"Hidup tak selamanya linier. Tubuh tak seharusnya tersier.
......kau terbang, dari ketinggian mencari yang paling sunyi." ERK
Ya, mungkin itu lagu yang saya rasakan dalam jelajah wisata hari pertama di desa Tewang Rangas, Katingan, Kalteng dalam acara tiwah massal. Sebuah upacara pengangkatan tulang-tulang (simbol roh) dari dalam kubur oleh suku Dayak Kaharingan.
Kesana rombongan diantar naik avanza, jadi avanzanya banyak
banget. Kelompok kami berdelapan: bapak sopir, Bunda Olie (UI), Dinda (Suaka), Putri
(IKJ), Nuri (Boven/Borneo Andventure), Mbak Diah (LPM Akademika Universitas
Udayana Bali), Ummi Yana (Samarinda), dan saya (Arena).
Pemberangkatan sekitar jam sembilan pagi, perjalanan ke
Tewang Rangas ditempuh dengan menyeberang sungai, di daerah Pendara (seingat
saya). Di mobil, saya memperhatikan apa yang bisa saya lihat lewat jendela.
Saya menemukan beberapa hal menarik, seperti mode rumah panggung orang-orang
Kalimantan yang terbuat dari kayu ulin (kayu besi). Atap-atap mereka yang di
pucuk di pinggirnya itu bentuknya seperti dua pedang bergerigi yang saling
disilangkan—saya dengar itu rumah khas dayak.
Selain mensakralkan hutan sebagai tempat tinggal, sungai
memiliki arti yang penting juga bagi masyarakat di sini. Malahan, di pinggiran sungai itu
lebih banyak penduduknya, lebih ramai, lebih ada kehidupan daripada di kotanya
sendiri. Nah, pas nunggu Avanzanya nyeberang, peserta pada mencar. Sebagian
ada yang bergerombol, sebagian juga ada yang berinteraksi dengan masyarakat sekitar, salah satunya saya. Terlibat
dialog-dialog yang banyak memberi saya informasi, seperti suku dayak itu
ternyata macamnya banyak sekali. Dari dayak ngaju (suku dayak Kalteng) sampai dayak ot, suku dayak
kanibal yang memakan daging manusia. Mereka hidup di hulu sungai.
Seorang ibu bermata belo dengan gestur orang yang hobi
bicara, dengan ekspresif bercerita ke saya tentang orang dayak, juga tentang
tiwah. Kata ibu itu, tiwah itu memakan korban tapi kita tak bisa menerka
korbannya siapa. Ada lagi satu ibu berkerudung, ibu ini seorang guru agama Islam
yang ngajar di sekolah di daerah pinggiran sungai yang akan kami seberangi. Di
sini meski agamanya bhineka, bahkan dalam satu keluarga bisa tiga agama (Islam,
Nasrani, Kaharingan) tetapi toleransi di sini kuat. Hal ini diceritakan pula
oleh seorang bapak paruh baya, dia seorang aktivis NU gitu di sini—tapi saya
baca dari komunikasinya tak seprogesif mereka yang tinggal di Jawa.
Yang berkesan itu saat saya dan Imam (dari Ekspresi UNY) ikut
main-main sama tiga orang adik-adik SD—anak ibu-ibu itu. Mereka sedang main rujak jambu
biji. Anak-anak itu memberi saya jambu satu biji, saya coba,
rasanya lumayan, haha. Dan bumbunya sangat unik: kecap + royco. Itu bumbu rujak terabsurd yang
pernah saya coba. Aduh, menyenangkan sekali bermain dengan mereka.
|
sedap |
|
Imam kayaknya pengen |
Selain itu, saya juga melihat sebuah rumah yang di depannya
ada tiga anjing yang tengah bersantai. Saya belum menemukan alasan kenapa di
sini banyak sekali orang yang memelihara anjing? Alasannya saya temukan nanti
ketika kunjungan ke Tumbang Manggu. Oya, tentang anjing: di Dayak, orang yang
menabrak anjing, babi, dll kena denda berpuluh-puluh juta atau tanah berhektar-hektar.
Dihitungnya per puting, karena anjing dan babi akhirnya juga akan berketurunan
tak berhenti. Sebanyak itu kerugian yang harus dibayar.
|
kupunya anjing, kuberi nama kucing (pidi) |
Setelah nunggu satu per satu mobil diseberangkan, kami pun
ikut disebrangkan dengan semacam getek yang lapang. Merasakan sungai dan ikut
euforia foto-foto. Lalu tadabur lagi, dari atas sungai saya melihat beberapa meter
di daratan saya ada gereja yang berdiri bersampingan dengan masjid dan dengan
pura umat Kaharingan. Sebuah potret yang susah saya temui di Jawa. Di sini
keaneka ragaman seperti berkah.
Jalan menuju Tewang Rangas tak begitu mulus. Tanahnya warna
orange, ya, tanah gambutnya Kalimantan. Debu-debu berterbangan dimana-mana,
jarak pandang kadang tertutup. Di kiri-kanan yang saya lihat tanah rerumputan
yang tak terurus. Hingga kita memasuki kawasan desanya yang lagi-lagi ada di
pinggiran sungai yang luas. Di perjalanan juga saya melihat sebuah ladang yang
indah. Begitu tertata dengan cahaya-cahaya yang sepertinya sangat diatur dalam
pagar, pohon, dan rerumputan yang hijau. Sejuk saya memandang, rasanya tak
ingin pergi kemana-mana.
Sedikit mengulang, tiwah merupakan adat upacara pengangkatan
roh bagi masyarakat Dayak Kaharingan yang hidup di Kalimantan. Jadi, tulang leluhur yang sudah terkubur bertahun-tahun diangkat, diupacarakan dan dipindah ke sandong. Acara
tiwah memang hajat besar. Banyak tenda-tenda yang dipasang di depan rumah
seperti orang mau menikah.
Upacara umat kaharingan ini hanya dilakukan bagi
keluarga-keluarga yang secara finansial mampu. Menurut berita, tiwah terakhir
dilakukan pada tahun 1954, dan tahun 2015 ini setelah 61 tahun, upacara
dilakukan lagi dari tangggal 6-9 Agustus. Tahun ini dilakukan secara massal,
sehingga dinamakan tiwah massal.
|
sama hantu bertopeng dan Bastian |
Pengangkatan roh dilakukan dengan menggali tulang-tulang.
Proses ini mempunyai filosofi pengangkatan jasad dari alam kubur untuk
disampaikan pada sang khalik, pada Hattala (Tuhan). Yang melakukan tiwah adalah pihak keluarga, dari
leluhur ke leluhur kaharingan. Tiwah menganut dua sistem, yakni sistem pisau
dan pasir. Dalam melakukan upacara ini juga banyak sekali pantangan-pantangannya.
Banyak pula istilah-istilah tiwah dalam bahasa dayak yang saya kenal, seperti
pisur (tokoh adat, orang yang mengangkat tulang-tulang), pambak, sandong, dan kawan-kawan.
|
boneka yang menunggu roh-roh |
|
sakarya: lambang kaharingan, tiwah |
|
wadah tulang-tulang |
|
sisa jasad-jasad |
|
pambak |
|
sandong: tempat tulang-tulang |
Saya bilang ke Imam,
berat
sekali ya Mam upacaranya, kata saya. Dia jawab:
berat karena kita tidak terbiasa, coba kalau sudah terbiasa? Islam itu bagi
mereka juga berat. Mau sholat mesthi wudlu dulu, ini itu dulu. Imam ngomong
gitu saya seperti dapat pencerahan.
|
sapunduk: tempat mengikat hewan |
|
nyepetik, memberi makan roh |
|
persembahan: kepala sapi, kerbau, babi, dll |
|
melewati kinting (tali pembatas pintu dengan daun-daun berisi simbol) |
Usai, keliling Tewang Rangas lihat tiwah yang ramai, kita
makan di sebuah rumah panggung dengan makanan Kalimantan. Rasa masakannya
meninggalkan cap tersendiri di lidah saya. Sorenya kita pulang dengan nyeberang
getek lagi. Waktu itu sore, boleh dibilang senja dengan matahari yang keemasan
di ufuk barat.
Waktu itu saya memilih keluar dari mobil dan duduk di
pinggiran rakit menghadap arah matahari. Saya meresapi senja sore yang rasanya
begitu romantis. Warnanya tak menyilaukan mata, sejauh mata memandang hijau
pohon, air mengalir, dan awan. Saya ingat Mas Opik dan Mas Taufiq, dua pemuda
kehilangan arah.
Saya juga ingat dengan orang yang saya cintai. Tiba-tiba
saya rindu mereka. Kakak-kakak saya. Kami bertiga beberapa kali melakukan
tradisi diskusi dan menikmati senja bersama di kawasan UIN. Ah, andai mereka
ada di sini… Sore dan hari yang manis di Kalimantan…
Dan yang terlupakan lagi, di pinggir jalan dalam perjalanan
menuju rujab, Bunda Olie beli semangka di pinggir jalan. Penjualnya mirip Budi
Anduk. Kami berdelapan turun bersama-sama, semangka dipecah dan dimakan di
sana. Harga di sini memang agak mahal sih. Beli sawo juga. Wah.. seger…
IS - Tewang Rangas,
Agustus 8, 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar