Merasa diberkati sekali karena saya masuk dalam kelompok yang asyik-asyik sekali orangnya.
Ini saya tulis sesingkat perkenalan saya, tidak bisa menjadi
patokan bagaimana watak sesungguhnya. Haha...
Kholidah Tamami
Kerap dipanggil Bunda Olie. Dulu pas masih di Universitas
Pasundan, Bunda aktif dalam LPM Jumpa. Usai itu Bunda didaulat jadi Pemimpin
Redaksi di pers Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam UI. Ibu beranak satu
ini mudah akrab dengan siapa saja, komunikatif, dan keibuan. Ia ingin menjadi
wanita yang mengerti dengan perasaan orang lain, itu
sebabnya kenapa ia ingin dipanggil bunda.
Dalam pendakian ini, bunda udah kayak malaikat penolong saya
yang melimpahkan 80% alat dakinya untuk saya pakai, sehingga saya bisa mencapai
puncak. Bunda tidak jadi ke puncak karena beberapa alasan, salah satunya takut
dengan pacet. Apapun, saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Bunda. Saya
belajar banyak dari Bunda. Big huge, big
thanks.
Nesa Riesta
Pertama nyapa pas di rumah betang Tumbang Manggu. Pas dia
nanya sama Pak Syaer Sua mengenai akses transportasi ke desa tersebut. Orangnya
kalem dan agak pendiam. Dia mengaku buren, bujangan keren. Asalnya Surabaya,
tapi asal usul keluarganya ada yang dari Bali. Dulu pernah kuliah di
Universitas Hang Tuah jurusan menejemen apa ya? (saya lupa). Rekor waktu kuliahnya mapala
banget, masuk tahun 2004, keluar tahun 2012. Dalam ekspedisi Kalteng ini dia
perwakilan dari Oanc Kaskus, sebuah situs petualangan.
Wah, Bang Nesa ini prepare
banget perlengkapan naik gunungnya. Dia sebenarnya juga
pintar masak, tapi agak ditutupi gitu. Buktinya, dengan tangan kidal Bang Nesa ngrajang bawang brambang cepet banget,
rapi banget kayak chef profesioanl. Tuhkan, sebenarnya dia pinter masak,
tapi apologinya gini: Ah enggak, cuma
sering nglihatin mamah di rumah masak. Bang Nesa ini juga satu-satunya
anggota kelompok VI yang bisa masak nasi dengan tidak membuat nesting dan nasi
gosong. Haha.
Saya ingin berterima kasih pada Bang Nesa karena di hari
pertama pendakian, Bang Nesa yang secara tidak langsung memancarkan keoptimisan
pada saya untuk terus semangat. Waktu itu di perjalanan menuju Pos I Dahie, saat
pertama kenalan nama (haha, kenalan yang telat). Ya, dia nemeni saya jalan
sampai tiba di pos I.
Pas di hari ketujuh pendakian juga, Bang Nesa jugalah yang
dengan sabar menemani keleletan saya selama 8,5 jam berjalan dari sebelum Soa Tohotung ke Tosah ke
Dahie. Yang dengan rendah hati menyamakan frekuensi langkahnya dengan saya.
Saat itu perut saya sedang sakit karena dilep
(diksi aneh yang baru saya dengar darinya dan dilep itu sejenis penyakit
nyeri bulanan perempuan), tapi dia masih mau pengertian. Rasanya saya seperti
ditemani kakak sendiri, haha. Coba semua pendaki seperti Bang Nesa?
Dia bilang kesibukannya sekarang sedang nungguin warung (warung
apa bang?).
Dinda Ahlul Latifah
Superwoman dari
Sunda ini mah. Teman perjalanan saya
yang paling setia. Prinsipnya gini: berjalanlah mesthi merangkak, jangan
cepat-cepat berhenti dan istirahat. Latar belakang Dinda, dia perwakilan dari Lembaga Pers
Mahasiswa Suaka UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Pertama kenal Dinda di Rumah Betang Palangkaraya, tahu saya pulang naik kapal, dia langsung meluk saya.
Kesan pertama, Dinda ini mudah akrab, ngomongnya cepat, dan orangnya meriah
kayak kembang api.
Sebenarnya Dinda juga aktivis kampus. Dia juga ikut LPIK (Lembaga
Pengkajian Ilmu Keislaman) dengan trilogi yang Dinda katakan, membaca-diskusi-menulis. Yang sekretnya
dekat dengan Suaka. Selain itu dia juga ikut mapalanya UIN Bandung, namanya Maha Peka (Mahasiswa Pecinta Kelestarian
Alam). Dari curhat Dinda sama Aldi pas di pos puncak Kait Bulan, anaknya kayak
Soe Hok Gie juga: progresif dan idealis.
Sepak terjang Dinda juga sudah banyak jika ngomongin alam,
entah berapa gunung yang pernah ia taklukan juga pengalamannya seperti hidup di
pedalaman Suku Baduy.
Ada kritik yang menghantam kepala bagi mapala kampus dari Dinda. Mapala
kampus sekarang kerjanya suka nongkrong nggak jelas. Gak bisa ngonsolidasikan
kampus agar bisa dilihat lestari atau diisi dengan kegiatan-kegiatan alam. Ya,
setiap orang punya caranya sendiri, termasuk Dinda. Seperti tulisan dalam
kaosnya: biarkan kami berkiprah dengan
cara kami sendiri.
Nazmi
Saya berhutang banyak dengan teman perjalanan saya satu ini.
Dialah teman perjalanan kali ini yang paling paham seberapa kekuatan saya.
Sekaligus yang paling saaabar berjalan di belakang saya, yang menemani jalan
saya yang timik-timik dan merangkak-rangkak—meski saya tahu sebenarnya dia bisa
berlari dalam hutan. Dia juga yang membantu saya mengurangi beban tas kamera
saya saat menuju pos II. Dia juga yang ngingetin agar dalam hutan saya tak
menutup mata dan ngelamun karena kelelahan.
Nazmi, anak Mapala Justitia Fakultas Hukum Universitas
Lambung Mangkurat / Unlam Banjarmasin. Orangnya tak terlalu banyak bicara juga,
tapi dalam dirinya sebenarnya perhatian.
Makasih Nazmi. Makasih.
Chondro Wardhono
Kakak angkatannya Nazmi, anak Mapala Justitia juga. Asalnya
katanya dari Surabaya, tapi kuliahnya di Unlam. Chondro, orangnya asyik, suka
bercanda, lucu, dan apa ya? Oya, terima kasih juga untuk Chondro yang dengan
sabar menemani keleletan saya.
Perjalanan berkesan sama Chondro itu pas perjalanan mau ke
puncak Bukit Raya. Pertama, saya hampir jatuh terperosok ke jurang (tak terlalu
dalam sih) pas Chondro lewat dan saya duduk di kayu yang rapuh. Kedua,
magrib-magrib dengan head lamp yang
error, berdua berjalan sama Chondro trus dia marahi head lamp-nya itu. Saya ngira
dia kesurupan penunggu Bukit Raya. Alhamdulillah tidak. Ketiga, jam
setengah tujuh malam saya dan Chondro nyampe di puncak Bukit Raya. Yeah. Chondro langsung menyuruh saya
berdoa, karena konon jika kita punya keinginan dan berdoa di Puncak Bukit Raya
ini suatu hari akan terwujud. Saya langsung memohon pada Alloh dengan tiga
permintaan, haha.
Great job brother.
Wahyu Nur Wahid
Dia adalah ketua Kelompok VI. Anak (yang kadang) paling
tidak rasional. Anak yang nyetusin yel-yel: “kelompok
enam: EDAN TENAN!”. Wahyu, mahasiswa Universitas Airlangga Surabaya yang punya
fans namanya Dinda, haha. Hobinya membuat orang lain tertawa, asyik, rame,
apalagi ya? #pokoke njoget.
Dia aktivis Wanala (mapalanya Unair). Pernah ikut ekspedisi
Indonesia Raya gitu. Orangnya care juga.
Di gunung masih sempat bawa vitamin C dan B kompleks. Kenangan paling ngena sama Wahyu pas makan sepiring
berdua lauk ikan goreng di Pos I Dahie mau pulang, hahaha—sorry Din, jangan
cemburu, kita cuma berteman :D.
Diah Dharmapatni
Mbak Diah ini mahasiswa jurusan antropologi tingkat akhir di
Universitas Udayana Bali. Aktif di LPM Akademika juga. Di ekspedisi ini
mewakili semacam citizen journalism Bale
Bengong, situsnya orang-orang Bali.
Sebagai orang Bali, Mbak Diah juga jago nari Pendet. Bahkan
Mbak Diah buka kursus Tari Pendet di Rujab. Muridnya Fitri, Nuri, dan saya,
haha. Dikit-dikit bisalah. Pas ngepoin situsnya
juga, Mbak Diah ini penyiar radio juga lho.
Sayangnya, Mbak Diah dalam pendakian ini tidak mencapai
puncak karena kakinya terkilir.
Aldi
Ini dia, raja gombalnya Kelompok VI. Rasanya muda terus
kalau di dekatnya Aldi. Apapun bisa diubah menjadi rayuan. Selain baik, anaknya
juga suka bercanda dan asyik. Dia anak mapala juga di kampusnya, Universitas
Bung Karno (UBK) Jakarta.
Nah, Aldi itu punya dua sahabat dari UBK juga namanya
Cahyadi dan Tejo. Kalau diibaratkan, ketiga anak ini kayak tiga sahabat dalam
film India 3 Idiots. Dan Aldi yang jadi Ranchodasnya (ah, kayaknya nggak
cocok), haha.
Cahyadi
Anak UBK. Lucu, suka godain si Dinda sama Aldi, karena kalau
godain saya mereka kapok. Balasan saya tak sebanding dengan gombalan mereka,
balasan saya paling banter cuma senyum, ngangguk, ketawa kecil. Kalau
bosan godain Dinda, Bang Nesa pun kadang juga kenal gombalan, hahaha.
Cahyadi itu suka nyanyi, tapi kedengarannya jadi aneh—karena
terbata-bata.
Tejo
Satu komplotan sama si Aldi dan Cahyadi, tapi anaknya lebih quiet ketimbang dua temannya itu. Tejo
orangnya baik juga. Wajah dan watak Tejo mengingatkan saya dengan teman sanggar
saya yang njawani banget.
Isma Swastiningrum
DPO. Penyusup di Kelompok VI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar