Senin, 03 Juni 2024

Berdiri di Antara Dua Kaki, Refleksi dari Sajogyo Institute

Hari Sabtu kemarin, KRL sangat penuh, dari Stasiun Juanda ke Stasiun Bogor nyaris seperti pepes. Aku berdiri dekat pintu, setiap pemberhentian stastiun, orang keluar masuk tak dapat tempat duduk, tapi setidaknya bisa mendapat tempat berdiri. Di antara perjalanan itu pula, aku masih menyempatkan diri untuk rapat mingguan project bareng Nial terkait evaluasi RAN PE oleh BNPT dan UN Women. Tahap proyek ini akan berada di tahap FGD bersama Pokja dan K/L terkait lainnya.

Sesaimpainya di Stasiun, sepertinya ini memang weekend paling padatku selama berkunjung ke Bogor. Aku berniat datang ke acara diskusi bertajuk "Nusantara Bergerak: Ekologi dan Pembangunan" yang diadakan di Ruang Sidang PSP3 Kampus IPB Baranangsiang, Kota Bogor. Untungnya, tempatnya bukan di IPB yang jauh di sana, tapi IPB yang dekat stasiun Bogor. Diskusi ini mendatangkan narasumber:

1. Azhar Ibrahim Alwee (National University of Singapore) dengan materi "Ecological Society: Insights from Sajogyo and Murray Bookchin"

2. Shakila Zen (Persatuan Aktivis Sahabat Alam/KUASA Malaysia) dengan materi "Reading Vedanta for Our Own Environment"

3. Roy Murtadho (Pesantren Ekologis Misykat al-Anwar Indonesia) dengan materi "Environmental Damage: Islamic Perspectives and Ecosocialism"

4. Shela Herlita (Sajogyo Institute Indonesia) dengan materi "Gendered Participatory Action Research: Establishment of Customary Women Institution for Coastal and Fishery Management in Aru Archipelago District"


Saat itu diskusi dipandu oleh Mas Eko Cahyono dari Sajogyo Institute (Sains), aku telat datang karena melewatkan materi dari Pak Azhar. Namun, ketiga materi lainnya sangat menarik, apalagi dari Mbak Shakila dari Malaysia dengan logatnya yang kental. Berbagai pemikiran dijelaskan, aku telah merangkumnya dalam catatan terpisah, tapi di tulisan ini, aku ingin bercerita yang lebih ke sifatnya refleksi personal, bukan materi diskusi.

Setelah diskusi tersebut dan diskusi mahasiswa-mahasiswanya Mas Shohib terkait "Ekspose Hasil Riset Ko-kreasi Mahasiswa di Nanggung", Bogor hujan deras Magrib itu. Diskusi selesai, aku duduk di luar, di pertemuan ini, aku tak menyangka pula bertemu dengan kawan lama, Habib dari Teater Eska yang sekarang bergiat di Sains, dan tambahan dia sudah menikah tahun 2023 lalu, istrinya orang Sains juga dan sekarang kuliah di Korea Selatan.


Sore itu, aku berkesempatan bertemu dengan Gus Roy Murtadho lagi bersama istri dan anak perempuan paling kecil beliau, Aisha. Aku sebenarnya di beberapa kesempatan bertemu dengan Gus Roy, tapi sungkan menyapa takut beliau sudah lupa denganku. Namun, Magrib itu, keraguanku terpatahkan, Gus Roy masih mengingatku dan malah mengajakku untuk main dan menginap di Pesantren Ekologi Misykat Al-Anwar  milik beliau. "Oh, Mbak Isma, saya kira siapa, IPB bukan, Sains bukan, oh iya, Islam Bergerak."

Gus Roy bercerita tentang aktivitasnya sekarang, jadi pengurus di Partai Hijau Indonesia (PHI) dan meninggalkan semua kelompok-kelompok gerakan yang dia ikuti sebelumnya, salah satunya Islam Bergerak yang beliau dirikan dulu. Entah kenapa, aku berkaca-kaca menulis ini, aku seperti terbawa pada suasana gerakan dan perjuangan yang tak mudah seperti yang dialami oleh Gus Roy, juga yang dialami teman-temanku yang lain di Islam Bergerak: Mbak Rizki, Mas Azka, Mbak Ella, dkk. Jalan yang terjal.

Ketika Gus Roy dan keluarganya akan pulang, beliau mengajakku ke Misykat, tapi aku ingat masih ada deadline RAN PE sama Nial dan tes PVA EF, dan aku meminta maaf untuk lain kali. Lalu, Habib mengajakku ke basecamp Sains di Jl. Malabar 22 Bogor, naik mobil bareng orang-orang Sains yang lain. Bangunan Sains sangat sederhana dan teduh, di depannya ada warung kopi juga.

Di sana aku ketemu Mas Eko Cahyono yang sedang ngobrol dalam lingkaran meja segi empat bersama dengan Mbak Shakila, suami Mbak Shakila (Mas Wan Khuzairey), Mas Ahalla Tsuro, Habib, dan aku sendiri. Yang menarik perhatianku adalah cerita Mas Eko. Begini cerita beliau yang kutangkap:

Dulunya, Mas Eko lulusan UIN Jogja juga Tafsir Hadir, dia sempat ngajar di universitas Kristen begitu sampai jadi wakil rektor apa ya (atau wakil apa gitu, aku lupa), jadi dia ngajar perbandingan Islam dan Nasrani dalam kitab-kitab. Ketika teman-temannya berkumpul, cerita mereka heroik-heroik, seperti ikut pembebasan lahan dlsb, dia juga mencoba mengangkat kisah pribadinya dengan heroik: "memberi kejelasan Islam" pada tempat kerjanya, haha. 

Namun, ketika dia bekerja di sana, dia tak menemukan sesuatu yang dia cari, dia merasa ada sesuatu yang kurang. Istrinya pun mengamati itu, istrinya mendukung apa pun keputusan Mas Eko asalkan suaminya bahagia. Suatu hari, kegelisahan itu terjawab, saat dia bertemu dengan teori-teori dari Pak Sajogyo. Awalnya dia bertanya-tanya, siapa ini Pak Sajogyo? Dia pun mendalaminya, dan teori membumi dan merakyat Pak Sajogyo adalah yang dia cari.

Akhirnya dia memutuskan untuk bertemu Pak Sajogyo dan berniat menjadi muridnya. Setiap malam sekitar pukul 10-12 malam, Pak Sajogyo mendermakan waktunya di ruang depan kantor Sains, dan orang-orang yang bertanya-tanya tentang apa saja boleh bertanya kepada beliau. Mas Eko tertarik dengan gagasan Pak Sajogyo terkait pertanyaan, akademisi seperti apa sih yang kita butuhkan di tengah kondisi masyarakat kita yang penuh dengan kemiskinan struktural seperti ini? Dia menjawab akademisi yang berjalan dengan dua kaki, satu kaki dia seorang akademisi yang paham bagaimana metode penelitian dan cara menulis yang baik; di satu kaki yang lain berbaur dengan problema masyarakat marjinal, terpinggirkan, dan teraniaya sehari-hari. Konsep yang hebat sih ini.

Mas Eko kemudian memilih untuk ke Pak Sajogyo dan meninggalkan pekerjaan sebelumnya yang boleh dikatakan cukup mapan. Pak Sajogyo kemudian bertanya, "Kamu mau cari apa di Sains ini? Ini lembaga kere, gak bisa kasi kamu apa-apa." Mas Eko hanya yakin di situ tempatnya, dia pun memilih pindah dari tempat asalnya ke Bogor, berguru pada Pak Sajogyo, juga dengan dukungan penuh dari istrinya, dia bertumbuh. Mas Eko bercita-cita menjadi akademisi yang berjalan di antara dua kaki. 

Dia juga pernah mengkritik Martin Suryajaya terkait buku "Kiat Sukses Hancur Lebur" sebagai sastra yang diperuntukkan untuk dirinya sendiri, sastra yang egois, dan tidak menggambarkan realitas masyarakat Indonesia keseharian yang masih dipenuhi dengan kemiskinan dan kebodohan struktural. Mas Eko bertanya, sebenarnya kita butuh akademisi, seniman, sastrawan, atau profesi lain yang seperti apa sih untuk menjembatani antara kondisi kerakyatan sekarang dengan basic profesi yang kita punya? Jawabannya berdiri di antara dua kaki tadi.

Akademisi yang gak sibuk riset untuk Scopus dan dirinya sendiri, akademisi yang bisa menjawab kebutuhan-kebutuhan jutaan orang miskin, kemiskinan adalah adalah realita

Ya, aku telah mencatat hal fundamental ini, entah bagaimana nanti implementasinya, aku akan berusaha.

Ini juga sebenarnya yang dilakukan oleh Bapak Hariadi Kartodihardjo (HK) guru besar Sosiologi Pedesaan, yang kabar kematian beliau kudengar esok hari usai berkunjung ke Sains untuk pertama kalinya. Ya, perjuangan masih panjang, masih sangat panjang....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar