Senin, 29 Juli 2024

Education of Women and Citizenship in Indonesia from State Ibuism Perspective - Annalisa Manzo, Gita Ardi Lestari, Puspita Atirennu

Tulisan ini merupakan analisis yang padat terkait bagaimana perempuan sebagai warga negara di Indonesia membentuk konsep Ibuisme Negara. Konsep ini dibuat oleh Julia Suryakusuma (2011) yang terimplementasikan di masa Orde Baru. Julia mengungkapkan, pada masa Orba, program yang dibuat untuk perempuan semuanya berpihak pada laki-laki, sekaligus juga mengglorifikasi ide-ide pemuliaan kaum perempuan. Contohnya seperti Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), menjadi program yang dibuat pemerintah sampai ke RT/RW untuk menjalankan agenda pemerintahan dengan prinsip 10 tujuan pokok PKK.

Tulisan ini menjawab pertanyaan, bagaimana perjalanan perempuan Indonesia meraih kewarganegaraannya melalui peran keperempuanan, khususnya dalam hal pendidikan. Tulisan ini bisa dieksplorasi lebih, terkait para penulis yang mengkritik realitas perempuan menghadapi image Ibuisme Negara yang disampaikan oleh Julia Suryakusuma dalam tesisnya.

Aktivisme perempuan di Indonesia tergolong rumit jika dilihat hanya dari satu perspektif. Sejak masa kolonial, perempuan masih menjadi objek karena sistem patriarki yang masih terjadi, laki-laki cenderung mendapatkan kesempatan lebih daripada perempuan. Dalam sejarahnya, seperti terjadi pada RA Kartini, bagaimana ia berjuang untuk pendidikan sehingga menciptakan pertumbuhan di masyarakat. Inklusivitas dan pilihan untuk berkembang lebih seperti menjadi sesuatu yang mahal bagi perempuan Indonesia untuk mendapatkan pengetahuan.

Hal ini sebagaimana diungkap oleh Elizabeth Martyn (2005), pergerakan perempuan Indonesia modern berhubungan dengan gerakan nasionalis. Untuk memahami gerakan perempuan Indonesia tahun 1950an, bisa dilihat dari warisan era penjajahan. Laporan sejarah pergerakan perempuan sering dihubungkan melalui akarnya di abad 19 saat melawan pemerintahan Belanda. Para perempuan tidak mengejar program bagi hak mereka (dan tak bisa), tetapi mereka menunjukkan perempuan bisa melakukan peran-peran publik. Meskipun akar-akar gerakan tidak bersandar pada perjuangan anti-kolonial, tetapi kelas-kelas perempuan terdidik yang muncul di awal abad 20, mulai menganalisis kondisi masyarakat mereka dalam hal status dan perlakukan yang tidak setara terhadap perempuan.

Pandangan tersebut menunjukkan bahwa sejarah membentuk cara berpikir yang cukup laten. Indonesia di masa sekarang menghadapi ketidaksetaraan nyata dalam pergerakan perempuan. Tidak hanya dalam penciptaan citra perempuan di publik, bahkan untuk kebebasan berpikir, perempuan harus menghadapi tantangan dari masyarakat di sekitarnya.

Artikulasi gerakan perempuan di fase awal berhubungan dengan gerakan RA Kartini, yang dianggap sebagai pioner emansipasi perempuan Indonesia. Susan Blackburn (2004) mengungkapkan, ayah Kartini yang seorang priyayi di Jepara mengizinkan anaknya untuk menempuh pendidikan sekolah Belanda. Meski di masa pubernya, si anak tetap menjalankan tradisi priyayi di lingkup rumah tangga, termasuk juga jaminan keperawanan bagi mereka yang mau menikah.

Ketika Kartini membela diri untuk pendidikan, dengan menjalin pula persahabatan melalui surat dengan temannya di Belanda, dia mengharapkan adanya pendidikan yang setara bagi para perempuan Jawa. Dia melihat adanya kebutuhan pendidikan bagi para anak-anak perempuan bangsawan, dan pendidikan ini juga potensial diberikan pada perempuan-perempuan lain, termasuk para istri dan ibu. Surat-surat Kartini pada sahabatnya ini mengkampanyekan sekolah bagi perempuan di masa penjajahan.

Meskipun dia merekognisi kebutuhan aksi kolektif untuk perubahan sosial, dia tidak mendirikan organisasi pergerakan perempuan. Surat-suratnya menjadi warisannya dalam gerakan. Kartini melihat pendidikan, pernikahan, dan pekerjaan merupakan isu-isu penting yang dihadapi perempuan. Isu-isu ini berdampak bagi perempuan di kelas, wilayah, dan kelompok etnis lainnya tak hanya Jawa. Saat ini, ada kebijakan pemerintah Indonesia yang membuka pendidikan bagi perempuan.

Blackburn (2004) menekankan peran Kartini dan aktivitasnya dalam bagaimana perempuan dilihat oleh negara. Dengan latar ekonomi dan kebutuhan dasar yang sama dengan laki-laki, perempuan biasanya diletakkan di belakang dalam sistem negara, dengan kurangnya akses terhadap kesempatan. Kemudian, ketika citra perempuan dilihat lebih besar, muncullah perilaku memajukan perempuan.

Negara modern telah memainkan peran besar dalam penyediaan pendidikan, dalam hal ini sekolah. Sebelum ada pemerintahan penjajah, perempuan Indonesia dididik secara informal, diawasi oleh orangtua mereka yang menginginkan mereka hidup dengan layak ketika menjadi istri atau dalam kehidupan pernikahan. Perempuan kemudian menikah di umur yang muda, lebih awal dari usianya. Meskipun sekolah telah ada, sekolah cenderung diberikan untuk laki-laki, jarang ada perempuan yang datang. Sebagian pendidikan ini dikelola oleh kelompok keagamaan dan dipimpin oleh laki-laki.

Dengan kondisi itu dapat dikatakan, pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin berhubungan dengan perubahan pendidikan. Laki-laki diharapkan menjadi tulang keluarga dengan melakukan kerja formal, dan peran perempuan dibatasi sebagai istri dan ibu rumah tangga. Fakta ini membuat akses perempuan bagi pendidikan tinggi, pekerjaan, dan kesempatan lainnya lebih terancam dibandingkan dengan laki-laki.

Susan Blackburn (2004) melanjutkan, munculnya pengajuan dari para perempuan yang menekankan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan, dan cara argumen-argumen yang disusul sebagian besar mencerminkan perbedaan kelas di antara para perempuan. Tiga pengajuan datang dari para perempuan yang berasal dari keluarga kerajaan di Jawa Tengah, yang disebut sebagai Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta.

Ketiganya mengakui bahwa tujuan mendidik anak perempuan dari kelas yang berbeda harus berbeda. Pendidikan kejuruan meskipun relevan bagi anak perempuan dari kelas bawah yang diharapkan bisa menghasilkan pendapatan sendiri, tidak penting bagi istri bangsawan yang hidupnya terbatas. Kontributor perempuan priyayi dari kelas bawah lebih blak-blakan dalam beberapa hal, tetapi dalam hal lain mereka menggemakan pandangan kelas menengah Belanda pada masa itu dan dengan jelas memperhatikan kebutuhan minoritas perempuan itu dalam lingkungan sosial mereka sendiri.

Pandangan yang paling menarik dan terus terang diungkapkan oleh tiga perempuan yang telah mengukir kehidupan mandiri untuk diri mereka sendiri: Jarisah (seorang bidan dari Bandung), Raden Dewi Sartika (kepala sekolah anak perempuan di Bandung), dan Raden Ayu Siti Sundari (editor jurnal perempuan Jawa).

Sejarah perempuan di Indonesia sebagian besar bermula dari Jawa. Hal ini karena Jawa menunjukkan perkembangan paling pesat pada masa kolonial. Pada saat yang sama, perempuan Jawa harus menghadapi tantangan nyata di masyarakat tentang kepatutan perempuan, apakah perempuan dapat meninggalkan keluarga untuk sekolah atau bekerja, atau hanya melakukan peran domestik di rumah. Indonesia telah lama berjuang untuk pendidikan sebagai cara elit untuk 'dilihat' sebagai subjek dalam kehidupan nyata.

Perempuan menghadapi tantangan nyata di negara ketika datang untuk pengakuan. Dalam perspektif sosial, perempuan juga menghadapi citra yang lebih keras karena risiko tinggi kepatutan atas nama sopan santun di masyarakat. Seperti yang dikatakan Julia dalam Ibuisme Negara bahwa Indonesia harus lebih berupaya untuk memberantas patriarki dan hierarki dalam sistem dan benar-benar memperhitungkan pengakuan perempuan di ruang publik.

Sebagai kesimpulan, penulis ingin mengemukakan bahwa sejak awal, perempuan di Indonesia menghadapi subordinasi ganda. Cynthia Enloe (2000) menyatakan bahwa personal bersifat global dan global bersifat gender adalah benar adanya. Setiap perempuan mengalami masalah yang hampir sama, yaitu keperempuanan mereka menghalangi mereka untuk menjadi bagian dari dunia nyata. Keperemupuanan dan identitas dipertanyakan, sementara perempuan juga harus berjuang untuk mengikuti agenda yang diciptakan laki-laki di dunia. Dalam metode gender, kesetaraan dipandang sebagai cara ideal bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berbagi peran mereka dalam kehidupan sosial.

Tanpa pendidikan yang baik dan benar, kesetaraan yang harus dimiliki perempuan sulit untuk dicapai. Dengan demikian, para penulis tidak melihat adanya perbedaan yang besar tentang peran perempuan dari masa kolonial dan masa sekarang. Perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan yang sama dalam rentang waktu yang berbeda. Blackwood (2005) dalam tulisannya bahkan menguraikan hambatan lain yang dialami perempuan di Indonesia, yaitu seksualitas. Berbicara tentang hambatan, perempuan tidak pernah selesai dengan satu hambatan sementara hambatan lain datang silih berganti. Citra mengasuh perempuan menjadi salah satu hambatan tersulit yang dialami perempuan. Sementara itu, dunia semakin terjerumus ke dalam patriarki dan memantapkan hierarkinya untuk menantang perempuan, sehingga perempuan harus berjuang lebih kuat.

 

ABSTRAK:

Istilah “Ibuisme” menciptakan pandangan bahwa negara mempunyai hierarki dan patriarki dalam sistem, khususnya di masa Orde Baru. Paradigma aktivisme perempuan diciptakan oleh laki-laki, dengan laki-laki sebagai pemimpin di dalam struktur, yang sebenarnya menciptakan kerugian daripada perbaikan. Tulisan ini mengkritik dan mengelaborasi kisah perempuan di masa penjajahan yang melawan untuk mendapatkan kesempatan pendidikan, bahkan setelah kemerdekaan. Hasil yang didapat dari penelitian ini berdasarkan literatur menunjukkan tidak ada perbedaan yang besar tentang peran perempuan sebelum dan setelah masa penjajahan. Perempuan di Indonesia masih menghadapi tantangan yang sama dalam timeline yang berbeda. Meskipun ada pembangunan dan kesadaran akan pendidikan meningkat, tetapi masih banyak isu dalam masyarakat yang seringkali mempertanyakan perempuan-perempuan yang memiliki sekolah atau bekerja. Sekarang ini, meskipun partisipasi perempuan bertambah semakin banyak di berbagai sektor seperti politik, terkadang hanya jalan untuk mengisi partisipasi partai untuk memperoleh suara lebih.

Manzo, Annalisa, Gita Ardi Lestari, and Puspita Atirennu. "Education of Women and Citizenship in Indonesia from State Ibuism Perspective." The Role of Identity in Politics (2019): 35.

Link: https://scholar.google.co.id/citations?view_op=view_citation&hl=id&user=FjfjUpQAAAAJ&citation_for_view=FjfjUpQAAAAJ:u-x6o8ySG0sC

#annalisamanzo #gitaardilestari #puspitaatirennu #ibuisme #perempuan #women #indonesia #education #state

PROFIL:

Annalisa Manzo, lulusan University of Naples “L’Orientale”, Naples, Italia. Dia memiliki ketertarikan di bidang  Linguistik, Sastra Indonesia, Studi Budaya, dan Studi Gender. Saat ini bekerja di Associazione Italia Asean.

Gita Ardi Lestari, lulusan S1 Unair dan S2 Universitas Indonesia (UI) di bidang Hubungan Internasional, dengan ketertarikan di studi sosiolegal, studi gender, dan feminisme. Saat ini menjadi Tenaga Pendidik Fakultas Hukum UI.

Puspita Atirennu, lulusan Sarjana UI dan Master dari Saint Petersburg University, Saint Petersburg, Rusia. Penerjemah bahasa Rusia yang berpengalaman dengan rekam jejak kerja yang terbukti dalam bidang penerjemahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar