Selasa, 23 Juli 2024

Guru Sejati - Catatan Retret IV Vedanta di Taman Rempoa

Bismillahirrahmanirrahim  - بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Menulis terkait Vedanta selalu sentimental buat saya, selalu bisa membuat saya menangis, Vedanta membawa saya kembali kepada hakiki saya sebagai manusia, bukan hanya diri saya yang fana ini, tapi juga adalah diri saya yang sejati. Diri Sejati yang agung, luhur, dan tak terbatas. Saya juga tak tahu kenapa, tapi aliran kasih yang diberikan oleh orang-orang Vedanta begitu mengalir untuk saya, sesuatu yang kering saya dapatkan di keluarga, di sekolah, di tempat kerja, di banyak tempat saya berpijak yang sebagian besar hanya berisi ilusi, menjauhkan saya pada Diri, yang membuat saya terombang-ambing menderita tanpa kasih. Terima kasih Vedanta, terima kasih IVS, terima kasih Tuhan, terima kasih Ya Allah.

Hari 1:

Retret Vedanta Hari Pertama
Ini adalah cerita saya mengikuti retret Vedanta yang keempat kalinya, di Rumah Tante Chika dan keluarga di Taman Rempoa. Tempat ini tempat pertama juga saya mengenal IVS Indonesia. Sabtu, 20 Juli 2024, Jakarta sangat cerah. Shraddha Ma mengirimi saya pesan WA, "Assalamualaikum, Isma good morning. Kesini yuk pagian , bfast ama Bagus dkk😌💛💛💛💛😌". Saya menjawab, "Waalaikumsalam wr. wb, saya masih mengerjakan tugas Shraddha Ma. Mungkin bisa sampai sana jam 9. 🙏" Shraddha Ma, "😌 Di tunggu ya. Ada Roti 😌"; Saya, "Baik."; Shraddha Ma, "Hati2 di jalan Isma. Tuhan berkati."; Saya, "Siap Shraddha Ma."

Setelah mengerjakan beberapa hal yang harus saya kerjakan, saya berangkat ke tempat retret. Hari itu Google Map membawa saya ke jalur yang berbeda dari perjalanan saya yang pertama, karena saya masuk di lorong-lorong urban kota dengan geografi yang naik turun, mengingatkan saya dengan jalan-jalan sempit dan kecil saat tinggal di Semarang, saya juga sempat kebablasan, tapi setelah saya ubah map ke mode jalan kaki, akhirnya jalan menuju Rumah Tante Chika sudah saya ingat dengan jelas kembali. Patokannya ada Indomart sebelum gate perumahan. Perjalanan dari kos di Petojo, Jakarta Pusat, ke tempat acara sekitar 48 menit, berangkat sekitar 08.20 WIB dan sampai 09.03 WIB.

Usai memakirkan motor di bawah pohon, saya menuju teras rumah Tante Chika yang teduh, sejuk, dan udaranya segar. Bagus yang mengenakan kemeja warna biru langit menyambut saya, "Hai Mbak Isma," sapanya. Tak lama kemudian, Oliv dari UK datang, warna pakainnya serupa dengan Bagus, biru langit, warna kesukaan saya. Bagus memperkenalkan saya dengan Oliv sebagai singer, lulusan Royal College of Art, London, UK. 

"You can talk about music with her," ujar Bagus pada Oliv.

Akhirnya saya dan Oliv duduk sebelahan, kami ngobrol sebentar (aksen British Oliv mayan kental, jadi saya dengarkan dengan hati-hati untuk menangkap artinya). Kami kemudian ngobrol bukan tentang musik, tapi tentang geografi dia tinggal di mana, di Jakarta berapa lama, dan tentang Vedanta, apa yang saya rasakan setelah belajar Vedanta? Yang saya rangkum jawabannya menjadi satu kata, "Peaceful." Tak lama kemudian, peserta lainnya datang. Ada seorang ibu berwajah cerah dan teduh bernama Bu Rita, dia jauh-jauh datang dari Cirebon untuk membina diri secara spiritual. Kami ngobrol pula terkait Kota Cirebon, karena saya pernah dinas ke kota pesisir dan rumah bagi makam Sunan Gunung Djati tersebut. Bu Rita mengenal Shraddha Ma dari tayangan Ngaji Roso, dia bilang ke saya mengidolakan Shraddha Ma.

Lalu, datang pula Bapak Kris mengenakan pakaian putih dan berkacamata. Rumah beliau masih di sekitaran Jakarta juga, tapi saya lupa tepatnya di mana. Beliau seorang seeker pula, seorang pribadi yang tak henti-hentinya membina diri menjadi makhluk Tuhan yang lebih baik. Lalu satu per satu peserta datang dan kami pun masuk ke living room Rumah Tante Chika. Tim IVS mengatakan, acara akan dimulai tepat pukul sepuluh pagi, sembari menunggu peserta yang lain, kami pun duduk meditasi. Pagi itu, saya merasa bermeditasi lebih khusyuk, selama sekitar sebulan tak bertemu IVS, jujur saya disibukkan oleh berbagai pekerjaan dunia yang membuat saya susah berhenti, walau hanya sekejap untuk menenangkan diri dan hening. Moment hening menjadi hal yang langka di dunia modern seperti sekarang ini. Pagi itu, saya bermeditasi dan tak terasa saya menangis, entah mengapa saya pagi itu takut kembali ke diri saya yang lama, Isma yang lama, Isma yang disibukkan dengan yang ilusi.

Penjelasan Ustad Hasan
Pak Pur membuka acara pada pagi hari itu, Tante Chika membaca doa Surat Al-Fatihah, kemudian dilanjutkan dengan penjelasan materi dari Ustad Hasan terkait empat jalam merealisasikan Tuhan. Materi ini pernah saya dengar pula dari Tante Chika saat retret di Rumah Bu Julia di Bandung, pagi ini Ustad Hasan memperjelasnya. Jadi ada empat jalan self-realization melalui yoga (union with God):

1. Jnana Yoga: Atau baca Gyana Yoga, atau jalan pengetahuan (ज्ञान). Jalan ini dilakukan oleh orang-orang yang cenderung suka belajar, intelektualnya tinggi, sering meragukan (skeptis) akan banyak hal, tidak langsung mempercayai fakta/argumen secara mentah-mentah. Ciri orang-orang di golongan ini, dia suka membaca dan menganalisis. Jnana ini perlu dibuktikan, juga perlu menyaksikan banyak hal. Meskipun ada jebakan di Jnana, yaitu: Apa yang dipelajari, dipercayai, atau diyakini dianggap sebagai kebenaran final, padahal bukan.

2. Raja Yoga: Jalan meditasi. Yoga berarti power, atau kekuatan/energi. Kalau dasar dari energi ini berasal dari Tuhan, dari oneness, maka kekuatannya tidak akan habis-habis. Dia pasti memiliki energi kreatif yang besar. Pengalaman saya juga ketika wawancara dengan salah seorang seniman, kata dia yang saya ingat, orang yang hatinya kotor itu susah berkarya yang inspiratif, hanya orang yang hatinya bersih saja yang bisa berkarya secara total. Dalam Islam, ada ungkapan, "walaquwata illabillah hil aliyil adzim", yang berarti, "Tidak ada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan dari Allah SWT yang maha tinggi lagi maha agung."

3. Karma Yoga: Jalan kerja tanpa pamrih. Karma sendiri berarti action atau kerja. Namun, ketika kerja ini diletakkan pada ego, maka jadinya adalah beban, pekerjaan akan menjadi penghambat. Padahal diri ini kalau disadari benar-benar, bukanlah pelaku, "I am not the doer." Namun, Tuhan itulah yang memberi kita kekuatan sehingga bisa bekerja. Sebab itu, awali semua pekerjaan dengan menyebut nama Dia. Ketika berbelok melupakan-Nya, dengan embel-embel yang tidak murni, maka pekerjaan itu akan patah dan berhenti di tengah jalan.

4. Bhakti Yoga: Jalan pengabdian/jalan cinta. Cinta di sini adalah cinta yang murni, cinta yang tulus, yang muncul ketika kita mudah terhubung dengan Dia yang Maha Cinta. Bahkan ada ungkapan dari Rumi, "Kalau cinta itu hadir, pena-pena itu patah," sebab tak bisa melukiskan Dia yang Maha Cinta.

Usai materi dari Ustad Hasan, acara berikutnya adalah meditasi nidra, meditasi tidur, berterima kasih pada tubuh yang telah sehat dan kuat. Dilanjutkan dengan Ishoma. Makan bersama makanan vegetarian, ada capcay, bihun goreng, bakwan jagung, sambal, dan kerupuk, juga ada jajanan dan buah-buah. 

Setelah itu, acara dilanjutkan dengan materi dari my young brother, Ahmad Bagus Nur Akbar, dia menyampaikan materi berkaitan dengan "guru". Shraddha Ma memberi pengantar, di dalam spiritualitas, umur kadang tidak relevan, spiritualitas tidak dilihat dari panjang hidup atau fisik, tapi dari seberapa kuat kita terhubung kepada-Nya. Bagus ini saat masih umur 20 tahun mengikuti retret naik motor, hujan lebat, dia diserang hambatan bertubi-tubi tapi dia masih berjalan. Alam menyeleksi melalui hambatan-hambatan, dan berikan kabar gembira pada mereka yang bersabar. Shraddha Ma juga bercerita tentang Agung dan Ayu, tim IVS dari Bali, peserta paling muda, yang pencarian spiritualitasnya dimulai dari umur belasan.

Bagus menjelaskan, Vedanta berfokus pada realisasi Tuhan (God realization). Ini adalah manifestasi tertinggi. Vedanta membuat setiap manusia jadi baik dan bijaksana, dia serupa metode yang memberi seseorang teknik dan cara, tanpa membuat seseorang mengganti agama. Vedanta menguatkan keagamaan seseorang, jika dia Islam, maka dia akan jadi Islam yang baik. Atau jika dia beragama Kristen/Katolik/Hindu/Buddha/Konghucu/aliran kepercayaan lainnya; maka ia akan menjadi umat Kristen/Katolik/Hindu/Buddha/Konghucu/aliran kepercayaan yang baik pula. 

Bagus melanjutkan, kebanyakan hidup manusia 99% energinya digunakan untuk memikirkan diri yang berkedok, "saya yang begini, saya yang begitu." Bagaimana orang lain melihat dirinya, bukan bagaimana Tuhan melihat dirinya. Kalau diibaratkan, seperti jendela yang menutup diri, sehingga sinar matahari dan udara tak bisa masuk, sesak, gelap, dan menderita (sadar/tidak sadar). Manusia sering menangis karena dunia, karena kehilangan harta, karena kehilangan pacar, karena-karena lain, menangis untuk dunia adalah sesuatu yang rendah.

Lalu, Bagus memberikan ilustrasi juga, terkait tiga orang di dekat sungai yang tengah mencari air. Tiga orang tersebut sibuk berdebat tentang nama-nama air: orang Jawa keukeuh air itu "banyu", orang Spanyol ngotot air itu "aqua", orang Inggris haqul yaqin air itu "water". Sibuk meributkan nama, mereka lupa yang dicari itu satu, "air", dengan ratusan nama-nama lainnya. Akhirnya, ketiga orang ini tidak menemukan apa itu air, malah ada seekor sapi yang lewat, yang justru minum air tersebut. 

Ilustrasi lain, orang selain silau dengan nama, juga silau dengan warna dan bentuk, seperti kisah bunglon. Ketika di hutan dan hinggap di dedaunan, dia berubah menjadi hijau, menyerupai bentuknya dengan daun. Jika bunglon hinggap di batang pohon yang cokelat, dia berubah warnanya jadi cokelat dan bentuknya coba melebur dengan batang cokelat tersebut. Begitu seterusnya, bunglon bisa berubah warna menjadi kuning, krem, biru, sampai hitam. Hakikat yang sebenarnya adalah "bunglon" itu sendiri, dan orang terkecoh dengan warna-warnanya, membeda-bedakannya. 

Begitupun dengan cerita orang naik gunung, tujuannya adalah mencapai puncak gunung. Untuk mencapainya bisa dari berbagai jalan dan jalur (yang ini diibaratkan sebagai agama), tapi orang saling menyalahkan jalan yang lain bahkan dirinya sendiri belum mencapai puncak, saling berebut kebenaran, dan melupakan kebenaran itu sendiri.

Ada empat elemen hidup yang membuat orang bisa menderita atau merdeka:

1. Kama/Desire: Elemen perut ke bawah, atau aspek kebinatangan kita, dari kenikmatan terhadap makanan/minuman hingga seks.

2. Artha/Security: Aspek keamanan yang terdiri dari rumah, uang, tempat tinggal, harga benda.

3. Dharma/Guidance: Berkaitan dengan etik, moral (yang baik dan benar), agama, yang disepakati oleh masyarakat.

4. Mokhsa/Liberation: Aspek kebebasan, kita sudah tak terpengaruh lagi oleh kama, artha, dharma, tapi melampaui semuanya, melampaui baik dan buruk. Vedanta fokus di sini.

Kama, artha, dharma memiliki tiga sifat: terbatas, berubah, dan bisa menjadi candu. Dia juga bisa hilang dalam sekejap mata, di tiga aspek inilah tempatnya penderitaan (sufferring). Tiga ini pula yang menyebabkan orang menjadi egois (selfish) kemudian memunculkan kebencian, iri, dengki, dendam pada yang lain. Ketika seseorang mencapai moksha, maka tiga lainnya akan terkontrol. Mokhsa ini melampui baik dan buruk, dia bijaksana.

Lanjut Bagus, untuk mencapai kondisi mokhsa ini, kita butuh orang yang berpengalaman atau seorang guru. Guru ini berasal dari kata "gu" yang berarti kegelapan "ru" yang berarti penghapus, guru adalah penghapus kegelapan, orang yang tercerahkan. Guru ini ada dua jenis: (1) guru yang "manifest" dalam bentuk manusia; dan (2) guru yang "unmanifest" yang bukan dalam bentuk manusia, yang mengajari kita selama 24 jam, dengan bentuk yang bemacam-macam, termasuk belajar dari alam, pengalaman, dlsb. Termasuk di dalam situasi-situasi sulit, guru unmanifest ini bisa mengajari kita, bahkan cacing bisa menjadi guru, meski dia tak punya tulang, tapi dia bisa melembutkan kerasnya tanah. Juga bisa belajar dari rumput, yang ketika terkena badai pun dia tak terpengaruh.

Bagus menegaskan, bersama guru yang manifest (guru yang punya tubuh), perkembangan spiritual bisa tumbuh dengan cepat. Kalau bersama guru unmanifest ini butuh waktu lama dan kepekaan/intelek tinggi, serta punya attiude pembelajar yang tinggi pula. Guru yang manifest di IVS adalah Bhagavan dari India. 

Lanjut Bagus, seorang guru juga orang yang spontanious, yang ilmunya mengalir secara natural karena telah mengalami, bukan dengan teori-teori rumit yang ndakik-ndakik dan tak pernah dialami. Guru sejati juga sederhana dan simple, yang membuat muridnya menjadi independen (bebas), bukan malah dependen (tergantung). Guru yang membuat dependen bukan guru--naasnya di kenyataan banyak sekali guru yang membuat murid jadi tergantung, orang yang mengaku-aku sebagai guru dan merugikan secara materi, emosi, dan psikologi.

Guru sejati tidak bisa dicari, tapi dia akan datang sendiri jika seseorang benar-benar "membutuhkan". Seperti Oliv, ketika banyak anak-anak pintar bermimpi pergi sekolah ke Inggris untuk mencari "kama, artha, dharma"; Oliv malah pergi ke Bali, belajar dari negara Timur/Selatan untuk mencari "liberasi". Siapa yang mendorongnya? Ada peran guru sejati di sana, yang seberapa pun jauh dan besar hambatannya akan dilalui.

Bersama guru sejati, bahkan duduk di sampingnya saja kita bisa merasakan efeknya. Bahkan diamnya saja, dia memberi pelajaran. Tugas guru adalah membuat diri kita perang dengan diri sendiri, bukan perang dengan orang lain. Orang yang bisa menaklukan diri sendiri ini disebut juga "Maharaj". Sebab semakin tinggi ego, maka semakin tinggi pula penderitaan. Guru juga melakukan testing pada muridnya untuk menghilangkan keakuan (yang kalau gak ada "aku" gak akan begini). Sementara, orang yang egonya minim akan lebih mendahulukan orang lain.

Setelah Bagus selesai menyampaikan materi terkait guru, lalu ada sharing dari tim IVS terkait perjumpaan mereka dengan guru. Semisal dari Bu Aini yang datang jauh-jauh dari Singapura untuk mengikuti retret. Bu Aini bertemu Bhagavan tahun 2015. Guru bagi Bu Aini telah berjasa di dalam bagaimana mengubah pemikiran, mengawal emosi, menjadi lebih baik, yang lebih menampakkan ketenangan. Ketenangan dari hati ini akan nampak keluar. Satu hal yang membuat saya terkesan pula dari sharing Bu Aini, "Semua masalah taruh di ujung jari." Hati hanya untuk Tuhan, darinya cinta dan kasih yang tulus bersumber. Guru ini beyond words, mendalam, dan perlu dialami sendiri.

Kemudian, ada sharing dari Mas Andi dari Sulawesi dan sekarang tinggak di Kemayoran terkait guru. Dia menggambarkan, pengalaman bertemu guru itu seperti diri yang plung, tenggelam, kemudian guru menariknya. Ada keheningan di sana, tidak ada apa-apa, dan jika terjadi apa-apa kembali ke guru. Ia juga mengilustrasikan dengan balon yang terbang, kebebasan semacam itu. Pun dengan memeluk guru, beban seperti terangkat.

Sharing berikutnya dari Pak Pur. Beliau bercerita, pada Oktober 2019 dirinya bergabung dengan IVS. Ada seorang penyanyi yang membawanya pada pencarian sejati, kemudian ikut retret Vedanta, bersama Shraddha Ma dan dua swamiji. Vedanta membuatnya seperti berada di titik nol lagi, dia belajar buku-buku Vedanta, juga belajar di YouTube terkait konsep oneness. Pada bulan Desember, Bhagavan datang ke Indonesia, dengan diikuti oleh rombongan devotees seluruh dunia. Di usia Bhagawan yang saat itu hampir mencapai 80, dengan kesehatan yang terbatas, wajah yang damai, masih menyempatkan diri menyebar kasih. 

Pak Pur lalu menceritakan masa kecil Bhagavan, bagaimana pada umur 13 tahun, Bhagavan naik kereta India yang penuh manusia semacam itu, yang berdesak-desakkan hingga ada yang di atas kereta menggantungkan nyawa di sana. Bhagavan di kereta itu membawa air, memberinya pada penumpang. "Welas asih itu esensi Vedanta. Memikirkan orang lain itu kelihatan sederhana, tapi kalau kamu gak selesai dengan diri sendiri, itu sulit," ungkapnya.

Kisah lain Pak Pur bersama Bhagavan saat di Bali, ketika beliau ingin naik perahu, saat itu Bhagavan ingin mengajarkan terkait laut yang tak terbatas, berhadapan dengan riak-riak gelombang. Pertemuan Pak Pur lainnya ketika akhir Covid-19, semacam menjadi perjalanan mission imposible dia datang ke India, takut tidak mendapatkan visa, ternyata bisa mendapatkan. Di sana, Pak Pur mengamati kehidupan Bhagavan, bagaimana dia tinggal di gang tengah pasar, hidup sangat sederhana, dan menikmati hidup saat ini (present moment). Hanya duduk di depan kamar Bhagavan saja sudah kerasa efeknya. Bhagavan dari amatannya telah sampai di tahap "mokhsa", kebutuhan duniawi sudah tidak relevan baginya.

Oliv

Pada retret pertama ini selain ada solat jamaah dzuhur dan ashar bersama, juga ada menyanyi bersama diiringi permainan organ oleh Kang Ashliy, yang punya passion di bidang musik tradisi pula. Berbagai lagu-lagu untuk Tuhan kami nyanyikan bersama, di antaranya lagu-lagu berjudul "Tuhan" dari Bimbo, "Imagine" dari John Lennon, "My Heart Will Go On" dari Celine Dion yang dinyanyikan Oliv, "True Colors" dari Phil Collins yang dinyanyikan Oliv dan Diva (putri Tante Chika), "Can't Help Falling in Love" dari Elvis Presley yang dinyanyikan Bapak Teguh, ada juga lagu rohani gereja yang dinyanyikan Ibu Eni, tapi saya tak tahu judulnya. Menyanyi bersama ini meningkatkan kebersamaan dan cinta kasih. Tak lupa lagu mars Vedanta berjudul "I am", begini liriknya:

I am the light of my soul

I am, I am the light of my soul

I am, I am, I am-3x

    You are the light of my soul

    You are, you are the light of my soul

    You are, you are, you are-3x

We are the light of the world

We are, we are the light of the world

We are, we are, we are-3x

Selain itu juga ada sesi tanya jawab dari peserta retret. Seperti Mbak Ika yang sharing terkait pengalamannya bermeditasi. Mbak Ika sudah melakukan praktik meditasi, tapi meditasi hening, ketika meditasi sambil menyebut nama Tuhan, seperti "Yesus, Yesus, Yesus", menurutnya malah mereduksi Tuhan itu sendiri, dirinya mengaku menemukan Tuhan ketika hening. 

Shraddha Ma lalu menjawab, jika dalam kondisi hening sudah menemukan Tuhan itu tidak apa-apa, tidak ada paksaan untuk menyebut/menghadirkan Tuhan dalam diri, semua punya caranya sendiri. Hanya, Shraddha Ma menjelaskan, "Om", "Tuhan", "Allah" menjadi nama yang terbatas tapi mencerminkan yang tak terbatas, suatu nama yang menceriman Dia yang tak bernama. Nama Tuhan itu sebagai simbol, konsep tertinggi, yang memanggilnya butuh ketulusan, saringan dari sekian konsep yang menyelimuti pikiran. Frekuensi pikiran menarik energi tertentu. Ada intelek (ego) yang menghalangi kita. Terlebih bagi seseorang yang Jnana-nya aktif seperti Mbak Ika yang suka membaca buku.

Shraddha Ma mengilustrasikan, ketika seseorang sakit kepala, akan ada yang memberi panadol. Tapi orang yang Jnana-nya aktif, dia tak akan langsung percaya dengan menelan panadol begitu saja. Akan ada pertanyaan, ini panadol dari mana? Dibuat di negara mana? dlsb yang merujuk pada penyelidikan diri (self-enquiry) yang datang dari intelek kita.

Hal ini pula yang dipertanyakan oleh Swami Vivekananda ketika berguru pada Sri Ramakrishna. Vivekandanda bertanya pada Ramakrishna setelah pencariannya pada guru-guru palsu, "Apakah kamu sudah melihat Tuhan dan mengalami Tuhan?" Lalu, Ramakrishna menjawab, "Aku lebih jelas melihat Tuhan daripada melihat kamu." Omongan Ramakrishna ini diucapkan dengan energi sendiri, yang membuat Vivekananda percaya dan mau menjadi murid.

Termasuk juga terkait attitude di dalam mendalami ilmu. Ini diibaratkan Shraddha Ma dalam sebuah kisah seorang penggali sumur. Ketika dia jadi penggali dan menggali 1 meter tak menemukan sumber, dia beralih ke tanah lain; tak ketemu lagi dengan kedalaman tertentu, dia beralih lagi, beralih lagi, beralih terus, yang menjadikannya tak menemukan apa yang dia cari sebenarnya. Seorang pembelajar harus setia dan mempercayai proses hingga menemukan yang menjadi tujuannya.

Ustad Hasan menambahkan dari pengalamannya, intelek ini tajam memang, tapi kosong, sebagaimana orang-orang yang bergumul dengan filsafat dan pengetahuan yang berkecenderungan menjadi ateis, mereka cerdas tapi kering, butuh emosi yang bisa dipenuhi dengan cinta. Ketika seseorang dipenuhi energi cinta, maka keinginannya hanya ingin dekat dengan apa yang dicintainya. Ustad Hasan sadar, ketika Tuhan didekati dengan Jnana atau pikiran/intelek ternyata lebih melelahkan dibandingkan didekati dengan hati, "Memang hening, tapi capek," katanya. Lalu Ustad Hasan mengingat moment-moment dipeluk Tuhan yang melibatkan emosi dan perasaan, menjangkarkan hati pada Tuhan, dan cinta itu pun hadir. 

"Sebagaimana yang dikatakan Al-Quran, jika disebut nama Tuhan, hati itu bergetar. Cinta itu efektif. Kalau IVS kehilangan cinta, Bhagavan bilang bubarkan saja. Jembatan kita terhadap semuanya itu cinta," jelas Ustad Hasan. The only solution of humanity and everything is love. Rahasia pembinaan diri adalah hati lebih tenang, dipenuhi cinta

Ada pula sharing dari Pak Kris, pernah berada dalam kondisi stroke dan mengalami kecemasan yang tak terkontrol. Namun dia berdoa pada Tuhan, pada Yesus untuk menolongnya, dan seperti ada cahaya dan sesuatu yang membisikinya, dia harus kembali pulih untuk keluarga. Ada pula cerita dari Bu Itoh, yang awalnya mengalami kesulitan dalam bermeditasi karena ada gambaran-gambaran yang menakutkan, setelah berusaha, dia merasakan cinta Allah pula. "Allah akan membimbing kita kalau kita cari, fokus ke dalam," cerita Bu Itoh.

Retret hari ini ditutup dengan meditasi duduk bersama. Shraddha Ma mengingatkan, meditasi itu bukan memeditasikan tubuh, tapi memeditasikan jiwa/mental, meditasi itu fokus ke hati. Meditasi itu kualitas, bukan kuantitas. Lakukan dengan tulus dan ikhlas, lakukan tanpa motif, sebagaimana Tuhan yang tak pernah meminta apa pun kembali. Lakukan peleburan dengan Tuhan. ❤️

Hari 2:

Retret Vedanta Hari Kedua
Hari kedua retret, Minggu, 21 Juli 2024, menjadi hari yang spesial karena bertepatan dengan Hari Guru Purnima 2024 (गुरुपूर्णिमा) atau perayaan untuk memberi penghormatan kepada guru spiritual. Disebut pula Hari Inspirasi dan Pencerahan Spiritual. 

Minggu pagi itu, saya sampai di Taman Rempoa sekitar pukul 09.30 WIB. Pagi itu sama cerahnya dengan kemarin, meskipun ketika hendak berangkat pukul 08.20 WIB, motor saya macet, tidak bisa distrarter. Akhirnya saya tuntun motor Mio merah tua itu ke tempat tongkrongan (semacam gardu) Bapak-Bapak kompleks yang berjarak sekitar 250 meter. Saya sebenarnya gak enak minta tolong, intelek (budhi) saya menolak merepoti orang lain, tapi saya butuh. Akhirnya saya luluhkah ego saya, saya pakai hati saja, minta tolong bukan hal yang salah, karena di permesinan saya memang tak tahu apa-apa. 

Ada sekitar lima orang Bapak-Bapak sedang cangkruk. Akhirnya, lagi-lagi, Bapak-Bapak di sana berbaik hati menolong saya. Salah seorang di antaranya men-starter manual, membersihkan asap di dalam yang hitam, hingga memberi saya masukan untuk perbaikan motor selanjutnya. Terima kasih pak-bapak.

Sesampainya di Rumah Tante Chika, ternyata para peserta sudah banyak yang datang tepat waktu. Hari kedua juga banyak wajah-wajah baru yang saya lihat, termasuk Mas Ayas, peserta yang saya kenal sebelumnya ketika retret di tempat Pak Pur, di dekat TMP Cikutra Bandung. Setelah dibuka dengan pembacaan doa dan Surat Al-Fatihah oleh Mbak Novi, acara dilanjutkan dengan materi lanjutan terkait empat jalur realisasi Tuhan oleh Ustad Hasan. Mengulang sedikit materi di hari pertama, ada empat cara lebur dengan Yang Sejati, sebagaimana tujuan dari spiritualitas, merealisasikan Diri yang Sejati: Jnana Yoga, Raja Yoga, Kharma Yoga, dan Bhakti Yoga. 

Ustad Hasan menekankan, Allah ini sebagai anchor (jangkar). Cinta pada Ilahi (Divine Love) yang murni akan membawa kita pada liberasi, keluasan. Namun sebaliknya, ketika cinta ketambahan ego yang tidak murni, maka jadinya adalah penjara dan kesempitan, membawa orang pada penderitaan. Untuk membebaskan kita dari penderitaan ini, Ustad Hasan menjelaskannya melalui ilustrasi katak di dalam sumur dan katak dari samudra.

Katak yang terbiasa hidup nyaman di dalam sumur dan tak pernah keluar dari zona amannya akan menganggap sumur itulah kerajaannya yang tak tertangguhkan. Suatu hari si katak sumur ini mendapat tamu katak samudra yang memiliki keluasan, nyemplung ke sumur tersebut. Katak samudra pun kaget dari dunia dia yang luas dan bebas, berada di tempat yang bau, gelap, penuh kotoran, tapi katak sumur menganggap, "Ini kerajaan terkeren sedunia." Katak sumur tak terima dan meminta katak samudra menunjukkan hal yang lebih keren dari tempatnya. 

Katak samudra tidak bisa karena katak sumur tak mau membuka diri. Katak sumur juga merasa nyanyiannya paling keren meski hanya "tang-tung-tang-tung", tapi katak samudra bisa bernyanyi yang lain dari sekadar itu. Nah, inti dari cerita ini, ada beberapa karakter agar seseorang bisa keluar dari penderitaannya, atau yang disebut sebagai sikap pembelajar, yaitu: mau membuka diri (silaturahmi), menghargai perbedaan, chanting, dan melebur dengan komunitas/kemanusiaan.

Sharing dari Ustad Hasan juga ditambah dengan nyanyian dari Shraddha Ma yang menyanyi lagu "Suci Dalam Debu" dari grup musik asal Malaysia bernama Iklim. Shraddha Ma bercerita, lagu ini ia dengar dari para kuli setelah usai bekerja, bermain dengan gitar mereka. Para kuli ini mengartikan lagu ini sebagai lagu putus cinta dan sedih, tapi bagi Shraddha Ma tidak, lagu ini bercerita terkait kisah seorang hamba pada Tuhannya. Begini lirik penggelannya, 

"Cinta bukan hanya di mata
Cinta hadir di dalam jiwa
Biarlah salah di mata mereka
Biar perbezaan terlihat antara kita
Ku harapkan kau kan terima
Walau dipandang hina
Namun hakikat cinta kita
Kita yang rasa..."

Lalu, sesi dilanjutkan dengan nyanyian dari Oliv. Penyanyi opera pengisi OST serial Lord of The Rings ini menyanyikan lagu "Gayatri Mantra". Ya Allah, sebelum mengenal Vedanta, lagu ini sering saya dengarkan pula di Spotify, saya gak tahu artinya, tapi rasanya damai. Lagu ini merupakan doa permohonan kepada Tuhan untuk menuju pada sumber kehidupan, sumber segala cahaya, kesadaran murni yang tak terbatas. Gayatri Mantra juga disebut sebagai ibunya mantra, begini bunyi dan artinya: "Om bhur bhuva svaha, tat savitur varenyam, bhargo devasya dhiiimahi, dhi yo yonah prachodayat." (Ya Tuhan Pencipta tiga loka ini. Engkau adalah sumber segala cahaya, sumber kehidupan. Pancarkan pada budhi nurani ini, Sinar-Mu yang maha suci.)

Acara kemudian dilanjutkan dengan Ishoma, solat dzuhur bersama dan makan siang dengan lontong sayur, kentang balado, dan kerupuk. Makan yang nikmat sekali siang itu, ada juga jajanan dan buah-buahan.

Sesi siang diisi dengan lanjutan sharing terkait guru dari Bagus, materi ini sekaligus juga dalam rangka memperingati Hari Guru Purnima 2024, purnamanya guru. Bagus menjelaskan, hubungan murid ke guru bukan sekadar aku belajar sama dia saja, tapi lebih tinggi di tataran spiritualitas, hati ke hati. Guru membawa pada pemurnian pikiran, hidup di saat ini, menyadarkan diri kita tak terbatas, diri kita damai, diri kita suci. Guru juga menjadi role model, yang mengajarkan tanpa kata-kata, karena tindakan dan ucapannya satu. 

Guru menjadi penuntun, seperti halnya seorang anak kecil yang dituntun menyeberang jalan oleh ibunya, yang perilakunya bisa kita kopi. Meski demikian, mengkopi ini tak sembarang mengkopi, kita kalah dengan mesin foto kopi jika hanya mengkopi, tetapi juga menjadi sesuatu yang baru, yang bahkan bisa melebihi guru itu sendiri. Ada satu kualitas penting lain yang perlu dimiliki murid, yaitu "obey" atau patuh. Kalau dalam tradisi Islam ada istilah "samikna wa athokna" (kami mendengar dan kami taat). Bagus menceritakan pula seorang murid Bhagavan yang diminta duduk di kursi Bhagavan, tapi sang murid tidak mau karena segan/tidak enak. Inti dari kisah ini, kita harus patuh, kalau disuruh guru, dia berarti sudah yakin dengan kemampuan muridnya.

Bagus juga membagi kondisi intelek seseorang dalam tiga bentuk. Ada yang inteleknya seperti batu, yang susah untuk dibuka. Ada pula yang inteleknya seperti karet, dia ketika ditusuk memang ada bekasnya, tapi setelah itu mental, atau masuk kuping kiri, keluar kuping kanan. Nah, intelek terakhir ini seperti garam, dia memang padat, tapi ketika dilemparkan ke laut, dia melebur bersama air menjadi garam.

Ikatan yang kuat dengan guru akan memunculkan "spiritual emotion" yang bisa dirintis dengan melakukan pelayanan terhadap guru atau yang disebut sheva. Berkah guru akan membawa kita untuk menuju Tuhan. Relasi murid ke guru itu seperti relasi pergi ke tukang cukur, guru membersihkan apa yang berlebihan dan merapikan apa yang berantakan di rambut atau jiwa/pikiran/hati kita. Bagus menegaskan, "Kita tak bisa mengubah orang lain, kita hanya bisa mengubah diri sendiri, dan merubah diri sendiri itu sudah merupakan sumbangan yang sangat besar."

Bentuk lain dari guru juga bisa kita lihat dari orang sekitar, mengabdi pada orang sekitar seperti orangtua, sebagai manifestasi dari guru, juga bisa kita lakukan.

Penjelasan materi dari Bagus

Usai Bagus menyampaikan materinya, acara dilanjutkan dengan bernyanyi, Oliv menyanyikan lagu "Make You Feel My Love" yang dipopulerkan oleh Bob Dylan dan Adele. 

Kemudian, Shraddha Ma membagi ilmu berkaitan dengan apa yang bisa kita pelajari dari alam, dari guru yang unmanifest. What I learned:

1. Bumi (earth) 🌏: endurance, ketahanan, daya tahan

2. Angin (wind) 🌪: tak memilih kemana dia berhembus

3. Langit (sky) 🌥: tak ada batas

4. Air (water) 💦: rendah hati, membersihkan apapun

5. Api (fire) 🔥: memurnikan

6. Matahari (sun) 🌞: tepat janji, tanpa pamrih, bijaksana, tak pilih kasih

7. Laut (sea) 🌊: besar dan kuat

8. Bayi/anak-anak (baby/children) 👶: suci

9. Binatang (molt) 🦋: menyadari bumi ini sementara, dunia ini mimpi panjang

10. Burung dara (pigeon) 🕊: kesetiaan

Shraddha Ma mengingatkan, apa yang kita lihat bisa menjadi guru. 

Kemudian terakhir, ada sesi sharing dari para peserta retret: Agung, Ayu, Bu Cona, Bu Lanny, Bu Euis, Pak Chairil. Mas Ahmad Zainuri, Pak Didin, Mas Ayas, Pak Widi, Pak Benno, Bu Eni, Pak Teguh, Bu Alin, Bu Denna, Bu Ema, Bu Rita, Bu Dwi, Mbak Anastasia, Rika, Wahyu Utami, Vera, Ika, Mbak Icha, Mbak Wulan.... (maaf jika ada yang belum disebut).

Beberapa cerita dan pesan yang berkesan di antaranya: 

🌻Di sesi sharing ini, salah satu peserta bernama Bu Alin menanyakan tentang penjelasan Bagus yang menjelaskan, bahkan jika guru ke neraka, kita ikut ke neraka. Menurut Bu Alin itu tidak logis, sebagai umat Katolik yang diajarkan doa-doa baik bagi Bapa kami di surga, penjelasan itu tidak benar. Lalu, Shraddha Ma pun minta maaf dan meluruskan. Apa yang dikatakan Bagus hanya bentuk ekspresinya saja kepada seorang guru, sebagai anak muda yang mencintai gurunya. Shraddha Ma juga meluruskan ini dengan cerita lain, yaitu kisah Biksu Tua dan Biksu Muda, Biksu Tua diandaikan Ustad Hasan dan Biksu muda diandaikan Bagus.

Suatu hari, Biksu Tua dan Biksu Muda hendak menyeberang sungai. Di tengah jalan, mereka melihat seorang gadis cantik yang hendak menyeberang juga. Lalu, Biksu Muda pun menolong gadis itu menyeberang, dengan memegang tangan si gadis. Si Biksu Tua pun nggrundel dan ingin marah pada Biksu Muda karena di ajaran mereka tak boleh menyentuh lawan jenis. Biksu Tua juga menganggap si Biksu Muda sudah tak murni, karena ada birahi. Akhirnya, seorang Biksu lain yang posisinya lebih tinggi serupa Paus menyampaikan pada si Biksu Tua bahwa si Biksu Muda itu memang ingin menolong, karena takut gadis itu ada apa-apa dan dia sudah ditunggu orang tuanya di rumah. Si Biksu Tua menyimpan gerundelan di hati selama tiga jam karena kesahalan Biksu Muda yang dilakukannya selama tiga menit.

"Lalu, siapa yang rugi, Biksu Muda atau Biksu Tua?" tanya Shraddha Ma.

"Biksu Tua," jawab kami bersama.

Kalau dari pespektif saya pribadi, juga cukup kaget ketika Bagus bilang kalau guru ke neraka, kita juga ikut ke neraka, tapi ini konteksnya guru yang sejati, dan guru sejati di pikiran normal saya bilang, guru sejati tak akan mengajak kita ke neraka. Menambahkan penjelasan dari Bagus juga, "neraka itu adalah ilustrasi betapa perlunya obey dengan guru sejati, sebab kata-katanyanya adalah kebenaran, dia adalah kebenaran yg menubuh."

🌻Berbicara terkait Bagus, saya ingin bercerita sedikit terkait Bagus yang sudah saya anggap seperti adik sendiri. Dulu pertama kali ketemu Bagus saat dia daftar Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Arena, saat itu saya jadi Pemimpin Redaksi (Pimred) dan bertugas untuk mewawancarainya. Awal melihat Bagus, satu hal yang kentara, sifatnya yang ingin memberontak dengan berbagai hal, terutama masyarakat. Saat itu rambut Bagus keriting gondrong yang mengembang, kayak brokoli. Sorot matanya tajam setajam kata-kata yang keluar dari ucapannya, wajahnya terlihat seperti orang ingin marah-marah, gak tenang, pakai kaos hitam, celana belel, dan yang jelas, anaknya pintar dan kritis. Ya, kualitas itu udah Arena banget sih, wkwk. Dia sebelum kuliah ke UIN Jogja jurusan Filsafat, dia juga udah kuliah di UIN Jakarta, tapi gak tahu apa yang buat dia pindah, saya lupa. Kisah hidupnya cukup complicated juga, dari keluarga hingga asmara. Ya, Bagus dengan cara dia hidup unik memang.

See, you can easily find where is Bagus :D

Well, bukan itu intinya, karena saya tak punya kesempatan untuk membersamai Bagus di Arena lebih lama, karena saya harus lulus, semester saya di Fisika udah kelebihan dua semester, dan saya sudah bertekad harus cepat lulus biar gak merepotkan orangtua. Saya hanya sesekali mengamati perkembangan Bagus dan anak-anak Arena yang baru dari media sosial mereka. Nah, Bagus ini agak beda, karena dia sering sharing di statusnya terkait spiritualitas di India, terutama terkait Vedanta dan Bhagavan (saat itu saya tak kenal mereka ini apa dan siapa). 

Dari situ, ketika saya bertemu Bagus lagi di beberapa kesempatan setelah lulus, Bagus ini menurut saya mengalami tranformasi yang besar. Hal yang paling tampak dari Bagus adalah wajahnya. Entah apa ritual atau tirakat yang dia lakukan, wajahnya jadi tenang, adem, teduh. Dia tak meledak-ledak, meletup-letup, dan ingin memberontak terhadap apa pun seperti dulu. Bagus juga ekspresif dan penuh cinta kasih. Dia membongkar patriarki dengan berani menangis untuk sang Maha Kasih. Di dekat Bagus pun rasanya juga begitu, tenang, enak diajak berpikir dan diskusi (kami sering bahas banyak tema), serta memberi perspektif lain yang menarik. Mau bilang ke Bagus sebagai kakak entah dari riwayat mana, "Lu keren Gus!" Makasih telah menularkan damai dan kesejatian ini.

🌻 Kata Shraddha Ma, ketika hati tidak ditutupi kotoran batin, dia akan menjadi "medium" kebaikan bagi orang lain. And wherever you go, this is you, our nature is holly.

🌻Meditasi kesehatan berbeda dengan meditasi spiritual. Wangi tubuh yang menguar ke luar berasal dari dalam (inner beauty). Kalau kata Shraddha Ma serupa bedak bayi, bunga asther, wangi bunga-bunga, ini wangi cinta yang tak terbatas. Ustad Hasan menambahkan, salah satu ritual Vedanta itu sering mandi, karena setelah mandi itu kondisinya satvik, segar.

Tante Chika menyanyikan lagunya
Dan... akhirnya, Vedanta hari kedua ini ditutup dengan menyanyi bersama, ada lagu "I Don't Need A Roof" dari Kate Baldwin, juga mars Vedanta, juga lagu "Imagine" dari John Lennon, oh iya, Tante Chika juga menyanyikan lagunya "PadaMu Kubersimpuh", saya suka banget sama lagu Tante Chika ini. Lalu lagu "I am" untuk guru sejati kita. Kita bernyanyi bersama-sama, memberikan cinta, kasih, dan welas asih. ❤️

Tidak ada komentar:

Posting Komentar