“Saya tak perlu mencari apa-apa lagi di luar diri saya, semua yang saya butuhkan ada di dalam diri saya. Saya hanya perlu merealisasikannya saja.”
Sekali lagi, menulis terkait Vedanta selalu bisa membuat saya menangis. Saya tidak tahu mengapa menangis, hanya yang saya rasakan, saya dikelilingi oleh orang yang penuh kasih, penuh sayang, punya banyak welas asih, sehingga saya merasa cukup, menerima diri apa adanya, dan dalam tangis itu sesungguhnya saya berbahagia. Saya tidak tahu psikologi saya sekarang tanpa Vedanta, barangkali akan lebih tersesat ke pemikiran sana-sini, lebih merasa kesepian, lebih keras mengutuk diri. Vedanta bagi saya adalah cahaya yang membawa saya dari gelap ke terang.
Sebagaimana sesi sharing yang saya katakan tanggal 9 November 2024 lalu, saya merasa dharma saya adalah menulis. Dalam menulis, saya tidak membebani diri saya dengan harapan-harapan, hanya satu pinta saya ke Tuhan: menulis apa adanya dari semua yang saya tangkap dari indra-indra, rasa, dan pikiran. Doa saya, semoga tulisan ini bisa memberi cahaya dan mendekatkan diri kita kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Peserta retret Vedanta di Bogor |
Hari 1: Semua Hal Sudah Berada di Dalam Diri
Jumat malam, meski masih ada beberapa deadline, saya memilih untuk tidur lebih awal karena besok subuh, teman saya bernama Muhammad Arwani dari Banyuwangi yang beberapa tahun ini tinggal di Tegal untuk mengurus pesantren akan tiba di Stasiun Senen Jakarta sekitar pukul 4 pagi. Teman saya yang lain bernama Agung Budi Wicaksono atau Cakson yang tinggal di Tangerang Selatan juga terinformasi akan ikut retret. Awalnya, kami bertiga dipertemukan saat kuliah di UIN Jogja dan organisasi ekstrakurikuler kampus. Mereka berdua jurusan Filsafat 2012, kakak angkatan Bagus meski agak jauh tahunnya. Kami berteman karena suka berdiskusi tentang banyak hal, suka menganalisis fenomena keseharian, dan dipersatukan oleh humor-humor yang sama.
Ketemu di Stasiun Manggarai |
Kami pun akhirnya sampai di Rumah Ibu Rika di Jalan Bincarung, tak jauh dari SMP 5 Bogor, yang di depannya ada Taman Heulang, Tanah Sereal. Taman yang teduh. Rumah Bu Rika berwarna krem, terlihat rimbun karena tanaman-tanaman. Arwani berkomentar, dari luar rumah ini terlihat sederhana, tapi setelah masuk ke dalam sangat luas, besar, bertingkat, dan arsitekturnya juga menarik. Di belakang ada taman kecil, lalu dua sisinya ada ruang-ruang lain. Dapur ada di sisi dalam dan luar rumah, di tengah ruang ada gebyok ukir jati khas rumah-rumah Joglo.
Setelah absen, kami pun masuk ke dalam rumah yang sudah dipenuhi orang, saya tak tahu tepatnya berapa, tapi ada sekitar 60-an orang. Di sana, saya melihat Shraddha Ma, Swami Probuddhananda, dan Tim IVS. Saya melihat dari jauh Shraddha Ma menyapa saya dengan anggukan. Kami sampai jam 11 lebih hampir menuju Dzuhur. Saat itu masih mendengar Swamiji berceramah sedikit, kemudian lanjut meditasi duduk, dan makan siang. Makan siang kali itu dengan menu: urap, terong goreng, sayur, gorengan, sayur, rujak, risoles. Setelah makan, kami pun solat.
Materi sesi siang |
“With practice, you know who you are. You need to practice it,” tegas Swamiji.
Dengan melakukan praktik “sadhana” maka akan membawa kita fokus. Lakukan praktik dengan kekuatan, pikirkan dengan kuat. Lakukan tanpa pamrih, karena pada dasarnya, apa pun yang kita lakukan selalu untuk diri kita sendiri, bukan untuk orang lain. Semakin tanpa pamrih, seseorang akan mengalami pemekaran hati.
Banyak manusia berpikir jika melakukan apa yang disukai bisa membuat bahagia, meski jika itu bukan dari Yang Murni, padahal hal ini akan membawa pada sedikit ketenangan. Orang juga cenderung mencari kedamaian dan kebahagiaan di luar diri, padahal damai sejati sudah ada di dalam diri. Masalah lain, kita sering terlalu bergantung pada orang, tak pernah pada diri sendiri. Tidak melukai (ahimsa) diri sendiri dan orang lain.
“The goal of life is to feel God. God is here, now... Do everything with sincerity,” tambah Swamiji.
Pesan dari Swami Probuddhananda juga diterjemahkan oleh Ustad Hasan, bahwa kita butuh praktik untuk mencapai ketenangan dan kedamaian. Dalam bahasa Islam, “Innallaha ma’ana” (Allah bersama kita). PR besarnya adalah praktik (practice). Orang yang dekat dengan Tuhan pasti pemberani. Praktik kedua: mencintai Tuhan dan orang lain. Praktik ketiga: Belajar terkait pengetahuan yang membebaskan kita. Pengetahuan bahwa “I am divine” (saya adalah Sang Sejati).
Kita juga perlu belajar kemandirian dengan tindakan swadaya, melatih tubuh dan pikiran jadi kokoh, yang selalu hadir dalam diri kita adalah Tuhan. Tujuan hidup paling primer: merasakan kehadiran Tuhan sekarang juga. Fokus berarti merasakan diri kita hadir dalam kesadaran-Nya, dengan ketulusan hati, apa adanya, dan diniatkan tujuan kita untuk Tuhan. Lakukan ahimsa (jangan melukai siapa pun), bahkan ketika dilukai pun jangan balik menyakiti. Hal ini sebagaimana telah dicontohkan oleh Yesus, ditampar pipi kiri, dia memberi pipi kanan. Terakhir, bersikap rendah hati dan menyebarkan cinta kasih.
Retret hari 1, dari IG Tante Chika |
Pak Haidir: Pikiran dan hati itu kan energi yang bukan dari kita, itu bagaimana mengatur dan mengontrolnya?
Swamiji: Karakteristik dari pikiran adalah membagi-bagi, suka membagi-bagi, sehingga banyak dari pikiran kita berantakan kemana-mana (sedetik kita mikirin rumah, detik lain memikirkan teman, detik lain memikirkan tugas, detik lain memikirkan ayah/ibu/anak, dlsb, padahal ini semua tak nyata). Untuk itu, kita butuh untuk mengontrolnya. Swamiji menekankan bahwa kita harus melatih pikiran (train the mind) sebagaimana seorang pawang ular yang bisa membuat ular menari karena dilatih. Maka manusia juga harus bisa melatih pikirannya sebagaimana yang dikehendaki. Bawa pikiran ke satu arah, cara sederhana dengan chanting atau dzikir, kalau di konteks India ada mantra-mantra dengan bahasa Sansekerta. Ketika pikiran fokus pada satu titik, maka pikiran akan berada di bawah kendalimu.
“You should be the master of your mind. Everything is God. You have to experience that it is God.”
Lihat laut, dlll, kita tidak sadar. Kenapa kita tak sadar itu Tuhan. Karena kita hanya mau melihat yang ingin kita lihat saja. Bagaimana kita tahu dia baik, karena pikiran yang bilang. Padahal belum tentu. Kebenaran yang kita lihat itu kebenaran dari pikiran kita. Vedanta mengilustrasikan ini melalui kisah tambang dan ular. Ketika tambang berada di tempat gelap, kita menganggap itu ular, dan kita ingin berlari. Lalu, orang itu memanggil orang sekampung untuk membuktikan bahwa itu ular, padahal bukan, itu tali tambang.
Mbak Icha: "How can we train our minds not to become consumed by meaning?" (Bagaimana membuat pikiran tidak memberikan interpretasi/arti?)
Swamiji: Engkau berusaha mengontrol pikiran dengan cara memberi makna. Sebenarnya antara pertanyaan dan jawaban adalah satu. Jawaban selalu ada dalam pertanyaan. Karena kau tak bisa menerima, maka engkau akan bertanya. Keep the question as a desire to God. Semakin menginginkan Tuhan, Tuhan akan semakin datang. Latih menempatkan satu pikiran dengan satu keinginan, dan satu keinginan ini adalah keinginan tentang Tuhan, sehingga Tuhan bisa termanifestasi.
Shraddha Ma menambahkan, ketika sedang terjadi mendung dan hujan turun, itu bukan karena matahari tak ada, tapi karena memang sedang tertutup oleh awan, atau saatnya belum tepat. Ketika seseorang tidak bisa menyingkirkan awan gelap ini atau mengalami kebingungan, maka realisasi tidak akan terjadi.
Mbak Tri: Bagaimana mengatasi rasa sakit, terutama setelah melahirkan, merasakan kesakitan?
Swamiji: (Beliau bertanya pada Mbak Tri, posisi yang nyaman seperti apa? Mbak Tri menjawab, duduk sambil bersandar). Swamiji melanjutkan, cari posisi yang nyaman terlebih dahulu. Lalu, tembak rasa sakitnya dengan memberikan oksigen padanya melalui nafas; lalu keluarkan, hembuskan rasa sakit itu. “Take a breath to ease your pain.” Nafas ke tempat yang sakit, sambil fokus. Bu Rika juga menambahkan pengalamannya, ketika dia sakit kepala, kemudian ada yang menyarankan untuk memberikan oksigen pada rasa sakit itu lewat nafas, kemudian sakit kepalanya menjadi lebih baik.
Bu Itoh: Iman itu kan turun naik, bagaimana agar tetap stabil dan kita tidak menyerah dalam membina diri?
Swamiji: Practice. Ya, tidak ada jalan lain selain praktik. Jika perlu, tambah kuantitasnya sebelum mencapai kualitas, misal dengan melakukan meditasi selama berjam-jam. Lakukan dengan disiplin dan tegas, sebagaimana dicontohkan oleh Bhagavan.
Peace |
Oneness |
Lalu, Bu Cona mengatakan saat ini dia belajar hidup dengan berkesadaran. Awalnya, dia ingin gak terlalu agamais, tipe-tipe perempuan mandiri, yang “lo jual, gue beli” dan gak peduli dengan pandangan yang lain, lebih setia pada prinsipnya sendiri. Yang manarik, Bu Cona mengatakan jika solat itu 24 jam, lima hari sekali itu cuma pengingat (reminder). Sekarang ia tengah berfokus pada perjalanan pulang. Bu Cona ini juga yang membawa teman-temannya yang lain, seperti Bu Tina.
Testimoni berikutnya dari Bu Amy (dosen), di perkuliahan telah belajar terkait tarekat dan tasawuf, membentuk kesadaran lewat pemahaman. Tugas berikutnya adalah bagaimana meningkatkan kesadaran pada kesadaran yang murni. Lalu, ada juga sharing pengalaman dari Pak Dadu dan istri terkait lincahnya pikiran, per jam bisa ribuan pikiran silih berganti dan perlu dimurnikan lagi. Sharing pengalaman terakhir dari Mas Jamal, dengan suara yang menyentuh hati, dia mengatakan jika dirinya sangat bahagia mengikuti retret, ada vibrasi cahaya yang luar biasa dia rasakan.
Saya mengucapkan banyak terima kasih |
Pada sesi sharing tersebut, Shraddha Ma juga memberi saya kesempatan untuk bercerita. Jujur, dari awal saya mengikuti retret hingga retret saat ini, saya sangat bahagia. Saya yang cenderung kuat di logika, sering mengabaikan suara perasaan. Bahkan sempat juga curhat ke Shraddha Ma, bagaimana bisa menyeimbangkan antara pikiran dan perasaan? Shraddha Ma mengatakan bisa lewat musik. Akhirnya saya menyetel lagu-lagu rohani dari Opick feat Gito Rollies, salah satu lagu yang menyentuh saya adalah lagu berjudul “Cukup Bagiku (Allah)”. Di lagu itu ada lirik, “hasbi rabbi jalallah, mafi qalbi ilallah, alalhadi solawah, lailahaillalah”, yang berarti tidak ada hal lain di hatiku kecuali Allah.
Semenjak mengenal Vedanta juga, saya merasa saya tak menemukan masalah lagi, hal-hal yang saya hadapi tak saya anggap sebagai masalah, tapi sebagai tantangan. Sedikit yang bisa menyakiti saya, bahkan cenderung tak ada. Jika dulu, saya mudah merasa kesepian, sekarang tidak lagi. Cukup bagiku Allah, dan kesepian saya hilang. Shraddha Ma juga bilang ke saya, “Jadikan Allah sebagai satu-satunya kekasih Isma.” Ya, itu yang tengah saya lakukan dan coba praktikkan hingga sekarang. Lewat Vedanta pula, sebagaimana yang dialami Bagus, saya kehilangan banyak minat akan banyak hal, terutama hal-hal duniawi.Bukti sederhananya adalah hari Rabu kemarin ketika main ke Gramedia, jika dulu saya sering impulsif beli buku ini itu, ATK ini itu, atau asesoris akademik lain, entah kenapa tiba-tiba saya merasakan semua barang yang dijual begitu kosong, entah mengapa saya tak ingin beli apa-apa lagi. Satu-satunya rak buku yang saya datangi tiba-tiba adalah soal spiritualitas, tapi melihat judul-judulnya, saya tak begitu yakin dengan penulis-penulisnya, apakah dia benar-benar telah menemukan dan merealisasikan Tuhan ke dirinya sendiri atau belum. Karena kebimbangan itu pun, saya tak jadi membelinya. Saya lebih yakin membaca lebih dalam lagi Al-Quran dan arti yang dikandungnya. Juga meneladani lagi Rasulullah Muhamamd SAW, bukan sebagai subjek, tetapi sebagai sebuah laku. Rasul bukan sebagai kata benda (noun) tapi kata kerja (verb), seperti yang ditulis Bagus dalam skripsinya.
Saya merasa, Vedanta telah banyak menyingkap tabir-tabir tak berguna dalam hidup saya; membuat hidup saya lebih ringkas, ringan, gampang, terang, tenang, dan (mudah-mudahan) lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.
Dalam sesi sharing itu, dua teman saya, Cakson, dan Arwani juga membagikan pengalamannya. Cakson mengatakan dia bingung akan melakukan apa di retret ini, dia lebih suka menggunakan nalar daripada perasaan, materi-materi yang diajarkan di retret ini seperti mengulang kembali pelajaran-pelajaran di kelas filsafat awal. Sementara Arwani, dia mengatakan senang mengikuti retret ini, persoalannya terkait karakter yang kadang suka meledak-ledak coba dia olah lagi, materi-materi juga mengingatkannya untuk jadi manusia yang lebih baik lagi. Sejak awal, saya memang tak ada ekspektasi apa pun selain memberikan jalan pada Cakson dan Arwani, selebihnya adalah urusan mereka dan Tuhan.
Meditasi nidra |
Merilekskan tubuh |
Di sesi hari pertama ini, di penghujung retret ada meditasi nidra. Tante Chika juga membawakan lagu beliau yang saya sukai, “Padamu Kubersimpuh” (Tante..., aku sudah hafal lagumu lho, hehe). Disusul juga dengan lagu John Lennon berjudul “Imagine”. Juga Mars Vedanta, I am The Light of My Soul....
Pada hari pertama ini, saya pribadi ingin berterima kasih pada Ibu Rika yang telah mengizinkan saya dan dua teman saya untuk menginap. Terima kasih pula untuk kebaikan dan keramahannya, sehat selalu untuk Bu Rika sekeluarga. Semoga Tuhan selalu memberkahi.
Hari 2: Vedanta Sebagai Pengetahuan Tertinggi
Pada hari kedua, saya bangun Subuh untuk siap-siap ke Jakarta, karena ada upacara peringatan Hari Pahlawan 10 November di kantor. Ya, setelah bertahun-tahun gak ikut upacara, saya ikut upacara lagi. Pulang-pergi Bincarung-Kantor memakan waktu sekitar 3 jam, sementara upacara sekitar setengah jam. Di hari Minggu itu, KRL sedang ramai-ramainya, pas berangkat saya masih dapat tempat duduk karena datang setelah subuh, tapi pas pulang, berdiri rapat dengan banyak orang, suasana KRL yang seperti pindang pun terjadi. Saya tiba kembali ke rumah Ibu Rika sekitar jam 11 siang. Saya masih bisa sedikit mendengar pengetahuan-pengetahuan yang dibagikan oleh Swami Probuddhananda.
Saat itu Swamiji bertanya terkait apa tujuan hidup dan bagaimana meraihnya? Dunia ini banyak distraksi, banyak suara, semua ganggu kita. Ganggu kedamaian kita. Kita terbiasa ketika mendapat kesulitan dari luar, pelariannya juga sering mengambil dari luar. Ketika solusi gak datang, kita sering menyerah, padahal kalau bicara dunia, kadang tuh gak pernah ada solusi final. Vedanta di sini mengajak kita untuk melihat problemnya? Pikiran tak pernah habis, berapa banyak pikiranmu kemarin? Pikiran selalu memproduksi nafsu (desire). Keinginan itu menciptakan energi. Pikiran bilang, apa pun harus aku lakukan, mau ini, mau itu, lakukan. Keinginan selalu ada, selalu lahir, lahir, dan lahir.
Tubuh, pikiran, emosi, spiritual, yang selalu ke eksternal
itu karena seseorang mendasarkan pikirannya pada hasrat. Kita tak punya apa-apa
selain nafsu-nafsu kita keluar. Kita tak punya kekuatan, helpless. Jika
ingin meraih kekuatan, blissfull, seseorang pertama perlu menjaga jarak
dengan nafsu (desire). Nafsu yang telah menjadi teman yang begitu kita
cintai, perlu kita lihat sebagai lawan yang mengkhianati. Pikiran tidak nyata,
jangan ikuti dia lagi. Kebenaran sejati selalu tetap, seperti cinta anak ke
ibu. Selain cinta pada Tuhan, cinta yang tak berubah itu cinta ibu. Kita perlu
latihan menjaga jarak. Kita penyaksi; observe the mind. The observer of mind.
Swamiji mengilustrasikan pikiran ini seperti anak kecil yang berlari di dalam ruangan, yang bertindak seenaknya, menabrak sana-sini dan membuat ruangan jadi berantakan. Kita tak bisa mengontrolnya selain membiarkannya. Kita hanya perlu bilang ke anak itu, “Do what you want to do, I only just see you. I’m watching you.” Pikiran akan selalu menarik perhatian kita, ketika tertarik, kita sering tak sadar. Kita jadi “powerless” dan mengikutinya, padahal tinggal mengawasinya saja.
Materi dari Swamiji hari-2 |
Swamiji menjawab, kita perlu pagar, batas, borderline, boundaries, atau istilah Vedanta-nya membuat diskriminasi (discrimantion) mana yang murni dan tidak murni. Ketika kamu gak mengganggu pikiran, kamu juga tak akan diganggu. Lihat pikrian dari jauh, dia akan pergi, dan jadi damai. Katakan pada pikiran, “Saya tidak tertarik padamu, saya hanya lihat kamu.” Say to yourself: I am strong, I am good. Kita punya kekuatan tak terbatas (infinite power), realisasikan itu. Sama kondisinya seperti kita sedih, apa yang kita lakukan? Melarikan diri dari kesedihan. Di dunia ini nothing is permanent. Ketika kita bahagia, lukanya ada di belakang pintu (yin-yang). Swamiji bertanya, waktu yang paling gelap itu kapan? Dia bilang sebelum subuh, tapi kita paham jika pagi akan datang. Ketakutan adalah kegelapan. Ketika melihat alasan di belakanganya, tidak ada alasan yang jelas.
“Try not to be attached, love is God. Love gives me happiness. [In worldly condition] we are not actually loving it, but it’s attachment. Don’t be attached to anything/anyone.”
Pertanyaan lain dari Pak Yulianto, yang jauh-jauh dari Jambi ke Bogor untuk mengikuti retret Vedanta. Dia naik bus seharian. Lewat Shraddha Ma, Pak Yul bertanya, “Bagaimana menghadapi orang kesurupan?” Lalu dijawab oleh Swamiji, orang yang kesurupan tak berdaya. Di India ada tujuh tahap setelah mati, dan lancar tidaknya tahap ini tergantung karma. Misal ketika meninggal karena bunuh diri, maka energi/karmanya jadi jelek, tidak ke atas, tapi tinggal di atmosfer. Arwah yang tak bisa naik ini punya desire, dan masuk ke tubuh orang-orang yang lemah, yang pikirannya gelap. Orang lemah narik energi gelap itu. Bagaimana memperkuat diri? Dengan mengingat Tuhan, chanting, dzikir, baca kitab suci. Dan untuk konteks ini, doakan orang yang kesurupan itu.
Lalu, ada pertanyaan terkait Law of Attraction (LoA). Si ibu ini bilang, dia diajarkan untuk jadi orang sukses. Lalu dibayangkanlah di pikirannya punya rumah di PIK, lalu naruh foto, dan membiarkan semesta bekerja. Tapi si ibu merasa jika larinya malah ke nafsu, dia bertanya, bolehkah membayangkan rumah/mobil mewah (LoA) seperti itu?
Swamiji menjawab, LoA sekarang menjadi sesuatu yang umum. Namun, LoA yang disebutkan si ibu belumlah hal yang sejati. Kalau kita memvisualisasikan Allah, maka yang kita dapat juga Allah. Di Hindu ada konsep terkait dengan kehidupan manusia atau disebut juga catur purusa artha: karma (perbuatan baik/buruk), artha (kemakmuran ekonomi), kama (kesenangan, cinta, nilai-nilai psikologis), dan moksa (bebas dari penderitaan). Meraih moksa ini yang tidak mudah.
Sesi berikutnya adalah makan siang. Kami makan siang dengan makanan khas Bogor, tauge goreng sama mie kuning gitu (mie glosor dari Bogor). Setelah makan dan istirahat, sesi selanjutnya diisi oleh materi dari Kang Abu Marlo.
Materi dari Kang Abu Marlo
Siang itu, Kang Abu mengatakan bahwa dirinya tidak hendak convicing anything, tapi lebih ke menambahkan catatan kaki. Dia meminta peserta retret untuk mengosongkan gelas, lalu membuka hati dan pikiran. Kang Abu menjelaskan, Vedanta adalah ilmu pengetahuan tertinggi (Ved: pengetahuan, Anta: cutting edge, the highest). Di dunia ini banyak orang yang tak sampai ke pengetahuan tertinggi karena sering meributkan perbedaan, misal soal kata milad dan natal yang berarti kelahiran. Untuk itu seseorang perlu main jauh agar tahu banyak perspektif.
Vedanta ini seperti jalan langsung (jalan tol) sebagaimana yang disebut dalam surat Al-Fatihah. Dalam Islam ada tingkatan syariat, thariqat, dan hakikat. Kalau diibaratkan seseorang sedang mengupas mangga, maka kulit mangga adalah syariatnya, cara mengupas mangga adalah thariqatnya, dan tahu rasanya mangga dan tidak ada keraguan di sana adalah hakikatnya. Untuk mencapai hakikat seseorang mesti bersatu, semisal seperti makan nasi. Orang tak bisa kenyang jika hanya mengimajinasikan nasi, dia harus menyatu dengan memakannya.
Kembali pada pengertian agama yang paling dasar, a berarti tidak, gama berarti kacau, secara sederhana agama adalah jalan agar tidak kacau, atau jalan keteraturan.
Kang Abu menerangkan |
Kang Abu bertanya, siapa orang yang paling sering kamu ajak bicara? Tak lain adalah SELF, diri sendiri, dan yang paling peduli dengan diri sendiri adalah SELF pula. Vedanta mengajari kita untuk mengenal diri sendiri, sebab kebanyakan orang yang terlalu melihat ke luar, usil ke orang lain. Seseorang yang memfokuskan dirinya keluar akan kehilangan informasi yang di dalam. Diri perlu diajak ngobrol pertanyaan-pertanyaan seperti, siapa aku? (Who am I?). Kang Abu mengajak untuk menutup mata dan menanyakan sejenak pertanyaan itu. Beberapa di antaranya akan menjawab who am I dengan jawaban nama. Tapi ketika nama itu diperdalam lagi, siapa yang ada di belakang nama? Nama itu siapa? Apakah nama itu benar-benar kita? Kita akan menemukan jawaban lain.
Untuk mengenali diri sendiri pula, Kang Abu mengajak kita untuk menengok orang-orang di kanan dan kiri. Kebanyakan akan melihat wajah (dia imut, cantik, ganteng, dll, atau timbul pula impresi yang berbeda-beda seperti senang hingga kesal). Kang Abu bertanya, kenapa antara orang satu dengan yang lain menciptakan perasaan yang berbeda?
Hal yang menarik bagi saya pribadi adalah bagaimana Kang Abu menjelaskan konsep abstrak semisal Tuhan ke dalam contoh sederhana yang logis. Begini, jika diibaratkan papan itu Allah, maka gambar-gambar yang ditulis di dalam papan itu juga ada di dalam semesta Allah. Ketika papan itu tidak ada, maka gambar-gambar (lingkaran, kotak, segitiga—yang punya bentuk dan batas) juga tidak ada. Termasuk dia mencontohkan terkait kolong papan tulis, kolong papan tulis tidak akan ada ketika papan tidak ada. “Kita semua hanya kolongnya Tuhan. Kita ada karena keberadaan Allah. Allah itu sang Realitas,” jelasnya. Dalam bahasa Sanskerta, “Tat Twam Asi” aku adalah itu, ia adalah kamu, segala makhluk sama.
Selfie bersama |
Sayangnya, manusia hanya melihat bentuk dan nama, lupa pada semesta besar. Orang juga sibuk berkelahi terkait lingkaran, kotak, dan segitiga; padahal semuanya tampil di satu hal: papan tulis. Dengan logika seperti ini, maka logis jika Tuhan tak pernah terpisah dari diri kita, dia melingkupi kita. Menanyakan Tuhan berada di mana sama halnya dengan bertanya pada ikan, air ada di mana? Atau bertanya pada segitiga, di mana letak papan tulis. Dalam bahasa Al-Quran, ini telah digambarkan di dalam QS Al-Baqarah: 115, "Kemana pun kamu menghadap, di sanalah wajah Allah". Tuhan dalam bahasa Quran lainnya juga lebih dekat daripada urat nadi diri sendiri.
Diri kita yang sejati bisa dilihat dari tampilan, dan tampilan itu mempunyai sumber yang berasal dari ruh, kesadaran, dan Tuhan. Sejatinya, kesadaran setiap orang adalah sama, yang berbeda adalah yang menutupinya, atau cover-nya, hijabnya, atau auratnya. Dalam bahasa IT, hijab ini disebut juga dengan “program”. Manusia itu berasal dari satu sumber, yang membedakan adalah programnya. Program bisa dilihat dari nama-nama yang dilekatkan pada kita, program juga bisa menjelma agama. Program ini berasal dari pengalaman. Program yang sulit diubah adalah program yang telah mengental lama.
Kenapa di dalam meditasi mata ditutup? Tujuannya untuk melepaskan program. Ketika mata ditutup, maka hati dan pikiran akan lebih fokus. Kalau mata masih melihat, potensi melihat drama kehidupan juga luas. Ini yang harus disadari: kesadaran tak lapuk oleh apa pun. Tuhan selalu ada di dalam dirimu, kamu saja yang gak sadar. Sama seperti dengan sumber layar bioskop, drama yang ditampilkan bisa berubah-ubah tapi berasal dari satu layar. Drama hidup ini diibaratkan Kang Abu seperti pembelajaran ketemu tamu, dan tamu yang paling penting adalah pasangan dan anak (keduanya jadi karma terbesar).
Ilmu dari puncak ilmu ini juga bisa sia-sia jika hanya berhenti di pengetahuan alias tidak dilatih. Oleh sebab itu, Kang Abu mengingatkan ada 15 cara, eh, 30 cara untuk meraihnya: satu berlatih, dua kembali ke nomor satu, tiga kembali ke nomor satu, begitu seterusnya.
Sesi dilanjutkan dengan tanya jawab dengan Kang Abu.
Mbak Icha menanyakan, “Tips mengenali program yang menghalangi kita?” Kang Abu menjawab: (1) Program paling bahaya itu sombong, yang sudah dilakukan oleh setan. Ketika sombong ada di dalam diri, itu sudah otomatis programnya keos. Program lama juga bisa berbentuk berhala-berhala. (2) Stop membuat kesimpulan dalam hidup. Dunia tidak berhenti di kata “harus”. Misal terkait pernikahan, kemudian bercerai, seseorang dengan mudah menyimpulkan jika dirinya gagal, padahal hidup masih terus berlanjut. Kalau diibaratkan pertandingan sepak bola, di menit ke-30 sudah nyerah, padahal masih ada 60 menit yang belum terjadi. Orang juga sering memberi titik dalam hidupnya sendiri, padahal hidup penuh koma, hidup itu dinamis.
Retret hari-2 |
Pertanyaan lain terkait cara melatih spiritualitas pada anak, baik anak di dalam rumah maupun di sekolah. Kang Abu menanggapi, sebagai guru/orangtua, seseorang harus memberi teladan terlebih dahulu, karena anak pada umur 0-7 tahun bisa dikatakan 100% akan meniru. “Gak ada orang yang berubah karena wejangan, tapi karena contoh,” tegas Kang Abu.
Pertanyaan berikutnya, dari seorang ibu yang tinggal di Jakarta. Si ibu bercerita terkait pengalamannya melakukan meditasi untuk merilis kemarahan (dicontohkan psikologi orang Jakarta yang kesenggol sedikit sering emosi), marah dirilis melalui kekuatan Tuhan, diminta biarkan Allah bekerja. Namun si ibu ragu, benarkan cara itu? Efektifkah? Bukankah itu di sisi lain kita juga menyuruh Tuhan? “Kenapa saya nyuruh-nyuruh Allah? Saya kemana saja?” tanyanya. Dan para peserta saling tertawa mendengar cerita si ibu.
Kang Abu menjawab, marah bukanlah fitrah. Orang bisa marah karena marah itu dilatih. Marah itu skill (yang bisa ditulis di CV, haha, bercanda). Marah lawannya adalah sabar, sabar juga termasuk skill, kenapa bisa sabar? Karena sekali lagi, dilatih/latihan/practice. Seberapa lama melatihnya? Tergantung seberapa lama kita memprogram skill itu. Kang Abu mencontohkan, ada seseorang yang selama 40 tahun hidupnya mengumpulkan lemak di badan dari makanan-makanan, tapi dia ingin kilat selama 10 tahun jadi sixpack, ya susah, karena memprogramnya jauh lebih lama. Jadinya tidak bisa cepet.
Ibu Itoh kembali bertanya, kita mesti ke kesadaran/ruh, tapi gejolak jiwa selalu ada. Kadang di atas garis, tapi juga kadang di bawah garis. Bagaimana biar konsisten di jalan Laillahaillah?
Kang Abu berkomentar, sekali lagi, dalam hidup gak ada kata HARUS. Jangan mencari yang ideal, misal ketika meditasi berharap nemu cahaya yang ungu ke-pinkpink-an, tidak, hidup itu mengalir, gak harus nunggu jiwa bersih baru meditasi, yang dibutuhkan adalah jiwa yang tenang. Selain itu tidak ada perasaan yang salah, yang ada adalah responsnya yang salah. Jangan pula menolak perasaan yang ada. Sesuatu yang kita tolak akan datang lebih kuat. Semisal, rasa kesal sedang menghampiri kita, energi kesal ini bisa dibagi ke dalam dua respons: untuk melempar gelas atau mencuci kamar mandi. Patah hati juga sama, responsnya bisa konstruktif, bisa destruktif. Kalau di tangan Taylor Swift, patah hatinya bisa jadi lirik lagu. Atau patah hati ini bisa disalurkan pula lewat status yang tak karuan, padahal yang membacanya pun kebanyakan tak peduli. Emosi patah hati pun bisa jadi energi. Rasa kesal juga bisa diatasi dengan bergerak. Itu kenapa olahraga di sini penting, karena olahraga bisa menstabilkan akal, pikiran, dan semangat. “Rajin olahraga berarti juga memperbaiki akhlak,” kata Kang Abu.
Pulang dari retret Bogor, masih sempat ketemu Bagus |
Sesi retret hari kedua ini ditutup dengan kata penutupan dari Bu Rika. Bu Rika berkata: “Alhamdulillah retret selesai. Terima kasih untuk Swamiji, Shraddha Ma, Tim IVS telah merealisasikan retret di Bogor. Semoga bisa memperkuat tujuan kita mencapai ‘The One’, jadi bagian Allah, bukan mencari di luar, tapi di dalam kita bersama-Nya.”
Oiya, di hari terakhir ini saya juga senang sekali bisa membeli buku karya Swamiji yang berjudul "With Love Swami Probuddhananda", dapat tanda tangan beliau juga.
Buku Swamiji |
Pelajaran dari Retret Bandung, 13 November 2024
Saat retret di Bandung, tepatnya di rumah Ayas, saya sempat mengikuti retret via Zoom. Beberapa materi dan sharing yang saya dengar terkait dengan cerita dari Pak Waller, karena miknya di awal kecil, jadi tidak begitu saya dengar. Dilanjutkan dengan Uni Elma, yang mengatakan jika dengan meditasi, bisa membuatnya instropeksi diri, semisal, kenapa bisa marah? Uni juga bisa merasakan fokus dengan cepat melalui meditasi. Lalu lanjut Bu Yulia, yang berbagi pengalaman ketika memandikan nenek yang saya temui ketika retret di rumah Aulia, beliau wafat. Bu Yulia bercerita saat memandikan, jenazah benar-benar tenang (ada mitos ketika orang meninggal jadi kaku ketika dimandikan). Dari sana Bu Yulia banyak belajar agar nanti bisa kembali ke Yang Maha Kuasa dengan husnul khotimah. Bu Yulia juga mendedikasikan waktu setidaknya satu jam untuk meditasi setiap hari.
Pak Waller, Uni Elma, Bu Yulia |
Teman-teman Ayas |
Membina diri |
Retret di rumah Ayas |
Terakhir, ditutup dengan penebalan materi dari Ustad Hasan. Menurutnya, Krisna adalah anomali, masih muda tapi sudah tak ingin apa-apa, merasa cukup. Sementara di luar masih banyak orang mengejar dunia. Kita instrumen Tuhan. “I am not the doer.” Hidup seperti bunga lotus. Apapun semuanya dari Tuhan.
Bogor-Jakarta, 9-15 November 2024
Keep Writing! love the way you telling story - Erly
BalasHapusSure, thank you so much.
HapusKeren banget mbak Isma, terima kasih sdh dibuatkan tulisan yg indah ini. Teruslah berkarya, doa sukses untuk mba Isma.. Aamiin
BalasHapusSiaap, semoga konsisten menekuni tulis menulis selama hidup, hehe. Terima kasih ya.
Hapus