Pemajuan
kebudayaan tak akan berjalan dengan baik tanpa adanya keberpihakan pada subjek
kebudayaan, yakni Sumber Daya Manusia yang diwakili oleh para pekerja
kebudayaan. Menelisik lebih lanjut tentang implementasi UU No. 5/2017 tentang
pemajuan kebudayaan, pertanyaan mendasar yang saya ajukan: apakah pekerja
kebudayaan di Indonesia sejahtera? Dengan menarik peran negara, saya juga
mengajukan konsekuensi pertanyaan: sudahkah UU Pemajuan Kebudayaan mengakomodir
itu? Sejauh penelusuran saya hingga 61 pasal, naskah UU tersebut tidak mengakomodir
kesejahteraan insan-insan yang fokus menjadi seorang pekerja kebudayaan. Hanya
dalam pasal 1 ayat 13 yang sedikit “nyerempet”
dan disebutkan: “Sumber Daya Manusia Kebudayaan adalah orang yang bergiat,
bekerja, dan/atau berkarya dalam bidang yang berkaitan dengan Objek Pemajuan
Kebudayaan.”
Definisi
pekerja kebudayaan sendiri belum begitu jelas. Ini tersandung pula oleh nilai
yang dihasilkan oleh pekerja kebudayaan yang kadang juga abstrak. Eleonora
Belfiore dalam tulisannya berjudul “Impact”,
“value” and “bad economics”: Making sense of the problem of value in the arts
and humanities membahas tentang nilai salah satu cabang budaya, yaitu seni.
Di mana sustainbilitas keuangan seni sangat rentan untuk ditanyakan. Pertanyaan
retorisnya, bagaimana perekonomian kesenian saat ini? Bagaimana menghitung
nilai sebuah seni dalam publik? Bagaimana menghitung nilai seni yang dilkatkan
dengan ekonomi? Bagaimana mengaudit nilai seni? Pertanyaan-pertanyaan ini
jugalah yang ingin saya tanyakan terkait kebudayaan. Di samping peran budaya
memberikan dampak transformatif baik kepada individu maupun sosial lewat para
pekerja kebudayaan.
Paper
ini menggunkan pendekatan “dampak” untuk mengukur seni juga terhadap riset
kemanusiaan lainnya. Dibedakan menjadi empat posisi: pragmatis, konseptual,
politis, dan etis. Dikatakan bahwa investasi yang diberikan pada penelitian
terkait seni dan kemanusiaan akan berdampak sepuluh kali lebih cepat dan lebih
banyak terhadap perubahan dan pembangunan sebuah negara.
Pendapat
yang sangat menarik juga dilontarkan oleh John Kay dalam tulisannya di Financial Times berjudul A good economist knows the true value of the
arts. Dalam analoginya, orang-orang meremehkan bagaimana sebuah penyakit
dapat memberikan nilai ekonomi bagi suatu bangsa. Namun orang-orang membangun
ribuan rumah sakit, dengan ribuan doter, ahli bedah, dan perawat, juga farmasi
atau obat-obatan. Bahkan di UK, penyakit menyumbang sekitar 10 persen dari
perekonomian UK. Padahal pemerintah tak pernah cukup mempromosikan penyakit. Hal yang sama seharusnya juga berlaku untuk
ranah kebudayaan lewat SDM yang berkerja di dalamnya. Bahwa nilai sebuah budaya
tidak sekedar diihat dari harga budaya itu sendiri, tapi juga harga lain di
sekitarnya.
Pekerja
kebudayaan bisa diwakili oleh seseorang yang menghasilkan produk cipta, karsa,
dan karya—dan seniman adalah sebagian dari pekerja kebudayaan. Salah satu
contoh pekerja kebudayaan adalah tetangga saya sendiri. Dia seorang pria paruh
baya yang dikenal sebagai pemain ketoprak. Dia bekerja hanya pada saat ada
“panggilan main”. Di luar itu, dia bekerja serabutan dengan pekerjaan yang
sangat tidak menentu. Apakah UU Pemajuan Kebudayaan bertanggung jawab dengan
kesejateraan tetangga saya tersebut?
Di
posisi lain, dapatkah para pengamen ondel-ondel di seantero Jakarta yang berkerja
dari jalan ke jalan mendorong sound
dan mengais receh itu bisa kita sebut sebagai pekerja kebudayaan? Atau apakah
Juno, tokoh utama penari lengger dalam film Kucumbu
Tubuh Indahku karya sutradara Garin Nugroho dan kehidupan marjinal kelompok
penari lengger yang “ngamen” dari desa ke desa itu bisa disebut juga pekerja
kebudayaan? Bagaimana ekonomi mereka? Bagaimana UU Pemajuan Kebudayaan merespon
itu?
Alih-alih
sejahtera, pekerja kebudayaan yang saya contohkan ini lebih merujuk pada
resipien kebudayaan yang menerima saja. Resipien tersebut berada pada posisi
yang bisa dikatakan resipien ekonomi payah yang mengejar ganjaran ekonomi untuk
sekedar hidup. Jangan tanyakan bagaimana kualitas seninya, saya pikir mereka
pelestari budaya yang lebih mulia daripada para seniman salon. Setidaknya para
resipien jenis ini mampu membuat suatu nilai guna budaya yang riil bagi dirinya
sendiri, keluarga, dan masyarakat yang menontonnya.
Atau
disebut sebagai kebudayaan orang miskin yang orientasi budayanya mengacu pada budaya
fungsional yang langsung memberi manfaat; budaya komersial yang langsung
memberi keuntungan; dan budaya sosial yang berupa kebersamaan dalam taraf
ekonomi rendah. Narasi ini seperti kisah para pembuat gerabah di sebuah kampung
miskin di Kabupaten Kendal yang bernama Kampung Kunden (Rohidi, 2010).
Masyarakat
kelas bawah selalu memiliki kecerendungan untuk patuh dan menerima begitu saja
nilai-nilai kebudayaan yang ditawarkan penguasa. Antropolog Mattulada menyebut
bahwa kelompok rakyat jelata sejauh yang menyangkut kekuasaan akan mengiyakan
dan mengikuti dengan setia. Di samping dirigisme kebudayaan dalam rencana
kapitalisme negara yang sesuai dengan alam pikir pemerintah. Saya baru
berbicara tentang pekerja kebudayaan di tingkat kelas akar rumput, belum lagi
pekerja kebudayaan di kelas menengah dan kelas atas, seperti para seniman
galeri tentu akan berbeda lagi dinamika dan masalahnya. Dalam tulisan ini,
pekerja kebudayaan dari kalangan grassroot
lah yang menjadi titik tekan keberpihakan saya.
Pekerja
kebudayaan sebagian besar tergolong dalam sistem perekonomian informal yang
belum diindungi oleh negara. Pekerja ini terkendala modal ekonomi, pengetahuan,
keterampilan, relasi, juga hak istimewa lainnya. Mereka bekerja di ranah
kebudayaan yang tak terorganisir, dan menjadi angkatan kerja cadangan, bekerja
di ranah kapitalisme pinggiran. Ciri-ciri yang nampak modal mereka kecil,
biasanya memanfaatkan anggota keluarga, tak memiliki serikat pekerja, dan
pendapatannya hanya mencukupi untuk hari itu saja. Di Indonesia, khususnya
untuk ranah pekerja kebudayaan jumahnya tak sedikit. Mereka rata-rata adalah
orang-orang yang tak memiliki alat produksi sendiri. Kalau pun punya, alat
produksinya sangat sederhana. Nilai tambah yang didapatkan pun akan sangat
kecil.
Untuk
menjawab masalah ini, salah satunya dengan menggunakan srategi kebudayaan. Menurut
Ignas Kleden, strategi kebudayaan pasti akan berhadapan dengan tiga jenis
pertumbuhan yang terjadi pada tiga lapis kebudayaannya: (1) pertumbuhan ekonomi
pada basis material kebudayaan; (2) pertumbuhan penduduk pada basis sosial
kebudayaan; (3) pertumbuhan informasi pada basis mental kebudayaan, juga
dinamika dan pengaruh dari tiga lapis kebudayaan ini. Ketiga pertumbuhan ini
sangat memiliki dampak yang besar bagi pekerja kebudayaan. Di sini para pekerja
berperan aktif sebagai agen kebudayaan, bukan sekedar menerima. Tak sekedar
menjadi subjek yang normatif, tapi kreatif. Pekerja kebudayaan tidak sekedar
mengatakan tentang apa yang harus dilakukan, melainkan juga apa yang dapat
dilakukan.
Sebab
itu strategi kebudayaan yang di dalamnya mengandung perangkat keras kebudayaan
seperti teknologi, regulasi, sampai institusi; serta perangkat lunak kebudayaan
seperti softskill dan etika mesthi mengakomodir kepentingan kelas
pekerja kebudayaan. Konkritnya seperti: menyerampakan birokrat kebudayaan dan
pekerja kebudayaan; revitalisasi infrastruktur kebudayaan seperti taman budaya,
balai lokakarya, sanggar, dan lain-lain; serta mempunyai visi dan wacana yang
jelas dalam berbagai kegiatan budaya (berkegiatan tidak sekedar berkegiatan).
[Isma Swastiningrum]
Diskusi seniman (Koleksi Lukisan Galnas) |
Referensi:
Belfiore, E. (2015).
“Impact”, “value” and “bad economics”: Making sense of the problem of value in
the arts and humanities. Arts and
Humanities in Higher Education, 14(1), 95–110.
Habibi, Muhtar. (2016).
Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran.
Tangerang: Marjin Kiri.
Kay, John. (2010). A
good economist knows the true value of the arts. Financial Times, 10 August. Available at: https://www.ft.com/content/2cbf4e04-a4b4-11df-8c9f-00144feabdc0
(accessed 7 July 2019).
Kelden, Ignas. (1987).
Berpikir Strategis tentang Kebudayaan. Jurnal
Prisma. Edisi Maret 1987, pp. 3-9.
Mattulada. (1979).
“Kebudayaan Politik dan Keadilan Sosial: Tinjauan Historis” dalam Ismid Hadad
(ed). Kebudayaan Politik dan Keadilan
Sosial. Jakarta: LP3ES.
Rohidi, Tjetjep
Rohendi. (2000). Ekspresi Seni Orang
Miskin: Adaptasi Simbolik Terhadap Kemiskinan. Penerbit: Nuansa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar