Senin, 8 Februari 2016
Candi SambisariBagi saya, tak ada hal yang lebih membosankan daripada mengulang-ulang pola yang sudah ada. Dan yang paling substil dalam memori ketika sendirian menikmati perasaan. Setelah seminggu yang lalu saya mencium bau pemakaman, rasanya saya ingin pergi. Kemanapun... Menghilangkan kerinduan atau mungkin kesedihan..
Dan kesempatan itu datang, lama sudah roda sepeda saya tak bergerak ke tapak yang jauh. Usai menzikiri tuts leptop, sekitar jam satu siang saya nekat juga ala kadarnya. Sesederhana-sesederhananya. Seringan-ringannya. Ya, saya ingin ke Solo.
Perjalanan, selalu begitu: mengantar ke tempat cabang lain yang saya tidak tahu. Sepeda saya mengajak saya ke Candi Sambisari lagi. Dulu juga pernah dengan kawan-kawan KMPD, pagi, sepedahan juga. Hari ini Sambisari sedang ramai, maklum hari liburan. Saya pandang candi itu, hijau lalu di tengahnya Sambisari berdiri. Kebanyakan orang yang berkunjung hanya ingin berfoto saja rasanya. Saya tak menemukan setitik kesakralan tertentu.
Saya turun ke rumah Sambisari, memastikan candi itu masih sama. Memang, masih sama. Saya menyalami lagi relief gajah itu, ratu bertangan delapan itu, dan kakek tua berjanggut kesepian itu. Mereka masih diam. Di bilik dalam pun sama.
Saya hanya mencoba mengajak bercakap mereka lewat mata. Dipayungi kelabu batu. Masih tua.
Hari ini, entah apa radar yang mempertemukan saya dengan mereka... Teman-teman Fisika 2013: Risky, Irsyad, Andi, Lisa, Miftah, Hanun, dan Ila. Salam ya kawan-kawan, senang bertemu kalian... Dan roda menggelinding lagi...
Candi Sari
Sepanjang saya hidup, mungkin candi ini candi pertama yang reliefnya membius saya dengan detail-detailnya. Sari memang cantik, tak saya ragukan.
Saya masuk dan berdecak. Serasa saya ada di kerajaan tertentu entah di mana. Yang mungkin hancur roh-rohnya tapi tidak peninggalannya. Saya berkeliling sambil tersenyum-senyum, kagum. Masuk ke dalam tiga biliknya sendirian. Saya merinding, entah siapa saja yang ada di sana, saya hanya yakin saya tak sendiri.
Saya turun dan berbincang dengan seorang satpam bernama Pak Sugiman. Bapak yang mungkin letih dengan suasana sepi itu pun banyak bercerita pada saya. Konon yang nunggu si Sari seorang raksasa yang menghuni bilik tengah, besar, lengannya seukuran jendela candi. Lalu bilik kidul (selatan) ada kakek-kakek tua dengan janggut sampai pusarnya. Di bilik lor (utara) yang nunggu segala macam jenis hewan. Saya pun mafhum, pantas saja bisa membuat candi setinggi ini jika tinggi penunggunya saja segitu.
Pak Sugiman dulunya pernah berjaga di Candi Kalasan. Di sana katanya penunggunya lebih banyak. Di banyak titik ada. Ada siluman ular, wanita cantik, dan lainnya. Pernah juga suatu hari ada bus pariwisata yang terjungkal sendiri, pas hari naas, seingat saya Selasa Kliwon. Saya jadi tertarik kesana, dan saya kesana. Menuruti keingintahuan saya.
Candi Kalasan
Memang, candi ini sekilas pandang terlihat berantakan di sebelah sisi. Suasananya agak lain juga, masih hijau juga. Saya juga ketemu beringin yang diceritakan Pak Sugiman. Dan setiap kali saya ingin memotret, cahayanya gelap sendiri. Harus benar-benar menemukan moment yang tepat rasanya, serupa adik kecil yang malu-malu ketika difoto.
Mungkin apa karena bahayanya, biliknya pun tak boleh dimasuki...
Saya kembali bercakap dengan relief-relief. Ada hubungan yang entah bagi saya antara Sari dan Kalasan di beberapa reliefnya.
Saya tak diganggu apa-apa. Hanya tawa anak-anak di sana yang terlihat bermain-main yang riang saya perhatikan. Saya bergumam: kaya sekali negeri ini memiliki kebudayaan yang seperti candi-candi ini... Pas duduk istirahat, saya jadi bersedih kenapa saya datang sendiri? Sahabat saya harusnya juga melihat ini...
Belum usai, gelap makin melarut, kehidupan berlanjut.
-=is=-
Setiap perjalanan adalah kelahiran :-)
BalasHapusOek-oek, haha
HapusFeeling refresh or reborn.. :D
Next trip again sis,, :D
BalasHapusNext trip again sis,, :D
BalasHapusSiap
Hapus