Selasa, 25 Agustus 2015

Ritus Perjalanan Ke Kalimantan Tengah


dengan kapal malam kuberangkat sendiri dengan sakit yang mungkin
dalam perjalanan terobati....  

Senin, 3 Agustus 2015

Setelah muter otak antara berangkat dan tidak. Di hari ini ubrek-ubrek persiapan nyiapin ini itu buat acara “Jelajah Wisata Budaya 1000 Jurnalis” di Katingan, Kalimantan Tengah. Pagi masih sempet ngangkring sama Anis di angkringan belakang gelanggang. Sorenya diantar Anis yang baik hati ke terminal giwangan, cus ke Terminal Bungurasih Surabaya. Berangkat pukul 5 sore sampai setengah dua pagi. Ongkos bus Jogja-SBY sekitar 56 ribu. Tiket kapal Tajung Perak - Pelabuhan Kumai 310 ribu.

Selasa, 4 Agustus 2015

Kayak orang ilang di terminal. Jam masih sangat dini, satu-satunya tujuan adalah masjid. Ya, saya ke mushola kecil dekat terminal namanya mushola Nurul apa gitu. Di sana kayak tempat pengungsian para musafir. Halaman mushola penuh orang-orang tidur kayak pindang. Sampai mau sholat saja saya kesusahan cari tempat. Latar belakang mereka saya perhatikan banyak sekali kebanyakan musafir laki-laki, penjual makanan, pengemis, pria-pria berwajah preman sampai orang gila. 

Saya duduk dan ketemu bapak-bapak yang kerjanya bantu nyari buronan penjahat. Bicaranya kayak orang mabuk, istrinya tidur di depan mushola beralas kardus. Awalnya dia nggremeng semacam mengaduh sama istrinya, nyetel lagu kenangan. Saya cuma duduk diam trus bapaknya nanya saya. Dia banyak cerita tentang para pencopet, pasal-pasal KUHP, dan modus kejahatan yang sering terjadi. 

Lalu dia minta uang 5 ribu sama saya, saya tak punya 5 ribu, adanya 10 ribu, trus saya berikan. Dia belum gajian katanya. Bapak itu menyuruh saya istirahat di ruang tunggu terminal, tapi saya pengen istirahat di pelataran mushola ini. Saya nyari tempat, eh, bapaknya minjemi saya kardus. Saya pun tidur di dekat pagar sambil gelar kardus, sampai nunggu subuh. 

Usai subuh, nyari jalan ke Tanjung Perak. Karena berangkatnya masih lama jam 11 malam, saya bingung mau kemana. Saya cari masjid yang besar lagi, ketemu.. arsitek masjidnya semacam masjid Akbar Surabaya. Eh, jam berapa gitu saya diusir sama merbot masjidnya, mau tutup atau gimana? Saya tak paham (maklum, masjidnya masih dalam tahap pembangunan). Saya nenteng tas saya yang berat lagi tak tentu arah. 

Saya stress HP saya mati, saya tak bisa ngubungi siapa-siapa. Yang saya takutkan hanya orang tua (jika mereka mencari saya, karena saya tak ijin). Yaudah, saya dapat bus Damri arah ke Perak, saya naik bayar 5 ribu. Karena rencananya juga hari ini mau bayar SPP, saya berhenti di tengah jalan, di deretan jalan yang banyak bank-banknya. Saya berhenti di Monumen POLRI Surabaya. 
Monumen POLRI Surabaya
Di monumen itu saya njajal kamera, ilmu saya minim banget tentang kamera. Saya utek-utek, apesnya, pas lagi ngutek-ngutek badan saya kenak semprot selang air besar yang buat nyiram taman kota. Baju saya bagian belakang basah. Dikiranya di situ gak ada orang, petugasnya main siram begitu aja. Mandi deh, mandi. 
Taman saya disemprot
Saya pun menyingkir. Saya kembali ingin mencari masjid buat ngecas HP dan leptop. Saya muter-muter sekitar monumen, kata bapak penjual rujak, masjid jaraknya masih jauh. Saya berjalan terus dan yang saya temukan adalah gereja Hati Kudus Yesus di kawasan keuskupan Surabaya. 

Sambil nenteng tas berat saya masuk ke pagar gereja menemui satpamnya. Saya ijin mau ngecas, satpamnya ngijinin. Tempat casnya di dinding depan gereja pas. Makai pakaian Islam berekerudung saya berani-berani saja. Duh, saya sangat berterima kasih dan bahagia. Jika ada Yesus di situ mungkin saya akan memeluknya kayak anak kecil. Di depan gereja itu orang berwajah chinese lalu lalang. Saya duduk kayak gembel sambil ngedit tulisan yang belum selesai. Sekitar se-jam lebih nunggu di situ. 

Akhirnya HP saya bisa dan langsung telpon ke rumah. Sebenarnya saya pengen bilang banyak ke bapak, tentang IP, tentang kegiatan saya, tentang kebohongan saya yang bilang libur cuma sebulan, juga tentang kepergian saya ke Kalimantan. 

Namun, saat ngomong di telpon. Denger suara bapak, semua bagai hilang, tubuh saya mengecil, saya hanya bilang, “Pak, uang kos naik jadi 275 ribu.” Aduh, nyuesek rasanya. Saya langsung ke Bank Mandiri buat ngurus SPP, saya takut pas nyampe Kalimantan kagak sempat lagi ngurus bayar-bayar kayak gini. Bajigurnya di sana tidak bisa. Mungkin bebarengan dengan pembayaran maba, saya ngadem bentar di bank sambil ngecek ke akademik UIN Suka, eh ditegur sama satpamnya kok lama banget di bank.

Entah, sensi sekali rasanya digituin. Saya langsung ke luar ngambil uang tunai 1,1 juta, ngirim uang ke rekening Anis untuk nolong bayarin. Saya mondar-mandir untuk kelima kalinya di jalan sekitar bank, sampai ditegur satpam dari outlet three. Dia nanya saya mau kemana? Saya jujur, mau ke Kalimantan tapi mau bayar SPP dulu. Saya nanya letak BRI, kata bapaknya sekitar 500 m lagi.

Siang itu panaas banget. Tengah jalan tol. Saya berjalan lagi, nyari gedung BRI Surabaya. Kaki saya panas, maklum sepatu saya bolong. Pas sampai, gila, gedungnya tinggi banget. Saya masuk ke sana, elite banget dah. Pas sampai, trasaksi BRI lagi gangguan, alhasil nunggu sampai sejam lebih di gedung yang ber-AC. Duuh, dingin.
Istana BRI di Surabaya
Trus keluar, nunggu Damri ke Perak. Di depan BRI Surabaya yang tower itu depannya ada gedung yang arsitekturnya bagus banget, saya foto deh.

Pas nunggu gitu juga ada dua orang asli Surabaya yang nyapa saya pakai dialek Suroboyo yang khas sekali. Awal-awal saya merasa negatif dengan orang Surabaya karena sampel satpam mandiri dan penjual rujak yang marah-marah di kisah sebelumnya yang membuat saya tak nyaman. Eh, saya salah, tidak semuanya.

Damri pun lewat, saya naik sampai ke Perak. Kapal masih lama, jam masih sore, saya pun ke masjid Tanjung Perak yang bercat hijau dan sistematis itu. Ada tamannya, kamar mandinya bersih. Ini masjid bagus, ada lemari mukena yang rapi dan terjaga kesuciannya. Ada penitipan barang juga dengan loker, trus imamnya pun kayaknya sudah diatur sedemikian rupa, hingga saf-nya pun ada yang mengatur. Untuk orang yang gak sabaran, bacaannya emang lama, tapi khusuk banget sholat di sini. Jarang memakai sistem kulhu ae lek. Saya nunggu di masjid ini sampai bakda isyak. Nyaman sekali masjid ini.

Hampir jam delapan-an malam saya keluar masjid, pas nyampe di jalan menuju pintu pelabuhan. Keren dah, jalan ini kayak pasar malamnya orang Madura. Sepanjang jalan isinya orang penjual makanan dan barang-barang serba ada gitu, dan kebanyakan penjualya orang Madura. Saya tahu dari logat mereka bicara dan bahasa daerah mereka. Juga wanita Madura itu kerudungnya pun khas banget, kayak kerudung biarawati tapi lebih rapat. 

Yang saya salut dari wanita Madura, kepala mereka itu kuat-kuat. Berulang kali saya melihat wanita-wanita Madura membawa beban-beban berat, kayak tas, kardus, dll di atas kepala mereka. Bahkan gak dipegang, keren! Mereka sepertinya para wanita yang terlatih.

Saya menyempatkan makan soto di jalan itu, soto yang ada koyanya. Waktu itu habis sekitar 15 ribu untuk soto+kerupuk. Jam sembilan-an, saya masuk pelabuhan. Masih dua jam-an lagi.
Ini pertama kalinya saya ke pelabuhan dan naik kapal besar keluar pulau sendirian. Di pelabuhan sana saya mengenal satu diksi baru, yaitu porter (tukang angkut-angkut barang). Di Perak mereka memakai kaos warna orange. Dan di pelabuhan itu dari porter sampai penumpangnya saya perhatikan separuhnya orang-orang Madura. Entahlah, pikiran saya kebawa pada orang-orang di UIN—yang berasal dari Madura. Pikiran memanggil kenangan-kenangan saya dengan mudahnya.

Di tempat menunggu penumpang saya bertemu dengan seorang ibu paruh baya yang hendak berjualan di Kalimantan. Dia dari Jatim, saya lupa kotanya. Dia ngajakin bareng, dia pakai porter (bayar 50 ribu) dan saya tidak. Pas udah masuk kapal pisahlah kita. Saya naik sendirian di dek dua. Kapal ini namanya kapal kirana, seingat saya ada tiga dek. Di dek dua itu model tempat duduknya kursi, trus di depan ada panggung karaoke, ada organ dan TV juga. Saat itu kapalnya sedang meyenandungkan alunan musik instrumentalnya Kenny G. Aduh, adem banget dengerinnya…

Saya duduk di kursi baris keempat dari depan di dekat jendela. Tak selang beberapa lama di sebelah saya duduk seorang bapak paruh baya, umurnya sekitar 50-an tahun, dan bapak inilah yang nantinya banyak sekali membatu saya setibanya di Pelabuhan Kumai, Kalteng.

Namanya bapak Arso, beliau konsultan proyek transportasi, asal Surabaya. Alumnus UNDIP jurusan Teknik Sipil, istrinya alumnus IAIN Sunan Ampel Surabaya yang punya anak kuliah di ITS jurusan sama seperti ayahnya. Wajahnya teduh dan saya nyaman ada di samping beliau. Pak Arso sudah keliling Indonesia, dari sabang sampai merauke ngurusi tranportasi. Saya banyak diceritain beliau tentang Kalimantan dan tentang apa saja. Saya juga cerita tentang asal usul saya ketika ditanya.

Rabu, 5 Agustus 2015

And you know what? Kapal telat sampai 4 jam. Jam 3 pagi baru berangkat. Tidur saya serupa putri malu yang mekar ketika disentuh (eh, enggak ding, kebalik). Ya, hari Rabu ini seharian di kapal. Lihat laut yang tidak ada habisnya. Kapal nyediain makan tiga kali sehari juga. Dan saya sama Pak Arso gantian ngambilin makan. Aduh, serasa ditungguin bapak sendiri. Emang benar ya, jika kita mau merantau kita akan menemukan keluarga baru.

Siangnya ada dangdutan, ada dua penyanyi yang cantik dan seksi. Ya, lagu-lagu yang merakyat seperti itu. Cukup menikmatilah. Sempat jepret pakai kamera juga, tapi kagak jelas. Males gerak banget soalnya. Usai karaoke, hiburannya film-film, kayak The Perfect Storm, The Pursuit Happiness, The Cat In the Hat, dll. 
laut, laut, laut (laut yang berpuisi)
Nah, pas mau menjelang ashar saya tak bisa menahan pening. Saya nyoba ke dek atas, gila anginnya, saya tidak kuat dan langsung masuk. Saya sempoyongan dan muntah di pintu toilet. Makanan saya keluar semua. Mabuk saya. Apesnya, pas mau duduk di kursi, saya mabuk lagi di keresek. Nyari kayu putih gak ada. Tepar dan lemes rasanya. 

Lalu saya ambil selimut dan saya tidur sampai malam, sampai dua mbak-mbak penyanyi itu konser lagi. Saya menikmatinya dalam tutupan mata. Saya masih ingat lagu pertama yang dinyanyikan adalah Cinta Terlarang-The Virgin. Entah kenapa malam itu saya begitu menghayati lagu itu, apalagi bagian-bagian awalnya..

Kau kan selalu tersimpan di hatiku / Meski ragamu tak dapat kumiliki / Jiwaku kan selalu bersamamu / Meski kau tercipta bukan untukku / Tuhan berikan aku hidup satu kali lagi / Hanya untuk bersamanya, kumencintainya…

Lagu yang terdengar bullshit untuk kisah asmara saya, mbak-mbak itu sukses membuat saya bermelankoli ria lalu mengantar saya tidur.

Kamis, 6 Agustus 2015

Tiba di Pelabuhan Kumai, pojok Kalteng jam 6 pagi. Kapalnya bener-bener nglemer banget. Langsung turun. Rasanya sungguh tak percaya sekarang saya ada di Kalimantan. Saya melihat rumah-rumah panggung pinggir laut. Nikmat Tuhan mana lagi yang saya dustakan? 

Sebenarnya saya sudah ada tujuan ke rumah saudaranya Mas Juju, namanya Bang Apri. Namun karena waktu untuk registrasi mepet banget, trus saya putuskan untuk menerima tawaran baik Pak Arso yang mau mengantar saya ke Pangkalan Bun untuk mecari travel arah Palangkaraya. Lagian, jaringan telepon susah banget. Mau ngubungi Bang Apri gagal melulu.

Pak Arso di sini ternyata bawa motor, dan jarak antara Kumai ke Pangkalan Bun itu sekitar sejam lebih. Dalam perjalanan Pak Arso nganterin saya, kesan pertama tentang sejiwil kota di Kalimantan ini,  kotanya benar-benar sepi. Namun tetap saja ada cegatan polisi. Mesthi minjem helm dulu, balik lagi minjem helm di warung teman Pak Arso, seorang trasnmigran asal Solo. Trus ke arah Pangkalan Bun. 

Tiba di Pangkalan Bun sekitar jam sembilan-an pagi Pak Arso mengajak saya sarapan pakai ketupat, sayur lodeh tewel dan telur. Minumnya kopi good day dan air putih. Semua gratis dibeliin Pak Arso. Entah bagaimana caranya saya berterima kasih. 

Pak Arso juga menyarankan saya untuk membeli kartu Telkomsel yang di sana jaringannya lumayan bagus. Pak Arso juga minjemi saya HP beliau untuk nelepon panitia. Usai makan, beliau nganterin saya beli tiket travel ke Palangkaraya, tiketnya 120 ribu untuk jarak sekitar 500 km. Berangkatnya jam 4 sore. Karena waktu masih lama, saya memutuskan untuk diantar ke masjid besar di Pangkalan Bun. Sedikit bisa leyeh-leyeh di sana. 
Masjid Besat Sirajul Muhtadin
Sorenya ketemu anak-anak kecil yang mau ngaji. Nyoba-nyoba kamera lagi. Adik-adik itu saya fotoin juga, mereka ramah sekali menyambut saya dan memanggil saya “kakak”. Salah satu nama yang saya ingat bernama Bella. 
Saya rindu dipanggil kakak sama mereka.
Nah, sorenya, jam setengah empat saya menuju tempat membeli tiket. Dan apesnya busnya udah duluan lewat sekitar lima menit yang lalu di depan mata saya dan saya tidak sadar! Saya tahu langsung mbrambang. Saya diantar bapak-abapak ojek di tempat pemberangkatan bus. Biaya ojek 20 ribu—padahal kagak jauh-jauh amat. Tak apalah, sebagai pelajaran, meski sakitnya di situ. Dalam bus, lumayan bisa tidur. Perjalanan dimulai jam 5 sore, dan sampai di Palangkaraya jam 01.30 dini hari.

Jumat, 7 Agustus 2015

Setengah dua pagi turun di depan kantor Kalteng Pos di Jalan Tjilik Riwut KM ex-ex-ex. Kanan kiri kagak ada kehidupan kecuali suara orang-orang lagi apa gitu, nakutin. Saya nenteng tas menuju gardu kecil, dekat satpam. Saya duduk di sana dan berpikir akan tidur di sana. 
gedung biru Kalteng Pos
Saya duduk dan ngecek HP, berondongan SMS muncul dari anak-anak di Jogja. Saya bales sebisa saya. Hingga suasana sepi. Kawan, kau tahu siapa makhluk pertama yang menyambut saya? Seekor anjing warna putih hitam yang mengonggong bagai serigala di belakang gardu. 

Untungnya saya punya rasa sayang yang luar biasa sama anjing. Entahlah, namanya begitu dekat di telinga saya. Saya justru menyapanya balik, berdiri dan menatap anjing itu dengan manis, serupa bertemu sahabat sendiri. Dia mengonggong lalu diam dan perlahan pergi, saya duduk lagi. Karena saya kehabisan akal, saya SMS panitia. Dan dibales. Dua panitia menjemput saya di depan Kalteng pos naik avanza dan saya di bawa ke rumah betang (rumah adat khas dayak) yang letaknya tak jauh dari bundaran Palma Palangkaraya.Seperti ini ornamen-ornamen yang ada di Rumah Betang:
Di tempat ini saya bertemu dengan peserta-peserta lain. Saya ditanya asal, mereka langsung menyapa saya, “Hai Jogjaa…” Lalu saya naik ke rumah betang, naruh tas dan kenalan sama Mbak Nisa (panitia dari IPB). Disuruh makan dan kenalan lagi sama mas-mas gila tawa dari Bandung dan Jakarta. Ketawa-ketawa sama mereka. Untungnya saya tak se-inferior complex dulu orangnya—meski tetap diam banget (quesera-sera dah, whatever will be, will be).

Paginya, saya kenalan  sama tiga anak dari pers Fakultas Perfilman IKJ, nama persnya AKSI. Ada tiga anak AKSI, Nofrian (Lombok), Amira dan Tamara (Jakarta). Trus, kenalan lagi sama anak LPM Suaka UIN SGD Bandung yang ramai banget anaknya, bernama Dinda, orang Sunda. Tahu saya dari ARENA dan pulang naik kapal lewat Sampit, Dinda langsung meluk saya.

Siang itu agendanya pemindahan peserta ke Rujab (Rumah Jabatan Bupati). Begini suasana rujabnya:
Di Rujab ketemu teman baru lagi, dari UI, Bunda Olie dan Princess (dari media apa gitu, saya lupa, dia anak komunikasi). Malamnya malam penyambutan dari bupati dengan pembacaan latar belakang dan tujuan kegiatan jelajah Wisata Budaya 1000 Jurnalis ini. Ringkasannya bisa dibaca di link lpmarena.com (Katingan Lestarikan Hutan Lewat Tangan Jurnalis)
Di malam ini juga ketemu sama anak LPM Ekspresi UNY. Yeah, satu kompotan si Imam!
ketemu Imam LPM Ekspresi UNY
Bismillah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar