Jumat, 20 September 2024

Catatan Film #22-25: Neanderthals, Orangutans, David Attenborough, dan Guatemala

Secrets of the Neanderthals (2024)

Ini tayangan di Netflix yang aku temukan pas aku searching di pencarian: etnografi dan antropologi, ketemunya malah arkeologi. Barangkali memang film bertema macam ini tuh tak banyak. Awalnya nonton dokumenter ini cukup asyik, kita disajikan pemandangan khas di Iran, lalu ke sebuah gua yang dulunya jadi tempat tinggal makhluk yang berjenis manusia di masa lalu: Neanderthals. Digambarkan hidup mereka yang primitif, pokoknya berbeda dengan manusia modern dengan kompleksitasnya, mereka hidup dengan cara menyerupai binatang, berburu. Selain di Iran, situs neanderthals lain ditemukan di Prancis dan Turki, sama-sama di gua. Tapi dokumenter ini menurut saya cukup membosankan, entah, mungkin bukan cup of my tea saya.

Secret Lives of Orangutans (2024)

Ada rasa refreshing ketika nonton film ini, alamnya Indonesia banget karena emang dokumenter ini dibuat di kawasan Indonesia-Malaysia. Dari film ini aku belajar bagaimana orangutan itu hidup, bagaimana mereka mencari makan, bersosialisasi, menjadi penguasa dari orangutan lain, bagaimana mereka berburu, dan bagaimana mereka tidur, membangun rumah, bermain di antara dahan satu ke dahan lain. Tingkat survival hidup yang luar biasa. Bagaimana juga seorang anak belajar sejak kecil selalu ikut ibunya, belajar lewat tindakan. Ya, meski film ini banyak cerita gimana orangutan mencari makan, dan tidak tentang bagaimana mereka menghadapi bahaya, barangkali akan lambat kalau kamu tipe yang tak sabaran. Entah, menonton film ini aku jadi merasa nilai keantroposentrisanku perlahan-lahan lebur dengan mereka yang tidak manusia. Nama-nama mereka juga unik-unik di sini, Friska... Self-naratornya ternyata juga David Attenborough!

David Attenborough: A Life on Our Planets (2020)

Indeed
David Attenborough barangkali adalah pengecualian bagaimana hidup benar-benar dinikmati bersama dengan alam. Karier yang dia ambil sejalan dengan passion dia. Banyak footage-footage yang menggambarkan bagaimana kerennya dipeluk binatang langka, tersesat di tempat antah berantah, dan menjalani hidup dengan murni. Dia seorang naturalis hingga 60 tahun. Dia berkeliling dunia, menjelajahi banyak negara, bahasa, adat istiadat, ras. Bertemu dengan banyak binatang, dari binatang yang mainstreams sampai binatang yang langka. Lewat ini dia menyampaikan pesan bagaimana keserakahan manusia telah membuat bumi ini jadi penuh dengan mimpi gelap, CO2 bertambah, penduduk bertambah, rumah kaca menyebabkan berbagai binatang punah. 

Dari pesannya kita juga bisa menarik berbagai tips untuk menjaga planet: makan sedikit daging, hindari mengemudi, lebih jarang terbang, makan produk lokal, belanja dengan sadar, pakai listrik hemat energi. Meski ada pula kritik yang kubaca jika secara isi bagus, tapi film ini tak berani mengungkap siapa dalang penyebab rusaknya planet, yang tak lain industri milik para kapitalis. Ada pula yang menyayangkan isi film ini banyak berisi cuplikan lama, dan menyebut Attenborough menjual jiwanya ke Netflix (ah, sungguh lucu). Ada pula yang menganggap film ini mencederai kecerdasannya, karena hidup ini berjalan berdasarkan evolusi. Pendekatan hierarkis pada binatang juga sangat mengganggu, cerita yang seolah bilang hewan itu "berbeda" dengan manusia. Attenborough juga dianggap munafik karena dalam karier sebagai naturalis dia juga terbang kesana-kesini bersama tim. 

Guatemala: Heart of The Mayan World (2019)

Dokumenter ini baguss banget sebagai film travelogue. Aku baru nyadar kalau selain Indonesia, ada negara tropis lain yang seindah itu bernama Guatemala! Secara geografis ada di Amerika Tengah, dan negara ini jadi pusat kebudayaan maya--padahal yang kukenal selama ini lebih ke Meksiko. Setelah lihat film ini jadi pengen nglanjutin S2 Antropologi di Guatemala saja Ya Allah. Aku bayangin secara iklim diriku bisa hidup karena iklim bakal ngaruh. Di sini dijelasin dengan kamera yang cakep beberapa tempat dan budaya di Guatemala, seperti: 

  • Semuc Champey: Semacam perairan, air terjun degnan warna tosca yang nyejukin mata. Jemabtan kapur alam juga begitu.
  • Tikal National Park: Ini yang kayaknya sering jadi destinasi situs maya, yang sering dikunjungi turis, macam Borobudur kalau di Indonesia.
  • Almolonga Guatemala: Ini desa penghasil jagung dan berbagai sayuran dan buah-buahan, disebutkan data kalau 70 persen makanan di sana itu disuplai oleh pertanian sendiri, keren banget sih. Desa ini mengingatkanku dengan Dieng. Selain jagung, Guatemala juga memproduksi kopi dan coklat.
  • Santiago Atitlan dan San Juan La Laguna: Ini semacam kota pesisir di Guatemala yang cantik sekali seni-seni dan tradisionalitasnya.
  • Ciudad de Guatemala: Ini bagian ibukota, tempat setengah penduduk tinggal. Dan di kota masih ditemukan semacam kota lama yang estetik, selain julangan gedung penjulang langit. Ada semacam tradisi menghias jalan untuk dilewati perayaan dari peristiwa suci yang terjadi di Yesus.
  • The Archaeological Park and Ruins of Quirigua: Di sini juga situs budaya maya dengan patung-patung dari batu yang diukir.
  • Iximche: semacam situs tempat hidup suku maya.
  • Volcan y Laguna Chicabal: damau mistis tengah gunung
  • Lake Izabal: Di sini ada Castle Felipe de Lara peninggalan kolonial.
  • Chichicastenango (Quiche): Ini desa kecil di Guatemala, salah satu etnisnya masih ada yang ngomong pakai bahasa maya. Terus ada kuburan warna-warni yang cantik banget. Tepatnya di Santo Thomas Chichicastenango, kaya dengan kuliner, makanan kaki lima, budaya kuno, dengan harmonisasi perbedaan yang menarik.
  • El Paredon: Ini pantai cakep banget. Mesti coba rum di sini.
  • Coban: Daerah pegunungan, tempat di mana orang-orang Jerman tinggal. Ada pusat akademik bernama Quetzaltenango.
  • Acatenango Volcano: Orang Maya tidak naik gunung, karena ada kepercayaan mereka adalah bagian dari dewa.
  • Pulau Flores: Gak cuma di Indonesia, Guatemala juga ada.
  • El Mirador: Situs suku maya lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar