Kedua, Pak Tenglie semacam menyindir peserta begini: ada
perbedaan yang mendasar bagi mereka yang serius benar-benar ingin melestarikan
alam dengan mereka yang hanya ikut sekedar untuk seremonial. Yang kedua itu
bagaikan bola yang besar gaungnya tapi keropos di dalamnya. Jlebnya tuh di
sini, di hati. Ada yang saya suka dari Pak Tenglie ini, selain humble dia tipe pemimpin yang membangun
orang lain itu dari dalam orang itu sendiri. Dan yang paling saya suka: dia
mencintai seni, alam, dan keindahan. Ingat bapak saya: pemimpin yang tahu seni
dan tidak itu bedanya sangat jauh. Nilailah dari tata kotanya.
Setelah upacara, kami menanam pohon di sekitar kantor
bupati. Saya sama Dinda, Fitri dan Bolin kompak banget nanam pohonnya. Apalagi
Dinda yang penyayang banget sama tumbuhan, sampai-sampai air minumnya dipakai
buat nyiram. Di depan kantor itu juga ada monumen patung pahlawan nasional
asli Kasongan, Tjilik Riwut. Dia pernah menjabat sebagai gubernur Kalimantan
Tengah, tokoh nasional yang dekat juga dengan Bung Karno. Saya mendekati patung
itu dan menyapa beliau, saya yakin dia tahu. Beliau ini juga seorang penulis
buku dan seorang pecinta alam yang ulung, kata Wikipedia:
Tjilik
Riwut yang dengan bangga selalu menyatakan diri sebagai "orang hutan"
karena lahir dan dibesarkan di belantara Kalimantan, adalah pencinta alam
sejati juga sangat menjunjung tinggi budaya leluhurnya. Ketika masih belia ia
telah tiga kali mengelilingi pulau Kalimantan hanya dengan berjalan kaki, naik
perahu dan rakit.
Penanaman pohon kami lakukan kembali di Kebun Raya Katingan.
Jujur, menurut saya kebunnya masih gersang. Kata Pak Tenglie rencananya, master plan taman nasional ini akan dibuat kayak Kebun
Raya Bogor, sebagai tempat budidaya berbagai macam tanaman dan tempat
penelitian. Perlu usaha lebih keras saya kira.
Yang jadi kagak nyambung ini kan agendanya nanam pohon, tapi
kami malah disuguhi dangdutan. Jadinya ada semacam ketimpangan, ada yang nanam,
ada yang sekedar menonton dan joget-joget. Rasanya tidak maksimal dan begitu
dimanjakan—kok saya yang sewot ya? Pohon yang dihadirkan untuk ditanam pun
sedikit, tak sebanding dengan jumlah peserta, atau hanya sekedar simbolisasi?
Entah. Yang saya takutkan ramalan kedua dari amanat Pak Tenglie tadi pagi
terjadi. Padahal ‘kebun raya’ ini perlu mendapatkan perhatian serius.
alam apa perlu goyang dumang? |
nanam-nanam |
Di kebun ini juga saya ingin berterima kasih pada Hendra.
Anak pers Universitas Bengkulu yang memberi saya kursus singkat tentang kamera
yang entah SLR atau DSLR ini. Dia sepertinya paham kalau saya tjah ndeso iki tidak paham cara
memakai kamera milik ARENA itu. Dia jelasin
dari A-Dep, M, AV, TV, Auto, Potrait, landscape, cara ngatur ISO, speed, dll. Guru memang bisa datang dari arah yang tak kau sangka-sangka. Thanks Hendra!
Perjalanan berlanjut ke Bukit Batu. Apa yang ada di otakmu
ketika mendengar Bukit Batu? Yah, yang pasti isinya batu, haha. Jangan salah,
tempat ini sebenarnya adalah tempat balampah (semedi). Objek wisata spiritual
yang dulu dipakai Tjilik Riwut untuk bertapa.
Pasah Patahu, rumah roh |
Saya punya tiga asumsi mengenai
mitos dan sedikit logika tentang Bukit Batu ini:
#Pertama, legenda Burut Ules. Kisahnya mirip dengan legenda
Jaka Tarub di Jawa. Singkatnya, ada pria desa bernama Burut yang melihat
bidadari-bidadari dari langit mandi di telaga. Burut jatuh cinta pada bidadari
paling bungsu dan mencuri pakaiannya—karena tanpa pakaian bidadari itu tak bisa
terbang. Lalu mereka menikah dan punya seorang anak lelaki. Nah, ini yang
menarik, konflik perselingkuhan. Jadi saudara laki-laki dari bidadari itu
datang ke keluarga kecil ini, hidup menumpang. Lama-lama bidadara nan mamut
menteng (gagah perkasa) tak tahu diri sering berduaan dengan bidadari bungsu.
Si Burut cemburu dan membunuh bidadara. Istrinya tahu dan
memutuskan untuk kembali ke tempat asalnya—setelah menemukan pakaiannya. Istrinya
bilang anak lelaki mereka ketika dewasa akan hidup di alam ayahnya. Nah, suatu
hari perkataan si bidadari ditepati. datang halilintar dari langit dan
menurunkan batu-batu yang sekarang menjadi bukit batu. Konon di bukit batu
itulah anak Burut diturunkan.
Telaga Bawin Kaleloh |
Mungkin di tempat ini bidadari mandi |
#Kedua, kisah orang tuanya Tjilik Riwut, Pak Riwut Dahiang
yang ingin sekali punya anak laki-laki tapi tak pernah sampai besar, karena
sering meninggal ketika balita. Lalu Dahiang melakukan pertapaan di Batu
Keramat itu, berdoa kepada Hatalla (Tuhan). Doanya terkabul dan lahirlah si
Tjilik ini. Anak yang nantinya akan mengemban tugas yang besar untuk negara. Bagi Tjilik tempat ini jadi tempat nongkrongnya untuk semedi. Begitu
dekatnya sampai-sampai ketika Pak Riwut Dahiang dipanggil rohnya oleh Hattala, Bukit Batu
memberi Tjilik isyarat dalam mimpi.
Batu Banama |
#Ketiga, dari sudut pandang sains. Ini hasil obrolan
singkatku sama anak Teknik Pertambangan, namanya Adek. Asumsinya gini: ini batu
hasil dari erupsi gunung yang dimuntahkan. Anehnya di kawasan ini tak ada gunung.
Jika pun asumsi ini benar, maka tidak jauh dari Bukit Batu ini harusnya ada
sungai, tapi tidak ada. Trus? Kami mencoba menyambung-nyabungan dengan teori
lempeng tektonik. Siapa tahu batu-batu ini hasil dari pergerakan konvergen,
divergen, atau transform bumi? Harusnya
di sini ada semacam penelitian ilmiah yang bisa dipertanggungjawabkan. Guna
menjawab pertanyaan, darimana asal batu-batu ini? (dan saya berharap ini pada
si Adek—atau sambil nunjuk muka sendiri).
sama Adek |
Di sini itu yang saya bingungkan juga batu-batu di sini kan
banyak nama-namanya ya, dan per batu ada tuahnya sendiri. Itu ceritanya gimana ya?
dekat Batu Penyang |
Batu Keramat |
Batu Sial |
Batu Dewa |
Batu Darung Bawan |
Batu Kamiak |
Ya, setelah puas menikmati Bukit Batu, menjelang sore kami
kembali ke rujab. Agendanya pembagian kelompok pendakian ke Bukit Raya.
IS – Bukit Batu Kasongan (Katingan), Agustus 9, Minggu 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar