Pak Dwi |
Di
karnaval itu hanya satu hal yang masih tersimpan permanen di sanubari saya:
ketika wali kelas saya yang bernama Pak Dwi tersenyum pada saya. Senyum yang
begitu tulus, indah, manis. Saya waktu itu tak menyangka, guru matematika yang
baru saya kenal itu ingat saya, meski baru beberapa hari menjadi muridnya.
Dimulai
dari satu senyum yang saya sebut senyum
karnaval, saya mulai mengenalnya. Beliau, guru paling
rendah hati yang pernah saya kenal. Ia sangat sederhana. Fisiknya
kecil, tidak tinggi, pakai kacamata, dan tiap berjalan cepat. Kekhasannya lagi adalah logat bahasa Jawa halusnya. Tiap mengajar, beliau detail dan
sering berputar mengelilingi siswanya dari meja ke meja untuk membantu. Dari
situ tanpa sengaja interaksi terbangun. Pak Dwi tak hanya sekedar berbicara
tentang matematika saja, tetapi juga berbagi kisah hidupnya dan falsafah yang
beliau anut.
Saya
begitu merasa dekat dengan Pak Dwi. Setiap hari selalu ada inspirasi untuk saya
bawa ke rumah. Seperti, ojo rumongso iso,
iso’o rumongso (jangan merasa bisa, bisalah merasa). Pesan yang paling
berkesan bagi saya, Pak Dwi mengajarkan saya untuk hidup prihatin sebagai
konsep dasar hidup. Dengan prihatin orang akan sadar akan keberadaannya dan
bagaimana seharusnya ia berbuat. Prihatin terhadap diri sendiri, prihatin
terhadap kondisi orang tua, juga prihatin terhadap lingkungan yang diwujudkan
dalam sikap wani rekoso (berani
menderita).
Dan
Pak Dwi pernah bilang: “Ma, meski kamu kecil, nanti kamu kuliah ya… meski hanya
D1. Prinsipnya: aku kudhu iso, kudhu wani
rekoso, kerja keras, jangan mau merepotkan orang lain.” Dan sekarang harapan untuk
kuliah telah terwujud, saya sekarang kuliah di Yogyakarta, meskipun saya telat dua tahun dari teman-teman seangkatan saya. Pak Dwi, Isma ingin
buat Pak Dwi bangga.
#MenjagaApi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar