Ingin sharing pengalaman tadi malam aja (6/3/14) :D
Tadi malam, usai latihan sanggar jam
satu malam lebih. Aku pulang ke kos, dan betapa malangnya pintu udah dikunci.
Ia, sangat tabu perempuan pulang malam-malam. Aku sadar tapi aku bangga dan berterima
kasih pada diriku sendiri: ‘Is, ternyata lu kuat’. Disaat teman-teman yang lain
tertidur pulas dengan mimpi-mimpinya, kita teriak-teriak acting kayak orang
gila. Back to topic, aku udah down mau tidur dimana. Udah beli gudeg, kopi
sachet sama roti buat nemenin aku nyelesaiin tugas dan berita di LPM ARENA, eh
dikunci. HP udah mampus dari siang tadi lagi. Mau tidur dimana coba? Mau
ngubungin siapa coba? Gebrak-gebrak pintu ya nggak mungkin. Daerah tempat aku
kos (depan UPT Balai Yasa, perumahan PT KAI yang sepi, ke-Belandaan dan banyak
pohon besar) kadang-kadang buat bulu kuduk merinding.
Akhirnya ide lama bersemi
kembali: nggembel di Malioboro! Ya, pertama kali aku menginjakkan kaki di
Jogja, jalan sepanjang Malioboro adalah hotel luar biasa aku dan bapak (hobi
nggembel sepertinya aku arisi dari bapak). Nggak peduli dilihatin orang lalu
lalang, kami mengambil tempat disana untuk melepaskan tubuh yang lelah, tidur
sambil dengerin musik-musik jalanan Maioboro yang tak pernah sepi hingga pagi.
Dengan tubuh yang lelah aku
menuju Malioboro, musik angklung adalah elemen paling aku rindukan dari tempat
ini. Yaa, seperti dugaanku, jalanan sekitar benteng Vredenburg dipenuhi oleh
nyanyian-nyanyian para pemuda pemudi. Tiba-tiba mentalku kerut. Aku jadi nggak
yakin mau nglakuin hal kayak dulu lagi. Dulu aku ditemanin bapak? Nah sekarang?
Tempat ini serasa asing. Aku memilih berjalan terus menuju masjid gedhe Kauman
(berharap bisa tidur disana). Kebetulan malam ini aku lapar. Aku beli nasi 2
ribu di warung depan masjid dan dungaren dapat
banyak :D Aku masuk masjid. Di gerbang mau masuk ada pengemis yang sedang
tidur. Dan apa yang terjadi? Pintu masuk ke masjid digembok!! Aku menghirup
nafas panjang.
Duduk di bangunan pintu. Aku buka
nasi dan gudeg, aku makan dengan sedikit tak berselera. Aku sudah tidak peduli
kalau malam ini itu malam jumat. Aku berkeyakinan ‘penunggu’ masjid dan area
keraton ini dihuni oleh makhluk yang baik-baik. Usai makan, aku bersandar di
salah satu temboknya, memejamkan mata sebentar, melepas lelah. Olah rasa. Oh,
gini yaa rasanya orang nggak punya rumah? Ini belum apa-apanya Is. Dari jauh ku
lihat pintu masjid dibuka sedikit, lampu yang tadinya gelap tiba-tiba terang.
Sudah menunjuk pukul 3 pagi ternyata. Daripada ntar dikira dan ditanya yang
bukan-bukan aku putuskan untuk keluar. Nyari tempat lain yang lebih tepat.
Tapi, cari ku cari sepanjang perjalanan. Semua tempat seolah menolakku. Di
jalan ku alami juga ketakutan-ketakutan. Dari sindiran orang-orang di jalan
(yang godain gitu), pengemudi motor yang nggak tahu adab membuat jantung
terkejut, hantu malam jumat belum termasuk #ehnggakding.
Akhirnya, aku sampai di kos juga.
Beberapa jam lagi Is pintu dibuka. Sabar.
Tanpa pikir panjang, aku tidur di
depan pintu sebelah barat. Di atas paving tanpa alas tanpa bantal (tas ku isi
laptop yang mati suri juga, berat banget bawanya, nggak enak juga kalau aku
jadiin bantal). Kedinginan. Bersyukur ‘sedikit’ menikmati tidurku. Hingga
akhirnya, jam 5 pagi-an. Pintu itu dibuka oleh mbak yang bekerja di rumah eyang
(pemilik kos). Aku masuk. Tanpa basi-basi masuk kamar ambil selimut tidur!
Jam 7 aku baru bangun beneran.
Bertepatan dengan kelas Mekanika jam 7 pagi. Aku cukup stress mikir. Berita
ARENA tentang demo di fakultas saintek kemarin belum aku revisi juga lagi.
Belum lagi DL RR (Rapat Redaksi) kemarin. Yow wis, mikir kelamaan di waktu yang
sempit bakal ngrugiin banyak hal. Mandi bebek dan datang ke kelas Mekanika!
Meski telat 25 menit, pak Joko masih berbaik hati mengijinkan aku masuk. Meski
di kelas masih sempet molor #tak-patut #instropeksi-banyak
Usai mekanika, aku beli sayur,
lauk, dan cilok. Nasi gudeg yang tadi malam masih bersarang di keranjang
sepedaku, aku makan nasi itu di depan bank X yang ada di sepanjang jalan KOPMA.
Sendirian. Beli gelas aqua kecil, makan cilok di pinggir jalan. Serasa nggembel
lagi (dan aku menikati ke-gembel-anku)
Semoga kisah tak penting ku ini
bisa memberikan sesuatu, hehe. Aku tutup dengan kalimat indah dari Ki Pandji
Kusmin, kemarin warga PSDM ARENA diskusi tentang satu-satunya cerpen beliau
yang keren beud berjudul “Langit Makin Mendung” (recommended banget buat dibaca
:D)
“Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia
yang biasa berjuang.”
Jogja, 7 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar