“Setiap kita memberikan pengalaman gerak pada tubuh, maka otak akan semakin cerdas.” Ya, begitulah kata Mas Elek Suwek sore itu. Setiap rangsangan gerak yang diberikan pada tubuh menggulirkan baling-baling otak kita berputar. Kita menjadi cepat mengambil keputusan, cepat dalam bertindak. Latihan adalah sebuah bentuk kontinuitas. Dilakukan tiap hari, jika perlu menjadi kebiasaan. Misalkan bicara menggunakan nafas perut. Saat sudah terbiasa, di panggung nggak perlu mikir ‘ini udah gunain nafas perut belum?’. Kalau kata Pak Sutradara aku, bapak Munir, ‘tidak hanya biasa, tapi menjadi naluri’. Pas malam itu (7/3) kita latian nafas pakai sedotan, biuh… gila sensasinya, hirup nafas pakai hidung, dikelurkan lewat sedotan yang dipasang dalam mulut, sikap kaki kuda-kuda. Kita terengah-engah, pusing, serasa mau semaput. Pak Munir bilang apa coba? “Kalau mau pingsan, pingsan sekalian. Mari kita nekat-nekatan, meski di teater nggak ada asuransi!”. I think that is happy process to conquer oneself. Let’s we find the sensation of theatre. Show your creativity! Your idea! Your spirit!
Dan latihan malam ini (9/3), aku
menemukan sensasi itu sendiri. Perjalanan spiritualku ikut berteater. Legowo adalah salah satu kunci
berteater. Sekecil dan sesingkat apa pun peran kamu jangan berkecil hati. Satu
pesan yang akan selalu teringiang terus dalam otak aku, dulu Mas Okta pernah
bilang, “Tidak ada
peran yang kecil, adanya aktor yang kecil”. Aktor professional akan melakukan
sebagus dan sebaik mungkin peran yang diberikan, sekecil apa pun itu. Dan saat
diberi porsi banyak, “show who you are”.
Kebanyakan, rekan-rekanku sering down ketika bolak balik di cut. Entah mimik, respon, atau semangat
mereka. Ntah kenapa aku sebaliknya, diulang 100 kali pun aku siap. Karena aku
tahu itu untuk kebaikanku. Selama menonton teman yang acting di luar panggung
dan menunggu giliran lagi, malam ini (9/3) aku merasakan sensasi itu lagi. Tiap
kali aku tampil awal-awal aku merasa grogi. Ntah dihantui perassan takut,
acting jelek, emosi nggak dapat, motivasi nggak jelas, bisnis acting kacau,
dll. Setelah aku pikir-pikir, aku nggak sendiri, teman-teman yang latihan di
panggung pun tak jauh beda. So, why you
must feel like that? Just focus and preserve your concentration. Kedua,
hanya sekedar mengingatkan aktor yang di panggung, “Berbahagialah kalian
berdiri disana. Karena kalian lebih baik daripada kami yang cuma menonton dan
duduk-duduk. Kalian punya nilai dan daya eksplor lebih. TUNJUKKAN!” Yaa,
pikiran ini adalah manifestasi aku dari ke-benci-anku terhadap ke’statis’an.
Dari sifat aku yang kagum pada orang yang selalu melakukan lebih dan bertindak -
bersikap lebih tinggi. Perbandingannya seperti pelaku dan penonton, ‘you are actor man!’. Ketiga, semakin
banyak berlatih tanpa disadari banyak yang kita kuasai dan dapatkan. Misalkan,
dulu aku kesulitan banget berbicara dengan karakter orang tua seperti warna vokal
Mbah Kawit dalam naskah tuk, pas latihan malam itu, nggak tahu darimana
datangnya gitu, aku bisa menirukan Isti yang ber-vokal tua. Ke-empat, lebih berupa
usul. Pembacaan dan penghafalan sebaiknya tidak cuma berfokus pada peran
sendiri, tapi juga ke yang lain agar jika suatu hari pas latihan aktor
berhalangan hadir, bisa digantikan yang lain. Bukan berarti merebut simpati
atau berniat mengambil/menggantikan peran orang lain, daripada pas latihan
tokoh yang berhalangan hanya bentuk udara yang abstrak mending digantiin aktor
lain yang nunggu, karena menurutku lebih nyata dan real :D
"Sinbad" koleksi Sanggar Nuun |
Djogja, 10 Maret 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar