dengan kapal malam kuberangkat sendiri dengan sakit yang mungkin
dalam perjalanan terobati....
Senin, 3 Agustus 2015
Setelah muter otak antara berangkat dan tidak. Di hari ini ubrek-ubrek persiapan nyiapin ini itu buat acara “Jelajah Wisata Budaya 1000 Jurnalis” di Katingan, Kalimantan Tengah. Pagi masih sempet ngangkring sama Anis di angkringan belakang gelanggang. Sorenya diantar Anis yang baik hati ke terminal giwangan, cus ke Terminal Bungurasih Surabaya. Berangkat pukul 5 sore sampai setengah dua pagi. Ongkos bus Jogja-SBY sekitar 56 ribu. Tiket kapal Tajung Perak - Pelabuhan Kumai 310 ribu.
Selasa, 4 Agustus
2015
Kayak orang ilang di terminal. Jam masih sangat dini, satu-satunya tujuan adalah masjid. Ya, saya ke mushola kecil dekat terminal namanya mushola Nurul apa gitu. Di sana kayak tempat pengungsian para musafir. Halaman mushola penuh orang-orang tidur kayak pindang. Sampai mau sholat saja saya kesusahan cari tempat. Latar belakang mereka saya perhatikan banyak sekali kebanyakan musafir laki-laki, penjual makanan, pengemis, pria-pria berwajah preman sampai orang gila.
Saya duduk dan ketemu bapak-bapak yang kerjanya bantu nyari
buronan penjahat. Bicaranya kayak orang mabuk, istrinya tidur di depan
mushola beralas kardus. Awalnya dia nggremeng semacam mengaduh sama
istrinya, nyetel lagu kenangan. Saya cuma duduk diam trus bapaknya nanya saya.
Dia banyak cerita tentang para pencopet, pasal-pasal KUHP, dan modus kejahatan
yang sering terjadi.
Lalu dia minta uang 5 ribu sama saya, saya tak punya 5
ribu, adanya 10 ribu, trus saya berikan. Dia belum gajian katanya. Bapak itu
menyuruh saya istirahat di ruang tunggu terminal, tapi saya pengen istirahat di
pelataran mushola ini. Saya nyari tempat, eh, bapaknya minjemi saya kardus.
Saya pun tidur di dekat pagar sambil gelar kardus, sampai nunggu subuh.
Usai subuh, nyari jalan ke Tanjung Perak. Karena
berangkatnya masih lama jam 11 malam, saya bingung mau kemana. Saya cari masjid
yang besar lagi, ketemu.. arsitek masjidnya semacam masjid Akbar Surabaya. Eh,
jam berapa gitu saya diusir sama merbot masjidnya, mau tutup atau gimana? Saya tak paham
(maklum, masjidnya masih dalam tahap pembangunan). Saya nenteng tas saya yang
berat lagi tak tentu arah.
Saya stress HP saya mati, saya tak bisa ngubungi
siapa-siapa. Yang saya takutkan hanya orang tua (jika mereka mencari saya,
karena saya tak ijin). Yaudah, saya dapat bus Damri arah ke Perak, saya naik
bayar 5 ribu. Karena rencananya juga hari ini mau bayar SPP, saya berhenti di
tengah jalan, di deretan jalan yang banyak bank-banknya. Saya berhenti di
Monumen POLRI Surabaya.
Monumen POLRI Surabaya |
Di monumen itu saya njajal kamera, ilmu saya minim banget
tentang kamera. Saya utek-utek, apesnya, pas lagi ngutek-ngutek badan saya
kenak semprot selang air besar yang buat nyiram taman kota. Baju saya bagian
belakang basah. Dikiranya di situ gak ada orang, petugasnya main siram begitu
aja. Mandi deh, mandi.
Taman saya disemprot |
Saya pun menyingkir. Saya kembali ingin mencari masjid buat
ngecas HP dan leptop. Saya muter-muter sekitar monumen, kata bapak penjual
rujak, masjid jaraknya masih jauh. Saya berjalan terus dan yang saya temukan adalah gereja Hati
Kudus Yesus di kawasan keuskupan Surabaya.
Sambil nenteng tas berat saya masuk
ke pagar gereja menemui satpamnya. Saya ijin mau ngecas, satpamnya ngijinin.
Tempat casnya di dinding depan gereja pas. Makai pakaian Islam berekerudung
saya berani-berani saja. Duh, saya sangat berterima kasih dan bahagia. Jika ada
Yesus di situ mungkin saya akan memeluknya kayak anak kecil. Di depan gereja
itu orang berwajah chinese lalu lalang. Saya duduk kayak gembel sambil ngedit
tulisan yang belum selesai. Sekitar se-jam lebih nunggu di situ.
Akhirnya HP saya bisa dan langsung telpon ke rumah.
Sebenarnya saya pengen bilang banyak ke bapak, tentang IP, tentang kegiatan saya,
tentang kebohongan saya yang bilang libur cuma sebulan, juga tentang kepergian saya
ke Kalimantan.
Namun, saat ngomong di telpon. Denger suara bapak, semua bagai hilang, tubuh saya mengecil,
saya hanya bilang, “Pak, uang kos naik jadi 275 ribu.” Aduh, nyuesek rasanya.
Saya langsung ke Bank Mandiri buat ngurus SPP, saya takut pas nyampe Kalimantan kagak sempat lagi ngurus bayar-bayar kayak gini. Bajigurnya di sana tidak bisa.
Mungkin bebarengan dengan pembayaran maba, saya ngadem bentar di bank sambil
ngecek ke akademik UIN Suka, eh ditegur sama satpamnya kok lama banget di bank.
Siang itu panaas banget. Tengah jalan tol. Saya berjalan lagi, nyari gedung BRI Surabaya. Kaki saya panas, maklum sepatu saya bolong. Pas sampai, gila, gedungnya tinggi banget. Saya masuk ke sana, elite banget dah. Pas sampai, trasaksi BRI lagi gangguan, alhasil nunggu sampai sejam lebih di gedung yang ber-AC. Duuh, dingin.
Istana BRI di Surabaya |
Pas nunggu gitu juga ada dua orang asli Surabaya yang nyapa
saya pakai dialek Suroboyo yang khas sekali. Awal-awal saya merasa negatif dengan
orang Surabaya karena sampel satpam mandiri dan penjual rujak yang marah-marah di
kisah sebelumnya yang membuat saya tak nyaman. Eh, saya salah, tidak semuanya.
Damri pun lewat, saya naik sampai ke Perak. Kapal masih
lama, jam masih sore, saya pun ke masjid Tanjung Perak yang bercat hijau dan sistematis
itu. Ada tamannya, kamar mandinya bersih. Ini masjid bagus, ada lemari
mukena yang rapi dan terjaga kesuciannya. Ada penitipan barang juga dengan
loker, trus imamnya pun kayaknya sudah diatur sedemikian rupa, hingga saf-nya
pun ada yang mengatur. Untuk orang yang gak sabaran, bacaannya emang lama, tapi
khusuk banget sholat di sini. Jarang memakai sistem kulhu ae lek. Saya nunggu di masjid ini sampai bakda isyak. Nyaman
sekali masjid ini.
Hampir jam delapan-an malam saya keluar masjid, pas nyampe
di jalan menuju pintu pelabuhan. Keren dah, jalan ini kayak pasar malamnya
orang Madura. Sepanjang jalan isinya orang penjual makanan dan barang-barang serba ada gitu, dan kebanyakan penjualya orang Madura. Saya tahu dari logat
mereka bicara dan bahasa daerah mereka. Juga wanita Madura itu kerudungnya pun
khas banget, kayak kerudung biarawati tapi lebih rapat.
Yang saya salut dari wanita Madura, kepala mereka itu kuat-kuat.
Berulang kali saya melihat wanita-wanita Madura membawa beban-beban berat, kayak tas,
kardus, dll di atas kepala mereka. Bahkan gak dipegang, keren! Mereka
sepertinya para wanita yang terlatih.
Saya menyempatkan makan soto di jalan itu, soto yang ada
koyanya. Waktu itu habis sekitar 15 ribu untuk soto+kerupuk. Jam
sembilan-an, saya masuk pelabuhan. Masih dua jam-an lagi.
Ini pertama kalinya saya ke pelabuhan dan naik kapal besar
keluar pulau sendirian. Di pelabuhan sana saya mengenal satu diksi baru, yaitu porter
(tukang angkut-angkut barang). Di Perak mereka memakai kaos warna orange. Dan
di pelabuhan itu dari porter sampai penumpangnya saya perhatikan separuhnya
orang-orang Madura. Entahlah, pikiran saya kebawa pada orang-orang di UIN—yang
berasal dari Madura. Pikiran memanggil kenangan-kenangan saya dengan mudahnya.
Di tempat menunggu penumpang saya bertemu dengan seorang ibu
paruh baya yang hendak berjualan di Kalimantan. Dia dari Jatim, saya lupa
kotanya. Dia ngajakin bareng, dia pakai porter (bayar 50 ribu) dan saya tidak.
Pas udah masuk kapal pisahlah kita. Saya naik sendirian di dek dua. Kapal ini
namanya kapal kirana, seingat saya ada tiga dek. Di dek dua itu model tempat duduknya kursi, trus di depan ada panggung karaoke, ada organ dan TV juga. Saat
itu kapalnya sedang meyenandungkan alunan musik instrumentalnya Kenny G. Aduh, adem
banget dengerinnya…
Saya duduk di kursi baris keempat dari depan di dekat
jendela. Tak selang beberapa lama di sebelah saya duduk seorang bapak paruh
baya, umurnya sekitar 50-an tahun, dan bapak inilah yang nantinya banyak sekali
membatu saya setibanya di Pelabuhan Kumai, Kalteng.
Namanya bapak Arso, beliau konsultan proyek transportasi,
asal Surabaya. Alumnus UNDIP jurusan Teknik Sipil, istrinya alumnus IAIN
Sunan Ampel Surabaya yang punya anak kuliah di ITS jurusan sama seperti
ayahnya. Wajahnya teduh dan saya nyaman ada di samping beliau. Pak Arso sudah
keliling Indonesia, dari sabang sampai merauke ngurusi tranportasi. Saya banyak
diceritain beliau tentang Kalimantan dan tentang apa saja. Saya juga cerita
tentang asal usul saya ketika ditanya.
Rabu, 5 Agustus 2015
And you know what? Kapal telat sampai 4 jam. Jam 3 pagi baru berangkat. Tidur saya serupa putri malu yang mekar ketika disentuh (eh, enggak ding, kebalik). Ya, hari Rabu ini seharian di kapal. Lihat laut yang tidak ada habisnya. Kapal nyediain makan tiga kali sehari juga. Dan saya sama Pak Arso gantian ngambilin makan. Aduh, serasa ditungguin bapak sendiri. Emang benar ya, jika kita mau merantau kita akan menemukan keluarga baru.
Siangnya ada dangdutan, ada dua penyanyi yang cantik dan
seksi. Ya, lagu-lagu yang merakyat seperti itu. Cukup menikmatilah. Sempat
jepret pakai kamera juga, tapi kagak jelas. Males gerak banget soalnya. Usai
karaoke, hiburannya film-film, kayak The
Perfect Storm, The Pursuit Happiness, The Cat In the Hat, dll.
laut, laut, laut (laut yang berpuisi) |
Nah, pas mau
menjelang ashar saya tak bisa menahan pening. Saya nyoba ke dek atas, gila
anginnya, saya tidak kuat dan langsung masuk. Saya sempoyongan dan muntah di
pintu toilet. Makanan saya keluar semua. Mabuk saya. Apesnya, pas mau duduk
di kursi, saya mabuk lagi di keresek. Nyari kayu putih gak ada. Tepar dan lemes rasanya.
Lalu
saya ambil selimut dan saya tidur sampai malam, sampai dua mbak-mbak
penyanyi itu konser lagi. Saya menikmatinya dalam tutupan mata. Saya masih
ingat lagu pertama yang dinyanyikan adalah Cinta
Terlarang-The Virgin. Entah kenapa malam itu saya begitu menghayati lagu
itu, apalagi bagian-bagian awalnya..
Kau kan selalu
tersimpan di hatiku / Meski ragamu tak dapat kumiliki / Jiwaku kan selalu
bersamamu / Meski kau tercipta bukan untukku / Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi
/ Hanya untuk bersamanya, kumencintainya…
Kamis, 6 Agustus 2015
Tiba di Pelabuhan Kumai, pojok Kalteng jam 6 pagi. Kapalnya bener-bener nglemer banget. Langsung turun. Rasanya sungguh tak percaya sekarang saya ada di Kalimantan. Saya melihat rumah-rumah panggung pinggir laut. Nikmat Tuhan mana lagi yang saya dustakan?
Sebenarnya saya sudah ada
tujuan ke rumah saudaranya Mas Juju, namanya Bang Apri. Namun karena waktu untuk
registrasi mepet banget, trus saya putuskan untuk menerima tawaran baik Pak Arso yang mau
mengantar saya ke Pangkalan Bun untuk mecari travel arah Palangkaraya. Lagian,
jaringan telepon susah banget. Mau ngubungi Bang Apri gagal melulu.
Pak Arso di sini ternyata bawa motor, dan jarak antara Kumai
ke Pangkalan Bun itu sekitar sejam lebih. Dalam perjalanan Pak Arso nganterin saya,
kesan pertama tentang
sejiwil kota di Kalimantan ini, kotanya benar-benar sepi. Namun tetap saja ada cegatan polisi. Mesthi minjem helm dulu, balik lagi minjem helm di
warung teman Pak Arso, seorang trasnmigran asal Solo. Trus ke arah Pangkalan
Bun.
Tiba di Pangkalan Bun sekitar jam sembilan-an pagi Pak Arso mengajak saya sarapan pakai
ketupat, sayur lodeh tewel dan telur. Minumnya kopi good day dan air putih.
Semua gratis dibeliin Pak Arso. Entah bagaimana caranya saya berterima kasih.
Pak Arso juga menyarankan saya untuk membeli kartu Telkomsel
yang di sana jaringannya lumayan bagus. Pak Arso juga minjemi saya HP beliau
untuk nelepon panitia. Usai makan, beliau nganterin saya beli tiket travel ke
Palangkaraya, tiketnya 120 ribu untuk jarak sekitar 500 km. Berangkatnya jam 4
sore. Karena waktu masih lama, saya memutuskan untuk diantar ke masjid besar di
Pangkalan Bun. Sedikit bisa leyeh-leyeh di sana.
Masjid Besat Sirajul Muhtadin |
Sorenya ketemu anak-anak kecil
yang mau ngaji. Nyoba-nyoba kamera lagi. Adik-adik itu saya fotoin juga, mereka
ramah sekali menyambut saya dan memanggil saya “kakak”. Salah satu nama yang
saya ingat bernama Bella.
Saya rindu dipanggil kakak sama mereka. |
Nah, sorenya, jam setengah empat saya menuju tempat membeli
tiket. Dan apesnya busnya udah duluan lewat sekitar lima menit yang lalu di depan
mata saya dan saya tidak sadar! Saya tahu langsung mbrambang. Saya diantar
bapak-abapak ojek di tempat pemberangkatan bus. Biaya ojek 20 ribu—padahal kagak jauh-jauh
amat. Tak apalah, sebagai pelajaran, meski sakitnya di situ. Dalam bus, lumayan
bisa tidur. Perjalanan dimulai jam 5 sore, dan sampai di Palangkaraya jam 01.30
dini hari.
Jumat, 7 Agustus 2015
Setengah dua pagi turun di depan kantor Kalteng Pos di Jalan Tjilik Riwut KM ex-ex-ex. Kanan kiri kagak ada kehidupan kecuali suara orang-orang lagi apa gitu, nakutin. Saya nenteng tas menuju gardu kecil, dekat satpam. Saya duduk di sana dan berpikir akan tidur di sana.
gedung biru Kalteng Pos |
Saya duduk dan ngecek HP, berondongan SMS muncul dari
anak-anak di Jogja. Saya bales sebisa saya. Hingga suasana sepi. Kawan, kau
tahu siapa makhluk pertama yang menyambut saya? Seekor anjing warna putih hitam
yang mengonggong bagai serigala di belakang gardu.
Untungnya saya punya rasa
sayang yang luar biasa sama anjing. Entahlah, namanya begitu dekat di telinga
saya. Saya justru menyapanya balik, berdiri dan menatap anjing itu dengan manis, serupa bertemu sahabat sendiri. Dia
mengonggong lalu diam dan perlahan pergi, saya duduk lagi. Karena saya
kehabisan akal, saya SMS panitia. Dan dibales. Dua panitia menjemput saya di
depan Kalteng pos naik avanza dan saya di bawa ke rumah betang (rumah adat khas dayak) yang letaknya tak jauh dari
bundaran Palma Palangkaraya.Seperti ini ornamen-ornamen yang ada di Rumah Betang:
Di tempat ini saya bertemu dengan peserta-peserta lain. Saya
ditanya asal, mereka langsung menyapa saya, “Hai Jogjaa…” Lalu saya naik ke rumah
betang, naruh tas dan kenalan sama Mbak Nisa (panitia dari IPB). Disuruh makan
dan kenalan lagi sama mas-mas gila tawa dari Bandung dan Jakarta. Ketawa-ketawa
sama mereka. Untungnya saya tak se-inferior complex dulu orangnya—meski tetap diam
banget (quesera-sera dah, whatever will be, will be).
Paginya, saya kenalan sama tiga anak dari pers Fakultas Perfilman
IKJ, nama persnya AKSI. Ada tiga anak AKSI, Nofrian (Lombok), Amira dan Tamara
(Jakarta). Trus, kenalan lagi sama anak LPM Suaka UIN SGD Bandung yang ramai banget anaknya,
bernama Dinda, orang Sunda. Tahu saya dari ARENA dan pulang naik kapal lewat Sampit, Dinda
langsung meluk saya.
Siang itu agendanya pemindahan peserta ke Rujab (Rumah
Jabatan Bupati). Begini suasana rujabnya:
Di Rujab ketemu teman baru lagi, dari UI, Bunda Olie dan
Princess (dari media apa gitu, saya lupa, dia anak komunikasi). Malamnya malam
penyambutan dari bupati dengan pembacaan latar belakang dan tujuan kegiatan jelajah Wisata Budaya 1000 Jurnalis ini.
Ringkasannya bisa dibaca di link lpmarena.com (Katingan Lestarikan Hutan Lewat Tangan Jurnalis)
Di malam ini juga ketemu sama anak LPM Ekspresi UNY. Yeah,
satu kompotan si Imam!
ketemu Imam LPM Ekspresi UNY |
Bismillah |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar