:sebuah narasi tidak untuk siapa-siapa
Aliran deras air di sungai sana tampak begitu romantis. Sedang ruangan ini masih tetap terdiam dan kamu masih duduk disitu seperti biasanya. Aku masih ingat dengan yang kamu ucapkan tadi. Aku ragu menulis karena terbayang kamu mungkin membacanya.Yang ingin aku katakan adalah apa yang bisa aku lakukan agar kamu tak merasa ini sesuatu yang jemu?
Orang lalu lalang masuk pintu ini dengan niat-niat mereka. Datang lalu duduk dan memandang gadget dan leptop mereka sendiri, tanpa ada ikatan emosional yang menyatukan (mungkin juga salah satunya aku).
Kamu tahu kan, aku tak pandai bicara. Aku hanya pandai menulis perasaan dimana pun aku suka. Itu sebabnya aku selalu ragu untuk berbicara duluan, meski hanya sekedar menyapa kamu. Di perbincangan bersama di ruang berdinding berisik ini kamu juga bilang bahwa teks itu lebih meneror daripada orangnya sendiri. Lalu mungkin kamu akan menyudutkanku dengan pertanyaan: alasan rasionalya apa? Tiba-tiba aku akan gagap menjawab, mataku berputar-putar, tanganku tak hentinya bergetar, dan dari mulutku terlontar kata-kata yang meloncat-loncat. Itulah sindrome yang sering diderita orang-orang yang dahulunya memiliki latar belakang tak banyak teman sepertiku. Mungkin aku akan menjawab: di tulisan aku bisa menjadi subjek dan semua di luarku akan berubah menjadi objek yang bisa aku permainkan apa saja. Termasuk aku bisa menulis sesuatu yang baik, buruk, atau sekedar teks munafik. Sungguh, satu-satunya yang ingin aku hindari adalah aku tak ingin menjadi polisi moral. Menjadi polisi moral adalah pekerjaan paling menyengsarakan bagiku seperti halnya menjadi motivator. Seorang motivator setidaknya harus punya energi lebih yang ia pakai untuk membangkitkan dirinya sendiri sebelum membangkitkan orang lain. Aku tak yakin dengan pertanyaan: bagaimana bisa manusia bisa terus menyala selalu dalam hidupnya seperti motivator? Atau kesedihan dan kelemahannya ditutup-tutupi. Itulah hal yang paling menyengsarakan dalam apriori itu: menyembunyikan.
Dan tak seperti biasanya, kamu menyetelakan simfoni musik klasik. Selera musikmu itu apa? Ah, musik-musik itu adalah karaktermu yang menunjukkan otakmu yang sebenarnya juga berwarna-warni. Di dunia ini aku menyukai semua musik kecuali yang beraliran cadas.
Lampu ruangan ini masih menyala putih seperti biasanya. Dan debu-debu rokok masih tidur dengan tenang di atas piring sana. Sesekali kamu mengumpat dengan lucu binatang yang sering menjulurkan lidah itu. Aku ada di titik tengah apakah aku harus menegurmu untuk jangan mengumpat lagi atau membiarkanmu mengumpat? Akhirnya aku mengapologikannya juga, dengan teknik menyinonimkan umpatan itu sebagai diksi yang wajar. Karena kadang sejujurnya aku juga menirunya saat hatiku marah (dan apa hakku juga melarangmu?).
Ada yang menarik tentang hari ini. Di saat kamu berkata 'hah' atau bunyi ketikanmu yang bertarung dengan ketikanku. Tentang penderitaan. Lagi-lagi tentang penderitaan ya? Mungkin kamu bosan. Eh, kata guru teaterku: kalau kamu bosan, kenapa ketika kamu makan nasi kamu tidak bosan? Kenapa setiap hari kamu tidur kamu tidak bosan? Atau guru teaterku yang sok tahu dengan menyamakan semua kondisi?
Sebenarnya, aku ingin menderita bersamamu. Si filsuf temanku bertanya dengan filosofis: "apa yang paling mendekatkan kita selain penderitaan?" Ia melanjutkan kata-katanya: Karena pada akhirnya, hal yang paling pahit akan indah untuk dikenang. Dan hal yang indah akan pahit untuk dikenang.
P.s.: Kamu jangan membacanya ya.
Jogja, 17 Desember 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar