Selain itu, penulis di beberapa part memandang keluarga mereka dengan sebelah mata. Ya, kritik ini bisa, tapi juga gak sepenuhnya benar, misal Byoul masih menceritakan latar belakang kenapa keluarga perlu dikasihani dan tak perlu dikasihani, atau kenapa sepi itu sebegitu menurunkan semangat hidup seseorang secara drastis. 

Penerjemahan buku ini juga sangat baik dan mengalir, tidak kaku sama sekali. Aku membaca buku ini dengan penuh perasaan dan cinta, aku menghayatinya. Tema "mati kesepian" dan "bunuh diri" menjadi cerita yang paling banyak diceritakan. Byoul berkali-kali mengingatkan, bagaimanapun hidup kita, kita berharga. Kamu gak ngapa-ngapain dan eksistensimu ada pun, kamu juga berharga. 

Hal menarik lain, penulis lewat buku ini juga memperbaiki citra peofesinya, yang menurutku sungguh tak gampang: berhadapan dengan darah, bau mayat, hal-hal mistis, dilempari garam oleh orang, dlsb. 

Setelah membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan insight menarik berkaitan dengan kematian. Lewat buku ini pula aku belajar bahwa merelakan kematian seseorang tak sesakit dan sesedih itu, mereka hanya pindah hidup di kehidupan lain.

Kamis, 29 Agustus 2024

Catatan Buku #6-10: Mengenal Saya yang Sejati, Thomas Troward, Pikiran Bawah Sadar, Kemarau, dan Tempat Terbaik

Joseph Murphy - The Secret of I Am That I Am (2021)

Buku ini benar-benar mengingatkanku dengan konsep Advaita Vedanta terkait "Man is God". Tuhan adalah manusia. Setelah membaca ulang biografi penulisnya, bisa dimaklumi, Dr. Murphy dulunya memang pernah belajar ilmu-ilmu agama di India, sebelum dia kembali ke agama aslinya, Kristen. Setelah mendapat ilmu puncak terkait ketuhanan itu, dia menjadi seorang umat Tuhan yang baik. Buku ini dari awal sampai akhir sangat bunyi, kata-kata dan kalimatnya bernas, hampir tak ada yang mubazir. Aku bisa merasakan cahaya Ilahi dalam buku ini, seolah dia menulisnya dengan kesadaran yang tulus, kerja yang tulus terhadap Tuhan, dan menempatkan Tuhan di awal dan akhir, sementara hal-hal lain ditaruhnya setelah Tuhan. 

Sekali lagi ingin bilang, semangat serupa ini aku temukan juga pada buku-buku Swami Vivekananda. Yang dimaksud Murphy terkait "I Am" adalah "I Am God", semua kekuatan ada di dalam diri. " I Am in my true place. I Am doing what I live to do. I Am divinely happy. I Am divinely prospored." Yang menarik pula dijelaskan jika Tuhan merealisasikan dirinya di dalam manusia, membagi Diri menjadi perempuan dan laki-laki. Lalu, pikiran sadar diibaratkan sebagai laki-laki, sementara pikiran bawah sadar diibaratkan sebagai perempuan. Apapun yang kita katakan terhadap keduanya, benar adanya. 

Murphy menyebut pula, segala kesedihan, penyakit, hal jelek dan jahat yang ada di diri karena kita menempatkan Tuhan setelah kekuatan-kekuatan lain di luar Tuhan. Tindakan ini disebut sebagai "idolatry", yang dalam pengibararan yang lain disebut sebagai persekongkolan dengan iblis. Kalimat yang bagiku mengena lainnya adalah "You don't go to God with a problem." Karena kamu Tuhan itu sendiri. Jangan ada kata sibuk untuk Tuhan, tulus Murphy juga, "Do you put something before God? Do you say, 'I'm too busy?' Are you saying you're too busy for God?".

Harry Gaze - My Personal Recollections of Thomas Troward: The Teacher and The Man (1958)

Aku membaca buku ini setelah dapat referensi nama dari buku Joseph Murphy sebelumnya, dan nama itu adalah Thomas Troward (penulis Inggris yang mempengaruhi New Thought Movement/Gerakan Pemikiran Baru dan Kekristenan mistik). Gerakan Pemikiran Baru ini muncul di AS awal abad ke-19, gerakan ini membantu orang-orang mendapatkan pemahaman yang lebih baik berkaitan dengan misteri-misteri Ilahi dengan kekuatan pikiran. Terkait ini, karya paling berpengaruh dari Troward adalah "Edinburgh Lectures".

Sementara itu, ditulis oleh Harry Gaze, buku yang saya baca ini menceritakan tentang pengalaman Harry ketika bertemu dengan Thomas, atau semacam bibliografi. Pengalaman terkait pertemuan, buku-buku, gagasan-gagasan, hingga yang menurut ku agak kebaikan adalah menyamakan Troward sebagai nabi. Inti acara Troward sebenarnya sama dengan ilmu keesaan di agama-agama lain, tak hanya di Kristen, tapi juga agama samawi dan Hindu.

Thomas Troward berasal dari India, beberapa buzzwords idenya yaitu tentang: Mind, The Arena, Boston Ideas, Positive Thoughts, Unity, Universal Truth, Nautilus, and the Exodus. Yang juga mempengaruhi bebeberapa nama seperti: Henry Wood, Charles Brodie Patterson, Elizabeth Towne, Raplh Waldo Trine, Emilie Cady. Gerakan pemikiran baru ini cukup kukenal dari berbagai film atau bacaan yang khas Barat. Menurut Troward, cuma ada dua buku penting di dunia ini: Bible (kitab suci) dan buku terkait alam (I find just two books really worth study, the Book of God (Bible) and the book of Nature.) 

Jika Troward memperkanlkan kata terkait "Mental Science" dan "Bible Mystery", aku kepikiran mengulik tentang "Islamic Science" dan "Al-Quran Mystery". Di buku ini juga jadi semakin paham terkait bagaimana pengaruh kata ("Some may think that Mother Nature takes but little notice of our words; but she listens in, and engraves them in flesh and blood."). Selain itu juga terkait makanan (Two solid bodies cannot occupy the same space at the same moement in Time, my dear. This is the table-philosophy.) Juga bagaimana pikiran dan tubuh itu satu kesatuan (relation between the action of the mind and the resulting conditions in the physical body. ... The builder of the body, it will build up a body in corresponcence with the personality thus impressed upon it.)

Beberapa pemikiran lainnya yang menarik pemikiranku lebih lanjut:

  • She possessed a faculty for concentration.
  • Plan, paid no attention, and did not even turn his head.
  • Valued little signs of affection.
  • Put your whole trust in Him and fear not.
  • Constant conversation with God in our heart.
  • Let me find Thee this day in myself.
  • The Fully Risen Man. Mr Troward visualizes this transformed body as possessing amazing powers and qualities.
  • Love being the only quality which cannot be mechanical, automatic, as is the cosmic consciousness
  • "To control conditions, we must learn to control the relative by the Absolute."
  • "The desirable thoughts of health and healing, or success and properity can be aided by tht trained power of imagination and visualization."
  • You must work, but take no anxious thought. "We must not fly in the face of the Law by expecting it to do for us what it can be only do through us; and we must therefore use out intelligence with the knowledge that it is acting as the instrument of a greater intelligence... Anxiety and 'toilsome labor' will be replaced by states that are a permanent source of all that is good."
  • Intuitive pwer, by which we perceive Truth, is the right path to travel in.

Jujur, saya membaca buku ini banyak menyekip hal-hal yang menurut saya telah saya pahami dan common sense, dan saya akan berhenti pelan-pelan lagi membaca ketika hal itu penting dan baru. Saya menyadari, cara ini lebih efektif untuk mengelola energi saya. Satu yang saya setuju berkaitan dengan pernyataan Ram Dass, "The spiritual journey is individual, highly personal. It can't be organized or regulated. It isn't true that everyone should follow one path. Listen to your own truth."

Joseph Murphy - The Power of Your Subsconscious Mind: Unlock Yout Master Key to Success (2010)


Ini buku Joseph Murphy ketiga yang kubaca. Isinya berkaitan dengan bagaimana alam bawah sadar atau pikiran bawah sadar kita bekerja. Murphy menggaransi, ketika kau membaca buku ini, hidupmu akan berubah, hidupmu akan mengalami suatu mode turning point. Well, buku ini cukup membantuku untuk mempelajari bagaimana alam bawah sadar bekerja. Semua yang kita lakukan, percayai, dan rasai banyak ditentukan oleh alam bawah sadar ini, sementara pikiran sadar hanya memvalidasinya saja. Pikiran sadar jadi gatekeeper terakhir yang menentukan apakah suatu ide, masukan, input, atau sebutan lain itu boleh masuk dan tidak boleh masuk. 

Namun ingat, alam bawah sadar gak bisa milih, gak bisa nentuin, dia macam tanah yang apapun ditimpakan kepadanya akan memberikan efek. Ketika banyak diisi oleh hal-hal baik, maka yang keluar pun hal baik. Begitu juga sebaliknya, ketika yang ditanam banyak hal jahat, maka yang keluar seperti itu, atau tinggal ditunggu bom waktunya saja. Dari awal bab hingga akhir bab, banyak dijelaskan berbagai contoh dan praktik bagaimana alam bawah sadar bekerja (karena saking berulang-ulangnya cerita, ada di suatu titik buku ini membosankan. Kalau merasa begitu, mending baca poin-poin kesimpulan yang ada di akhir bab). Misal suatu afirmasi bagaimana menjadi kaya raya, memilih jodoh yang baik, memilih pekerjaan, berempati, sehat, memutus trauma, dll. 

Murphy mengingatkan berkali-kali agar hati-hati memasukkan sesuatu ke alam bawah sadar, karena itulah nanti yang akan terjadi. Jangan penuhi diri atau alam bawah sadarmu dengan ketakutan, anxiety, sedih, gelap, tak bisa, atau pikiran negatif lainnya, jangan, itu nanti akan merusak dirimu sendiri. Namun isilah alam bawah sadar dengan cinta, damai, tenang, keteduhan, syukur, kebahagiaan, harmoni, kesehatan, inilah puncak hidup yang ingin dicapai tiap orang. Tak lupa, di setiap buku Murphy, dia selalu mengingatkan kita pada Tuhan, sebagai sumber utama semua kebaikan. "Infinite intelligence always finishes successfully whatever it begins."

A.A. Navis - Gerhana (2004)

Awal membaca buku ini, aku udah dapat feeling kalau buku ini jelek. Pembukaannya sudah menunjukkan adegan kecabulan yang sebenarnya malas untuk kulanjutkan, tapi harus aku selesaikan sebagai bahan kritik esai AA Navis. Jika kau berharap gaya tutur, pesan, ideologi, dan after taste experience yang seperti membaca "Robohnya Surau Kami", jangan berharap banyak. Novel ini tak lebih dari sekumpulan novel stensil metropop yang penuh dengan adegan dewasa. Bedanya, Navis memberikan latar Minangkabau, yang saya ragukan apakah benar kehidupan mahasiswa dan kampus di Minang pada masa itu telah sebebas-bebas itu? Jika cerita Ana Karina dan Kartini serta kawan-kawannya ini terjadi di Jakarta atau Jogja barangkali aku bisa sedikit maklum, tapi membayangkan ini terjadi di daerah Minangkabau, aku tak menyangka. Apalagi, novel ini ceritanya merupakan cerita bersambung untuk koran Kompas, haish, aku kecewa. 

Secara alur, novel ini berkisah dua mahasiswa miskin dari kampung, kuliah di Padang. Namanya Ana dan Kartini, kerjaan mereka selain kuliah adalah menemani pria-pria kesepian yang telah beristri. Mereka bukan literally perempuan tuna susila, tapi pergaulan yang bebas membuat citra keduanya jadi buruk. Apalagi, Ana dan Kartini ini yang kutangkap tergolong biseks, mereka satu kos melakukan adegan-adegan sentuhan, juga menerima cinta dari laki-laki lain. Laki-laki yang sesungguhnya disukai Kartini adalah penyair kampus mokondo bernama Ben Virga; sementara lelaki yang disukai Ana adalah anak militer macam polisi gitu bernama Krisno. Kisah cinta keduanya berakhir tragis, Kartini menikah dengan lelaki kaya bernama Binsar yang attitude-nya tak beda jauh dengan ayah Kartini yang tak bermoral. Lalu, Ana lebih tragis lagi, dia diperkosa oleh laki-laki berjaket, stress, dan bunuh diri (dengan akhir kisah yang mengambang, apakah Ana bisa diselamatkan atau tidak). 

Di antara hidup Ana dan Kartini, juga ada kisah-kisah bebas dan liberal lain, misal dari perwira tua bernama Darmo dengan istrinya yang masih muda mantan pramugari bernama Yanti. Darmo impoten sehingga membiarkan Yanti dengan bebas berinteraksi dengan lelaki brondong mana saja. Salah satunya, Yanti berinteraksi dengan Katar, asisten dosen yang tak kalah tercelanya. Katar telah tunangan dengan Ida, tapi juga tak bisa melepaskan Yanti, nyaris terjadi hubungan badan di tempat rekreasi tetapi tak jadi. Katar akhirnya menikah dengan Ida, yang terpaksa pernikahan itu dipercepat karena ketika Katar menginap di rumah ortu Ida, mereka melakukan hal yang dilarang agama juga. Kasus yang tak kalah heboh, bagaimana politik kampus dan kekuasaan berjalan. Bagaimana seorang dosen (Nur Rivai) mencoba menggagahi Ana di ruang kantor. Padal dosen itu ingin balas dendam pada perempuan yang dicintainya bernama Magdalena. 

Juga kisah lain dari pemilih kos Pak Musa dengan istrinya Tante Lena. Pak Musa ini mantan pejuang negara, PNS yang mengandalkan hidup dari pensiun yang tak seberapa. Dia meninggal setelah mendiskusikan hal-hal serius terkait negara dan perang dan politik dan pemerintahan. Di mana cerita ini didiskusikan bersama Darmo dan Ben Virga. Yang mendapat serangan jantung juga si Darmo, apalagi di usia-usia yang mendekati pensiun, dengan istrinya Yanti yang tak jelas. Dia membayangkan bagaimana hidupnya lebih buruk dari Pak Musa. Sebelum ketemu Pak Musa, Darmo juga saking kesepiannya di hari Minggu, mondar-mandir cari teman, dan tak ketemu-ketemu.

Selain itu juga ada kasus lain terkait pengggunaan dana SPP yang diputar ke investasi yang tak benar dan cenderung merugikan. Akhirnya, pembantu rektor bernama Ismet Kadri melakukan cuci piring masalah-masalah tersebut. Apalagi, ketua dewan mahasiswa bernama Iskandar dan koleganya Mansur melakukan demo mogok ala Gandhi di sekitaran rektorat untuk mengusut skandal Ana dan dosen, juga kasus SPP yang belum tahu diarahkan kemana. 

Para tokoh di novel Gerhana ini tak ada yang menurutku bermoral benar dan baik. Hampir semua tokoh dikarakterisasi hanya mengikuti hawa nafsunya saja. Meskipun dibahas tentang karakter orang-orang dan ada Minang yang tak mau diatur, atau bejatnya politik kampus, tetap saja novel ini tak memberi cahaya apa-apa melainkan hanya kegelapan. Hanya nuansa kerusakan dan kerusakan yang aku baca di cerita Gerhana ini. Jika diibaratkan orang lapar, Navis hanya memberi nasi satu sendok dan itu pun tidak enak. Ini karya Navis paling jelek menurutku pribadi.

Tempat Terbaik di Dunia - Roanne van Voorst (2018)

Termasuk telat membaca buku "Tempat Terbaik di Dunia" ini di awal penerbitan pertamanya. Model-model tulisan yang sebenarnya aku cari untuk memperdalam riset dan buku yang tengah diminta oleh teman. Aku seperti mendapat gambaran terkait bagaimana riset antropologi dan etnografi yang baik, bagaimana bekerja di lapangan, dan fitur-fitur bertahan hidup seperti apa yang harus aku lakoni. Tak hanya itu, Roanne juga bisa mendeskripsikan dengan baik kehidupannya di lingkungan barunya.

Roanne van Voorst cukup berani mendedikasikan diri tinggal selama hampir setahun hidup di Bantaran Kali di sebuah tempat di pinggiran Jakarta yang retan terkena banjir. Meninggalkan hidup mewah dan damai ala yoga, dan hidup berbeda 180 derajat dari dunia aslinya. Di tempat itulah slums ecosystem di masuki dengan semua "ketidakenakannya. Di sana dia bertemu dengan penduduk (anonim): Tikus, Enin, Neneng, Yantri, Toni, Yusuf, Pinter, dlsb. 

Para nama tersebut adalah tetangga Roanne. Dia tinggal di bantaran sungai yang ala kadarnya, dengan sanitasi yang buruk, tanah yang tak berkeramik, air yang menyedihkan, nyamuk yang banyak, dan berbagai potensi kriminal ala masyarakat kelas bawah. Awal cerita dimulai dari perjalannya menemukan tempat penelitian di Jakarta, dia ditemani Tikus yang mengantarkannya pada "tempat terbaik di dunia".

Di kampung itulah, Roanne kemudian beradaptasi. Dia menyewa tempat di sana, dia menceritakan bagaimana pentingnya portofon. Portofon ini hampir mirip dengan raket bagi pemain badminton, dia serupa melambangkan status sosial. Dari portofonlah informasi banjir bisa diterima dengan cepat, hingga waktu serta ketinggiannya.

Roanne juga menceritakan tentang kehidupan keuangan, kesehatan, pekerjaan, hingga rahasia kehidupan seks para PSK di Bantaran Kali. Tak lupa, Indonesian Values yang dimiliki orang Indonesia tak lupa juga dia kuliti, seperti budaya korupsi yang dijadikan sebagai perekat sosial bahkan, apapun yang ingin sukses harus ada uang pelicin. Ini nampak dari lamanya pembuatan surat izin penelitian, jasa tukang pos yang mengirim surat ke Roanne di Bantaran Kali, dlsb.

Salah satu kondisi yang menyedihkan adalah bagaimana rumah sakit dan dokter tak adil dengan orang-orang di Bantaran Kali. Sahabat Tikus yang OD tak terselamatkan setelah keracunan sabu-sabu oplosan, seorang bapak yang habis kecelakaan meninggal 8 jam setelahnya setelah dokter tak juga mengurusinya, nyawa begitu murah sepertinya. Sedih banget baca part ini, sampai-sampai, ketika Roanne sakit, agar dokter tidak mencampakkannya, dia diminta pakai pakaian bagus, sandal bertumit, hingga mengaku kalau rumahnya di daerah Menteng, sambil mencari nama jalan dan nomornya di Menteng bersama Edi, tukang ojek langganannya.

Tak kalah menyedihkan adalah tentang rumah. Salah seorang warga di sana mencoba mengelabui pemerintah dengan mengganti lantainya ke marmer dan tiangnya dengan pilar. Sesuatu yang tak masuk akal! Wkwk, banyak sekali paradoks, tapi warga Bantaran Kali yakin, dengan menggantinya ke marmer dan pilar, maka ganti-rugi yang didapat menjadi lebih besar, meski marmer dan pilar disiasati dengan harga murah, dan meski mereka harus utang-utang dulu untuk membelinya.

Di Bantaran Kali itu juga ada Pinter, bankir atau rentenir yang bekerja dengan cara unik. Pinter membuka bank dadakan, ketika orang ingin menitipkan uang kepadanya kemudian uang itu diputar. Sistemnya juga menarik, ada tulisan khusus yang akan mengingatkan tujuan dari orang itu menabung, misal ingin membeli televisi rusak yang dilakukan oleh Tikus, ingin membeli seragam sekolah, ingin membeli game, dll. Uang ini tak boleh diambil sebelum targetnya selesai, ketika tercapai, Pinter akan mengapresiasinya dengan memberi nasi tumpeng.

Tikus sendiri menurutku sosok yang unik, dia pengamen, tak jelas asal-usulnya karena Roanne tak menceritakannya dengan jelas juga. Dia membuka bisnis fitnes di tempat yang seperti itu, bayangkan! Setelah gagal dengan servis televisi rusak kemudian dijual kembali, karena dia tak punya keterampilan untuk hal itu. Semua barang-barang fitnes, dari marbel sampai alat-alat pembersar otot dan jacuzzi diusahakannya sendiri, haha, ini bagian terlucu menurutku. Selain kisah Neneng, seorang PSK yang ditinggal suaminya, bagaimana pengalamannya terkait ratus vagina, tonggak Madura, dan jamu-jamu atau ramuan tradisional serta buah yang baik untuk menambah gairah, seperti makan mangga yang banyak dan diberi cabai hingga pedas.

Berikutnya, begitu orang-orang Indonesia itu gak bisa kesepian dan melihat orang lain kesepian, budaya kelompok ini diceritakan Roanne dengan terbalik sebagaimana yang terjadi di Belanda, ketika orang lebih suka bersifat individual dan mind your own business. Bahkan hingga akhir tulisan, ketika Roanne pergi ke bioskop sendirian, seorang ibu yang membawa tiga anak meminta anaknya untuk duduk di dekat Roanne, padahal dia menginginkan apa yang disebut di lagu Tulus sebagai "ruang sendiri".

Akhir-akhir buku ini memang sedih, Bantaran Kali digusur! Tikus kehilangan ruang fitnes yang diusakannya menggunakan alat-alat ban dan berbagai alat bekas lainnya. Tempat terbaik di dunia itu telah hilang, tapi daya, semangat, dan denyut mereka akan masih ada. Secara pribadi buku ini patut untuk dibaca dan sangat bagus untuk penulisan antropologi dengan pendekatan obvervasi partisipatif. Kelebihan lainnya, buku ini bukan tipe buku antropologi yang bahasanya membosankan, karena si Roanne sendiri menulis novel, jadi kebahasaan dia sangat baik. Pembaca tak perlu mengerutkan dahi juga dengan paparan data yang sifatnya statistik, nyaris cuma nol koma sekian persen saja.

Beberapa kritikku mungkin Roanne tidak menjelaskan latar belakang Tikus, Neneng, Enin, dll, yang menurutku cukup penting untuk menerangkan motif mereka tinggal di Bantaran Kali. Roanne di buku tampaknya asik sendiri dengan masalah-masalah bersama yang dihadapi oleh warga Bantaran Kali dengan kemiskinan, banjir, masalah kesehatan, perumahan, dan sosial mereka. Kritik berikutnya, melihat edisi asli buku ini di bahasa Belanda, aku cukup terganggu dengan peletakkan foto Roanne sebagai sampul buku, entah, itu nampak narsistik sekali. Marjin Kiri pun juga menampakkan foto Roanne meski ditaruh di pinggir. Apa mungkin foto dia untuk menegaskan posisi dia sebagai antropolog? Kurasa tak seperlu itu.

Roanne menulis buku ini di usinya yang masih muda, sebagai bahan disertasi Antropologinya di UvA. Kelebihan buku ini selain materi adalah cara penyampaian Roanne yang tak membosankan, karena di beberapa buku-buku Antropologi tertentu, penjelasan bisa sangat membosankan. Buku ini juga gak banyak statistik bahkan dikit sekali yang buat mengerutkan dahi. Gaya bahasa ini didukung karena Roanne sendiri juga seorang penulis novel (novelis).

Selasa, 27 Agustus 2024

Penulisan Etnografi Bersama JET dan Geger Riyanto

Belajar adalah passion-ku, ini mungkin statement pertama yang ingin kutekankan ke diriku sendiri. Untuk itu, rasanya aku tak bisa melewatkan satu hari pun tanpa belajar. Terutama belajar hal-hal yang aku sukai, salah satunya Antropologi. Aku punya mimpi bisa belajar ini dengan serius, banyak imajinasi-imajinasi yang membuatku excited untuk hidup ketika aku belajar antropologi dan etnografi, meski banyak juga ketakutan-ketakutan yang masih kurasakan: Apa aku bisa?

Puzzle pembelajaran antropologi yang kulakukan berlangsung hari ini. Aku mengikuti Lokakarya yang diselenggarakan oleh Jaringan Etnografi Terbuka (JET) bertajuk "Penulisan Etnografi". Materi ini diampu oleh Dosen Antropologi UI yang juga guru saya di bidang profesionalisme dan akademik, Mas Geger Riyanto. Acara dilaksanakan pukul 14.00-17.05 WIB di Unika Atma Jaya Jakarta (Kampus Semanggi). Ini untuk pertama kalinya aku ke UAJY, yang secara arsitektur nuansa bible-nya terasa, sebagaimana aku pernah pergi ke Kampua Sadhar di Jogja. 

Tentu, aku izin dengan bos di kantor untuk mengikuti kelas ini. Kukendarai motor ke kantor hingga ke UAJY sambil mendengarkan lagu-lagu di album Variasi Pada Tema Pulang oleh Jalan Pulang. Aku sampai sekitar pukul 13.30 WIB, tak lama kemudian Mas Geger datang. Semua peserta yang kucatat ada 10: Mentari, aku, Titin, Wawan, Ansar, Jason, Adi, Mera, Mahmul, dan Firdaus. Mereka dari bermacam-macam afiliasi: AJAR, ICJR, Atmajaya sendiri, Museum Indonesia, UI, dlsb. Sungguh aku merasakan vibes akademia kembali, vibes yang sudah jarang kurasakan selama tiga tahunan aku kerja. Apalagi yang ngajar Mas Geger, semangatku bertambah besar.

Di sini, aku ingin mencatat beberapa poin penting berkaitan dengan materi Mas Geger, dia menjelaskan, etnografi itu adalah sebuah metode untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kehidupan. Secara tradisional dicirikan dengan pengamatan terlibat yang intens, serta kehadiran di lapangan. Jadi faktor "immersion" di etnografi itu penting, tenggelam di lapangan. Dia memperlihatkan foto-fotonya Margaret Mead saat bikin atau ngolah field note, bersama dengan Malinowski.

Dulu, kerja-kerja etnografi itu didominasi oleh orang kulit putih yang mengerjakan pekerjaan orang kulit putih. Singkatnya, dahulu, etnografi itu sangat kulit putih. Saat ini, posisi etnografi lebih egaliter, kamu bisa menangkap apa yang orang lain juga tangkap dari lapangan, melalui field note atau catatan yang kita buat. Biasanya kerja-kerja pengetikan dilakukan ketika malam, di mana siangnya turun lapangan. Mas Geger cenderung tidak menggunakan perekam ketika turun lapangan, untuk menciptakan sesuatu yang berbeda, dan agar luwes. 

Etnografi juga lekat dengan meneliti masyarakat non-modern, non-industrial, dan non-negara, bahkan hingga hari ini. Bahkan proyek saat ini digugat karena dianggap lekat dengan kolonialisme dan imperialisme. Karena masih adanya akar-akar kolonial dan modernisasi, melalui kerja making sense hal-hal yang sebenarnya gak make sense. Mas Geger merekomendasikan buku berjudul "Cold War Antrhopology" karya David Price (terkait perang dingin antropologi gitu), juga karya-karya antropolog anarkis James Scott. Antropolog terakhir ini deskripsinya bagus.

Sementara itu menutur Koentjaraningrat menyebut, sejak lama, ketika antropologi belum ada dan hanya merupakan suatu tulisan yang aneh-aneh, namun, kenapa itu layak dipertahankan? Jawabannya banyak.

Mas Geger melanjutkan salah satu prinsip utama di etnografi, bahwa "etnografi sebagai proyek penerjemahan/translasi". Etnografi proses penerjemah dari satu tempat ke tempat lain, ke tengah-tengah bentuk kehidupan lainnya. Dia dilakukan oleh siapa pun. Dari satu kebudayaan ke kebudayaan, dari universitas ke non-universitas (non-modern), juga sangat mungkin dilakukan secara terbalik dari yang lemah ke kuat. Pertanyaannya kemudian, mau menerjemahkan kemana? Audience siapa? Apakah ke universitas, publik, NGO, Twitter, dll, setiap penerjemahan ini akan menggunakan bahasa yang berbeda.

Inti lain, etnografi itu: "Making the strange, familiar. Making the familiar, stranger."

Kalau mengutip David Graeber, "The ambition of etnography used to be at least...."

Juga tokoh lainnya, "exposes their normalness without reducing their particularity." (kita buat itu jadi banal, tapi termengerti).

Kadang kita sendiri itu punya ritual yang gak kita sadari. Kalau di daerah, misal ada seseorang yang naik pohon lintar yang tingginya 20-30 meteri untuk cari gula (kata Max Havelaar orang yang gak makan, cuma makan gula). Yang naik pohon tinggi ini dia sambil nyanyi dan liriknya lirik sedih, yang ketika diteliti, ini sebenarnya untuk menghibur pohonnya. Kalau di Jakarta, hal aneh yang sering kita lakukan itu misal tiap kali sedih di kerjaan, larinya ke toilet untuk nangis. Bagi orang desa ini itu aneh. Di kelasnya, Mas Geger juga memberi kelas bagi yang ambil TA untuk membuat life history orang yang berbeda dengan mereka (pekerjaan, agama, etnis, dll).

Kata Mas Geger kemudian, "Karya antropologi yang bagus itu kayak film dan novel yang bagus. Meski dia jahat, tapi itu masuk akal. Terjelaskan, alasannya apa." Ada yang bilang etnografi itu fiksi. Dia emang gak netral; dengan audiens yang sempit, makin melibatkan penulis makin baik. Kita acknowledge siapa kita, siapa pembaca. Sederhananya: memahami yang nampak tidak masuk akal dengan mendalam hingga menjadi masuk akal dan manusiawi. Misal ada ambiguitas, kita perlu sadar "etnografi" itu metode penerjemahan.

Ada beberapa poin terkait pentingnya memahami medium translasi etnografi:

  1. Penting untuk mengetahui ke medium apa dia paling efektif diterjemahkan.
  2. Etnografi lekat dengan monograf tebal/artikel jurnal, karena bagian dari proyek-proyek universitas.
  3. Dalam konteks lain mungkin saja lebih cocok dengan medium persentasi lain: esai, cerita (sastrawi), bahkan video.

Watak dan kekuatan etnografi:

  1. Deskripsi tebal: misal digambarkan oleh Geertz, orang yang ngedip itu aja punya banyak makna. Misal satu kali ngedip, lihat apa yang nampak itu tak sekedar yang tampak, tapi apa juga di baliknya. Ini banyak "kode rahasia" yang harus diungkapkan, dan emang perlu engagement lama. Ini implisit teories, norma yang tidak diomongkan tapi dilakukan sehari-hari.
  2. Memperlihatkan keseharian dan vibe lanskap yang diteliti. Misal cerita terkait NGO yang punya kode-kode tersendiri. Lanskap di sini tuh lanskap sosial dan kultural. Emang sekali lagi, perlu engage yang lama, misal nongkrong bareng.
  3. Menonjolkan informalits dan sisi-sisi implisit (norma dan nilai lebih sering implisit--dipraktikkan tapi tidak dieksplisitkan).
  4. Lokalitas: Menyadarkan abstraksi-abstraksi teoritis besar acapkali bermasalah. Menyodorkan ethnography counterforce.
  5. Acapkali empatik dan berpihak. Jika tak ada ini, peneliti akan kehilangan akses. (Kasus paling santer sekarang terkait tulisan yang tak punya empati tuh "Aktivisme Borjuis" yang ditulis Mughis dan istrinya Rafiqa, terbit di Project Multatuli).

Dengan watak seperti itu, sebenarnya tidak aneh kalau ada wawancara dengan arwah yang sudah meninggal pun.

Aku bertanya ke Mas Geger: Seberapa lama waktu engagement diperlukan dari pengalaman Mas Geger? Inti yang aku tangkap, Mas Geger menjawab kalau kita merasa sudah penuh. Penuh ini juga bisa didebat kusirkan, karena dasarnya agak ke feeling. Dasar pula dari feeling ini tuh, apakah kita sudah merasa utuh atau belum? Apakah data ini itu tuh thin atau thick? Ini bisa bermacam-macam waktunya, kalau gak ngerti bahasanya bisa bertahun-tahun. Sisi lain yang berguna tuh, "ada perasaan bersalah". Perasaan bersalah ini penting untuk nulis. Dengan kita bertanya ke pribadi, piece-nya masih kurang di mana? Kadang kita gak punya privilege waktu lama. Yang penting kontekstualisasi. 

Mas Geger cerita lucu, ada etnografer Cina yang ditemani pacarnya penelitian, pas putus dia pas ke lapangan jadi ngah-ngoh wkwk. Tapi dari pengalaman Mas Geger, wawancara paling fruitful itu tuh pas kita nongkrong bareng. Penting untuk tahu vibes-nya. Apapun yang berguna untuk membantu kita mendeskripsikan, karena inti etnografi lainnya: mendeskripsikan kehidupan sehari-hari. Etnografi itu ada wajahnya.

Metode etnografi atau pengambilan datanya itu ada beberapa: Metode pengambilan data yang lekat dengan etnografi itu pengamatan terlibat, wawancara, life history. Lalu, yang jarang disinggung pula itu terkait arsip dan data statistik. Mas Geger mencontohkan penelitiannya di Parigi, daerah timur dekat Ambon sana. Di sana masyarakatnya bilang ketika Covid-19 melanda, bahwa tak ada Covid masuk, Covid itu cuma untuk Jawa. Masyarakat di sana lebih percaya pada orang-orang dekat atau tetangga daripada informasi yang didapat dari televisi, karena mereka berjarak, apalagi teori konspirasi Covid, jauh-jauh.

Pertanyaannya kemudian, apa beda tulisan etnografi dengan liputan mendalam?

  1. Liputan mendalam sangat mungkin bersifat etnografis, karena etnografi metode memahami bentuk kehidupan dengan kehidupan lain.
  2. Etnografi sulit dilakukan karena sifatnya yang lama dan intens. Berita butuh publikasi cepat agar bernilai.
  3. Jurnalis yang sudah akrba dengan isu dan lingkungan tertentu sebetulnya sudah memiliki pengetahuan etnografis (tapi belum memiliki kesempatan menuangkan).

Rambu-rambu: acap, penelitian yang mengklaim etnografi tidak mendemonstrasikan deskripsi yang etnografis, misal etnografi di medsos. 

Bagaimana dengan etnografi orang dalam? Ini jadi tantangan tersendiri karena orang cenderung gak sensitif, padahal itu menarik, kita kehilangan kepekaan pada sesuatu yang menjadi kebiasaan. Kekuatannya padahal kita sudah memiliki pengetahuan, tak membutuhkan waktu untuk riset. Solusinya dengan menyadari bahwa kita selalu menyeberangi beragam ranah kebudayaan. Ketika berusaha mencerna kebudayaan kita sendiri, posisikan diri dari sudut pandang budaya kita yang berbeda--misal: jadikan diri akademisi ketika kita sebagai aktor komunitas, meneliti untuk komunitas. Jalan lainnya dengan ngobrol sama teman.

Akhirnya, lokakarya ini ditutup dengan simulasi menuliskan babak pertama dari sebuah esai etnografis. Memberi judul dan lead singkat yang mendeskripsikan isinya. Referensinya bisa dilihat di tulisan-tulisan Mas Geger dan penulis lain di berbagai media:

  1. Menonton Bagaimana Televisi Ditonton di Seram
  2. Cinta dan Tragedi, Kerja LSM dan Eksploitasi
  3. Tuna Trouble, Inside Indonesia
  4. Kampung yang Khusyuk Mengail Tuna
  5. Janji Pendidikan dan Paradoksnya di Pedesaan Flores, Indonesia Timur

Pesan penting dari Mas Geger saat pembahasan karya: Gunakan fignet etnografi, yang dibuka oleh cerita yang menjadi jantung penting cerita. Ini akan bantu dikte kisah kita selanjutnya, ini juga bantu menciptakan mood tulisan. Di fignet ini, elemen spesifik peristiwalah yang menegaskan pesan. Selain itu, "kalau nulis jangan serakah". Kalau ada data lain, pakailah untuk tulisan lain, jangan diborong ke satu tulisan. Terkait anonimitas juga, anonimkan, Geertz itu pakai nama tempat Mojokuto, tapi orang akan tahu kalau daerah yang diteliti itu adalah Kediri.

Satsag: Keajaiban Mengingat Tuhan (Dzikir)

Hari Minggu lalu, aku mengikuti Satsag dan Meditasi IVS Indonesia di rumah Tante Chika di Taman Rempoa Indah. Satsag itu setelah kutanya ke Tante Chika berarti kajian spiritual, nah, kajian spiritual kali ini berjudul, "Keajaiban Mengingat Tuhan (Dzikir)". Materi disampaikan oleh Muhammad Hasan atau Ustadz Hasan. 

Ringkasan materi dari Ustadz Hasan
Satsag dilaksanakan pada hari Minggu, 25 Agustus 2024, pada siang jam 14.00 s.d. 17.00 WIB. Ada sekitar 10 orang yang hadir (Pak Yanuar, Pak Pur, aku, Mas Zainuri, istri Mas Zainuri dan dua putrinya yang masih balita, suami Tante Chika, Mbak Novi, Bu Eni, Tante Chika, dan Ustadz Hasan sendiri). Pesertanya memang mayan jauh secara kuantitas dibandingkan dengan retret.

Awal kajian dimulai, kita melakukan meditas bersama. Kemudian materi dimulai dengan Ustadz Hasan menanyakan kepada semua peserta: Pernahkah kamu ketemu Tuhan? 

Dan jawabannya bermacam-macam. Ada peserta yang menggambarkan pertemuan dengan Tuhan itu sebagai sebuah sosok, sosok tertentu yang mengamati kita dari jauh. Ada pula yang bilang Tuhan itu dekat seperti urat nadi sendiri. Ada yang bilang, pertemuan dengan Tuhan itu serupa transformasi. 

Kalau menurutku, sebelum mengenal Vedanta, aku sering bertemu Tuhan ketika sedang ada pada kondisi sedih atau dapat bencana, ini sebagaimana pendapat Mbak Novi juga, dia bertemu Tuhan ketika di titik nadir. Setelah bertemu dengan Vedanta, Tuhan sebenarnya ada di diriku sendiri, ada di orang lain, bahkan juga bisa kita temui di hewan dan tumbuhan. 

Nah, Ustadz Hasan menekankan, kita bisa menemukan Tuhan dengan cara berzikir, nama Tuhan kita panggil, tak sekadar mengingat, tapi juga dirasakan. Merasakan ini banyak tantangannya, khususnya ketika dibenturkan dengan indra dan pikiran.

Lanjutnya, dunia eksternal itu begitu luas, banyak, dan berubah. Segala yang berubah ini disaksikan oleh indra, salah satunya adalah "mata" yang menjadi "saksi". Dari mata ini akan masuk ke pikiran (mind). Di mind ini isinya ada: data dan judgement (judgement isinya bisa hal-hal yang membuat kita kesal, overthinking, menderita, kecewa, sakit hati--semuanya ini ada di tataran ego), di mana di level mind ini sebagaimana external world, dia selalu berubah. 

Nah, ada kondisi lain yang tak pernah berubah, yaitu Atman (consciousness). Ini sifatnya satu, non-dualitas, dialah penyaksi pikiran. Ketika seseorang telah berada di level ini, maka dunia di luarnya sudah tak bisa mengganggunya lagi. Ini ujiannya juga seumur hidup. Di level yang lebih tinggi dari Atman ini ada Brahman. Kalau dalam pewayangan, di level mind itu diibaratkan oleh karakter Arjuna, dan di level Atman, diibaratkan oleh karakter Krishna. 

Ustadz Hasan menggarisbawahi, perjuangan untuk mencapai di level penyaksi consciousness ini butuh pembinaan diri yang panjang, sehingga terjadi transformasi dari indra (berubah), pikiran (berubah), hingga penyaksi (tak berubah). 

Latihannya sepanjang waktu sampai menutup mata. Satsag kali ini kemudian ditutup dengan meditasi duduk kembali. Juga ada makan somay bersama, somay-nya enak, hehe. Kami juga ngobrol-ngobrol terkait kabar dan kehidupan. Dapat kabar juga dari Mbak Novi dan Tante Chika kalau Shraddha Ma saat ini sedang di Belanda untuk melakukan kerja-kerja spiritual beliau.

Makasi teman-teman IVS Indonesia, aku selalu mendapatkan kekuatan energi spiritual tiap kali bertemu dengan kawan-kawan. Dari pertemuan ini aku bisa mengambil sedikit kesimpulan, ketika ingin melakukan dzikir sampai ke tahap "merasakan", kita memang harus bisa melampaui kondisi indra dan pikiran.

Minggu, 18 Agustus 2024

Perayaan 17 Agustus ke-79 di Museum Naskah Perumusan Proklamasi

Kemarin secara random, tiba-tiba aku datang ke acara teatrikal kejadian proklamasi 17 Agustus di Museum Perumusan Naskah Proklamasi (Munasprok), yang dulunya memang jadi tempat perumusan dan pengetikan proklamasi di Rumah Laksamana Maeda. Letaknya di Jalan Imam Bonjol Jakarta, sampingan sama gereja Paulus, tak jauh dari Taman Surapati. 

Proklamator diantar Volvo :D

Pembacaan naskah proklamasi

Bapak SD mana? :D
Teatrikal ini dilakukan oleh komunitas ontel, komunitas pesepeda, komunitas mobil lawas, komunitas Volvo, komunitas Mercy, komunitas Baleno, dll (dengan aura pejabat tinggi tahun 90-an). Pembawa acaranya lucu. Soekarnonya udah dipersiapkan bener-bener, tapi Moh. Hatta-nya dipilih dadakan dari peserta yang hadir. MC bilang, "Mana ini yang mirip Hatta, oh, Bapak-Bapak, sini Pak, pinjem kacamata John Lennon dong!" wkwk. Terus MC-nya bilang lagi, "Ini kenapa lebih mirip Ma'ruf Amin?" wkwk. Terus kostum pesertanya juga sangat meyakinkan, ada yang pakai seragam drill, seragam TNI, sampai seragam SD 🤣 Sampai yang dandan persis Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Jenderal Soedirman juga ada, bukan main.

Vibes jaman dulu

Jas merah

Bapak-bapak bangsa

Merdeka!

Bungker

Museum Perumusan Naskah Proklamasi ini menarik dikunjungi. Ada dua lantai, lantai pertama ruang publik. Lantai kedua, ruang privat Laksamana Maeda. Terus di belakang ada bunker-nya juga, ruang bawah tanah yang bisa dimasuki. Di museum ini ada koleksi perkakak sejarah masa itu. Rumahnya luas khas arsitektur art deco. Arsiteknya emang orang Belanda sih. 

Diskusi nih ye, katanya udah diobrolin dari jam 3 subuh cuy!

Sayuti Melik ngetik

Absen kehadiran

Suasana saat Proklamasi

Entahlah, aku malah nangkep refleksi yang aneh. Kalau 79 tahun lalu di tempat ini kemerdekaan penuh darah, keringat, dan perjuangan sana-sini. Saat ini masyarakat mengisinya dengan sesuatu yang menggembirakan: karnaval, lomba sana-sini, musik-musikan, pokoknya tawa dan seneng-seneng. Macam aksi teatrikal di sini tuh, sumpah banyak tertawanya. Ada-ada aja ini tingkah bapak-bapak. Macam, "Jangan sampai Proklamator kepanasan ini." atau "Dulu penuh semangat, sekarang laper."🤣

Freedom of nation

Eh, Mbak Siren

Trus pas disuruh upacara pun, bagi peserta yang milih tempat ngadem di bawah pohon, MC bilang, "Woy, pejuang jaman dulu kagak ada yang ngadem!" Ya, kayak ngrasain paradoks gitulah intinya. Terus ngeliat sepeda-sepeda juga, aku nemu wajah Siren khas kopinya SB. Emang sih, penjajahan sekarang tuh beda. 😂

Jumat, 16 Agustus 2024

Catatan Buku #1-5: Daisy Manis, Saraswati, Kemarau, Kritik AA Navis, dan Joseph Murphy

Henry James - Daisy Manis (2016)

Ceritanya sederhana, seorang gadis bernama Daisy asal Amerika yang hidup nomaden bersama ibu, adik, dan pelayannya dari Vevey, Jenewa, hingga Roma. Benturan budaya Amerika di masyarakat Eropa gak sinkron, Daisy tergolong liberal bagi masyarakat Eropa kala itu yang kaku dan menjaga adat istiadat. Dia dipergunjingkan oleh orang-orang di sekitar dia tinggal karena perilakunya yang aneh dan di luar adat. Meski alurnya sederhana, titik tekan novel ini ada di konflik psikologis yang dihadapi Daisy: bagaimana ia menghadapi kepalsuan dalam masyarakat sosial, standar penampilan, bagaimana bentrokan kelas atas dan rendah terjadi, bagaimana ia berusaha keras menjaga citra kelas sosial, tapi di balik itu ada ketidakpuasan yang ditutup-tutupi dengan wajah manis dan kata-kata sopan. Henry James mengkritik bagaimana seseorang harus mengorbankan perasaan dan kebutuhan emosionalnya sendiri untuk memenuhi standar sosial.

AA Navis - Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi (2002)

Aku suka dengan bagaimana AA Navis memberikan pandangan lain berkaitan dengan hidup, semisal bagaimana pandangannya melihat kaum difabel sebagaimana yang dialami Saraswati, gadis bisu dan tuli. Semangat Saras digambarkan sebagaimana manusia normal, yang perlu juga secara psikologis diperlakukan sebagai orang normal: punya perasaan, mimpi, cita-cita, dan cinta. Navis egaliter sekali di sini. Saras, gadis ibukota sebatang kara yang ditinggalkan ayah, ibu, kakak tertua, kakak muda, adik tertua, dan adik muda karena kecelakaan. Lalu dia ikut saudara ortunya di sebuah desa di Padang Panjang, menjalani hidup dengan keluarga baru: Angah, Pak Angah, Busra, Bisri (di masa perang). Konflik utama baginya pertama-tama adalah komunikasi. Dia bingung bagaimana menunjukkan isi hatinya, orang juga bingung bagaimana berkomunikasi padanya. Bab menarik ketika Saras belajar membaca dan menulis di pekuburan sambil menggembala domba; Saras yakin, membaca dan menulis adalah sarananya berkomunikasi, mengisi perbendaharaan batin.

AA Navis - Kemarau (1957)

Novel ini versi panjang dari cerpen "Datangnya dan Perginya" yang ditulis AA Navis dalam kumpulan cerpen "Robohnya Surau Kami". Terkait perkawinan incest satu bapak beda ibu di bab akhir2 buku. Jika di cerpen latar belakang si ayah tak dijelaskan detail, di novel ini jelas siapa namanya, bagaimana dia menghabiskan hidup setengah dari hidupnya, juga prinsipnya yang bisa kurangkum dalam kalimat, "Amar ma'ruf nahi munkar." Tokoh utamanya Sutan Dutan Duano serupa karakter "agak laen" yang sering jadi benang merah Navis dalam menciptakan tokoh: dia berbuat lain dari orang-orang kebanyakan. Seperti judul utama novel, sebuah daerah di Padang, sekitaran Bukittinggi, yang mengalami kemarau panjang. Tanah-tanah di sawah merekah, petani nyaris gagal panen. Aneka dukun pun telah dikerahkan untuk menurunkan hujan, tapi hasilnya nol. Dukun tak berhasil, baru mereka ingat Tuhan, tapi Tuhan tak bisa diatur, daerah itu terus mengalami kekeringan. Sutan Duano berinisiatif untuk mengairi sawah dengan cara mengangkut air dari danau ke sawah secara manual: diambil di danau dengan memakai alat belek pada dua ujung bambu yang diangkat di bahu--istilah Jawanya "mek banyu". Masyarakat menolak meski Sutan Duano telah mendatangi para pejabat tinggi di tingkat kampung dan nagari. 

Tentu Sutan Duano sadar, masyarakat tidak akan percaya tanpa ada bukti. Lalu dia bekerja keras, selain mengurus surau, setalah subuh sampai jam 9; lalu setelah ashar sampai magrib, menjadi waktu konsistennya mengambil air di danau untuk dialirkan ke sawahnya. Hingga akhirnya sawah itu pun menghasilkan padi. Ada satu anak yang tertarik dengan ide Sutan Duano bernama Acin, yang mengingatkan dia pada anak tunggalnya Masri (yang menikah dengan Arni, saudara tirinya dan beribu Iyah, meski akhirnya kemudian mereka cerai). Acin punya ibu bernama Gundam, seorang janda yang dicerai suami karena tak mau dimadu. Akhirnya, Sutan Duano dan Gundam setelah melewati berbagai drama yang dibuat oleh masyarakat, seperti tokoh Saniah yang iri pada Gundam dan hendak menyantetnya, tak bisa mencegah nasib baik seseorang. Yang kusuka dari tokoh Sutan adalah kesetiaannya pada prisip-prinsip hidup yang dipegangnya kuat. Dan sifat pantang menyerah, pekerja keras, dermawan, dan teladannya pada sesama.

S. Amran Tasai Djamari - Pandangan Sastrawan A. A. Navis dan Tanggapan Kritikus Terhadap Karyanya (2003)

Buku ini berisi kritik, pandangan, perspektif dari berbagai penulis dengan latar belakang yang mengulas terkait karya-karya AA Navis. Sayangnya, 90 persen lebih banyak bahas terkait cerpen Robohnya Surau Kami. Bahasan yang overload dan overrated itu sayangnya diisi dengan sangat sedikit kebaruan, atau nyaris dari pembacaan saya tak banyak sudut pandang baru. Yang menarik tentu esai-esai dari AA Navis sendiri yang ditulisnya di akhir-akhir halaman. Sebagaimana akademikus sastra, AA Navis menjabarkan dengan banyak data akan pengaruh kebudayaan Minangkabau terhadap kebudayaan Indonesia, watak sastra Minangkabau, pola karya-karya yang lahir dari penulis Minangkabau, hingga sastra Islam itu yang bagaimana sih? Di akhir-akhir halaman juga ada wawancara menarik soal mengapa AA Navis menulis biografi, tak lain karena tulisan itu untuk pembaca yang lebih luas, bukan an sich untuk orang yang sedang dia tulis. Selain itu, penggambaran sejarah dan latar belakang sejarah juga tak kalah penting. Meski begitu,  jujur yang tulisan akademis ini saya lumayan lelah membaca. Banyak konteks yang di luar area saya. Jika Navis mengatakan, tulisan yang baik adalah yang bisa membuat pembaca bertanya, "Ini kenapa begini? Ini bagaimana bisa begini"; dan tulisan buruk adalah ketika pembaca mengatakan, " Selanjutnya apa? Selanjutnya apa?"; maka ketika saya menikmati buku ini, boleh dikatakan saya cenderung ke pertanyaan, "Selanjutnya apa?" 

Joseph Murphy - How to Attract Money (1955)

Sebagaimana kata Rumi, apa yang kau cari, akan mencarimu. Buku "How to Attract Money" ini ditulis oleh mentalis/pengkaji mistisisme praktis kelahiran Irlandia dan besar di Amerika bernama Joseph Murphy. Inti dari buku ini adalah bagaimana menggunakan pikiran, baik sadar dan tidak sadar untuk menciptakan kekayaan yang tak terbatas. Murphy berkali-kali menekankan soal pola pikir (mindset) menjadi kaya itu dimulai dari dalam diri sendiri, semua kekayaan itu ada di dalam diri sendiri, sumbernya satu: Tuhan. Dari Tuhanlah kekayaan tak terbatas itu hadir, kita perlu melatih pikiran secara mindfulness untuk menjaga, merawat, dan menumbuhkan pola pikir tersebut di dalam hati, pikiran, dan jiwa dengan yakin. Murphy mengingatkan kita juga untuk jangan menjadi pendoa berwajah ganda, di mana kita yakin dengan Tuhan, tapi di sisi lain kita tidak yakin dengan apa-apa yang kita cita-citakan sendiri, karena alasan aku tak bisa ini dan tak bisa itu. Yakinlah, Tuhan adalah pilot kita, yang akan memandu kita. 

Murphy juga mengingatkan kita, ketika pikiran negatif masuk, kasi tahu dia "jangan masuk!". Sehari mungkin akan banyak, tapi lama kelamaan pikiran negatif ini akan sedikit, hilang, atau bisa kita kontrol. Buku ini sejalan dengan konsep "oneness" yang ada dalam Advaita Vedanta, tetapi pendekatannya lebih ke Kristen (bibble). Untuk menjadi kaya, orang mesti yakin, melakukan meditasi 4-5 menit dengan bicara, "Money is forever circulating freely in my life, and there is always a Divine Surplus." Lakukan berulang-ulang tapi jangan mekanis, karena itu juga tidak akan sampai, susah terwujud. Rasakan, yakini, dan percaya itu nyata. Nanti praktik dan tindakan akan mengikuti sebagaimana hukum aksi-reaksi. 

Buku ini juga banyak memberi contoh kisah orang-orang yang berhasil dan gagal karena keyakinan mereka sendiri. Termasuk yang nampak dan hilang dari kita, sebelum itu terjadi, itu sudah ada di dalam pikiran kita terlebih dahulu. Pola pikir kaya akan memproduksi kekayaan pula, atau dalam bahasa bibble, "Change water into wine." Hal lainnya, aku suka dengan bagaimana buku ini bisa mengungkapkan apa yang penulis maksudkan dengan bahasanya sendiri. Tanpa comot banyak nama, tapi kaya dengan kisah-kisah manusia dengan semua pelajarannya. Pola-pola tulisan ini juga sebagaimana aku temukan pada tulisan-tulisan Swami Vivekananda.

Kamis, 15 Agustus 2024

Catatan Film #18: Rokuhōdō Yotsuiro Biyori/Rokuhoudou Colorful Days (2022)

Serial "Rokuhōdō Yotsuiro Biyori" ini diadaptasi dari serial komik Jepang dengan judul yang sama karya Yū Shimizu. Serial ini bisa ditonton di Netflix dengan jumlah episode ada 10, per episodenya menceritakan tentang kehidupan empat tokohnya satu per satu, latar belakang mereka, dan kenapa mereka bisa sampai ke Rokuhoudou. Konsep restauran mereka unik: pakaiannya kimono dan arsitekturnya klasik. Terkadang restauran ini juga jadi tempat terapi dadakan yang menampung curhat-curhat pribadi pengunjungnya.

Tsubuki, Sui, Tokitaka, and Gure

" ろくほうどう" film, it's about the old cafe which is running by four men: Sui (expert at the tea), Tokitaka (The Chef), Tsubuki (expert at the pastry), and Gure (The Barista). They also have a cute cat named Kinako. Sui has a twin named Yakyo, he is running the big hotel in the town, but these twins get conflicts in the vision, style at works, and characters. That's a fun serial tho.  

Empat karakter cowok yang ngurus restauran Rokuhoudou ini unik-unik dan punya keahlian mereka sendiri. Yang paling dituakan dan menjadi lead-nya atau manajernya adalah Sui, si pewaris restauran dari kakeknya yang juga adalah ahli pembuat teh. Rasa teh Sui dan kakeknya mirip. Nah, masakan mereka itu boleh dibilang sempurna, dan gak ada gagalnya! Tiap kali pengunjung datang ke restauran mereka itu selalu pulang dengan wajah senang meskipun mereka datang dengan sedih; entah karena kehilangan orang tersayang, deadline pekerjaan, kesepian, dan rupa-rupa masalah manusia lainnya. Namun di sini juga anehnya, saking sempurnanya, jadi gak ada celah buat masakan-masakah yang tidak enak. Iee, ichigaimasu. 

Nah, konflik utama di serial ini tuh konflik saudara kembar, si Sui dan Yakyo. Sui ini tipe orang yang suka membuat orang lain senang, orang lain mendekatinya mudah, hatinya perasa dan peka, dan tipe orang yang people pleasing. Saking suka menolongnya si Sui ini, bahkan ketika ada orang yang tidak membayar karena pekerjaan yang dia lakukan pun, dia fine-fine aja. Saudara kembarnya si Yakyo sebaliknya. Dia serius, dingin, tidak mudah didekati, ambisius, dan perasaannya tidak peka. Jika Sui diibaratkan di kelas punya teman satu sekolahan, si Yakyo ini tak punya teman sama sekali, kecuali satu, sorang ahli perkuean. Mimpi awal Sui dan Yakyo adalah mengelola hotel bersama, tapi akhirnya mereka pecah kongsi. Karakter mereka sulit untuk disatukan dan akhirnya memilih jalan hidupnya sendiri-sendiri.

Kisah lain tentang Tokitaka yang sejak kecil yatim piatu, ditinggal sama orangtua yang meninggal dan dititipkan sama paman yang justru si paman dianggap mengeksploitasi si Tokitaka untuk bisnisnya. Ada pula si Gure, yang punya visi hidup membuat orang lain selalu tersenyum. Dia punya banyak saudara yang beda-beda ayah, hidup di jalanan, dibuang, dan dia tak mau ada orang yang menderita seperti itu lagi di sekelilingnya. Hidup Gure diselamatkan oleh secangkir kopi dari seorang barista Italia. Lalu juga ada kisah si bungsu, si Tsubuki, yang dipecat dari pastry di tempat kerja dia sebelumnya karena tidak membuat resep sebagaimana biasa, padahal itu dilakukannya untuk seorang anak yang punya alergi tertentu terhadap beberapa jenis makanan tertentu.

Semenjak nonton beberapa serial Jepang terkait makanan, aku mulai mencoba hal baru: menikmati beberapa kuliner di sekitar Jakarta yang usianya udah puluhan tahun; berkunjung ke beberapa restoran Jepang; dan coba mencari cita rasa khas masakan Indonesia. Percobaan  ini agak mirip-mirip petualangan di film "Aruna dan Lidahnya". Beberapa tempat yang aku kunjungi di antaranya: Bakmi BTT di Matraman, Nasi Gandul Sabang, RM Ampera 2 Tak Cikini, Nasi Pecel Gondangdia, sampai yang mainstream khas mal-mal di Gokana dan Maragume Udon. Dari beberapa itu, yang paling enak sejauh ini adalah Sayur Pindang Tuna, ketika ke Palembang beberapa tempo hari lalu. Kuahnya seger, campuran asem, kemangi, dan bumbu-bumbu yang kental, trus sambelnya enak ada mangga mudanya. Kesimpulan sementara yang kudapatkan: jam terbang koki dalam memasak memang mempengaruhi rasa masakan. Wkwk.  

Maybe I'll take concernly about how people eat, how the way they eat, and what they eat 😂


Aku tahu, masalah makanan adalah masalah yang sentimentil. Aku pernah berada di titik gak pengen aplod apapun di media sosial terkait makanan karena pernah kejadian aku sangat lapar, tak punya uang sama sekali, berada di kota besar, tak ingin merepotkan orang, tak pengen minta bantuan, dan isinya cuma hal gelap. Melihat ada teman yang aplod makanan membuat aku sedih kala itu, karena makanan sebegitu mahalnya untuk aku beli. Hidupku makin membaik karena akhirnya aku bisa beli makanan apapun yang aku pengen dan suka. Lalu aku menyadari perasaan ketika aku susah dulu mungkin juga berlaku untuk yang lain, tak cuma makanan, kadang prestasi, wisata, materi, dan privilege-privelege lainnya. Namun setelah aku pikir, itu adalah hal yang kekanak-kanakan. Kita tak bisa mengontrol sesuatu yang di luar kendali kita. Dan setelah aku berada di titik yang membaik ini, setidaknya aku mengingatkan ke diriku sendiri untuk jangan berlebihan, harus imbang, harus ingat masa-masa susah.

Dan, paling mudah emang ngomong いただきます di depan makanan dan minuman, sambil nonton serial Rokuhoudou Yotsuiro Biyori. Ini baru di pos pertama dah pusing, wkwk. Ya, I'm not the kind of a man who can understand and memorize fastly. But I'll try these difficulties more and more. Hai, so arigatō gozaimasu!

Catatan Film #17: The Road to Red Restaurants List (2020)

Setelah mencari genre film apa yang menarik untuk kutonton, akhirnya aku nemu serial Jepang yang tokohnya bisa merepresentasikan diriku yang introvert, suka berpetualangan, keuangan pas-pasan, dan people pleasing: "The Road to Red Restaurants List". Lewat tokohnya Tamio Suda (Takayuki Hamatsu), yang kata temanku gantengnya kurang berstandar khas yang disukai kamera TV-TV sekarang, dia tokoh yang biasa saja, berwajah pas-pasan, tapi mampu mewakili banyak orang yang punya nasib serupa. Dia seroang Bapak beranak satu. Anak perempuannya yang remaja, dan ibunya Kanae Suda (Wakana Sakai) setiap akhir pekan keluar kota untuk nonton konser boy band favoritnya, yang ada tears-tears-nya gitu.

Restauran Kokoro
Tamio ini punya tiga aturan dalam perjalanan self healing-nya: (1) dia tak mau mengajak siapa pun, (2) keuangan yang dikeluarkan tak boleh mengganggu budget bulanannya, (3) dilakukan Jumat setelah pulang kerja, hingga Sabtu malam sebelum anak dan istrinya pulang dari nonton konser. Dan perjalanan Tamio ini memberinya banyak sekali pelajaran dan tempat-tempat tak terduga. Dirangkum dalam 12 episode yang tiap episodenya sepanjang 24 menit, serial ini sumpah pelepas stress banget. Banyak makanan yang dicoba oleh Tamio dari ramen, udon, curry, dan masakan Jepang lainnya. Meskipun kalau dipikir-pikir ulang, sebenarnya jenis masakannya gak langka; hanya tempat dan orangnya saja yang langka.

Makan lagi

The Road to Red Restaurants List: serial yang bagus banget motret berbagai makanan dan tempat makan langka dan hampir punah di Jepang. Restaurant-restaurant ini dijalankan berpuluh-puluh tahun dan mayoritas udah gak ada lagi yang meneruskan. Menariknya, tiap episodenya gak cuma fokus ke makanan, tapi cerita menyentuh di baliknya, tentang hidup, mimpi, keluarga, mengelola ekspektasi, keuangan, dan indahnya pemandangan transisi kota ke desa... heartwarming scenes... Tayangan yang gak nambah stress, tapi tayangan yang bikin orang punya hati besar.

Makan
Kisah-kisah hangat itu seperti, ada kedai yang hanya dirawat oleh istri sendiri setelah suami meninggal, dia ingin keliling banyak tempat, tapi suaminya meninggal duluan dan hanya menyisakan seekor kucing. Ada pula restauran di tepi danau yang dirawat oleh suami-istri (rata-rata banyak yang dirawat suami-istri). Juga teman Tamio yang menamai Tamio sebagai Mr. Normal. Teman yang ketemu di jalan ini, Tsutomu Kaburagi (Kōji Yamamoto) punya van mewah yang enak banget buat keliling dunia pakai itu van. Ada ruang makan, ruang tidur, dll, dibuat nyaman banget. Tapi reparasinya juga lumayan, jutaan yen, yang buat istrinya marah dan pulang ke rumah orang tua. Akhirnya, lewat bantuan Tamio dia berkeinginan untuk rujuk dengan istrinya.

Lof
Berikutnya, ada pula kisah pengunjung yang tidak membayar, tapi karmanya itu dijaganya sampai belasan tahun, lalu kembali lagi. Ada kedai yang dulunya jadi tempat konser jazz, ada kedai yang dirawat seorang bapak dan dibantu anak perempuannya yang buka salon kuku. Ada kedai yang dijaga seorang kakek dengan cucunya, meski si kakek belum sepenuhnya memberi kepercayaan. Ada kedai yang ibunya setelah sakit diteruskan oleh anaknya, lalu ibu itu jadi penjaga di depan pintu. Ada kedai yang suaiminya belasan tahun gak pulang, tapi pas pulang dan menderita penyakit, si istri masih menerima. Ada kedai unik yang penuh batu. Rata-rata arsitektur restauran-restauran di sini tuh ketara banget oldish-nya, mirip dengan suasana ketika aku makan ke Bakmi Gang Kelinci di Pasar Baru.

Catatan Film #16: Detective Conan The Movie: The Million-dollar Pentagram (2024)

Aku tak ingat kapan terakhit nonton film "Conan", yang pasti ketika aku masih kecil. Di ingatanku serial Conan seperti halnya serial Doraemon yang tayang tiap hari Minggu, tapi dengan materi yang lebih berat. Aku tak yakin Conan cocok ditonton oleh anak-anak, adegan dan case yang ada melebihi kapasitas anak bahkan remaja. Seperti edisi "Detective Conan The Movie: The Million-dollar Pentagram" yang kutonton di Gajah Mada Plaza hari Minggu, 10 Agustus 2024, di CGV Grand Pramuka Jakarta. Tiket nonton seharga Rp50 ribu. Yang nonton banyak euy, dari 4 film yang tayang, ini paling banyak ditonton. Ternyata penggemar Conan di Indonesia emang masih sebanyak itu. Gosho Aoyama perlu tahu ini. Kesini setelah makan Udon Curry dan nukar tas lama dengan tas baru di ulang tahun Eversac di Gramedia Matraman.

Di film edisi Conan ini, kasus utamanya adalah memecahkan teka-teki lima pedang yang menyimpan sandi atau petunjuk tempat yang menyimpan harta karun emas yang sangat besar, yang dimiliki oleh tokoh berpengaruh di zaman Jepang (lupa era mana). Tempat ini ada hubungannya dengan sebuah dataran tinggi, semacam pegunungan yang di sana ada kuil tua, juga sebuah menara tinggi serupa Monas khas Jepang, di mana menara ini sejajar dengan balon udara dalam sebuah foto. Latar kejadiannya ada di prefektur Hakodate, Hokkaido.

Premis utama setiap film Conan satu: memecahkan teka-teki. Di sini, Conan (aka Shinichi Kudo) dibantu oleh dua detektif lain yang mengetahui latar belakang Conan, yaitu Kaito Kid dan Heiji Hattori. Heiji sendiri hendak mengikuti turnamen kendo bareng Ran Mouri dan Kazuha Toyama. Kejadian bermula ketika ditemukan mayat di tepi jalan raya, dengna tanda-tanda salib atau tanda pedang. Terus ada kertas tiket robek (yang jadi tanda-tanda pemecahan misteri), juga berlanjut ke tokoh-tokoh lain, yang serupa puzzle memberi andil dalam pemecahan pedang pentagram tersebut. Termasuk ibu Heiji yang tengah berlibur di menar Hokodate, tempat yang juga dipilih Heiji untuk mengungkapkan perasaannya pada Kazuha. Sebenarnya mereka saling suka, tinggal nunggu gongnya aja. Menara ini itu juga punya nama lain: menara sejuta dollar, karena pemandangannya yang indah ketika malam.

Sepanjang nonton film, sebenarnya dua jam gak kerasa, karena emang tipe-tipe film detektif yang baik itu bisa nyerap emosi dan perhatian penonton dengan kasus yang ditanganinya. Persahabatan Kudo, Kid, dan Heiji juga menarik. Mereka detektif yang saling melengkapi. Meski akhir film ini serupa plot twist, wkwk, karena harta yang diperebutkan memang tak ada, hanya kertas biasa yang nothing gitu. Namun, perebutan harta itu mengorbankan banyak nyawa, darah, keributan, pembakaran kota, pengeboman, hingga yang epik, perang antara Heiji dan anak pemilik dua pedang lain (calon dokter); mereka perang di sayap pesawat cuy, perang kehebatan pedang. Setelah nonton film ini jadi bisa ngambil pelajaran penting: harta karun sebenarnya itu udah ada di dirimu sendiri, bukan di luar dirimu. Di luar dirimu hanya nothingness dan suffering, untuk apa perang dan bertaruh nyawa untuk itu?!

Rabu, 14 Agustus 2024

14 Agustus 2024

Aku ingin mengonsumsi lagu-lagu, film-film, buku-buku, dan karya-karya dari kreator-kreator yang berhati dan bermoral tulus terhadap karya-karya mereka. Bukan karya-karya yang berpretensi besar di baliknya: uang, popularitas, materi, kuasa, dlsb. Karya-karya seperti itu akan merusakku, membuatku lemah, dan mengikis moral serta ketulusanku. Bagaimana aku menilainya? Kukira mudah saja, dari intuisi, getaran, feeling, dan track record kreator. Tak kalah penting, alam pun akan membisikiku.

Kamis, 08 Agustus 2024

Pengalaman Les Bahasa Jepang di Evergreen Jakarta (Part 3)

Tulisan ini lanjutan dari Part II.

Les Minggu VII - 24 Juli 2024

Pelajaran Minggu VII
Usai 1,5 bulan belajar bahasa Jepang, kukira belajar bahasa pun ada masa di mana kita merasa up, tapi juga ada masa di mana kita merasa down. Dan aku mengaku jika belajar bahasa Jepang itu susah, atau belajar bahasa apa pun itu tanpa pembelajaran yang konsisten akan susah. Di les minggu ke-VII, Sensei kami memberikan kertas ujian--yang untungnya adalah open book, dan keringanannya lagi, tes itu bisa dibawa pulang. Aku tak bisa membayangkan jika close book, mungkin hanya part tiga ketika menulis Hiragana saja yang benar-benar bisa kukuasai. Aku pun sadar, aku belum panda di menerjemahkan, yang itu artinya ada dua kemungkinan: (1) aku miskin kosa kata Jepang, (2) aku tidak menguasai grammar dengan baik. Lalu, mari kita cari akarnya kenapa ini terjadi? Sepertinya, aku kurang konsisten belajar bahasa Jepang, setidaknya mendedikasikan beberapa jam setiap hari untuk mengulik terkait Jepang.

Les Minggu VIII - 31 Juli 2024

Marugoto
Minggu ini rasanya menjadi minggu terberatku selama belajar bahasa Jepang di kelas. Turning point itu terjadi ketika membaca modul yang isinya full Hiragana, lalau Sensi menanyai kami satu-satu terkait buku itu dengan tanya-jawab. Aku merasa blank dan susah merangkai kata-kata karena dua kemungkinan di atas (kosakata dan grammar), belum keselesaikan dengan baik. Entah kenapa aku sedih dan merasa tertinggal dengan teman-temanku yang lain. Raffi-san, Steven-san, dan Aulia-san belajar dengan cepat, sementara aku seperti siput merangkak. Di sisi lain, kawan sebelahku Boim-san, dua kali berturut-turut tak masuk, dan pada minggu setelahnya pun dia tak masuk. Aku bertanya pada Bapak bagian administrasi, dan dia bilang, Boim-san tak memberi kabar. Ya, sudahlah, aku tak tahu alasannya, tapi aku berdoa kelas ini tak kehilangan anggotanya. Aku ingin menghadapi kesulitan belajar bahasa Jepang di kelas bareng-bareng. Hari ini pula, Pak Sugita Chandra, pemilik Evergreen mengirimi e-mail terkait pendidikan bahasa di Jepang--sembari bisa kerja sampingan. Sayangnya, biasa untuk sekolah dan hidup pun tak kalah cepat, aku kemudian ciut.

Les Minggu IX- 7 Agustus 2024

Cari yang seri pemahaman gak ada di Gramed

Hari ini, Sensei Jovan membagikan hasil ujian dua minggu yang lain. Nilaiku 72, ya, secara jumlah kalah sama teman di depanku Raffi-san yang bisa lebih dari 90, hampir sempurna. Kondisi ini membuatku tertekan, ketakutanku satu: aku tak bisa mengimbangi yang lain meski aku telah berusaha. Ya, aku telah berusaha belajar secara intensif. Aku juga mencari literatur belajar bahasa Jepang dari cari buku di Gramedia sampai toko buku bekas di Senen. Sampai aku kenalan sama seorang ketua sekolah sebuah Lembaga Pelatihan dan Keterampilan (LPK) Jepang di Jakarta. Beliau bercerita terkait sistem kerja ke Jepang, yang harus setidaknya lulus JLPT 5/4 untuk kerja di bagian perawatan (panti jompo), pertanian, pabrik, dlsb. Aku kenal beliau dari bapak yang jualan buku bekas di Senen.

Aku tak menyangka ternyata biaya masuk LPK besar banget, dan itu pun gak ngejamin siswanya bisa lulus JLPT 5/4 kemudian berangkat Biaya les bahasa full Senin-Jumat jam 8-4 sore selama tiga bulan sebesar 15 juta. Belum lagi administrasi, paspor, pesawat, dlsb. Karena ada kasus yang setelah diberangkatkan, bahasanya gak memadai, akhirnya si perusahaan komplain dan yang kena adalah LPK-nya, kena sanksi ini dan itu, termasuk soal pembatasan. Si Ketua LPK ini juga berseloroh, pemerintah mewajibkan keberangkatan ke Jepang hanya melalui LPK, tidak bisa dilakukan sendiri. Terus, karena usiaku juga yang udah 31, sementara rata-rata syarat di bawah 30, dia memintaku untuk cepat-cepat kalau emang mau kerja di Jepang. Aku benar-benar gak habis pikir dengan batasan usia di kantor-kantor di mana pun negaranya. 

Si Ketua LPK itu juga bilang, gaji di Jepang sekitar 15-an juta dan untuk perempuan lebih rendah dibandingkan yang laki-laki. Misal, kalau perempuan 15 juta, laki-laki 16 juta. Hal penting lainnya, dia sempat bilang, belajar bahasa Jepang jangan ada dibuat beban atau tekanan dulu, nanti malah gak masuk, karena selamat tiga bulan itu ada yang molor sampai 6, 8, 9, 12 bulan atau lebih dari itu. "Tergantung kemampuan anaknya jua," katanya. Lalu aku coba searching berbagai LPK di Jakarta, dan aku menemukan ternyata banyak. Ketika baca ulasan-ulasannya, Ya Allah, banyak LPK yang udah buruk duluan di kepalaku karena ada yang menahan gaji, ada kekerasan, ada senioritas, dlsb. Satu LPK yang menurutku bagus review-nya adalah LPK Bangkit Indonesia, dan LPK ini dapat penghargaan LPK terbaik nomor 2 di Indonesia.

Pelajaran Minggu IX
Oh iya, di minggu ini materi dan grammarnya semakin sulit. Semoga aku bisa memahaminya dan bersahabat dengannya dengan baik. Aamiin. 

Tulisan ini berlanjut ke Part IV.