Jumat, 13 September 2024

Catatan Film #20: Kang Mak from Pee Mak (2024)

Ini film ke sekian Marsha Timothy yang kutonton, akting beliau masih selalu bagus. Aku menontonnya di Citra XXI (Citraland Mall), tiket weekdays Rp40 ribu. Sebenarnya aku ingin menonton "Seni Memahami Kekasih" yang diangkat dari bukunya Agus Mulyadi, tapi Jakarta malam itu macet, bahkan ambulans tak bisa bergerak. Ada beberapa pilihan film dan rata-rata horor. Kau tahu kan aku tak suka horor, meskipun itu dibungkus dengan komedi atau apalah, tetap aku tak menikmatinya. Itu pilihan terakhir yang akan kutonton. Dari semua film horor malam itu, ini yang paling mending, ya sudah, aku masuk ke dalamnya setelah makan malam sekaligus buka puasa di kedai cepat saji Korea Selatan, Oppa Dosirak.

Kang Mak diambil dari nama tokoh utama, Kang Makmur (Vino G. Bastian), seorang veteran perang. Premis yang dibangun di film ini: Seorang mantan pejuang perang yang pulang kampung, tapi ketika pulang istrinya Sari (Martha Timothy) dan anaknya telah meninggal, serta berubah menjadi hantu. Awal film dimulai dengan sebuah peperangan, meski tak jelas itu perang melawan Belanda atau Jepang, tapi ada unsur melibatkan Asia Tenggara seperti Thailand dan Kamboja. Film dibuka dengan adegan lucu soal pemlesetan lagu. Oke, aku akan mencoba bahas film ini lebih ideologis lagi--meski gak ada ideologis-ideologisnya--setidaknya suatu bentuk ulasan dan kritik.

Film horror ini sebenarnya hanya mengulang film-film horror lain, dengan sentuhan komedi yang kadang terlalu dipaksakan. Misal soal makan daun, kalajengking, dan cacing, itu adegan yang sama seperti kutemui di film horornya Suzanna. Meski ceritanya cerita lama, film ini dibantu dan dibintangi oleh para pemain pendukung papan atas seperti Supra (Indra Warkop), Jaka (Tora Sudiro), Fajrul (Indra Jegel), dan Solah (Rigen Rakelna). Latar juga tak jelas, para tokoh di film ini seperti punya keresahan identitas: Sunda bukan, Jakarta bukan, Thailand bukan, tidak jelas identitas lokal yang mau dibawa itu apa. Meski secara musik, dan dari rumah-rumah adat yang ditampilkan di pinggiran sungai, atau kostum-kostum yang dikenakan oleh Sari, identitas yang dibawa lebih dekat pada Sunda.

Kalau kutarik lebih jauh, ketidakkonsistenan budaya juga "bahasa" ini membingungkanku. Alur juga seperti mobat-mabit di film ini. Alurnya campuran tapi pacing-nya kemana-mana. Terus adegan yang di rumah hantunya entah kenapa lebih bagusan di film Agak Laen. Penulis naskah Chantavit Dhanasevi, Nontra Kumwong, dan Banjong Pisanthanakun (yang nulis script Pee Mak) perlu mikirin konteks waktu ini juga (latar Thailand dan Indonesia itu beda). Kalau di Thailand ada legenda hantu Nak, di Indonesia ada legenda Wewe Gombel sampai Kuntilanak. Sementara sutradara Herwin Novianto perlu melihat dengan mata lebih presisi dan tak terburu-buru menyesuaikan film dengan konteks Indonesia.

Dari judulnya, film ini seperti ngambil momentum ketenaran film horor Thailand, Pee Mak. Aku belum menonton yang versi Thailand, meskipun di akhir film Kang Mak, ada orang Thailand yang menjelaskan terkait museum rumah Makmur dan Sari. Serta tidak dijelaskan, sebenarnya yang hantu itu siapa? Keempat teman Makmur tidak dijelaskan mereka jadi karena apa, aku gak nangkap jelas Sari dan anaknya mati karena apa, lalu soal hal-hal lucu macam acting Andre Taulany, TJ Ruth, sampai Tarzan seolah dibuat-buat dan akal-akalan aja untuk menimbulkan kesan lucu. Maksudku, lucunya bukan lucu alami, tapi lucu teatrikal, dan kebanyakan film komedi Indonesia seperti itu. Lucu yang on script, dan tidak natural.

Yang berkesan barangkali perjalanan Sari dan Makmur ke pasar malam. Adegan itu mengingatkanku dengan cerita sebuah cerpen yang kubuat, agak beririsan meski inti alurnya agak sama, meski juga gak sampai masuk ke rumah hantu, karena aku tak suka hantu. Aku jadi berefleksi jika cinta bisa sebuta itu. Bahkan jika mengabaikan realitas jika kita hidup dengan mayat. Bagaimana sampai orang hidup dengan mayat? Makmur memang udah gila. Adegan lucu Cipluk, bayi laki-laki yang imut dan tampak effortless dengan acting-nya yang meyakinkan itu terasa sedih, bahwa dia bukan bayi, tapi gedebog.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar