Kamis, 09 Mei 2024

Perjalanan Mengenal Vedanta

Hari ini aku menemukan cahaya yang mengantarkanku lebih dekat pada apa yang kucari selama ini: Allah, atau yang punya nama lain Tuhan, Krisna, Atman. Aku berterima kasih pada Bagus yang telah membawaku ke IVS (International Vedanta Society) - Indonesia. Beberapa hari yang lalu Bagus DM Instagramku untuk mengikuti Retret Vedanta dan Meditasi bertema "Pikiran Murni Adalah Kunci Hidup Berwelas Asih" di Taman Rempoa Tangerang, Jakarta Selatan. Vedanta sedikit yang kukenal berasal dari India dan dikembangkan oleh resi-resi di India sana.

Aku kesana naik sepeda motor, dan cukup telat 24 menit (mayan jauh dan macet) karena acara sudah dimulai. Saat itu, Ust. M. Khasan (Founder Dialog Maya) sudah memulai materinya. Para peserta membentuk lingkaran besar di rumah Tante Chika yang luas dan teduh. Materi beliau terkait pengetahuan kuno yang akan berlaku secara abadi. Beliau bertanya, apa yang paling berharga dalam hidup? Kukira ini pertanyaan yang sangat berat. Dua peserta menjawab "hidup" dan "ruh", jawaban-jawaban yang dalam, Ustad Khasan lalu menjawab, yang berharga adalah "kesadaran".

Kesadaran yang membedakan manusia dengan tumbuhan. Tanpa kesadaran ini, orang yang terlihat hidup tapi hakikatnya mati. Kesadaran di sini adalah kesadaran yang holistik untuk sampai pada Atman. Namun, kesadaran ini melalui akal yang terisi dengan memori, emosi, dan imajinasi bisa melenceng (ilusi). Bagaimana memurnikan akal? Kesadaran ini bisa diaktivasi lewat chanting, kalau dalam Islam menggunakan zikir untuk mencapai kesadaran tanpa batas, kesadaran murni, atau Tuhan. Kesadaran pun masih bisa kita nilai sendiri levelnya, ada di tengah ke atas atau tengah ke bawah? 

Namun intinya, untuk mencapai kesadaran murni, perlu disadari jika "aku bukanlah apa yang aku pikirkan, aku persepsikan, aku asumsikan, aku adalah Allah". Hanya dengan itu kita bisa merasa kembali pada yang Maha Luas, seperti satu titik air yang kembali pada samudra atau kesadaran yang menyamudra. Batin jika simbolnya samudra, diberi kotoran pun akan tidak berpengaruh. Lewat dzikir atau mantra, maka bisa mengembalikan kita ke kesadaran murni. Kita membuat jalan kita yang sempit menjadi luas. Dzikir bisa memusnahkan batas-batas identitas yang kita ciptakan sendiri.

"Dzikir itu bukan mengingat, dzikir itu menyadari."

Efek dari dzikir adalah ketenangan dan kebahagiaan atau yang kita sebut sebagai surga. Dari sini, kita bisa menjawab, apa harta sesungguhnya kita? Allah. Semua hanya pinjaman. Kotoran bisa rontok dengan dzikir. Dzikir juga akan membuat kita sensitif dengan yang lain. Nama yang kita dzikirkan pun bukan nama yang dikarang, tapi nama yang diwahyukan. 

"Diri kita tak terbatas, kita berada di seluruh alas, meditasi untuk mengasihi, melampaui, ketenangan, kasih sayang yang hadir. Meditasi yang khusyuk."

Dan saat praktik meditasi pertama, sekitar hampir 45 menit gak terasa, kalau aku sendirian, pasti akan terasa sekali. Lalu juga ada sharing time dengan seorang teacher dari India, panggilan beliau Swamiji. Dari keterangannya Bagus, Guru di International Vedanta Society cuma satu: Bhagavan. Bagus diinisiasi oleh beliau. Bhagavan sudah lepas dari tubuh tahun lalu. Swamiji kaki-tangannya Bhagavan. Swamiji itu gelar monastery untuk Biksu yang cowo (sanyasin). Swamiji sebagai teacher aja bukan Guru.

Guru beda dengan teacher. Guru itu tinggi banget. Ibarat pohon pisang kan sulit dibakar, tapi sama si Guru itu bisa. Apa yang gak mungkin jadi mungkin. Guru tahu past, present future muridnya. "Makanya kalo dia kasih instruksi itu perlu diambil secara personal. Sebab si guru tahu apa yang akan membantu muridnya." Guru tak tergantikan. cintanya guru itu luar biasa.

Dalam narasinya yang singkat, Swamiju mengatakan, kita semua sebenarnya suci, tapi dalam keseharian mengapa tidak seperti itu? Untuk mengembalikan diri yang murni, kita perlu latihan spiritual, salah satunya menyebut nama Tuhan, memanifestasikannya dari dalam ke luar. 

Fungsi chanting adalah untuk menghapus layers. Kalau diibaratkan, diri kita itu serupa pohon besar. dan gangguan-gangguan yang datang seperti burung-burung yang hinggap di pohon tersebut. Untuk mengusir burung-burung itu kita manusia bisa menggunakan kata "hush". tapi dalam konteks ini kita menggunakan mantra atau dzikir. Memanggil nama Tuhan dengan jiwa, intim, dan intens. Khusyuk sungguh-sungguh kita tak jauh dari Tuhan.

Bagaimana kita tahu chanting kita itu benar? Tandanya akan kita rasakan di hati kita, Tuhan menjadi dekat, Tuhan tak ada dua hanya satu. Lalu ada keinginan untuk selalu berdzikir. Air mata bisa menghapus atau memurnikan atau mensucikan jiwa, seperti air membersihkan tangan yang kotor. Pada tiap orang tidak sama efeknya, tetapi kedamaian hati pasti ada. 

Sebenarnya aku ingin sharing dan bertanya juga pada Swami terkait pengalamanku barusan, "SometimesI felt empty when I was meditating, is it normal? What's indicator that showing to us that we connect to the God?" Lalu dari sharing-sharing dengan yang lain aku mendapatkan jawaban, nope, gak normal, sama aja kayak otakmu lagi kosong padahal kamu diminta fokus. Masak iya Is, lu solat tapi lu kosong? Kan berabe, itu lu gak solat, atau dengan kata lain, itu lu gak meditasi. 

Sebagai hiburan, tadi Tante Chika juga nyanyi lagu Chrisye, "Jangan biarkan damai ini pergi, jangan biarkan semuanya berlalu, hanya padaMu Tuhan, tempat berteduh, dari semua kepalsuan dunia." Lalu, Ibu Sraddha Maa yang pernah dikenalkan Bagus padaku pada acara SSRF (semacam institut riset spiritual internasional) berbagi pengalamannya lagi. Bernama lengkap Pravrajika Shraddhaprama Mata (praktisi Vedanta) mengenalkan meditasi Nidra, lewat tidur, meditasi ini jujur langsung kerasa efeknya, badan pas bangun langsung enteng. Metodenya pun mudah, kita diminta tidur dan Ibu Sraddha Maa memberikan kata-kata baik atau suatu manifestasi baik pada tubuh untuk lebih bersyukur.

Sesi terkahir atau penutup yang banyak mengubahku dan memberiku banyak pelajaran. Aku ingin mencatat, tapi Ibu Sraddha Maa bilang untuk fokus mendengarkan saja, jangan mencatat.

"Spiritual itu dari hati ke hati, bukan pada tulisan yang berakhir pada sebatas intelektual." Beliau bilang begitu aku langsung jleb, ini kalimat sepertinya ditujukan padaku dan langsung menusukku. "Hati ke hati, yang membuka hatinya dengan luas akan mendapatkan banyak. Tidak apa-apa dapatnya sedikit, karena ini juga butuh waktu."

Peserta retret
Lalu, Ibu Sraddha Maa menjlentrehkan tiga tingkatan level kualitas manusia:

1. Satvik (warna kuning): Ini tingkatan tertinggi, ketika manusia sudah stabil, bisa mengenal dirinya, dari wajah dan fisiknya pun bisa diidentifikasi, wajahnya tenang, teduh, tidak grusa-grusu, punya kontrol diri yang baik, dan tertata, dan dia tahu waktunya akan digunakan untuk apa. Ini adalah tingkatan di mana manusia telah mengenal diri dan Tuhannya.

2. Rajasik (warna merah): Tingkatan tengah, kedua, yang terdiri dari syahwat, nafsu, hal-hal yang sifatnya gerak dan aktif, seperti memasak, bersih-bersih, dan lain-lain. Ini tidak sepenuhnya bagus atau enggak bagus, tapi jika ini tak diarahkan ke yang benar, akan menjadi masalah.

3. Tamasik (warna hitam): Tingkat paling rendah. Ini ditandai dengan sikap diri yang malas, mageran, tidak mau bertindak dan usaha. Jika ada di titik ini harus cepat-cepat disadari untuk naik ke level atasnya.

Nah, dari ketiga ini, sebenarnya kita bisa mengira-ngira ada di mana. Lalu Ustadz Khasan menambahkan konsep serupa dari Al Ghazali (aku lupa arabnya apa). Kata Bagus, "Soal triguna (tiga kualitas) ini asalnya dari filsafat samkya-yoga, mbak isma bisa eksplor. Sebab  bukan ada di manusia aja, tp juga di alam. Biasanya kl udah tau jadi jauh lebih peka nnti."

Yang menarik pula pas sesi tanya jawab, ada salah satu peserta IVS yang sharing, ketika Swami bertanya padanya, "Apa bedanya tujuan hidup dan keperluan hidup?"  Ini tentu pertanyaan yang sangat susah. Sebenarnya bisa dianalisis lewat pertanyaan lagi, kita makan untuk hidup atau hidup untuk makan? Dia mengatakan, keperluan hidup itu seperti makan, tidur, kerja, menikah, mencapai karier, itu perlu untuk hidup. Tapi tujuan hidup kita apa? Tak lain dan tak bukan adalah Tuhan. Anehnya, manusia kadang tertipu. Ini sebagaimana yang pernah dikatakan oleh Gus Baha, "Jangan jadi manusia bodoh yang meninggalkan sang pemberi rezeki dengan alasan mencari rezeki."

Acara dilanjutkan dengan meditasi penutup, di meditasi ini pengalamanku lebih baik, aku berusaha sadar, berusaha fokus, sembari dzikir. Ada beberapa peserta yang menangis, merintih, dan mengekspresikan spiritualitasnya dengan bersuara dan menggerakan tangan. Hingga cara ditutup dengan membaca Surat Al-Fatihah.

Lalu di akhir acara, aku dan Ibu Sraddha Maa bercakap-cakap lagi. Beliau banyak bercerita pengalaman pribadinya mencari dan mencari spiritualitas di berbagai tempat dan negara, hingga yang benar-benar cocok dengannya adalah Vedanta. "Serupa lebah mencari madunya kan, kalau udah nemu satu dia gak ke mana-mana lagi. Vedanta ini seperti nadiku. Dulu nyari-nyari juga di mana-mana tapi gak cocok." Lalu beliau bercerita sedikit tentang karma yang dihubungkan dengan pertemuan SSRF terakhir. Karma bisa dari orang-orang dekat: pasangan, orantua, adik-kakak, dlsb.

Wajah Ibu Sraddha Maa dan Tante Chika yang adem

Juga semacam empat jalan menuju (aku agak lupa) semacam yang hakiki gitu dengan jalan: pengetahuan, pengabdian, meditasi, karya bhakti. Yang terakhir ini paling cepat karena kita bekerja dengan ikhlas tanpa dibayar, tapi tak semua orang bisa karena butuh tenaga dan waktu. Beliau dan juga Tante Chika dan juga Om Aji kompak memuji Bagus, kata mereka Bagus itu pinter. Tante Chika juga bilang, Bagus sering ngisi kelas di sini dan ngajarnya jelas.

"Jelas banget konsep Vedanta kalau sama Bagus, dia bisa nerangin dengan sangat-sangat jelas, mudah, dan bisa dipahami, nanti kamu tanya Bagus, apalagi skripsinya tentang Vedanta. Dia itu young man with old soul. Bayangin umur 16 tahun ke Mas Aji dan mau belajar. Nadinya dia juga Vedanta," kata Bu Sraddha Maa yang pas saat aku mencatat kontaknya dinamai apa, beliau bilang, "Sraddha Maa saja atau Ibu angkatnya Bagus" hahaha. Bukan main emang Bagus. 

Meski Ibu Sraddha Maa mengatakan pula, Vedanta ini masih terbatas bagi orang Indonesia karena masyarakat masih sangat melihat form (bentuk), eh ini India, ini Hindu, udah antipati duluan. Padahal, ini ajaran yang universal (spiritual universality) untuk semua agama. Juga tak ada fanatisme di sini, isinya cinta, welas asih, kasih sayang pada semua macam keyakinan. Aku berniat belajar Vedanta lagi dengan pikiran yang terbuka. Vedanta menjadikan ke-Islamanku lebih kuat, menunjangnya ke arah yang lebih baik.

Yang bisa kucatat pula sebagai kesimpulan: Tujuan dari hidup adalah "merealisasikan Tuhan", merealisasikan sifat-Nya, karakter-Nya. Merealisasikan Tuhan berarti juga merealisasikan Diri. Mengutip Bagus dalam skripsinya:

"AV (Advaita Vedanta) membuka diri untuk semua agama, di tengah-tengah agama yang entah tidak tahu tujuannya apa, AV menawarkan jawaban: Self-realization/God-realization (moksha). Inilah tujuan agama bagi AV, tetapi sering dilupakan. Akibatnya agama tak punya dampak terharap diri sendiri atau dengan kata lain sebatas percaya, mengikuti nenek moyang sebagaimana quran larang dan membawa penderitaan. Maka menggunakan AV untuk memperkaya pemahaman ke-Islaman sangat mungkin sekali sebab keduanya dekat. Misalnya bagi penulis ketika membaca Islam dengan gaya AV akan menghasilkan pemahaman bahwa “syahadat” adalah tujuan, bukan formulir pendaftaran."

Kata Bagus juga padaku:

"Ini jalan sunyi, jalan yg sangat personal sekali mbak. Musuh kita diri sendiri🙏🏼aku juga masih berjuang menaklukan diri, khususnya yg disebut seven deadly sins itu. Jalan ini kadang naik kadang turun, makanya perlu jamaah, ada komunitasnya. Buat protect dan selalu terinspirasi di jalan self -realization ini.

Gak ada yg spesial dari Vedanta, dalam tradisi dianggap cuma sebatas petunjuk. Kalo kita disuruh ke pasar sama ibu ada daftar belanjaan. Daftar belanjaan itulah Vedanta. Jadi kalo udah tau barang apa yg mesti dibeli biasanya mampu melihat daftar belanjaan tradisi/agama lain. Tujuan agama cuma satu: memanifestasi keilahian diri, menjadi sempurna, menyempurnakan akhlak kalo kata agama. Jadi gak ada istilah konversi ke vedanta atau pindah agama jadi vedanta. 

Orang islam belajar vedanta hasilnya jadi muslim yg lebih baik. Begitu pun org kristen yg belajar vedanta, jadi kristen yg lebih baik. Begitupun orang buddha dst. Sebab yg ditunjukkan vedanta adalah pengetahuan utama, pengetahuan puncak."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar