Kamis, 25 Juli 2024

Liberalism in Indonesia: Between Authoritarian Statism and Islamism - David Bourchier & Windu Jusuf

Meskipun terjadi erosi yang serius terhadap hak dan kebebasan selama satu dekade terakhir, transisi Indonesia dari otoritarianisme sangatlah luar biasa, tidak hanya dalam konteks Asia Tenggara, namun juga dalam dunia Islam. Setelah jatuhnya Soeharto pada tahun 1998, reformasi konstitusi secara menyeluruh menjamin sejumlah hak politik dan HAM berdasarkan Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB.

Artikel ini menanyakan, mengapa studi ideologi di Indonesia berfokus pada konservatisme, nasionalisme, komunisme, Islamisme, dan populisme, dan sangat jarang terkait liberalisme?

Secara historis jelas, karakter lemah dan tergantung dari kelas menengah Indonesia telah membatasi konstituensi bagi gagasan-gagasan liberal, tetapi juga ada faktor ideologi yang membedakan Indonesia dari beberapa kasus lain. Kata “liberalisme” memiliki konotasi negatif di Indonesia. Tak ada partai politik yang mendaku dirinya liberal dan individu yang jelas-jelas merepresentasikan dirinya sebagai pendukung liberalisme, setidaknya dalam konteks politik. Di ruang publik pun, liberalisme sering diejek sebagai budaya individualis yang secara historis melawan budaya nasional.

Namun, ketika kita melihat sejarah modern Indonesia secara keseluruhan, penyuaraan tradisi liberal memungkinkan. Berbagai figur berpengaruh di Indonesia, seperti Hatta, Natsir, Sjahrir, Sultan Hamengku Buwono, Wilopo, Sjafruddin Prawiranegara, dan Colonel Simatupang, sebagaimana yang dikatakan Herbert Feith, “mempelajari secara mendalam tradisi liberalisme dan sosialisme Eropa atau mengambil nilai-nilai serupa dari Islam modernis.... Mereka percaya pada kebebasan publik dan supremasi hukum sangatlah penting, dan banyak dari mereka memandang institusi parlemen sebagai perlindungan yang diperlukan terhadap kemungkinan berkembangnya otoritarianisme, fasisme, atau pemerintahan yang demagogis.

Di antara periode proklamasi kemerdekaan 1945-1957, saat politik formal dibuat dari dalam, dengan kerangka politik demokrasi liberal, tokoh-tokoh tersebut memainkan peran. Pembongkaran sistem demokrasi liberal pada tahun 1957, yang menyokong otoritarianisme populis Soekarno, kemudian pembangunan represifnya Soeharto selama 4 dekade, tidak berarti bahwa nilai-nilai liberal hilang.

Melihat Indonesia dari lensa liberal memungkinkan untuk membedakan aliran individu dan gerakan, termasuk pendukung Soeharto yang menyuarakan dukungan terhadap nilai-nilai liberal.

Salah satu ukuran kegigihan dan kesabaran aliran ini adalah upaya yang dilakukan oleh rezim otoriter berturut-turut untuk melawannya. Upaya propaganda di bawah Soekarno dan Soeharto secara konsisten mengidentifikasi liberalisme sebagai ancaman. Kedua presiden ini menginvestasikan sumber daya yang besar dalam membangun identitas nasional untuk menentangnya.

Indikator lain dari resiliensi gagasan liberal adalah konsensus perlawanan yang ada di kalangan gerakan reformasi tentang perlunya reformasi konstitusi secara menyeluruh untuk membatasi kekuasaan negara setelah kepemimpinan Soeharto.

David dan Windu menyelidiki bahwa meskipun norma-norma liberal telah lama menjadi bagian dari struktur hukum dan politik di Indonesia, dan telah berkembang pesat di media, kelompok penekan, dan banyak Organisasi Masyarakat Sipil lainnya, pendukung gagasan liberal tidak pernah melampaui wilayah perkotaan yang relatif kecil, kelompok elite terpelajar yang tidak memiliki basis di luar kota-kota terbesar di Indonesia.

Liberal itu sendiri telah dibatasi pilihan politik ketika mereka harus mempertahankan kepentingannya. Kemampuan buruk mereka dalam mengorganisasi, kegagalan mereka untuk menghistoriskan diri mereka sendiri untuk menumbuhkan legitimasi, dan seringnya mereka bergantung pada kelompok yang lebih kuat (termasuk negara otoriter dan aktor-aktor tidak liberal lainnya) seringkali menyulitkan untuk membedakan posisi mereka dengan pendukung mereka yang lebih terorganisir dan berkuasa.

Dalam survei David dan Windu terhadap liberalisme di Indonesia, artikel ini merupakan jawaban terhadap tantangan Michael Freeden (1978) untuk menemukan pemikiran politik “pada tingkat tindakan politik apa pun, pada tingkat kecanggihan yang berbeda”. Pendekatan ini berhubungan dengan liberalisme bukan sebagai produk latihan skolastik yang terisolasi, tapi sebagai kumpulan wacana yang muncul dari perdebatan di kalangan intelektual, reformis, negarawan, dan kelompok penekan. Beberapa laporan kontemporer juga telah melakukan pekerjaan kritis dalam menyaring tema dan konsep yang berulang dari beragam manifestasi liberalisme. Identifikasi Freeden terhadap liberalisme merupakan ideologi yang secara luas didefinisikan oleh tujuh konsep politik yang saling terkait: kebebasan, rasionalitas, individualitas, kemajuan, kemampuan bersosialisasi, kepentingan umum, dan kekuasaan yang terbatas dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini bermanfaat karena memungkinkan kita untuk melanjutkan upaya-upaya sebelumnya untuk membahas liberalisme dalam konteks lokal.

Dalam konteks Indonesia, liberalisme menurut Daniel Lev (1978), mengacu pada kecenderungan ideologis kaum liberal yang mengutamakan hak dan kepentingan pribadi; dan tuntutan mereka terhadap batasan dan kendali kelembagaan atas otoritas pemerintah. Meski liberalisme Indonesia mencakup keprihatinan liberal tradisional terhadap hak dan kebebasan serta perlindungan kelompok minoritas, liberalisme Indonesia mempunyai aksen yang kuat pada konstitusionalisme, atau apa yang disebut sebagai perjuangan untuk mewujudkan Rechsstaat (negara yang diatur berdasarkan hukum) Indonesia.

Kaum liberal Indonesia peduli dengan kebebasan negatif, liberalisme Indoensia tidak bersifat sekuler, di mana visi liberalisme politiknya memperbolehkan doktrin komprehensif termasuk agama selagi dia masuk akal dan tidak menggunakan politik untuk memaksakan pandangan mereka pada orang lain. Selain itu, hanya sedikit dari kaum liberal yang mempunyai padangan terhadap masyarakat pada dasarnya bersifat bermusuhan. Hingga saat ini, hanya sedikit dukungan publik terhadap mereka, dan kaum liberal di Indonesia cenderung tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai kelompok liberal.

Artikel ini menguraikan sejarah liberalisme di Indonesia dari sebelum kemerdekaan hingga saat ini. Termasuk gerakan-gerakan mereka, konteks politik di mana mereka beroperasi, argumen mereka, dan membantu menjelaskan kurangnya kesadaran diri terhadap tradisi liberal di Indonesia. Kaum liberal di Indonesia juga telah menunjukkan kemampuan luar biasa untuk mengabaikan penderitaan musuh-musuh komunis mereka yang dibantai atau diasingkan tanpa pengadilan tahun 1965-1967. Intoleransi terhadap Marxisme, dalam hal ini ateisme, masih berlanjut hingga saat ini. Perlakukan komprehensif terhadap liberalisme di Indonesia akan mencakup liberalisme politik dan ekonomi, namun yang menjadi fokus di sini adalah aspek politik. Namun, artikel ini juga menyinggung tiga upaya baru-baru ini untuk mempromosikan liberalisme dalam konteks agama (Jaringan Islam Liberal), ekonomi (Freedom Institute), dan politik (Partai Solidaritas Indonesia).

Ada pentingnya menjawab pertanyaan: Mengapa “liberal” menjadi kata kotor di Indonesia? David dan Windu menjawab itu dalam artikel ini, dan jawabannya terletak pada sejarah nasionalisme Indonesia. Ketika kesadaran nasional sedang muncul di Hindia-Belanda pada tahun 1920-an dan 1930-an, gagasan sayap kiri jauh lebih menarik bagi kaum nasionalis muda dibandingkan gagasan-gagasan liberal. Ini berlaku di seluruh spektrum politik, termasuk kaum nasionalis Islam. “Liberal” dalam wacana nasionalis sangat diasosiasikan dengan  liberalisme laissez-faire abad 19, yang memberi kebebasan maksimal dalam berbisnis tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat.

Dalam sejarahnya, laporan mengenai kekejaman dan praktik kerja eksploitatif dalam bisnis Belanda, yang terjadi di bawah rubrik “sistem liberal”, meningkatkan tekanan politik dalam negeri terhadap pemerintah di Den Haag untuk mengakui “hutang kehormatan” mereka kepada penduduk asli Indonesia. Maka diterapkanlah kebijakan etis dengan memberikan pendidikan Belanda pada putra-putri elite pemerintahan Indonesia. Mereka memperoleh pendidikan berkualitas tinggi yang memungkinkan mereka membaca dalam berbagai bahasa Eropa, terpapar dengan arus intelektual Eropa, dan di kalangan masyarakat Indonesia inilah nasionalisme pertama kali berakar.

Kebanyakan kaum nasionalis berargumentasi bahwa yang dibutuhkan adalah 'kohesi, integrasi, dan solidaritas – bukan “individualisme” tapi “kolektivisme”, bukan “liberalisme” tapi “sosialisme”' (Feith, 1962). Bahkan di antara elemen-elemen gerakan nasionalis Indonesia yang paling 'kebarat-baratan', liberalisme diasosiasikan, setidaknya secara retoris, dengan kapitalisme anjing-makan-anjing dan tetap demikian dalam leksikon politik Indonesia setidaknya selama setengah abad berikutnya.

Belanda diperintah oleh pemerintahan liberal pada paruh kedua abad ke-19 tetapi tidak begitu tertarik untuk menerapkan reformasi liberal yang berkembang di negara-negara jajahannya. Namun, terdapat beberapa individu yang jarang ditemui, seperti jurnalis dan aktivis politik IndoEropa Douwes Dekker, yang menulis novel Max Havelaar pada tahun 1860 yang tidak hanya membantu menyadarkan hati nurani masyarakat Belanda terhadap ketidakadilan yang dilakukan atas nama mereka namun juga dimasukkan ke dalam kritik nasionalis. sistem kolonial dan kaki tangan lokalnya. Salah satu pembacanya adalah Raden Ajeng Kartini, putri bangsawan Jawa berpendidikan Belanda yang menjadi pendukung awal nilai-nilai liberal di Indonesia. Sosiolog Barbara Celarent berpendapat bahwa Kartini adalah seorang 'liberal sejati' bukan hanya karena kontribusinya dalam pertempuran yang lebih besar namun karena kepekaan dan rasa otonomi pribadinya (2015).

Nilai-nilai liberal mempengaruhi beberapa organisasi nasionalis dan nasionalis awal yang menganjurkan representasi, pendidikan, dan kesetaraan bagi penduduk asli, namun di bidang politik, tujuan pembebasan nasional lebih diprioritaskan daripada memperjuangkan perlindungan hak dan kebebasan individu.

Di bidang kebudayaan, sekelompok penulis asal Sumatra pada tahun 1930an menonjol sebagai suara yang kuat atas apa yang mereka anggap sebagai nilai-nilai universal rasionalitas dan kebebasan individu. Dipimpin oleh pengacara Sutan Takdir Alisjahbana, kelompok ini membentuk majalah sastra bernama Pudjangga Baru yang mengecam kecenderungan sebagian besar kaum nasionalis pada saat itu untuk meromantisasi budaya Indonesia dan melihat kejayaan masa lalu sebagai inspirasi. Alisjahbana malah berupaya membangun budaya nasional di Indonesia berdasarkan hal-hal terbaik yang ditawarkan dunia modern, termasuk konsep 'sosial humanisme, hak dan martabat individu dan negara, Marxisme, teori politik demokratis, dan gagasan kemajuan.’

Namun Sutan Sjahrir, kontributor Pudjangga Baru, lah yang kemudian membuktikan dirinya sebagai pembela nilai-nilai liberal yang paling fasih dan signifikan antara masa perang dan kematiannya di pengasingan pada tahun 1966.

Salah satu tokoh paling liberal dalam sejarah politik Indonesia, kredibilitas demokrasi Sjahrir diperkuat, baik di luar negeri maupun di dalam negeri, dengan diterbitkannya pamflet Perjuangan Kita pada tahun 1945, yang mana Sjahrir memaparkan visinya tentang nasionalisme humanistik yang menyeimbangkan tuntutan pembebasan nasional. sehubungan dengan hak-hak individu dan minoritas.

Anderson (1968) mengamati bahwa kritik keras Sjahrir terhadap otoritarianisme, tuntutannya terhadap konstitusi liberal dan hak asasi manusia, sekaligus ditujukan untuk menenangkan dunia Barat dan pada saat yang sama ditujukan untuk 'meliberalisasikan masyarakat Indonesia dari . . . perbudakan kolonialisme dan “tradisi”’.

Inti dari tulisan-tulisan Sjahrir pada tahun 1950-an adalah gagasan revisionis bahwa kapitalisme dapat direformasi dari dalam, mengikuti contoh-contoh yang terjadi di Eropa pasca perang (Sjahrir, 1982). Singkatnya, 'sosialisme' diterima secara luas selama hal tersebut tidak mengganggu hak-hak istimewa yang baru diperoleh para elit nasionalis borjuis kecil.

Ketika Indonesia mencapai kemerdekaan penuh pada tahun 1949, negara ini mengadopsi konstitusi liberal. Hal yang mencolok dari perdebatan konstitusi pada pertengahan tahun 1950an adalah dukungan luas di antara perwakilan partai terpilih terhadap norma-norma demokrasi liberal. Hampir seluruh sisa-sisa liberalisme tersapu: kebebasan berpendapat, pemilihan umum, parlemen yang dipilih, independensi peradilan, dan batasan kekuasaan negara.

Para intelektual yang berpikiran liberal terus menempati posisi di universitas dan seni. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, misalnya, banyak memiliki staf lulusan yang didanai oleh Ford Foundation yang menganjurkan ekonomi pasar bebas, sementara penulis dan jurnalis liberal yang blak-blakan, Mochtar Lubis, menjadi terkenal secara internasional karena mengkritik Sukarno.  Tumbuhnya pengaruh komunis juga mendorong sekelompok penulis liberal termasuk Goenawan Mohamad dan Wiratmo Soekito mengeluarkan 'Manifesto Kebudayaan' di 1963 membela kebebasan seniman untuk 'berjuang memperbaiki kondisi manusia', namun mereka justru terpinggirkan (Jones, 2007).

Dengan terintegrasinya Indonesia ke dalam blok Barat, teori liberalisme dan modernisasi Perang Dingin memainkan peran besar dalam membentuk pandangan kaum liberal pada tahun 1960an.

Salah satu aspek yang paling menarik dari kisah ini adalah antusiasme para pelajar dan para pendukung mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah terpelajar, yang keyakinannya akan kebebasan berpendapat dan supremasi hukum akan mengidentifikasi mereka sebagai kaum liberal, terhadap pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang yang diduga komunis. Sekitar setengah juta orang komunis ditangkap dan dibunuh, dan puluhan ribu lainnya dipenjara tanpa pengadilan selama lebih dari satu dekade. Hal ini bukan satu-satunya kasus di mana kelompok liberal kelas menengah bertindak sebagai 'demokrat kontingen', berpihak pada kelompok otoriter ketika kepentingan mereka terancam (Bellin, 2000). Unsur-unsur liberal juga berperilaku serupa pada saat krisis, tidak hanya di Asia dan Afrika, namun juga di Eropa. Seperti yang ditunjukkan oleh Mazower (1999), hanya sedikit kaum liberal Eropa yang membela demokrasi ketika pemerintahan populis sayap kanan atau fasis menyebar ke seluruh benua pada tahun-tahun antar perang. 1963 membela kebebasan seniman untuk 'berjuang memperbaiki kondisi manusia', namun mereka justru terpinggirkan (Jones, 2007).

Teori modernisasi pernah membayangkan transformasi dunia menuju demokrasi liberal ala AS. Memulihkan supremasi hukum dan sistem checks and balances adalah bagian penting dari visi ini, dan banyak kaum liberal yang merasa tenang karena retorika konstitusionalis rezim Soeharto pada tahap awal.

Kaum liberal masih mempunyai pengaruh yang kuat di beberapa universitas dan penerbitan seperti Sinar Harapan, Tempo, dan Gramedia, dan menemukan jalan keluar dalam kegiatan LSM yang berfokus pada isu-isu termasuk penderitaan masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan, lingkungan hidup, perempuan, dan hak asasi manusia. Banyak di antaranya yang didanai oleh lembaga-lembaga seperti Ford Foundation, Asia Foundation, National Endowment for Democracy, dan Friedrich Naumann Stiftung, yang menggarisbawahi pentingnya jaringan global dalam membantu mempertahankan lembaga-lembaga liberal yang beroperasi di lingkungan yang tidak liberal.

Salah satu LSM dan tempat aktivisme liberal yang paling penting adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH), yang didirikan oleh Nasution, seorang pengacara berlatar belakang PSI dan pendukung awal Orde Baru. Selain memberikan keterwakilan yang bebas kepada masyarakat miskin dalam kasus-kasus penting, LBH memanfaatkan statusnya untuk mengkampanyekan  onstitusionalisme dan hak asasi manusia secara terbuka. Dengan tidak adanya politik massa, LBH memainkan peran penting dalam menciptakan budaya pembangkangan di mana perjuangan untuk Rechtsstaat menjadi fokus utama. Dengan kata lain, hal ini mempopulerkan gagasan bahwa negara harus dibatasi oleh hukum dan bahwa hak asasi manusia adalah kepentingan semua orang, apa pun ideologinya. Hal ini mendukung pengamatan bahwa 'organisasi metropolitan dengan agenda politik liberal sebenarnya dapat memberikan suatu bentuk “perlindungan” politik bagi posisi ideologis lain yang tidak mungkin maju secara mandiri.

Kenaikan BJ Habibie menjadi presiden setelah Soeharto mengundurkan diri secara paksa pada bulan Mei 1998 menyebabkan periode liberalisasi yang pesat. Penjelasan mengapa pemerintahan Habibie, dan pemerintahan Abdurrahman Wahid setelahnya, menganut liberalisasi besar-besaran perlu mempertimbangkan, pertama, bahwa dengan tidak adanya partai massa, perbedaan pendapat terhadap rezim Soeharto dipimpin oleh aktivis mahasiswa, LSM, dan aktivis mahasiswa. dan intelektual; kedua, karena terbatasnya ruang politik yang mereka miliki, para aktivis ini telah lama mengadopsi bahasa demokrasi, hak asasi manusia, dan konstitusionalisme; ketiga, adanya keinginan dari kalangan elit kosmopolitan untuk merehabilitasi reputasi Indonesia di mata internasional setelah bertahun-tahun mendapat kritik dari badan-badan hak asasi manusia, PBB, dan pemerintah, termasuk Amerika Serikat; dan keempat, rezim Soeharto sangat personalistis, dan logika internal rezim tersebut runtuh seiring dengan pengunduran dirinya.

Di sisi lain, Dengan ketertarikan yang mendalam terhadap tradisi liberal Amerika, Gus Dur memiliki komitmen yang panjang dan beralasan terhadap keyakinan liberal, baik dalam bidang agama maupun politik. Sebagai presiden, ia tidak kompeten, dengan mengasingkan hampir semua sekutu politiknya dan juga pimpinan militer, sehingga menyebabkan ia dimakzulkan pada tahun 2001. Namun, Gus Dur mendapat pujian karena berhasil memulihkan hak minoritas Tionghoa di Indonesia untuk merayakan budaya dan budaya mereka. mengambil bagian aktif dalam politik. Ia juga bertanggung jawab mendorong kelompok agama liberal untuk lebih tegas dalam melawan pengaruh kelompok Islam konservatif yang semakin besar baik dalam politik maupun masyarakat.

Salah satu upaya paling berani untuk membuka ruang bagi liberalisme di Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru adalah pembentukan Jaringan Islam Liberal (JIL) pada tahun 2001 oleh sekelompok cendekiawan muda Islam yang dipimpin oleh Ulil Abshar. Akar intelektual kelompok ini bermula dari para pemikir pluralis Muslim pada tahun 1970-an seperti Achmad Wahib, Dawam Rahardjo, Mukti Ali, dan Nurcholish Madjid. Madjid, yang meraih gelar PhD di Universitas Chicago di bawah bimbingan filsuf reformis Fazlur Rahman, mengembangkan apa yang dalam konteks Indonesia dikenal sebagai neo-modernisme, sebuah interpretasi Islam yang menganut toleransi, demokrasi, dan pluralisme.

Sebagian didorong oleh buku Liberal Islam: A Sourcebook karya Charles Kurtzman tahun 1998, yang mengumpulkan tulisan-tulisan Muslim liberal dari seluruh dunia, Ulil dan cendekiawan lain termasuk Luthfi Assyaukanie dan Budi Munawar Rahman, serta tokoh budaya liberal yang terkait dengan daerah kantong Utan Kayu. di Jakarta, memutuskan untuk meluncurkan JIL untuk berbagi ide, menerbitkan buku, dan menyebarkan gagasan bahwa Islam sejalan dengan pluralisme, negara sekuler, dan ekonomi pasar. Dalam bacaan mereka, Al-Quran dapat ditafsirkan dengan cara yang mendukung norma-norma liberal, termasuk larangan poligami, diakhirinya diskriminasi terhadap perempuan, dan pernikahan antaragama.

Ide-ide ini membuat marah para sarjana konservatif yang menganggap JIL sesat. Salah satu fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang ultra konservatif menyatakan darah Ulil halal (sah ditumpahkan) (Ichwan, 2013, 81). Fatwa penting MUI pada tahun 2005 yang mengutuk 'liberalisme, sekularisme, dan pluralisme' karena 'bertentangan dengan ajaran Islam' sebagian ditujukan kepada JIL, dan segera setelah itu memicu serangan terhadap kantor pusat organisasi tersebut oleh kelompok garis keras Front Pembela Islam (Front Pembela Islam).

Meskipun JIL menarik banyak perhatian media dan akademisi selama beberapa tahun, JIL gagal menarik banyak pengikut, dan pada tahun 2015 semuanya menghilang. Namun, hal ini berfungsi untuk menyoroti keberadaan tradisi liberal otentik dalam Islam Indonesia sejak tahun 1970an. Memang benar, salah satu klaim organisasi Muslim moderat termasuk Nahdlatul Ulama adalah bahwa Islam di Indonesia sejak awal bersifat sinkretis dan toleran. Hal inilah yang mendasari gagasan Islam Nusantara yang dipromosikan oleh pemerintahan Joko Widodo untuk mengekang pengaruh Islam di dalam negeri dan memisahkan Indonesia dari stereotip yang berkembang seputar Islam di Timur Tengah.

Freedom Institute, yang tumbuh di lingkungan Jakarta yang sama dengan JIL, dan melibatkan beberapa tokoh yang sama, adalah sebuah wadah pemikir yang didirikan untuk mempromosikan demokrasi liberal dan kebijakan pasar bebas. Meskipun JIL dipandang mewakili kekuatan liberal yang sadar diri dalam Islam di Indonesia, Freedom Institute menganjurkan doktrin ekonomi neoklasik yang dianggap tabu bahkan oleh kelompok liberal arus utama Indonesia sebagai aspek utama liberalisme.

Didirikan pada tahun 2002 oleh pakar politik Rizal Mallarangeng, Freedom Institute secara teratur menyelenggarakan diskusi publik dan seminar yang sering dikunjungi oleh para intelektual dan profesional kelas menengah perkotaan, dan menerbitkan beberapa karya penting dari kaum liberal klasik dan libertarian pasar bebas seperti Friedrich A. Hayek, Leopold von Mises, dan Frederic Bastiat. Dalam misinya membangun komunitas epistemik liberal baru, Freedom Institute bekerja sama dengan Institute of Economic Affairs dan Atlas Network, LSM Inggris dan Amerika yang mempromosikan kebijakan pasar bebas.

Dalam esainya yang provokatif pada tahun 1996 berjudul Liberalisme Milik Kiri, Sosialisme ke Kanan, Mallarangeng berargumentasi bahwa para teknokrat awal Orde Baru seperti Widjojo Nitisastro lebih progresif daripada kelompok yang memproklamirkan diri sebagai kelompok kiri seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD) karena alasan mereka, kesediaan untuk menantang ortodoksi statistik di balik pemikiran ekonomi Indonesia (Mallarangeng, 2008). Pada saat yang sama, para intelektual Freedom Institute, seperti rekan-rekan mereka di Filipina dan Malaysia, telah bersusah payah berargumentasi tentang kesesuaian liberalisme dengan konsep-konsep nasionalis, termasuk gotong royong, kemajemukan (keberagaman) Sukarno, dan prinsip-prinsip demokrasi. kemanusiaan, demokrasi, persatuan, dan toleransi yang diwujudkan dalam Pancasila. Ironisnya, sponsor terbesar Freedom Institute adalah oligarki Aburizal Bakrie, yang sulit dianggap liberal baik dari segi politik maupun ekonomi.

Karena ingin melindungi hak-hak minoritas, kelompok liberal yang dipimpin oleh Abdurrahman Wahid dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengajukan kasus di Mahkamah Konstitusi yang menantang keabsahan undangundang yang melarang penodaan agama. Penggugat berpendapat bahwa undang-undang tersebut melanggar kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945 dan menyebabkan penganiayaan terhadap kelompok agama minoritas (Abdi, 2014, 62–64). Dalam sebuah keputusan bersejarah, Mahkamah Konstitusi menolak gugatan tersebut, dengan alasan untuk pertama kalinya bahwa karena Pancasila menetapkan 'Ketuhanan Yang Maha Esa', maka Indonesia adalah negara teistik yang wajib menjunjung tinggi ketuhanan dan mengatur praktik keagamaan. Keputusan tersebut juga mewajibkan negara untuk memaksakan kepatuhan terhadap agama, sehingga membuka jalan bagi penganiayaan hukum terhadap ateis (Amnesty International, 2014).

Kaum liberal perkotaan menonjol dalam kampanye yang membawa presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi) berkuasa pada tahun 2014. Jokowi dipandang mewakili generasi baru masyarakat Indonesia yang berpendidikan, terhubung secara global, dan memiliki ideologi pluralis. Kaum liberal sekali lagi bersikap defensif pada tahun 2006, kali ini sebagai tanggapan terhadap rancangan undang-undang pemerintah yang seolah-olah ditujukan untuk memerangi pornografi dan 'aktivitas pornografi'. Diusulkan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang konservatif, rancangan awal menetapkan hukuman berat untuk berbagai perilaku termasuk 'menampilkan bagian tubuh sensual' dan 'melakukan aktivitas yang mengarah pada hubungan seksual dengan sesama jenis. ' (Pausacker, 2008). Dalam kasus ini, pengunjuk rasa liberal bergabung dengan perwakilan masyarakat adat dari Indonesia Timur dan anggota parlemen nasionalis yang berpendapat bahwa undang-undang tersebut akan mengkriminalisasi tarian dan kostum tradisional.

Kelompok advokasi LGBT di Indonesia termasuk Gaya Nusantara dan Arus Pelangi yang dipelopori oleh Dede Oetomo juga aktif dalam protes ini. Mereka berhasil melemahkan RUU tersebut, namun versi yang disahkan pada tahun 2008 tetap memperkenalkan pembatasan baru yang signifikan terhadap kebebasan individu dan telah mendorong kelompok-kelompok termasuk FPI untuk melakukan penggerebekan terhadap tempat-tempat yang dianggap mensponsori kegiatan-kegiatan tidak bermoral (Pausacker, 2008), melalui pernyataan mereka atau sekadar sekedar eksis, seperti yang terjadi pada minoritas Ahmadiyah.

Kaum liberal perkotaan menonjol dalam kampanye yang membawa presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi) berkuasa pada tahun 2014. Jokowi dipandang mewakili generasi baru masyarakat Indonesia yang berpendidikan, terhubung secara global, dan memiliki ideologi pluralis. Ia terkenal karena keberhasilannya dalam menjabat sebagai Gubernur Jakarta bersama dengan politisi Kristen. Tiongkok Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Selama kampanye tersebut Ahok dituduh mengkritik Al-Quran, yang menyebabkan demonstrasi terbesar dalam sejarah Indonesia, dengan koalisi kelompok

Terkejut dengan meningkatnya intoleransi beragama di masyarakat Indonesia, beberapa aktivis muda yang didukung oleh pengusaha kaya Jeffrie Geovanie membentuk Partai Solidaritas Indonesia atau PSI. Pertama kali terdaftar pada tahun 2016, PSI mencanangkan dirinya sebagai partai gaya baru. Alih-alih menekankan kredibilitas nasionalis atau agamanya, PSI menampilkan dirinya sebagai pembela pluralisme, hak-hak perempuan, dan hak-hak generasi muda. Untuk menggarisbawahi karakter inklusifnya, partai tersebut memilih Grace Natalie, seorang wanita Kristen milenial

Tionghoa Indonesia yang dikenal sebagai presenter televisi sebagai pemimpinnya. Meskipun partai tersebut menghindari menggambarkan dirinya sebagai liberal, platformnya dalam membela minoritas, sekularisme, hak-hak individu, dan pluralisme menjadikan Indonesia paling dekat dengan partai liberal, setidaknya sejak runtuhnya PSI lama.

PSI, dalam konteks yang tidak biasa di Indonesia, mengandalkan jajak pendapat yang canggih, yang dalam hal ini dilakukan oleh perusahaan milik salah satu pendiri partai, ilmuwan politik Saiful Mujani. Para penyusun strateginya menyadari terbatasnya daya tarik platform partai di luar demografi kota-kota besar, dan oleh karena itu mereka memusatkan periklanannya, sebagian besar melalui televisi dan media sosial, pada 'konstituensi yang muncul, terdiri dari pemilih muda, terpelajar, dan kelas menengah' (Savirani dkk., 2021). Meskipun mudah untuk menggambarkan PSI sebagai mainan oligarki yang telah dipaksa mengkompromikan cita-citanya untuk berpartisipasi dalam realitas transaksional politik Indonesia, PSI mewakili babak baru dalam politik liberal dan telah membantu menciptakan ruang ideologis baru. dalam wacana publik.

Artikel ini berusaha menunjukkan bahwa meskipun ideologi kolektivis mendominasi sebagian besar periode sejarah, liberalisme selalu hadir – terkadang terlihat jelas, terkadang tidak begitu nyata. Jika kita fokus pada posisi-posisi yang diambil dalam perdebatan politik di Indonesia pasca kemerdekaan, maka akan muncul pola-pola yang jelas.

Pertama, liberalisme di Indonesia hampir selalu bersifat kontra-narasi, bereaksi dan terkadang dibentuk oleh ideologi kolektivis, populis, agama, atau berbasis kelas. Kaum liberal memang mempunyai pengaruh politik yang nyata dalam jangka waktu singkat setelah jatuhnya Soeharto, namun, sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel ini, kebangkitan otoritarianisme dan konservatisme Islam telah memberikan karakter pemberontak pada inisiatif liberal seperti JIL, Freedom Institute, dan PSI.

Pola penting kedua adalah perluasan konstituen dalam negeri yang mendukung ide-ide liberal. Sjahrir menyampaikan pidatonya terutama kepada segelintir elit terpelajar di Indonesia dan komunitas internasional yang didominasi Amerika. Selain contoh-contoh yang dibahas di atas, semakin banyak penulis fiksi dan intelektual yang mewujudkan dan mempertahankan tradisi liberal vernakular di Indonesia. Sebagaimana telah disebutkan, kaum liberal semakin cenderung membingkai gagasan mereka dengan mengacu pada tradisi Indonesia, mulai dari Pancasila hingga Islam Nusantara.

Liberalisme di Indonesia bersifat kontingen. Hanya sedikit orang liberal yang secara konsisten liberal. Dalam hal ini, mereka tidak jauh berbeda dengan kaum liberal di negara-negara Asia Tenggara lainnya yang berpihak pada statisme otoriter ketika kepentingan mereka terancam. Hal ini menunjukkan banyak hal mengenai basis kekuatan kaum liberal yang sebenarnya. Meskipun mereka mungkin mempunyai pengaruh dalam bidang-bidang tertentu dalam kebijakan negara, kaum liberal di Indonesia tidak mempunyai dukungan organisasi berbasis massa atau kapasitas untuk menerjemahkan visi mereka menjadi kekuatan politik. Meskipun dua presiden pasca-Orde Baru (Habibie dan Abdurrahman Wahid) menerapkan serangkaian reformasi demokrasi berdasarkan garis liberal, kurangnya kepercayaan diri dari konstituen liberal telah membuat kemajuan-kemajuan ini terkikis seiring dengan bangkitnya kembali statisme otoritarian dan intoleransi beragama.

ABSTRAK:

Sulit terkejut bahwa liberalisme telah dilalaikan dalam studi pemikiran politik Indonesia. Para scholar berfokus pada nasionalisme, komunisme, konservatisme, populisme, dan Islamisme. Istilah liberal juga menjadi ejekan bagi semacam individualisme telanjang dan kapitalisme kejam, yang kontras dengan nasionalisme arus utama Indonesia. Artikel ini berargumen bahwa liberalisme, liberalisme tetap ada sebagai kontra-narasi sepanjang sejarah modern Indonesia dan harus dianggap sebagai tradisi politik yang berbeda. Gagasan liberal mempengaruhi struktur ekonomi, politik, dan hukum Indonesia, dan menjadi bagian yang subur di dalam kerorganisasian media, profesi, akademis, dan masyarakat sipil. Liberal mencapai puncaknya di dalam situasi yang unik pada periode pasca-Soeharto. Namun, upaya berulang untuk membangun sarana politik yang liberal secara terbuka, tidak banyak mendapat dukungan di lingkungan politik yang didominasi oleh partai-partai nasionalis dan Islam. Artikel ini berpendapat, meskipun pertumbuhan ekonomi tumbuh dengan cepat, kelas menengah Indonesia masih relatif lemah dan tergantung, dan telah berulang kali menunjukkan kesediaan untuk bersekutu dengan negara otoriter ketika kepentingan mereka terancam oleh gerakan populis dari kiri atau kanan.

Bourchier, David, and Windu Jusuf. "Liberalism in Indonesia: between authoritarian statism and islamism." Asian Studies Review 47.1 (2023): 69-87.

Link: https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/10357823.2022.2125932

#60daysofindonesianisscholars #windujusuf #davidbourchier #liberalisme #islamisme #indonesia

PROFIL:

Windu W. Jusuf, lulusan SI FISIP dan S2 CRCS di Universitas Gadjah Mada (UGM). Saat ini tengah melanjutkan studi S3, Ph.D candidate di Institute for Area Studies Universitas Leiden Belanda, di bawah supervisi Professor of Contemporary Indonesia Studies, David Henley. Windu banyak menulis kritik dan kajian film, serta editor di Cinema Poetica. Pernah mengajar di jurusan film Binus Internasional University. Tulisan-tulisannya bisa dijumpai di Indoprogress, Tirto.id, dan Cinema Poetica.

David Bourchier merupakan ilmuwan politik dan Associate Professor di Universitas Western Australia. Dia menyelesaikan pendidikan di Flinders University, Murdoch University, serta Ph.D di Monash University. Minat utama akademiknya yaitu politik Indonesia dan Asia Tenggara. Selain itu, dia juga menulis terkait kondisi sosial dan politik Indonesia berkaitan dengan hukum, perburuhan, ideologi, hubungan internasional, HAM, dan militer. Publikasinya termasuk, "Dynamics of Dissent in Indonesia" (1984) dan "Illiberal Democracy in Indonesia" (2014).

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar