Kamis, 26 September 2024

Tiga Pelajaran dari Balikpapan

I. 

Siapa saja yang memberikan cinta dan kasih sayang untuk pikirannya melalui makanan bergizi, sungguh dia telah menjadi dewasa.

II.

Menggali potensi pendapatan yang ada untuk kesejahteraan, pembangunan, dan pengentasan kemiskinan diri.

III.

Zakat jangan pelit, tapi juga jangan boros.

Jumat, 20 September 2024

Catatan Film #22-25: Neanderthals, Orangutans, David Attenborough, dan Guatemala

Secrets of the Neanderthals (2024)

Ini tayangan di Netflix yang aku temukan pas aku searching di pencarian: etnografi dan antropologi, ketemunya malah arkeologi. Barangkali memang film bertema macam ini tuh tak banyak. Awalnya nonton dokumenter ini cukup asyik, kita disajikan pemandangan khas di Iran, lalu ke sebuah gua yang dulunya jadi tempat tinggal makhluk yang berjenis manusia di masa lalu: Neanderthals. Digambarkan hidup mereka yang primitif, pokoknya berbeda dengan manusia modern dengan kompleksitasnya, mereka hidup dengan cara menyerupai binatang, berburu. Selain di Iran, situs neanderthals lain ditemukan di Prancis dan Turki, sama-sama di gua. Tapi dokumenter ini menurut saya cukup membosankan, entah, mungkin bukan cup of my tea saya.

Secret Lives of Orangutans (2024)

Ada rasa refreshing ketika nonton film ini, alamnya Indonesia banget karena emang dokumenter ini dibuat di kawasan Indonesia-Malaysia. Dari film ini aku belajar bagaimana orangutan itu hidup, bagaimana mereka mencari makan, bersosialisasi, menjadi penguasa dari orangutan lain, bagaimana mereka berburu, dan bagaimana mereka tidur, membangun rumah, bermain di antara dahan satu ke dahan lain. Tingkat survival hidup yang luar biasa. Bagaimana juga seorang anak belajar sejak kecil selalu ikut ibunya, belajar lewat tindakan. Ya, meski film ini banyak cerita gimana orangutan mencari makan, dan tidak tentang bagaimana mereka menghadapi bahaya, barangkali akan lambat kalau kamu tipe yang tak sabaran. Entah, menonton film ini aku jadi merasa nilai keantroposentrisanku perlahan-lahan lebur dengan mereka yang tidak manusia. Nama-nama mereka juga unik-unik di sini, Friska... Self-naratornya ternyata juga David Attenborough!

David Attenborough: A Life on Our Planets (2020)

Indeed
David Attenborough barangkali adalah pengecualian bagaimana hidup benar-benar dinikmati bersama dengan alam. Karier yang dia ambil sejalan dengan passion dia. Banyak footage-footage yang menggambarkan bagaimana kerennya dipeluk binatang langka, tersesat di tempat antah berantah, dan menjalani hidup dengan murni. Dia seorang naturalis hingga 60 tahun. Dia berkeliling dunia, menjelajahi banyak negara, bahasa, adat istiadat, ras. Bertemu dengan banyak binatang, dari binatang yang mainstreams sampai binatang yang langka. Lewat ini dia menyampaikan pesan bagaimana keserakahan manusia telah membuat bumi ini jadi penuh dengan mimpi gelap, CO2 bertambah, penduduk bertambah, rumah kaca menyebabkan berbagai binatang punah. 

Dari pesannya kita juga bisa menarik berbagai tips untuk menjaga planet: makan sedikit daging, hindari mengemudi, lebih jarang terbang, makan produk lokal, belanja dengan sadar, pakai listrik hemat energi. Meski ada pula kritik yang kubaca jika secara isi bagus, tapi film ini tak berani mengungkap siapa dalang penyebab rusaknya planet, yang tak lain industri milik para kapitalis. Ada pula yang menyayangkan isi film ini banyak berisi cuplikan lama, dan menyebut Attenborough menjual jiwanya ke Netflix (ah, sungguh lucu). Ada pula yang menganggap film ini mencederai kecerdasannya, karena hidup ini berjalan berdasarkan evolusi. Pendekatan hierarkis pada binatang juga sangat mengganggu, cerita yang seolah bilang hewan itu "berbeda" dengan manusia. Attenborough juga dianggap munafik karena dalam karier sebagai naturalis dia juga terbang kesana-kesini bersama tim. 

Guatemala: Heart of The Mayan World (2019)

Dokumenter ini baguss banget sebagai film travelogue. Aku baru nyadar kalau selain Indonesia, ada negara tropis lain yang seindah itu bernama Guatemala! Secara geografis ada di Amerika Tengah, dan negara ini jadi pusat kebudayaan maya--padahal yang kukenal selama ini lebih ke Meksiko. Setelah lihat film ini jadi pengen nglanjutin S2 Antropologi di Guatemala saja Ya Allah. Aku bayangin secara iklim diriku bisa hidup karena iklim bakal ngaruh. Di sini dijelasin dengan kamera yang cakep beberapa tempat dan budaya di Guatemala, seperti: 

  • Semuc Champey: Semacam perairan, air terjun degnan warna tosca yang nyejukin mata. Jemabtan kapur alam juga begitu.
  • Tikal National Park: Ini yang kayaknya sering jadi destinasi situs maya, yang sering dikunjungi turis, macam Borobudur kalau di Indonesia.
  • Almolonga Guatemala: Ini desa penghasil jagung dan berbagai sayuran dan buah-buahan, disebutkan data kalau 70 persen makanan di sana itu disuplai oleh pertanian sendiri, keren banget sih. Desa ini mengingatkanku dengan Dieng. Selain jagung, Guatemala juga memproduksi kopi dan coklat.
  • Santiago Atitlan dan San Juan La Laguna: Ini semacam kota pesisir di Guatemala yang cantik sekali seni-seni dan tradisionalitasnya.
  • Ciudad de Guatemala: Ini bagian ibukota, tempat setengah penduduk tinggal. Dan di kota masih ditemukan semacam kota lama yang estetik, selain julangan gedung penjulang langit. Ada semacam tradisi menghias jalan untuk dilewati perayaan dari peristiwa suci yang terjadi di Yesus.
  • The Archaeological Park and Ruins of Quirigua: Di sini juga situs budaya maya dengan patung-patung dari batu yang diukir.
  • Iximche: semacam situs tempat hidup suku maya.
  • Volcan y Laguna Chicabal: damau mistis tengah gunung
  • Lake Izabal: Di sini ada Castle Felipe de Lara peninggalan kolonial.
  • Chichicastenango (Quiche): Ini desa kecil di Guatemala, salah satu etnisnya masih ada yang ngomong pakai bahasa maya. Terus ada kuburan warna-warni yang cantik banget. Tepatnya di Santo Thomas Chichicastenango, kaya dengan kuliner, makanan kaki lima, budaya kuno, dengan harmonisasi perbedaan yang menarik.
  • El Paredon: Ini pantai cakep banget. Mesti coba rum di sini.
  • Coban: Daerah pegunungan, tempat di mana orang-orang Jerman tinggal. Ada pusat akademik bernama Quetzaltenango.
  • Acatenango Volcano: Orang Maya tidak naik gunung, karena ada kepercayaan mereka adalah bagian dari dewa.
  • Pulau Flores: Gak cuma di Indonesia, Guatemala juga ada.
  • El Mirador: Situs suku maya lainnya.

20 September 2024

"As you start to walk on the way, the way appears." Rumi

Rabu, 18 September 2024

Catatan Film #21: Seni Memahami Kekasih (2024)

Sebelum menonton film Seni Memahami Kekasih (SMK), aku sudah membaca terlebih dahulu buku karya Agus Mulyadi tersebut. Yang kuingat, isinya sederhana saja, tak muluk-muluk tapi sangat keseharian, dekat, dan mengajakmu untuk masuk. Di antaranya seperti pengalaman nonton di bioskop di Magelang tapi penontonnya malah ngobrol sendiri, dilempar sama Agus sandal. Dan di film ini dibuat lebih terarah, tidak semua tulisan dimasukkan, tetapi dipilih dari sisi perjalanan cinta Agus dan Kalis sampai mereka menikah. Juga ada isu-isu tambahan lain seperti kasus teman Kalis, Rahayu (yang jadi TKW di Hongkong/Taiwan), dengan suaminya Akmal dan anaknya Nurcholis yang di pondok.

Aku menonton ini di Gajah Mada Cinema Tegal. Bangunannya terpisah, tidak masuk mall sebagaimana umumnya yang ada di Jakarta. Bioskop ini punya studio, dua lantai, dan lantai bawah untuk parkir. Aku nonton sama Arwani, teman sekomplotan sejak di UIN dan KMPD. Kebetulan dia sedang tinggal di Tegal, semi kerja dan mengabdi di sebuah pondok pesantren di Tegal. Jarak pondok ke bioskop sekitar 20-an kilometer, kami ke bioskop setelah makan sate di RM Bu Tomo Slawi, ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Tegal, dan ke Masjid Agung Tegal di alun-alun. Aku tak menyangka, di sore minggu itu bioskop ramai sekali, mengantri cukup panjang, ini tak terjadi di Jakarta, yang dalam jarak kurang dari satu kilo saja udah ketemu bioskop yang berbeda. Misal XXI PI, GI, dan Sarinah. 

Setelah kami mengantri, kami masuk ke studio 4 dan film sepertinya dimulai tepat waktu, tak banyak iklan, sehingga kami telat beberapa menit. Studio ketika kami masuk gelap, mau menyalakan senter hape tapi takut mengganggu. Untungnya, mataku cukup tajam melihat kegelapan, untungnya pula tempat duduk kami F6 dan F7 tak begitu jauh dari pintu masuk. Kami duduk bersebelahan. Ini seat yang gak cukup jauh dari layar, ada di tengah-tengah, jadi cukup enak. Sebagaimana amatanku, layar XXI selalu lebih panjang dari CGV. Untuk kualitas sound, memang masih beda jauh dengan di Jakarta. Di sini kuperhatikan masih tersentral sound-nya dari depan, kalau di Jakarta, dari sisi mana pun rata, karena letak sound pakai teknologi yang aku lupa namanya.

Film sudah berjalan di adegan Kalis lulus sarjana ditemani temannya. Lalu berlanjut ke Kalis ada di kosnya di Solo, Kalis pulang ke rumah, Kalis dapat kerja editor di Jogja, Kalis dilamar, sampai Kalis dan Agus menikah. Aku merasa film ini berlalu sangat cepat, "Loh, wis bar iki?" Begitu pikirku, mungkin karena cerita yang terlalu dekat denganku, tentang Jogjanya, tentang Blora-nya, tentang editornya, tentang buku-bukunya, tentang kisah lain-lainnya. Kami tertawa, terlebih saat Agus dan Kalis main langsung jadi pegawai (kasir) toko barang plastik macam bak dll, dan Kalis jadi pembelinya. Sebagaimana aslinya, Agus Mulyadi ya begitulah orangnya, dia santai, natural, dan tampak menikmati perannya. Sementara acting Kalis begitu serius dan tak santai. 

Kelucuan lain tampak pada moment seekor burung milik Pak RT yang bisa niru suara orang-orang yang datang. Adegan bapak kos dan pak RT jadi perantara perdamaian Kalis dan Agus. Beberapa kelucuan memang skriptual dan tidak natural, tapi rasanya mengalir saja, Elang El Gibran yang memerankan Agus cukup bisa mengadaptasi karakter Agus yang asli, orangnya santai tak menggebu-gebu. Arwani juga bilang, Febby Rastanty yang memerankan Kalis menurutnya mirip Kalis saat muda. Film ini juga kebanyakan pakai bahasa Jawa, dan kedua aktor utamanya menggunakan logat medok khas Magelang dan Blora.

Beberapa adegan yang membekas, saat Agus beli mantol harga 400 ribu, saat dia bilang Tuhan kadang memang suka bercanda. Saat Kalis sebagaimana impian gadis lain yang ingin membahagiakan keluarga dengan membeli Fortuner tapi Agus lebih suka Brio. Alasannya Fortuner bisa bawa banyak, Agus berkilah kalau itu alasannya mending beli pick up, plus motor pun bisa dibawa. Namun, alasan sejatinya adalah karena Agus belum punya uang sebanyak itu untuk beli Fortuner. Bahkan untuk beli rak buku pun dia masih ragu, uang dia prioritaskan untuk beli buku buat perpustakaan di daerahnya di Magelang. Menurutnya semua anak berhak atas pengetahuan yang sama. 

Juga saat adegan saat Kalis dan Agus sama-sama menjadi pembicara sebuah sekolah menengah di Jogja, saat ada anak yang bertanya terkait narasumber yang tak bisa dipenuhi, isinya debat pribadi, tapi Agus bisa membelokannya ke hal lain yang lebih lucu. Meski miskin, yang aneh di sini mungki saat adegan Agus bisa mendatangkan Fiersa Besari untuk hadiah kelulusan di tempat karaoke. Bisa aja sih dari jalur pertemanan, tapi ya kok agak gak nyambung.

Agus dan Kalis juga buat perjanjian di atas kertas, setelah menikah dan hidup bersama nanti, keduanya punya cita-cita yang sama buat toko buku. Toko itu dinamai "Akal Buku", Akal sendiri akronim dari Agus dan Kalis. Di kenyataan, toko itu memang ada dan sudah jadi. Menarik juga ya punya cita-cita yang selaras dengan kesukaan hidup, atau passion hidup. Film bergenre romance-comedy (romcom) yang disutradarai Jeihan Angga ini ditutup dengan pernikahan Agus dan Kalis yang sederhana, yang mengundang sahabat-sahabat dekat di Blora.

Kelas Agus Mulyadi di UNY
Aku jadi ingat, beberapa kali aku ketemu sama Agus dan Kalis di Jogja, di acara yang berkaitan dengan kelas menulis, perbukuan, dan diskusi. Aku pernah datang ke kelas menulis di UNY yang didatangi Agus Mulyadi, dia orang yang suka bercerita terkait kisah-kisah yang dekat. Tulisan dekat itu juga yang rasanya terasa jujur dan mudah diterima. 

Yang aku berikan aplause tentu cara-cara Agus memahami perempuan, bukan cuma Kalis, cara Agus ini bisa dipakai laki-laki mana pun kukira untuk mendekati perempuan. Kalau perempuan ngambek ya gak usah ikutan ngambek, mending perempuannya diajak ketawa aja. Kalau perempuan ngegas ya dihalusin. Kalau hidup udah serius, ya dibuat selow. Kalau ini dilakukan, niscaya hubungan akan langgeng. Intinya saling mengimbangi. Seperti kata bapaknya Kalis di Blora, "Hubungan itu dua pihak harus saling jalan, kalau gak ya pincang."

Sabtu, 14 September 2024

Tentang Hal yang Tidak Disuka dan Tentang Pilihan

Tentang hal yang tak kusuka:

Aku akan mendedikasikan waktu 15 menit (blok waktu 15 menit) sehari untuk melakukan hal yang paling tidak aku suka.

Tentang pilihan:

Jika aku ditawari banyak pilihan yang membuatku ragu, aku akan memilih apa pun yang lebih mendekatkanku kepada Tuhan.

Jumat, 13 September 2024

Catatan Film #20: Kang Mak from Pee Mak (2024)

Ini film ke sekian Marsha Timothy yang kutonton, akting beliau masih selalu bagus. Aku menontonnya di Citra XXI (Citraland Mall), tiket weekdays Rp40 ribu. Sebenarnya aku ingin menonton "Seni Memahami Kekasih" yang diangkat dari bukunya Agus Mulyadi, tapi Jakarta malam itu macet, bahkan ambulans tak bisa bergerak. Ada beberapa pilihan film dan rata-rata horor. Kau tahu kan aku tak suka horor, meskipun itu dibungkus dengan komedi atau apalah, tetap aku tak menikmatinya. Itu pilihan terakhir yang akan kutonton. Dari semua film horor malam itu, ini yang paling mending, ya sudah, aku masuk ke dalamnya setelah makan malam sekaligus buka puasa di kedai cepat saji Korea Selatan, Oppa Dosirak.

Kang Mak diambil dari nama tokoh utama, Kang Makmur (Vino G. Bastian), seorang veteran perang. Premis yang dibangun di film ini: Seorang mantan pejuang perang yang pulang kampung, tapi ketika pulang istrinya Sari (Martha Timothy) dan anaknya telah meninggal, serta berubah menjadi hantu. Awal film dimulai dengan sebuah peperangan, meski tak jelas itu perang melawan Belanda atau Jepang, tapi ada unsur melibatkan Asia Tenggara seperti Thailand dan Kamboja. Film dibuka dengan adegan lucu soal pemlesetan lagu. Oke, aku akan mencoba bahas film ini lebih ideologis lagi--meski gak ada ideologis-ideologisnya--setidaknya suatu bentuk ulasan dan kritik.

Film horror ini sebenarnya hanya mengulang film-film horror lain, dengan sentuhan komedi yang kadang terlalu dipaksakan. Misal soal makan daun, kalajengking, dan cacing, itu adegan yang sama seperti kutemui di film horornya Suzanna. Meski ceritanya cerita lama, film ini dibantu dan dibintangi oleh para pemain pendukung papan atas seperti Supra (Indra Warkop), Jaka (Tora Sudiro), Fajrul (Indra Jegel), dan Solah (Rigen Rakelna). Latar juga tak jelas, para tokoh di film ini seperti punya keresahan identitas: Sunda bukan, Jakarta bukan, Thailand bukan, tidak jelas identitas lokal yang mau dibawa itu apa. Meski secara musik, dan dari rumah-rumah adat yang ditampilkan di pinggiran sungai, atau kostum-kostum yang dikenakan oleh Sari, identitas yang dibawa lebih dekat pada Sunda.

Kalau kutarik lebih jauh, ketidakkonsistenan budaya juga "bahasa" ini membingungkanku. Alur juga seperti mobat-mabit di film ini. Alurnya campuran tapi pacing-nya kemana-mana. Terus adegan yang di rumah hantunya entah kenapa lebih bagusan di film Agak Laen. Penulis naskah Chantavit Dhanasevi, Nontra Kumwong, dan Banjong Pisanthanakun (yang nulis script Pee Mak) perlu mikirin konteks waktu ini juga (latar Thailand dan Indonesia itu beda). Kalau di Thailand ada legenda hantu Nak, di Indonesia ada legenda Wewe Gombel sampai Kuntilanak. Sementara sutradara Herwin Novianto perlu melihat dengan mata lebih presisi dan tak terburu-buru menyesuaikan film dengan konteks Indonesia.

Dari judulnya, film ini seperti ngambil momentum ketenaran film horor Thailand, Pee Mak. Aku belum menonton yang versi Thailand, meskipun di akhir film Kang Mak, ada orang Thailand yang menjelaskan terkait museum rumah Makmur dan Sari. Serta tidak dijelaskan, sebenarnya yang hantu itu siapa? Keempat teman Makmur tidak dijelaskan mereka jadi karena apa, aku gak nangkap jelas Sari dan anaknya mati karena apa, lalu soal hal-hal lucu macam acting Andre Taulany, TJ Ruth, sampai Tarzan seolah dibuat-buat dan akal-akalan aja untuk menimbulkan kesan lucu. Maksudku, lucunya bukan lucu alami, tapi lucu teatrikal, dan kebanyakan film komedi Indonesia seperti itu. Lucu yang on script, dan tidak natural.

Yang berkesan barangkali perjalanan Sari dan Makmur ke pasar malam. Adegan itu mengingatkanku dengan cerita sebuah cerpen yang kubuat, agak beririsan meski inti alurnya agak sama, meski juga gak sampai masuk ke rumah hantu, karena aku tak suka hantu. Aku jadi berefleksi jika cinta bisa sebuta itu. Bahkan jika mengabaikan realitas jika kita hidup dengan mayat. Bagaimana sampai orang hidup dengan mayat? Makmur memang udah gila. Adegan lucu Cipluk, bayi laki-laki yang imut dan tampak effortless dengan acting-nya yang meyakinkan itu terasa sedih, bahwa dia bukan bayi, tapi gedebog.

Senin, 09 September 2024

Catatan Film #19: Kaka Boss (2024)

Film Kaka Boss

Mengisi weekend kemarin, saya nonton film "Kaka Boss" di XXI Kota Kasablanka. Saya memilih film ini setelah mengeliminasi sekitar 6 film lain yang saya tak ada ketertarikan menontonnya. Setelah baca semua sinopsis (horor dan Barat yang lebai tentu saya skip), kurasa ini film yang paling mending secara materi. 

Nonton film Kaka Boss yang disutradarai oleh Arie Kriting ini di XXI Kota Kasablanka (Kokas) dengan tiket seharga Rp75 ribu. Ini pertama kalinya aku ke Kokas dan mall-nya sangat luas, berbagai produk kelas menengah atas tersedia, tinggal berapa uang lu punya, karena di sini konsumsi di mana-mana, dan pas weekend sungguh ramai sangat. Ini kayaknya mall teramai di Jakarta dari semua mall yang pernah kukunjungi. Nah, untuk studio nontonnya sendiri, dengan harga 75 ribu, secara audio dan tempat, fasilitas memang sangat bagus dan baik. Aku mengamati jika audio XXI ini lebih merata, lalu kursinya itu nomornya mudah dicari karena ada di sisi kiri atas kursi, sekali duduk itu bisa langsung nyender. 

Lanjut ke isi film (spoiler alert), diawali dengan kasus pertengkaran dua grup dance di sebuah bar, yang grup ini dari nada suaranya berasal dari Indonesia bagian Timur (Papua juga Maluku dan kawan-kawannya). Secara fisik juga terlihat, terkait warna kulit, bentuk rahang dan wajah, style rambut, dlsb. Dua grup ini saling bertengkar, salah satunya dibantu Kaka Boss, seorang kaya raya dari hasil kerja keras. Dia mendirikan perusahaan security profesional untuk membantu kliennya di berbagai kebutuhan, dari penagihan debt collector, mengamankan wilayah tertentu, hingga melindungi artis dari gangguan wartawan.

Nah, inti yang dikatakan film ini dari yang kutangkap adalah soal keluarga: bagaimana seorang ayah bisa berarti dan selalu hadir untuk anaknya. Jadi, si Ferdinand Omakare (Godfred Orindeod) atau yang dipanggil Kaka Boss ini dulunya pernah dipenjara karena membantu bosnya di sebuah kasus, ada di adegan tembak-tembakan polisi. Ketika di penjara, istrinya Martha (Putri Nere), dia hamil anak pertama ketika Ferdinand ada di penjara. Teman-teman baik Ferdinand seperti Reggae (Mamat Alkatiri), Gafur (Abdur Arsyad), Billy (Reinold Lawalata) sering kasih kabar ke Kaka Boss terkait istri dan anaknya. Hingga suatu hari, putri pertama mereka Angel (Glory Hillary) lahir, Kaka Boss sangat senang.

Sangking sayangnya Kaka Boss sama Angel, dia selalu ingin hadir di setiap moment penting anaknya. Bahkan sesederhana selalu mengantar Angel ke sekolah setiap hari apa pun kondisi Kakak Boss, mau dia sakit, meriang, gak enak badan, Angel adalah titik loyalitasnya. Hingga suatu hari, ada ajang charity kampus yang menghadirkan orangtua. Angel ingin mengajak ibunya tapi katanya gak bisa (meski di akhir film si ibu datang juga). Kaka Boss ngotot buat hadir menggantikan istrinya tapi Angel menolak. Angel teringat dengan pengalaman di masa lalu, ketika Kaka Boss datang ke kelas dan mempraktikkan gimana cara nagih utang. Semua orang dan temannya ketakutan, sampai ada yang ngompol di kelas. Sejak itu, sebutan ayah preman lekat di diri Kaka Boss dan membuat Angel malu.

Betapa sedih dan patah hatinya Kaka Boss mendengar pengakuan Angel dia malu punya ayah preman. Padahal semua kerja dan usaha yang dia bangun adalah demi anaknya terutama. Melihat suaminya sedih, Martha memberi ide ke Kaka Boss untuk berganti profesi preman menjadi profesi yang belum pernah dicapainya ketika dia kecil. Kaka Boss bingung cita-cita apa itu gerangan? Nah, ketika di ruang kerja, dia dengar lagunya Glenn Fredly yang judulnya "Akhir Cerita Cinta" yang menyayat-nyayat itu. Lalu muncul ide gilanya untuk menjadi penyanyi. Dulu Kaka Boss juga pernah jadi penyanyi gereja menggantikan temannya yang ditabrak karena permintaannya sehingga Kaka Boss bisa gantiin, wkwk.

Petakaku pun terjadi pada produser studio rekaman si Alan (Ernest Prakarsa), dan para pegawainya Nowela (Nowela Elizabeth Auparay), Teddy (Teddy Adhitya), hingga Teguh (Ge Pamungkas). Kaka Boss datang ke mereka dan mencoba teknik vokalnya yang kata sebagian besar suaranya busuk tak tertolong, gak ada sopan-sopannya sama sekali masuk telinga, tapi karena takut, mereka bilang suara Kaka Boss itu "amazing" dan "mukjizat Tuhan" (aduh ngakak bagian ini). Ketakutan pada seseorang memang bisa mengalahkan kebenaran itu sendiri. Akhirnya sandiwara itu berlarut-larut. Drama pembuatan single dan album lagu itu terjadi.

Angel pun di satu sisi juga malu dan sedih, apalagi tersebar di TikTok berita terkait ayahnya dengan informasi yang sepotong-potong. Dia ingin buktikan kalau ayahnya hebat. Sampai bangkai yang ditutupi itu pun cepat lambat kebongkar, lewat orang yang disewa menggantikan vokal Kaka Boss yang tak tertolong. Tokoh ini namanya Ajit (Kristo Immanuel), yang juga bisa niruin suara Jokowi. Kaka Boss pun sangat sedih, kata "amazing" menimbulkan trauma baginya. semua seolah telah menipunya, dari sahabat dekat, Alan dkk, hingga yang paling membuatnya terpukul, si Angel juga membohonginya. Kaka Boss sangat-sangat sedih, tapi solusi selalu ada. Alan punya ide, sebenarnya Kaka Boss dkk lebih baik di dance daripada nyanyi. Akhirnya, dibantu dengan trio Nowella, pertunjukkan nyanyi itu jadi sebuah pertunjukan nyanyi dan dance. Seru banget sih akhirnya, apalagi ditampilkan setelah Angel baca puisi terkait ayahnya. Mereka sama-sama bahagia dan happy ending gitu.

Banyak perasaan aku rasakan ketika nonton film ini, paling banyak adalah tertawa. Ini benar-benar hiburan, bisa ketawa sampai nangis, tapi juga ada moment yang aku nangis beneran ketika si Martha cerita terkait loyalitas Kaka Boss ke Angel. Aku jadi sadar, meski seribuan orang memuji, kalau orang terdekat seperti anak tidak memuji, pujian di luar itu tak ada apa-apanya. Pengakuan dari anak itu sangat berarti sekali bagi si ayah. Tema yang cerdas menurutku, segala spektrum rasa bisa kamu rasakan. Ini filmnya Ernest dan kawan-kawan yang bagiku matang. Jujur aku lebih suka materi film ini daripada film "Agak Laen". Banyak hal yang kurasa personal. Bahkan hal personal juga ditampilkan Arie Kriting di sini, soal artis Indah (yang juga istri Arie sendiri), saat diwawancarai wartawan soal ibunya yang juga ikut memperpanas isu rumah tangga mereka. Namun aku cukup salut dengan statement Ge Pamungkas di IG-nya soal Arie Kriting:

"Untuk orang yang mengenal @arie_kriting , pasti tahu kalau karya yang dia buat selalu berasal dari hatinya. Baik standup, maupun film. Film pertamanya Pelukis Hantu tidak sempat bertemu dengan penonton secara langsung karena covid, Alhamdulillah Kaka Boss mendapatkan premiere dan apresiasi hangat dari para penontonnya. Senang melihat perjalanannya Arie, dan bangga rasanya bisa menjadi rekan sekaligus keluarga tak-sedarah yang melihat dari dekat proses perjalanannya. Terimakasih sudah membuat film yang begitu menghibur, Rie. Terimakasih, sudah bercerita." (@gepamungkas)

(Tapi yang aneh dan brengsek, ini si Arie di IG diserang para buzzerRP, coba lihat poster Kaka Boss di sini, seolah-olah kritiknya Arie Kriting lewat seni ini dianggap melawan Jokowi, terus dikaitkan demo di DPR, bodoh akut nian ini buzzerRP, kerjaannya bikin orang darah tinggi aja)

Sisi menarik lain, kita akan dibuat lebih paham dengan budaya orang-orang Timur atau daerah Papua dkk beserta dengan karakter dan candaan mereka, yang hanya bisa dimengerti oleh kaum mereka sendiri. Semisal orang Timur yang katanya sumbu pendek, cepat emosi, suka baku hantam, tapi digambarkan juga mereka setia kawan, kalau salah ya mengaku salah, tak mau dianggap tak bisa, tekad mereka juga tinggi. Orang-orang Timur ini digambarkan secara multidimensional, dan yang paling penting adalah memberi konteks: mengapa mereka berkelahi, mengapa mereka bicara keras, mengapa mereka begini dan begitu?

Juga dengan gaya serta logat-logat dan ucapan bicara mereka yang khas (sa, ko, pu, dll). Nada tinggi mereka juga yang khas. Meski mereka itu keras, tapi rasa sayangnya dan cinta sama orang-orang dekat dan sahabat itu jangan ditanya. Keren sih. Departemen kostum di film ini juga oke banget. Entah, enak aja semua kostumnya dipandang mata dan cocok dengan postur para pemainnya. Timur yang emang Timur ini mah, sisi lain yang mesti orang Indonesia bagian Barat lihat. 

Pendapat dan ulasan bagus lainnya terkait film ini juga bisa kamu baca dari tulisan Mbak Ratih di Medium: "Kaka Boss: Panggung untuk yang Diliyankan". Tentu kutipan yang kusuka, “Sekarang saya paham kenapa Petrus bisa menyangkal Yesus. Ternyata ketakutan bisa mengalahkan kebenaran.”

Senin, 02 September 2024