Sabtu, 30 November 2024

Three Discussions at Teater Wahyu Sihombing TIM

Discussion of "Stories from The Region", with the speakers Ario Mendoza (The Philippines), Damhuri Muhammad, and Zedeck Siew (Malaysian) at Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki (TIM), on Nov 30th:

  1. Peta penulis Asia Tenggara sangat penting. Ada inventory penulis dan instansinya. Di Asia Tenggara kurang cukup. Sebelum menonjol ke dunia, udahkah kita lihat dan tahu penulis di sekitar kita. Kita harus menulis sekitar dulu, kalau langsung loncat ke Eropa dan Amerika itu aneh.
  2. Majalah yang mengutamakan dunia kontemporer sangat mengejar nama besar, karena ada asuransi kualitas. Masalahnya, inisiatif dari pinggiran ini tak tersampaikan.
  3. Sebenarnya kenapa kita tak tahu sekitar kita? Karena sejarah, misal Indonesia lebih dekat dengan Belanda, Filipina dan Malaysia lebih dekat dengan UK. Pengalaman hidup di bawah kedidaktoran dan ekonomi masih sama. Sebelas dua belas dengan kondisi sastra Amerika Latin, dan Asia Tenggara bisa melakukan itu. Padahal kita sudah disorot, bandul sekarang di Asia. Eropa udah selesai. Nobel saja dari Asia. Jangan minder sebagai orang Asia, yang ada optimisme. Kita bisa bangun sastra Asia Tenggara.
  4. Asia Tenggara punya banyak mitos.
  5. Penerjemahan itu negosiasi. Gak hanya seputar jembatan kebudayaan, tapi juga bentuk argumen dan reklaim sesuatu. Proses penerjemahan mengklaim argumen tertentu. Ada detail dan nuansa tertentu yang tak bisa diterjemahkan. Misal "Anak Semua Bangsa", sebagai pembaca Filipina, detail penting bagi mereka. Kalau menerjemahkan dalam puzzle itu lihat celah-celahnya, tapi pembaca lihat gambaran besarnya.
  6. Damhuri: Saya ingin menonjol di panggung Asia Tenggara, karena kalau berbasis negara, kita tampak kecil, misal cuma nyebut Indonesia saja, mereka lebih tahu Bali. Saya nulis di beberapa platform di Thailand, Singapura, dan Amerika Serikat. Ini hasil dari networking saya dengan penulis-penulis Asia Tenggara. Mereka ingin karyanya bisa menonjol di dunia. Mereka memetakan sastra barat yang gak ramah dengan penulis Asia, termasuk info tentang workshop baik yang berbayar dan tidak.
  7. Evi: Dengan memperbanyak platform yang mengedepankan South East Asia. Gak ada anak-anak yang pengen belajar bahasa Asia Tenggara, lebih suka belajar bahasa Eropa. Buat platform generasi muda yang belajar bahasa Asia Tenggara, memperkenalkan sastra yang satu region.
  8. Ada sebuah komunitas yang anggotanya Asia Tenggara, yang penting, di reading book club itu bisa bikin seni bersama.
  9. Apa yang kira-kira bisa direkomendasikan? Saya ingin menekankan, tidak dapat tidak, kita harus bisa menulis dalam bahasa Inggris, topiknya tentang Malaysia, Manila, Indonesia, dll. Saling mengenal bahasa Asia Tenggara penting, tapi improve writing skill itu penting. Guru bahasa Inggris (Sunlingtu) di Mekong Review. Intinya, penulis-penulis Asia Tenggara tak pernah berhenti berproses, siapa yang acceptance dan rejection, honor besar itu juga memotivasi (3000 dollar di The New Yorker). Tidak merasa inferior di imperium sastra Barat)

The discussion of "Writing in a Burning World: Do Words Still Matter" with Irwan Ahmett (INA) and Kristian Sendon Cordoro (The Philippines):

  1. Kristian bicara tentang buku "Savage Mind: Art Books Cinema", yang bicara tentang iklim, kemungkinan tempat, multirasionalitas, keberagaman, khususnya yang ada di Filipina. Filipina sendiri sama dengan Indonesia yang punya banyak pulau. Ketika dia di Heidelberg, dia menemukan sebuah tubuh antromorfis, ketika dia ingin menanam, dia menghubungkan dengan logo.
  2. Dia menunjukkan rumah di negaranya, di Kota Naga, dia tertarik dengan bunga yang ada di rumah itu dan dia memutuskan itu tempatnya.
  3. Pertama kali dia ke Indonesia, dia menemui ide, kota tanpa buku bukanlah kota. Hingga 2018, tempat itu berubah. Tidak hanya tentang toko buku, tapi juga menjadi tempat komunitas dan galeri (di bawahnya ada septic tank wkwk). Di tempat itu juga ada bar, motonya "drink now, read latter." Tapi sayangnya, keadaan berubahberubah ketika badai (typhoon) terjadi.
  4. Menurut Kris, "writing as an act of witnessing." Dia juga membicarakan tentang buku Daryl Delgado berjudul "Remains". Setiap pencerita adalah seorang survivor. Dia juga menulis puisi, " The Day a Storm with My Mother's Name Came", dia membacakannya pula dengan bahasa Filipina.
  5. Menyangkut pertanyaan di tema, iya, dia menjawab jika kata masih bermakna. Untuk mendapatkan perspektif yang baru dll. Dia juga cerita tentang tiga kucingnya Kaya (ginger), Kaju (monster), and Innova (yang ditemukan di bawah mobil Innova). Pertanyaan di tema juga bisa dijawab dari, coba lihat mata kucing. Kita gak hanya hidup dengan manusia, tapi juga yang mengelilinginya. Kris juga percaya Tuhan ada.
  6. Mas Iwang kemudian menampilkan sebuah video tentang sebuah bencana gempa bumi dan saat hujan. Dalam video itu ada hape, tengkorak, aliran sungai, batu-batu, hasil erupsi, Anak-anak yang menari du depan api, bahan baku yang menimbulkan destruksi. Bagaimana tanah saat ini berubah jadi monokultur. Di tengah imajinasi tentang developmentalis, tumbuhan dan hewan sudah tak lagi menemani imajinasi kita. Video ini menampilkan bagaimana hewan dan tumbuhan mati. Juga bagaimana sampah terbakar dengan baunya. Tentang erupsi, kekeringan, dan Mas Iwang menenggelamkan dirinya di bawah lumpur. Juga narasi tentang pilpres 2024, lalu bagaimana masyarakat menyelamatkan diri di atas kapal yang bocor hingga akhrinya tenggelam. Ada pula ritual warga di pesisir, konstruksi pembangunan apartemen super mega di pesisir, semuanya menunjukkan bagaimana manusia menciptakan bencana.
  7. Mas Iwang mengatakan, ini katanya waktu yang tepat jadi egois dan useless. Di periode ini utnuk buat performance tidak mudah tapi banyak ide di berbagai platform. Bersama dengan Tita Salina, dia mengerjakan seni bersama. Saat ini lensa yang digunakan lebih brutal, seni adalah sarana menyuarakan hati manusia.
  8. Di Gunung Merapi, Mas Iwang menemukan bagaimana gunung itu dalam dua jam bisa berganti warna hingga ratusan kali. Tapi kita tak tahu juga Tuhan apa yang telah melihat kita.
  9. Kris menambahkan, bagaimana masyarakat Filipina hidup bersama dengan gunung berapi juga gempa. Bagaimana perempuan juga terbunuh di bencana tersebut, dia menemukan kisah cinta di baliknya. Hal itu kemudian dia alih wahanakan ke bentuk seni lain seperti puisi. Erupsi memantik imajinasinya, dan itu menjadi buku, yang berhubungan pula dengan bagaimana revolusi terjadi di Filipina.
  10. Mas Iwang melanjutkan, bagaimana manusia tumbuh di tubuh perempuan dan ketika lahir, dunianya sudah sangat berbeda.
  11. Skala destruksi sekarang tak bisa diskalakan bahkan. Masyarakat juga takut menjadi beda, sehingga kita sangat butuh orang yang butuh bertindak berbeda, tak hanya ikut kerumunan. Tapi dia merasa skeptis tentang ini.
  12. Hari ini juga telah lahir seorang revolusioner di Filipina, ada harapan. Revolusi berhubungan dengan kosmik juga, fenomena kosmologis. 

Discussion of "Relentless Battles: How to Never Surrender" with Kateryna Kalytko (Ukraine) and Farwiza Farhan (INA):

  1. Keputusan yang saya buat sekarang menentukan besok. Ini tempat di mana aku hidup, tidur, dan kerja. Kita butuh refleksi, kita butuh transformasi bagaimana kita bergerak. Bagaimana kita menantang diri kita sendiri, menantang sistem, dan penulis bisa mengubah sistem itu. Farwiza menanyakan dari lecture dari Raisa Kamila, gimana Sumpah Pemuda bisa terjadi? Ada penulis di sana.
  2. Soal Ukraina, terus berjuang. Bagaimana kita mengubah diri kita, dengan kemanusiaan sebagai konsen kita, dengan berbagai bantuan dari organisasi internasional. Kita menulis ulang dan membuat dialog, bagaimana hal-hal krusial di dunia bisa terjadi.
  3. Ada banyak distraksi di dunia, seperti hal-hal yang kita lakukan pada minoritas. Ada lapisan-lapisan di mana ada seseorang yang menyalakan lilin. Seperti apa yang terjadi di Aceh, kita butuh dialog, ini sangat-sangat penting.
  4. Kateryna mengatakan, generasinya saat ini menjadi bagian penting yang bertanggung jawab dengan apa yang terjadi sekarang. Kita punya masyarakat sipil yang kuat. Dia juga menjadi bagian dari intelektual publik, dengan cara mengubah diri sendiri dulu, sesederhana apa pun itu.
  5. Wiza mengatakan, yang menginspirasinya untuk melakukan sesuatu, untuk tidak melakukan apa-apa itu lebih susah daripada melakukan sesuatu. Dan kita semua punya partisipasi di sana.
  6. Kateryna menyampaikan, secara umum dia menyukai manusia (dalam artian umum). Kita menjadi mandiri dan secara internasional seharusnya terlindungi.
  7. Ada pertanyaan, kenapa dunia tak berubah, meski ada banyak aktivis dan NGO melakukan perlawanan? Kateryna menjawab, sistem dunia sekarang sangat kapitalistik, baik di tingkat individual maupun kelompok. Sehingga kita butuh untuk berubah.
  8. Wiza menambahkan, NGO telah lama melakukan banyak hal sebenarnya, seperti Greenpeace, kalau tak ada dia, mungkin akan lebih banyak PLTN yang didirikan. Aksi menjadi antidote dari semua itu.
  9. Pertanyaan selanjutnya: Bagaimana coping burn out yang terjadi sebagai aktivis? Wiza menjawab, keluarga yang mensupport, aktivis juga manusia, khususnya suami yang mengingatkannya ketika "scattered things" terjadi. Kateryna menjawab, lingkungan dialah yang menyuportnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar