Sebulan ini, menutup bulan Desember 2020, ada dua sahabat dekatku yang menikah: Anis yang menikah dengan Billy, dan Rouf yang menikah dengan Fitri. Dua-duanya sudah seperti saudara sendiri, dan aku bertekad untuk mendatangi pernikahan mereka dengan apapun alasannya. Di pernikahan Anis yang diadakan di Desa Geneng, Jawa Timur, aku belajar banyak bagaimana tradisi orang desa ketika membantu saudara mereka yang tengah berhajat besar. Bagaimana kerukunan antar tetangga saling berhubungan.
Untuk tulisan ini, aku ingin menceritakan padamu tentang dua hari kemarin yang kualami saat datang ke penikahan Rouf. Awalnya aku sempat pesimis sepertinya tak bisa datang, tapi sepertinya niatku di awal mendapat sambutan. Aku berangkat ke tempat penikahan Rouf di Desa Jaken, Pati bersama pengurus LPM Arena: Lutfi, Sidra, dan Bagus. Kami berangkat pukul 7 pagi menggunakan dua motor. Motor dikendarai dengan kecepatan sedang. Mengambil jalur Jogja, Solo, Grobogan, Purwodadi, dan Pati. Di antara perjalanan itu pemandangan pegunungan karst terhampar, hamparan sawah, langit, dan suasana desa yang begitu khas kurasakan. Atmosfernya semacam membuang sedih. Pemandangan yang sopan sekali masuk ke mata ini.
Pemandangan Pegunungan Kendeng |
Aku yang boncengan sama Bagus juga sempat belajar terkait dunia spiritual. Obrolan spiritual di jalan sambil naik motor ini bermula karena kalau kuperhatikan, tiap kali Bagus lewat kuburan, tubuhnya bergidik sendiri. Lalu aku bertanya, apakah makam itu memberi energi tertentu? Bagus menjawab, bagi orang yang memiliki spiritualitas tertentu, dia akan melihat (sebagaimana kondisi saat padhang bulan atau bulan penuh, makhluk halus bisa dilihat lebih jelas dari biasanya).
Makhluk halus ini kadang bisa mengikuti seseorang, yang kemudian membuat hidupnya jadi sial. Sebab si makhluk halus tidak tenang dan mencari jalan untuk karmanya, yang biasanya melakukan hal-hal jahat. Bagus bilang jika manusia itu hidup tak berawal dari hal kosong (tabula rasa) sebagaimana kelahirannya pertama kali. Namun dibentuk dari semacam lingkar reinkarnasi kehidupan sebelumnya yang menentukan orang itu lahir di mana, di negara apa, dari orangtua seperti apa, di lingkungan yang seperti apa. Dalam diri manusia ada semacam karakter yang diwariskan dari kehidupan sebelumnya. Mungkin kamu pernah mengalami kejadian bertemu dengan seseorang untuk pertama kali, tapi rasa-rasanya kamu dan dia sudah pernah bertemu sebelumnya? Ya, kalian pernah bertemu di kehidupan sebelum ini. Itu tersimpan di dalam memory yang dalam, yang sangat sulit untuk kamu akses.
Masa 'sekarang' memiliki peran yang besar dalam mengubah kondisi karma itu. Seseorang bisa mengubah dirinya menjadi lebih baik atau lebih buruk dari "masa sekarang". Contohnya, ada orang yang di masa lalu hidup baik, lalu di masa sekarang dia bisa merasakan energi orang lain bahkan sejak pertama kali bertemu, mungkin hanya dengan melihat wajahnya saja. Orang ini kemudian bisa memutuskan apakah akan menjalin hubungan lebih lanjut atau tidak. Jika dia terus berbuat baik, maka kebaikan juga akan mengikutinya; jika tidak, bisa jadi ilmu itu akan hilang. Kalah oleh ego yang tinggi, nafsu, keinginan, dan harapan.
Bumi itu berada di tengah-tengah antara neraka dan surga. Golongan makhluk dari neraka inilah yang mengganggu manusia. Berhati-hatilah. Di Jawa ada yang namanya tradisi ruwatan untuk membuang sial. Dan kenapa sesaji di beberapa tempat itu penting, bukan karena syirik, tapi sebagai bentuk harmonisasi, penghormatan pada makhluk halus ini; yang keberadaannya memang ada seperti manusia meski dia tak terlihat. Bagus mengatakan, kenapa Bali terasa damai, karena masyarakatnya benar-benar menjaga leluhur.
Aku bertanya pada Bagus juga, apakah seseorang membutuhkan guru? Bagus menjawab sangat butuh. Guru berfungsi untuk menghapuskan halangan-halangan, hijab-hijab, atau kotoran-kotoran yang menghalangi kita pada yang hakiki: kesadaran dan Tuhan. Aku bertanya lagi, "di mana aku harus mencari guru?" Jawaban Bagus tak kuduga, "guru tak perlu dicari. Nanti dia akan datang sendiri jika Mbak sudah siap." Guru dalam hal apapun, entah spiritual atau bidang lain. Akan ada jalan sendiri yang menuntun, jika dicari nanti yang ditakutkan dia malah bukan guru, tapi orang yang justru ingin memanfaatkan materi, tubuh, atau hal lain dalam diri kita untuk kepentingannya. Saya kemudian menariknya ke konteks yang lebih luas, tak hanya guru, tapi juga hal-hal yang telah diatur seperti jodoh, rejeki, dan pati (nyawa).
Setelah motoran sekitar lima jam, dengan istirahat sekali, kami berempat akhirnya sampai di rumah Doel kembar, Rohman dan Rohim. Rumah Doel khas bangunan desa, beralas tanah, terbuat dari kayu, di belakangnya sawah, di samping ternak bebek, dengan rumah tetangga yang masih jarang. Strukturnya seperti rumah Joglo pada umumnya. Kami disambut oleh orangtua Doel, dan disuguhi pisang godog, pisang goreng, teh, kopi, dan buah-buahan (buah naga dan apel). Kami cangkruk sejenak selama sekitar satu jam sebelum bersama-sama datang ke tempat nikahan Rouf. Di sanalah diskusi budaya terjadi.
Kisah tentang Islam, Jawa, Katolik, dan keraton Jogja menjadi tema mayor yang kami bicarakan. Rohman bercerita bagaimana kewibawaan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX beserta track record-nya sebagai didikan langsung Belanda dan menjadi orang Jawa sekaligus. HB IX dinobatkan menjadi raja saat usia yang masih muda, dikira saat itu raja muda akan mudah untuk dibodohi, tapi sebaliknya, dia tak asal tanda tangan. Perjanjian penobatan raja dia pelajari dokumennya hingga setengah tahun sendiri, memeriksa pasal-pasal mana yang merugikan. HB IX posisinya strategis pula di zaman Soeharto, pernah jadi wakil presiden untuk mengimbangi kediktatoran Bung Besar meski HB IX sendiri kemudian turun. Sosok yang diam, tenang, kharismatik.
Juga terkait perebutan simbol kebudayaan di masa sekarang ini. Melawan kapitalisme dengan budaya sebagai counter dari komodifikasi eksotisme di mana hal-hal yang indah kemudian jadi produk dan menjadi kapital. Padahal eksotisme sendiri itu hal yang rapuh dan remeh, jika dibanding dengan kemanusiaan dan nilai yang baik dan luhur.
Selamat Rouf dan Fitri |
Usai foto-foto dengan pengantin baru, kami pun pulang. Kami istirhat untuk mendinginkan motor sekali, solat magrib (di masjid kami bertemu orang gila), dan makan malam bakso-mi ayam di tempat langganan Doel kembar. Ketepatan saat itu kondisinya turun hujan. Bakso jadi semakin tambah nikmat saja rasanya. Sampai di rumah Doel, kami duduk-duduk di depan sambil diskusi hingga jam 2 dini hari. Banyak sekali yang kami bicarakan dari kesadaran, Ibn Arabi, dharma, cahaya, hingga Arena, Balairung UGM, PPMI, rektorat, kepercayaan diri, gaya retorika kawan-kawan kami sendiri, dll.
Pesan yang kucatat di kepala: dharma bisa kita ketahui dari dalam diri kita sendiri, yang itu berasal dari nurani, baik, dan memberi kebermanfaatan bagi banyak orang. Setelah tahu dharma, seseorang belajarlah untuk taktis dengan menambah semangat survival--sebagaimana tulisan di belakang truk: "kuat dilakoni, lek ra kuat ditelateni."
Terkait teori cahaya pula yang memiliki tingkat-tingkat yang diketahui oleh orang arif (mengetahui). Dari tingkat cahaya lampu, cahaya mata, cahaya matahari, hingga cahaya yang sejati, kesadaran, Tuhan. Kesadaran ini selalu hidup dan menyaksikan. Hal-hal di luar kesadaran ini yang menjadi tantanngann kehidupan seseorang. Rasanya, aku seperti menemukan hidup kembali berada di lingkaran ini. Persahabatan, kekeluargaan, dan diskursus pemikiran ini menjadi harta berharga yang aku miliki.
Sarapan bersantan khas Pati |
Keesokan harinya, emakya Doel membuatkan kami sarapan dengan sayur jantung pisang bumbu santen, ikan bandeng khas Pati, dan tempe goreng. Sungguh nikmat sekali pagi itu. Usai itu, kami pulang ke Jogja, berangkat siang sampai sore. Aku pun teringat dengan film Tiga Hari Untuk Selamanya, film Nicholas Saputra dan Adinia Wirasti terkait perjalanan mereka dari Jakarta ke Jogja untuk menghadiri pernikahan. Terinspirasi dari judul itu, aku pun ingin memberi judul Dua Hari Untuk Selamanya pada tulisan ini, lalu aku ubah lagi agar konteksnya lebih tepat dari pegnalamanku: Dua Hari Untuk Dikenang.
Aku ingin menutup tulisan ini dengan lagu Monolog dari Pamungkas: 'alasan masih bersama, bukan karena terlanjur lama... tapi rasanya, yang masih sama...' Terima kasih kawan-kawan.
Godean, 28 Desember 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar