Rabu, 24 Juli 2024

Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot - Tania Murray Li

Diskursus terkait masyarakat adat berkembang di Indonesia di akhir masa pemerintahan Orde Baru (Orba). Sistem politik baru saat ini kemudian membuka ruang untuk merefleksikan kembali bagaimana masyarakat adat atau suku di Indonesia dibayangkan, siapa yang kemungkinan menempatinya, dan apa dampaknya.

Di masa rezim Soeharto, ada pandangan bahwa masyarakat Indonesia ini tidak ada yang disebut sebagai masyarakat adat, atau semuanya masyarakat adat. Ada dua kategori yang dibuat ILO: masyarakat adat dan suku, konvensi ini tidak sejalan dengan sistem hukum di Indonesia atau pengakuan daerah suku.

Motto Bhinneka Tunggal Ika yang terepresentasi di TMII menunjukkan batas perbedaan budaya Indonesia, ketika upaya pembangunan banyak menimbulkan serangan bagi masyarakat yang terpencil dan tertinggal.

Hasrat pembangunan ini dibuktikan oleh masyarakat pedesaan melalui permohonan pembangunan saluran irigasi pada kantor-kantor resmi.

Para aktivis nasional dan donor internasional memprotes bagaimana hak-hak masyarakat adat dihilangkan, dan diromantisasi primitivitas mereka sebagai golongan orang miskin yang menginginkan kemajuan sebagaimana orang Indonesia umumnya.

Dalam artikel ini, Tania Li menggunakan perspektif komparatif (perbandingan) dalam penyelidikannya. Tania mengambil studi kasus di dua lokasi di perbukitan dalam Sulawesi Tengah. Dua lokasi ini ditinggali oleh masyarakat yang sama: para petani yang berpindah-pindah dengan sekelompok keluarga yang terorganisasi, yang terancam oleh perompak, dan terkadang ada permusuhan antar-tetangga. Termasuk tekanan dan ketidakstabilan jual-beli yang berkontribusi pada hubungan dan kekuatan di pesisir.

Saat ini, salah satu daerah ini ditinggali oleh sekelompok petani Kristen yang makmur, terliterasi, yang memproduksi tanaman padi dan kopi, dengan anak-anak yang bekerja di pemerintahan, berbicara bahasa nasional. Sementara di lokasi satunya menganggap norma berpindah-pindah, perumahan dan nutrisi yang buruk, penghidupan dan kesehatan yang rentan itu sebagai sesuatu yang biasa.

Namun di lokasi sebelumnya—Danau Lindu—menjadi kolektif, identitas adat yang persuasif. Konteks berikutnya merupakan artikulasi kampanye nasional dan internasional yang menentang pembangunan pembangkit listrik tenaga air di danau, dengan mempertimbangkan akar sejarah di dalamnya.

Sementara itu di wilayah Lauje, berkebalikannya, tak satu pun mempertanyakan para petani bukit merupakan penduduk asli tanah mereka, kekhususan identitas mereka belum dibuat eksplisit, juga tidak berfungsi untuk menggabungkan proyek-proyek lokal dengan proyek-proyek nasional atau global.

Perbandingan dua lokasi ini menimbulkan masalah politik. Salah satu pandangan yang tak mengejutkan, masyarakat adat hanyalah produk gagasan impor yang dibuat oleh imajinasi NGO. Kontrasnya dua wilayah ini berdampak pada artikulasi identitas adat di Lindu yang telah diadopsi secara strategis—oportunistik dan tidak autentik.

Penyebutan “penemuan tradisi” juga memunculkan risiko yang sama. Diskusi akademik terkait identitas etnik membingkai dalam istilah yang individualis, yang mempromosikan pergantian “aktor” atau persilangan batas pada akhirnya, pertanyaan terkait identitas didekati dengan istilah konsumen, sebagai masalah seleksi optimal.

Problem yang sama bersumber dari pandangan lainnya adalah posisi teoritis yang memungkinkan seseorang atau kelompok lainnya adalah menderita dari perspektif yang salah: Lindu memungkinkan artikulasi posisi suku daripada seseorang yang mendefinisikannya dalam istilah kelas, atau Lauje untuk kegagalan permanen mereka memobilisasi semua.

Artikel ini bertujuan untuk membuat pendekatan alternatif terhadap pertanyaan terkait keadatan, yang secara teoritis lebih dari cukup untuk menggambarkan kondisi keberagaman dan perjuangan pedalaman Indonesia; dan menegaskan risiko politik dan peluang yang ditimbulkan oleh framing tertentu.

Tania menggunakan istilah “adat/pribumi” dan “suku” secara bergantian dalam diskusi umumnya, sambil menarik perhatian nuansa dalam penerapan istilah-istilah ini dan makna yang ditimbulkannya dalam konteks tertentu. Karena alasan sejarah dan struktur sosial, sebagaimana pendapat Kingsbury, antropolog tidak menggunakan istilah “suku” untuk merujuk pada Indonesia. Sementara bagi masyarakat Asia, istilah “masyarakat adat” dibingkai dalam konteks koloni bagi pemukiman kulit putih.

Tania berargumen, identifikasi diri suatu kelompok sebagai suku atau penduduk asli tidaklah alamiah atau tidak dapat dihindari, tetapi juga tidak diciptakan, diadopsi, dan dipaksakan. Dia lebih merupakan “suatu penentuan posisi” yang mengacu pada praktik-praktik yang sudah terendap secara historis, lanskap, dan repertoar makna, serta muncul melalui pola-pola tertentu yang melibatkan perjuangan.

Situasi di mana orang datang dan mengidentifikasi diri sebagai masyarakat adat, memperlihatkan cara mereka berhubungan dengan pemerintah di dalam artikulasi budaya dan politik. Konjungtur lain yang mempunyai resonansi yang berbeda tak kalah politisnya. Seperti masyarakat Lauje saat ini tidak melihat diri mereka termasuk dalam kelompok “masyarakat adat”, tapi masih tetap terlibat dalam bentuk kekuasaan yang rutin dan sehari-hari.

Salah satu risiko dari pelabelan masyarakat adat yaitu, beberapa lokasi dan situasi di pedesaan menjadi tempat yang diistimewakan, agenda lokal diidentifikasi dan didukung, sementara yang lain diabaikan

Konsep artikulasi dan positioning yang Tania pakai menggunakan teori dari Stuart Hall. Lalu dia menggambarkan bidang-bidang kekuasaan yang mendasari terbentuknya wacana masyarakat adat di Indonesia. Tania mengeksplorasi proses historis dan kontemporer dalam pembentukan identitas kolektif di dua wilayah studi. Tania mencari alasan mengapa wacana mengenai masyarakat adat hanya terjadi di satu tempat, tetapi tidak di tempat lain. Terakhir, Tania menunjukkan apa yang dipertaruhkan masyarakat adat ini bagi mereka yang menempati wilayah kesukuan, dan bagi mereka yang mendukung pembangunan pemerintah.

Menurut Stuart Hall, “artikulasi” memiliki makna ganda sebagai proses membuat identitas kolektif, posisi, atau serangkaian kepentingan menjadi eksplisit, dan menggabungkan posisi tersebut dengan subjek tertentu. Apa yang disebut kesatuan merupakan artikulasi yang berbeda, serta dapat diartikulasikan kembali dengan cara yang berbeda-beda, karena mereka tidak mempunyai “rasa memiliki” yang diperlukan.

Teori artikulasi adalah keduanya merupakan cara memahami bagaimana unsur-unsur ideologis muncul dalam kondisi tertentu dalam sebuah wacana, serta bagaimana hal itu diartikulasikan pada situasi tertentu dan pada subjek politik tertentu.

Hal ini memampukan kita untuk berpikir bagaimana sebuah ideologi memberdayakan masyarakat, memungkinkan mereka untuk mulai memahami situasi sejarah mereka, tanpa mengurangi bentuk-bentuk kejelasan tersebut terhadap kondisi sosio-ekonomi, lokasi kelas, atau posisi sosial mereka.

Konsep artikulasi berguna untuk menangkap dualitas posisi yang menempatkan batas-batas yang memisahkan yang dalam dan yang luar, sekaligus memilih konstelasi elemen yang mencirikan apa yang ada di dalam. Hal ini menunjukkan juga bahwa artikulasi, identitas kolektif, posisi bersama, dan kepentingan bersama harus selalu dilihat sebagai sesuatu yang sementara.

Identitas budaya menurut Hall (1990), “berasal dari suatu tempat, mempunyai sejarah, tapi jauh dari kata badai yang ditetapkan di masa lalu, mereka tunduk pada ‘permainan’ sejarah, budaya, dan kekuasaan yang berkelanjutan.” Dan ini bukan menunjukkan esensi, tetapi menunjukkan “positioning”.

Potongan positioning inilah yang membuat makna menjadi mungkin, penutupannya bersifat arbitrer dan kontingen, bukan alami dan permanen. Fitur ini menjadikan setiap artikulasi menjadi rumit, bisa diperdebatkan, dan tunduk pada artikulasi ulang. Artikulasi juga dibatasi dan ditentukan oleh bidang kekuasaan atau “tempat pengakuan” yang disediakan oleh pihak lain (Hall, 1995). Dari korespondensi yang diperlukan antara posisi sosial atau kelas dan wacana yang melaluinya, Hall bergerak melampaui kesadaran palsu. Konsep artikulasi demikian waspada terhadap ketidakrataan konjungtur dan kondisi kemungkinan, tapi tidak menawarkan resep sederhana untuk menilai tingkat determinasi atau titik-titik di mana pemahaman sehari-hari dapat dicapai, dan mempraktikannya ke dalam taktik yang dipilih secara sadar.

Daripada fokus pada dilema identitas subjek individual, Hall lebih memperhatikan artikulasi-artikulasi yang berpotensi mendefinisikan konstelasi luas kepentingan-kepentingan yang sama dan selaras, dan memobilisasi kekuatan-kekuatan sosial di seluruh wilayah dengan spektrum luas.

Penyederhanaan dan stereotip merupakan ciri khas dalam memahami suatu ruang simbolik dan material dari garis depan suatu negara, ruang yang berada di ujung tombak ekspansi kapitalis dan kontrol teritorial negara.

Pemerintah Orba mengklasifikasikan secara sepihak ada sekitar 2 juta masyarakat pedesaan Indonesia sebagai “terasing dan terisolasi”. Program pun dirancang untuk “memberadabkan” suku-suku yang ditafsirkan secara negatif. Identitas etnis, suku, kekhasan budaya, mata pencaharian, ikatan kuno dengan tempat tinggal dianggap sebagai suatu masalah; disebut sebagai bentuk ketertutupan pikiran dan defisit pembangunan yang harus diatasi oleh pemerintah. Program pemukiman, relokasi lahan, dan dimobilisasi untuk berbagai kepentingan.

Di sisi lain, para aktivis memanfaatkan argumen, idiom, dan gambaran yang diberikan oleh gerakan hak-hak masyarakat adat internasional, terkait hidup yang ramah lingkungan, kebijaksanaan yang unik dan berharga, dan dikontekstualisasikan dalam perjuangan tertentu. Tujuan mereka membalikkan penilaian negatif yang diberikan pemerintah terhadap tradisi masyarakat suku, dan mempertahankan tradisi tersebut.

Seorang aktivis menjelaskan, “Adat itu dinamis. Selama masyarakat lokal mengelola tanah dan sumber dayanya dengan baik, mereka dapat dikatakan sudah mempunyai hak untuk mengelola sistem kepemilikan adat.”

Di imajinasi populer barat yang diberi makan oleh National Geographic, suku-suku pada dasarnya terikat, merupakan kelompok yang berbeda secara budaya, menepati daerah yang kontinu secara spasial, dan biasanya terpencil. Ketika suku atau batas-batas etnis ditandai dengan jelas, biasanya dapat ditelusuri secara spesifik sejarah konfrontasi dan keterlibatan.

Suku Lauje, saat penelitian ini diterbitkan, berjumlah sekitar 30 ribu. Mereka menempati daerah perbukitan dan jalur pantai sempit semenanjung di sebelah utara Teluk Tomini. Menurut catatan Nourse (1989) tentang sejarah lokal, kebanyakan orang Lauje tinggal di perbukitan karena takut akan dirampok oleh bajak laut. Lauje yang pindah ke pantai pada abad 19, membentuk diri mereka sebagai kelas bangsawan, menikah dengan pedagang dari Bugis, Mandar, dan Gorontalo. Para bangsawannya bersifat pendiam dan mudah terkooptasi, sehingga tak menimbulkan ancaman bagi kekuasaan. Mereka juga punya banyak kepercayaan dan praktik spiritual berkaitan dengan nenek moyang, tapi lebih digambarkan sebagai urusan pribadi dan keluarga, bukan keyakinan seluruh dusun. Sejauh ini, belum ada konjungtur, konteks, lokasi, peristiwa, atau pertemuan, di mana masyarakat pegunungan Lauje mengartikulasikan posisi kolektif sebagai masyarakat adat.

Hubungan dengan Lindu atau tempat lain mana pun di Indonesia harus dianggap sebagai suatu pencapaian, hasil yang tak terduga dari karya artikulasi budaya dan politik yang melaluinya pengetahuan dan identitas masyarakat adat dieksplisitkan, aliansi terbentuk, dan menjadi perhatian media. Menurut Acciaioli (1989), wilayah Lindu ditaklukkan oleh Belanda, para petani bukit tersebar (berjumlah sekitar 600), terpaksa membentuk tiga pemukiman terkonsentrasi di samping danau. Perjuangan demikian memberi rangsangan untuk mengartikulasikan (memilah, merumuskan, dan menyampaikan) seperangkat aturan adat Lindu yang harus diakui oleh pihak luar—proses yang pada gilirannya mengolah kembali makna dan substansi pengetahuan Lindu.

Namun tercatat pula, masyarakat Lindu tidaklah miskin. Mereka punya taraf hidup yang memadai, meskipun tidak mewah, mereka puas dengan nasib mereka. Pada tahun 1992, ketika kampanye Lindu sedang berlangsung, sebuah konservasi internasional (LSM) menggambarkan populasi di banyak desa yang berbatasan dengan taman nasional, beragam secara etnis, dengan campuran masyarakat lokal, tradisional, dan pendatang baru. Masyarakat suku memiliki ikatan kuno dengan hutan atau memiliki kearifan lingkungan yang unik.

Setiap artikulasi adalah sebuah tindakan kreatif, tapi tidak pernah merupakan penciptaan ex nihilo, melainkan sebuah seleksi dan pengartikulasian ulang elemen-elemen yang terstruktur melalui keterlibatan sebelumnya. Sebagaimana yang diungkap Hall, tunduk pada kontestasi, ketidakpastian, risiko, dan kemungkinan artikulasi ulang di masa depan.

Penelitian Tania di Danau Lindu dan perbukitan Lauje bisa menggambarkan dengan baik saluran-saluran yang tidak seimbang yang dilalui pihak luar untuk terhubung ke yang lokal.

Kemungkinan untuk melakukan penelitian, menulis, dan perhubungan juga memiliki efek politik yang nyata. Tania memprotes bahwa perhatian lebih harus diberikan kepada orang Lauje dan orang-orang seperti mereka, sebagai konteks historis makna dan tindakan yang lebih halus dari cara kerja kekuasaan, biasanya drama-drama di Lindulah yang menangkap imajinasi pembaca tulisan ini dalam draf awal. Laporan Tania tentang Lauje lebih bernuansa, tapi juga lebih kabur, samar-samar, kurang mudah dipahami dan dibaca oleh orang luar untuk mencari tempat kesukuan.

Banyak pencitraan, pencitraan tandingan, intervensi, dan penemuan yang diproduksi secara lokal hanya mendapat sedikit perhatian di kancah global karena adanya hubungan kekuasaan yang timpang dalam proses representasi.

Sebagaimana pengamatan Hall, artikulasi yang paling penting lebih dari sekedar “memotong” kelompok lokal mana yang memosisikan diri mereka, untuk berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas. Seperti halnya kelompok yang terlokalisasi, sebuah gerakan sosial juga perlu memilih isu-isu dari skala yang lebih luas jika ingin memosisikan diri dan membangun aliansi.

Visi yang lebih luas yang dibingkai oleh wacana mengenai masyarakat adat telah menjadi upaya untuk mengolah kembali makna demokrasi, kewarganegaraan, dan pembangunan. Ini adalah visi yang dapat mencakup Lauje, Lindu, dan jutaan masyarakat pedesaan lain di Indonesia.

Refleksi sinis masyarakat Lauje adalah hasil pengalaman puluhan tahun dengan keserakahan, ketidakmampuan, dan ketidakpedulian pejabat, atau dalam skala luas, negara.

Li, Tania Murray. "Articulating indigenous identity in Indonesia: Resource politics and the tribal slot." Comparative studies in society and history 42.1 (2000): 149-179.

Link: https://www.cambridge.org/core/journals/comparative-studies-in-society-and-history/article/abs/articulating-indigenous-identity-in-indonesia-resource-politics-and-the-tribal-slot/B29DF276077F42F44CCCA6F3CE5B622A

#60daysofindonesianisscholars #taniamurrayli #indigenous #tribal #society #history #comparativestudies

PROFIL:

Tania Murray Li merupakan Profesor Antropologi di Universitas Toronto. Dia menyelesaikan pendidikan BA (1981) dan Ph.D (1987) di Universitas Cambridge. Berbagai kajiannya berkaitan dengan perburuhan, pembangunan, kapitalisme, serta politik dan masyarakat adat dengan fokus khusus Indonesia. Dirinya membuka dialog penelitian dari lintas scholars dan bidang, seperti geografi, perencanaan, hukum, studi lingkungan. Beberapa buku Tania di antaranya: “The Will to Improve”, “Transforming the Indonesian Uplands”, “Kisah Kebun Terakhir”, hingga “Hidup Bersama Raksasa” yang ditulisnya bersama Pujo Semedi. Tulisan lainnya bisa dibaca pula di website: https://www.taniali.org/

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar