Selasa, 28 Mei 2024

Catatan Film #14: How to Make Billions Before Grandma Dies (2024)

How to Make Billions Before Grandma Dies

Sebelum aku pulang ke Cepu dan mengajak keluargaku wisata ke Tuban, malam sebelum keberangkatan di esok harinya, aku menyempatkan diri untuk menonton film "How to Make Billions Before Grandma Dies" di Gajah Mada Plaza, Kamis, 22 Mei 2024. Nonton sekitar pukul jam 9 sampai 11 malam. Setelah beli barang-barang DIY berupa jam dinding, bantal untuk perjalanan, dan minum teh Tongji di foodcourt.

Film ini memang sedih, realistis, dan kata orang-orang "gak lebai", gak ada yang dilebih-lebihkan. Semua sesuai porsinya. Film ini diawali dengan pemandangan dan adegan ziarah di makam leluhur, si nenek panggil Ma atau Amah (Usha Seamkhum), dan si cucu panggil M (Putthipong Assaratanakul), awalnya serupa air dan minyak, susah mendekatkan keduanya. Namun, ketika Ma dikabarkan menderita kanker stadium empat, tiga anak-anak Ma berubah, termasuk M cucunya.

Konflik awalnya adalah soal warisan rumah Ma yang tua, yang terletak di sebuah kota lama di Thailand. Ma sakit kanker usus karena sering makan makanan kadaluarsa di kulkas, karena dia tak mau membuang makanan. Pekerjaan Ma tiap bagi bikin conge apa ya, aku lupa, semacam panganan tradisional khas Thailand gitu di dekat pasar. Tiga anak Ma kondisinya berbeda-beda, ada yang kaya raya, ada yang tidak bisa mengurus dirinya sendiri, ada pula ibu M yang bekerja sebagai pegawai toko.

Setelah dinyatakan menderita kanker usus, anak-anak Ma berbuat baik, tapi yang paling berinisiatif adalah M, cucu Ma. Awalnya, motif dia merawat Ma adalah untuk menjual rumah Ma sehingga bisa mengganti komputer rumah yang udah out of the date dan lemot mesti di-upgrade, apalagi M bercita-cita jadi seorang gamers. 

Namun, seiring berkembangnya karakter, M benar-benar merawat Ma dengan sepenuh hatinya. Salah satunya karena terinspirasi oleh Mui (Tontawan Tantivejakul) yang merawat seorang kakek ketika sakit hingga si kakek meninggal dan diwarisi rumah si kakek. Mui memberi tahu M, bagaimana merawat orang tua, apa yang kamu cium dari mereka, apa perbedaannya, bagaimana tahu kamu berada menjadi nomor satu di hati mereka? M terus mempelajari itu.

Hingga penyakit itu semakin mengeroposi usia Ma, hingga menjelang akhir kematian Ma, rumah ternyata diwariskan pada anak laki-laki Ma yang tak bisa mengurus diri sendiri, yang hidupnya serabutan, banyak utang, dan harus berjuang keras mengembalikan hidup stabilnya lagi. Anak laki-laki Ma yang kaya raya kecewa, mengancam tak akan datang lagi ke rumah Ma karena tak dapat warisan. Ma sempat ditempatkan di panti asuhan, tapi kondisinya semakin memburuk. 

M dipenuhi kesedihan yang sama, M dan ibunya akhirnya membawa Ma pulang dan merawat Ma di rumah. Dia pun pada akhirnya meninggal. Plot twist-nya, Ma menyimpan deposit di bank dari Ma senilai jutaan untuk diwariskan pada M cucunya. M pun menangis, dan Mui juga memberi tahu jika M sudah menjadi yang nomor satu di hati Ma.

Film yang disutradarai oleh Pat Boonnitipat ini memang genre keluarga yang sedih, yang bisa bikin nangis karena dialami oleh banyak orang, dan menyentuh perasaan. Orang Indonesia sebenarnya kaya dengan cerita-cerita seperti ini dan bisa membuat yang lebih dari ini. Dari review-review juga yang kubaca, film ini ngajari kita soal literasi keuangan juga. Aku sempat terkecoh kalau miliaran uang yang didapat M dari menang lotre, yang didoakan M pas ke kuil sama Amah dan anak-anaknya, ternyata tidak, dari deposito Ma yang dia tabung sejak lama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar