I. Pendahuluan dan Tema Bahasan
Tema Klenik Studies edisi malam Jumat Kliwon, tanggal 4 September 2025 kali ini membahas “Pesugihan, Horor, dan Ekonomi-Politik”. Peserta yang hadir: K.A. Sulkhan, Mi’rajul Akbar, Nurizky, dan Isma Swastiningrum. Diskusi malam ini menunjukkan bahwa pesugihan bukan sekadar mitos, tetapi pintu masuk untuk membaca ekonomi-politik, seksualitas, spiritualitas, hingga sastra dan budaya. Ia memperlihatkan sisi gelap masyarakat yang terus mencari jalan pintas, sementara di sisi lain merefleksikan kegagalan sistem sosial dalam memberi keadilan.
Sulkhan mengawali dengan menekankan bahwa pesugihan masih menjadi wilayah abu-abu secara rasional—namun penting untuk pengembangan klenik studies. Ia memetakan bahwa praktik pesugihan bergerak dari level “easy” hingga “insane”: mulai dari mencari wangsit untuk togel lewat mimpi hingga pengorbanan keluarga sendiri. Figur-figur populer seperti Nyi Blorong dengan dimensi seksualitas, babi ngepet yang menampakkan diri sebagai hewan, atau tuyul yang dianggap konyol, semuanya hadir dalam narasi masyarakat. Namun literatur kritis tentang mekanisme tumbal masih sangat minim, sehingga diskusi mesti dimulai dari level dasar: memetakan variasi model dan konsekuensi pengorbanan.
II. Pesugihan dan Ekonomi Politik Kolonial
Isma menyinggung dari kerangka historis: narasi pesugihan tumbuh pasca masuknya industrialisasi di Jawa pada era kolonial. Sebelum itu, masyarakat Jawa hidup dalam sistem agraris yang relatif mandiri. Dengan kolonialisme, mereka dipaksa masuk ke dunia industri dengan upah minim. Ketidakadilan ini menciptakan gejolak sosial dan ekonomi, sehingga spiritualitas menjadi pelarian. Jika di dunia material manusia kalah, maka di ranah spiritual atau imajiner mereka bisa merasakan kemenangan. Dari perspektif ekonomi politik, pesugihan adalah refleksi ketidaksetaraan: jalan pintas mistis untuk mencari keuntungan materi di luar kerja keras sesuai norma sosial dan agama.
Orientasi pesugihan adalah keuntungan cepat. Pelaku ingin kaya instan tanpa kerja keras, menandakan pragmatisme dan tujuan jangka pendek. Pesugihan juga tumbuh dari kekecewaan terhadap sistem: ketika jalur normal tak membawa hasil, jalan mistis ditempuh meski berkonsekuensi tumbal. Namun hal ini melemahkan etos kerja, karena pelaku mengabaikan rasional demi “cara cepat.”
III. Logika Transaksional: Pengorbanan dan Timbal Balik
Akbar melihat pesugihan sebagai model transaksional yang sejajar dengan hukum timbal balik di dunia nyata: ada yang dikorbankan untuk memperoleh imbalan setimpal. Bedanya, mitra transaksinya adalah entitas gaib. Ia menekankan bahwa esensinya bukan sekadar berhubungan dengan makhluk halus, tetapi kesediaan manusia melepas sesuatu yang amat berarti—bahkan kemanusiaan—demi harta. Itu semacam stress test atas sejauh mana seseorang berani mengorbankan bayi, keluarga, atau relasi sosial demi kekayaan.
Sulkhan mempertanyakan mengapa orang bisa begitu rela melepas kemanusiaannya demi uang. Akbar menilai ada unsur egoisme ekstrem: untuk menjadi kaya luar biasa, seseorang harus menyingkirkan hubungan kemanusiaannya dengan orang lain. Pesugihan di sini menjadi spiritualisme yang terbalik, di mana keduniawian diutamakan di atas nilai yang lebih luhur.
Nurizky menambahkan perspektif dari Om Hao (Kisah Tanah Jawa) yang menyebut manusia memiliki “kuota rezeki” sendiri. Pesugihan dianggap mempercepat pencairan kuota itu, namun ada harga yang mesti dibayar—misalnya kehilangan istri atau anak. Konsep ini menegaskan egoisme tinggi: rela mengorbankan orang terdekat demi kepentingan pribadi. Nurizky juga menyinggung praktik spiritual di luar negeri yang lebih ekstrem, hingga menimbulkan depresi. Menurutnya, di dalam psikologi modern dan Law of Attraction (LoA) bisa menjadi cara mencari keberuntungan tanpa jalur hitam, yakni dengan membiasakan diri mengimajinasikan hingga menarik energi semesta.
Dari penjelasan Nurizky, Sulkhan kemudian menganalogikan pesugihan sebagai “meng-hack” penghasilan: mempercepat datangnya uang yang seharusnya bertahap. Ia juga melihat gosip pesugihan sebagai cara masyarakat mendelegitimasi kekayaan orang lain: tetangga yang lebih makmur kerap dituduh pesugihan sebagai upaya menjaga rasa positif diri sendiri.
IV. Seksualitas, Otoritas, dan Tubuh Perempuan
Dimensi seksualitas menjadi bahasan panjang. Akbar mengaitkan pesugihan dengan ritual seks dalam cerpen Eka Kurniawan, di mana seorang tokoh memperoleh kekuatan lewat pengorbanan istrinya. Ia menyimpulkan bahwa pesugihan sering menempatkan seks sebagai elemen utama, baik dalam bentuk pengorbanan maupun transaksi. Ritual di Gunung Kemukus, misalnya, menuntut hubungan seksual di luar pernikahan, yang kemudian menciptakan ekosistem prostitusi ritual.
Sulkhan menambahkan kisah lokal seperti legenda di Tulungagung atau ritual hubungan dengan Nyi Roro Kidul yang dimediasi tubuh penari. Seks di sini menjadi komoditas, medium otoritas, bahkan bisnis terselubung. Nurizky menyoroti bahwa perempuan kerap jadi korban—baik sebagai tumbal, obyek ritual, susuk, maupun korban seksual.
Nurizky menyinggung pengalaman dari komunitas Luciferian yang menggunakan seks untuk mencapai trance. Menurutnya, seks bisa membuka spektrum kesadaran tertentu yang mirip dengan kekhusyukan ibadah. Dalam kondisi trance, logika disingkirkan, fokus diarahkan penuh pada keinginan, sehingga energi semesta dapat ditarik. Ia juga melihat fenomena politik: anggota DPRD atau pejabat mencari pesugihan bukan demi uang, melainkan demi jabatan dan kuasa. Dalam praktik itu, susuk atau energi orang lain juga dimanfaatkan.
Isma melengkapi dengan contoh praktik tantra atau ibadah seks dalam aliran Osho. Di ajaran Osho itu juga dikatakan menyimpang karena untuk mencapai trance bisa dengan seks, kayak pengikutnya ada ibadah seks bebas.
Akbar menegaskan bahwa jalur seksual ini muncul di berbagai kebudayaan—seperti taoisme—meski motifnya berbeda. Namun tetap ada pola objektifikasi perempuan. Pesugihan di sini bisa dibaca sebagai alegori penjajakan seks, dengan tubuh perempuan menjadi medium kekuasaan. Sulkhan mengingat Ken Arok dan Ken Dedes, di mana seks, harta, dan tahta menjadi satu paket kekuasaan. Nurizky menambahkan bahwa korban susuk atau doping spiritual kebanyakan perempuan, karena feminitas kerap dilekatkan dengan tubuh sebagai alat ritual.
V. Ritual, Disiplin, dan Psikologi
Isma bertanya mengapa pesugihan membutuhkan ritual tetap, misalnya memberi tumbal tiap malam Jumat? Nurizky menjawab bahwa praktik ini membentuk kebiasaan, mirip salat atau ibadah lain. Latihan 40 hari membuat tubuh dan pikiran resah bila melewatkan. Kontrak waktu inilah yang melatih disiplin dan memperkuat keyakinan.
Isma menambahkan, ritual ini mirip dalam praktek meditasi rutin, di mana seseorang perlu melakukan meditasi di waktu, tempat, bahkan pakaian yang sama untuk mendisiplinkan tubuh.
Sulkhan melihat aspek ini bisa membuat pelaku semakin yakin akan hasil, sehingga secara psikologis lebih kuat. Akbar menilai hukum universal tetap berlaku: ada pengorbanan, fokus, konsistensi, dan kesabaran. Artinya, pesugihan meski dianggap jalan pintas tetap menuntut usaha, hanya saja dalam bentuk ritual yang berbeda.
Berkaitan dengan keyakinan, Nurizky memberi contoh rekayasa sosial: perempuan yang memakai susuk kemudian oleh dukunnya meminta orang suruhannya untuk melakukan cat calling pada perempuan itu untuk menambah keyakinan si perempuan jika susuknya bekerja. Ada pula fenomena modern seperti tarot dan pengisian aura di mall, yang bekerja dengan logika psikologis serupa. Sulkhan menambahkan kisah ayam cemani yang dimanfaatkan oleh dukun yang mengaku melakukan upgrade ilmu dengan biaya besar. Semua menunjukkan praktik spiritual yang dikomodifikasi.
VI. Sastra, Horor, dan Representasi Kultural
Isma mengangkat cerpen “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan” karya Kuntowijoyo. Cerita ini memadukan mistisisme dan realisme magis untuk mengkritik kerakusan manusia terhadap harta melalui praktik klenik. Pesan sufistik dan politis hadir, seperti motif resistensi terhadap patron-klien dan dominasi kota.
Cerpen ini mengisahkan tokoh bernama Dia yang melakukan pertapaan demi memperoleh kekuatan gaib untuk mencuri daun telinga dari mayat di kuburan, tempat yang memiliki penjaga gaib yang membuat orang terlelap. Namun, usahanya gagal ketika segerombolan anjing datang tiba-tiba.
Kisah ini memadukan mistisisme dengan realisme magis, sekaligus menyampaikan kritik terhadap keserakahan manusia yang menempuh jalan klenik demi harta. Cerita juga menyingkap dimensi sufistik dan filosofis yang terbuka untuk ditafsirkan pembaca. Ritual pesugihan dalam cerita digerakkan oleh alasan ekonomi—seperti kemiskinan, harga diri, dan martabat—serta alasan politik, yakni perlawanan terhadap dominasi perkotaan, sistem patron-klien, dan relasi kuasa.
VII. Spiritualitas, Tabu, dan Simbolisme Jawa
Diskusi juga membahas spiritualitas secara umum. Akbar mendefinisikan spiritualitas sebagai pengalaman melihat sesuatu yang lebih besar dari diri sendiri, sering dikaitkan dengan roh dan dewa. Dalam tradisi kuno, spiritualitas kadang menjadi jalur menuju pencerahan, tetapi dalam pesugihan justru menjebak manusia dalam keduniawian. Sulkhan menyebut spiritualitas seperti perasaan terhubungan, tapi sifatnya non-material.
Isma menyoroti bahwa pesugihan dilakukan sembunyi-sembunyi karena dianggap syirik, dosa besar, dan aib. Dari perspektif saintifik, pesugihan dinilai primitif, namun pelaku merasa logis karena menempuh jalur ritual sebagaimana orang beragama. Orang Jawa yang berpikir simbolis kerap menyembunyikan nilai-nilai mendalam dalam praktik tersirat, menjaga keharmonisan sekaligus menghindari konflik langsung.
VIII. Kesimpulan
Pertama, pesugihan lahir dari konteks historis dan ekonomi-politik, sejak kolonialisme hingga sekarang, ada refleksikan keterdesakan material dan kekecewaan terhadap sistem. Praktik ini menjadi “jalan pintas” ketika jalur konvensional tidak memberi keadilan. Dalam perspektif masyarakat, tuduhan pesugihan juga berfungsi mendelegitimasi kekayaan orang lain.
Kedua, pesugihan dibangun atas prinsip timbal balik: pengorbanan demi imbalan. Namun yang dikorbankan sering kali adalah kemanusiaan itu sendiri—keluarga, relasi sosial, hingga tubuh perempuan. Seksualitas menjadi medium utama, baik dalam mitos (Nyi Blorong, Nyi Roro Kidul), ritual (Gunung Kemukus), maupun praktik kontemporer (susuk). Hal ini menegaskan kerentanan perempuan dan menjadikan pesugihan alegori atas eksploitasi tubuh.
Ketiga, ritual pesugihan meniru disiplin ibadah: pengulangan, fokus, dan kontrak waktu yang membentuk keyakinan. Secara psikologis, ini memberi ilusi efektivitas meski bersifat mistis. Bagi pelaku, pesugihan dianggap logis, meski dalam agama ia dinilai syirik. Dalam kebudayaan Jawa, simbolisme dan praktik tersembunyi menjadi sarana menjaga harmoni, meski sekaligus memperlihatkan kontradiksi antara keduniawian dan spiritualitas.
IX. Tindak Lanjut dan Penutup
Dari diskusi ini ditetapkan dua langkah tindak lanjut.
Pertama, tema pertemuan berikutnya adalah “Tuyul dan Hantu-Hantu Anak” yang akan digelar pada Kamis (malam), 9 Oktober 2025.
Kedua, rencana menyusun antologi esai Klenik Studies yang mengompilasi berbagai tema.
Sulkhan menambahkan minatnya pada kajian horor lain terkait pembahasan untuk buku, semisal zombie Holocaust, horor perempuan, horor kemiskinan, hingga perkembangan folklor pocong. Ia menyebut perlunya riset “destructing pocong” untuk melihat bagaimana pocong berkembang dalam pop culture, dari tokoh pinggiran menjadi ikon utama, mengikuti tuntutan industri hiburan.
Referensi akademik pun diangkat, seperti James Danandjaja di UI yang fokus pada folklore studies. Potensi antologi esai Klenik Studies dinilai menjanjikan, karena tema hantu mudah menjual, terutama di penerbit-penerbit.
Isu lain yang belum tergarap adalah horor dan 1965: bagaimana trauma sejarah dimanifestasikan dalam narasi mistis. Sulkhan menyinggung juga Banality of Evil (Hannah Arendt) sebagai refleksi realitas politik, dan mengaitkan kondisi mahasiswa yang semakin malas terhadap kesadaran sosial.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar