Singkatnya, exclusion model mengasumsikan ketika perizinan ke sektor formal tak memakan banyak biaya, maka proses formalisasi akan lebih mudah. Sektor informal selalu ada juga karena prosedur pendaftaran yang mahal dan susah. Sehingga mempermudah administrasi ini jadi penting. Untuk yang rational exit model ini lebih ke pertimbangan rasional, jika di sektor informal perusahaan bisa untung lebih banyak, kenapa perusahaan harus susah-susah beralih ke sektor formal? Dengan prosedurnya yang susah (cumbersome) itu? Perusahaan mengeluarkan sektor formal ketika harga formalitas lebih besar daripada untungnya.
Dari 2 teori ini, rational exit model dikatakan lebih menggambarkan fenomena sektor informal yang ada di Indonesia. Pendekatan kebijakan tak hanya fokus pada biaya pendaftaran, tapi juga penambahan untung di sektor formal.
Definisi sektor informal dalam konteks esai ini memiliki indikator-indikator: gaji rendah, tak produktif, pendidikan rendah, pasar lokal, tak berekspansi, tak terdaftar karena tak berkeinginan untuk ekspansi atau meminjam sumber daya finansial, karena ada pajak. Lalu pola-pola dari beberapa indikator ini dijelaskan menggunakan visualisasi dan analisis dari data-data dari survei Industri Mikro dan Kecil (IMK) dan World Bank Enterprise Survey (WBES, 2009). Data diambil pula secara survei kualitatif hampir di 200 perusahaan, yang dilakukan pada 2014.
Di sisi lain, teori strukturalis dan ketertantungan mengatakan sektor formal untung karena keberadaan sektor informal. Sebab secara politis berhubungan dengan bisnis, sektor formal mencegah sektor informal untuk terdaftar karena nanti bisa mengurangi laba dan merusak pembagian pasar. Ini juga terkait dlm institusi ekstratktif, perusahaan formal merekrut pekerja dari sektor informal, karena tak diatur regulasi.
Merunut sejarah (1970-97), dalam beberapa dekade ini Indonesia mengalami transformasi pertumbuhan ekonomi dari yang berbasis agrikultur ke manufaktur dan jasa. Fakta ini diikuti dengan tingginya urbanisasi, menghasilkan informalisasi yang signifikan dalam urban ekonomi. Krisis 98, sektor informal sebagaimana yang disebut oleh Loayza dan Rigolini (2011) sebagai jaring pengaman ekonomi pekerja yang dipecat.
Sayangnya, dalam menentukan apa kebijakan yang tepat. Pengukuran sektor informal masih terkendala. Alasan kenapa mengukur sektor informal di Indonesia susah: (a) regulasi sering berubah-ubah sehingga pengertian sektor informal pun berbeda; (b) sektor informal secara realitas sangat dinamis dengan variabelnya yang berkelanjutan daripada biner atau hitam putih; (c) tidak terkelola dengan baik (salah satu alasannya, manager dalam perusahaan sektor informal berpendidikan rendah. Pendidikan berpengaruh dalam pengambilan kebutupusan, produksi, mengatasi perbedaan, mengelola pekerja, dll).
Lalu, ada beberapa alasan pula kenapa sektor informal di Indonesia masih tetap tinggi: (1) Sektor informal tak bayar pajak, sehingga tak dikenai pelayanan publik. (2) Sektor formal dan sektor informal terlibat dalam persaingan industri sama tapi dengan harga marjin produksi yang berbeda. (3) Kompetisi yang tak adil di bidang hukum antara sektor informal dan sektor formal, yang membatasi pertumbuhan ekonomi; di sektor informal tak legal untuk akses sumber daya finansial dan sedikit yang mengenal ekspansi binsis hingga eksport.
Meski pemerintah mencoba memberi jawaban dengan dibentuknya Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang diakoodir oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), tidak ditemukan dampak signifikan terhadap kemungkinan formalisasi. Pengurangan informalitas karena model ganda ekonomi ini merupakan proses yang panjang, dan tak ada jalur pintas untuk perubahan yang cepat.
Rothenberg, A.D., et al. (2016). Rethinking Indonesia's Informal Sector. World Development, 80, 96-113.
Selengkapnya: http://dx.doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.11.005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar