Mari masuk ke dalam…
Pintu kosku berwarna hijau. Di dekat pintu ada jendela kaca
bertingkat-tingkat yang tak dapat dibuka. Selambu bepola garis warna hitam dan
putih tergantung sekenanya dari tali rapia. Lantai kosku berdasar kayu dengan
alas perlak warna coklat berpola bambu. Di atapnya duduk terbalik lampu Philips
yang memberikanku penerangan kala gelap.
Ukuran kamarku sekitar 3.5 X 3.5 meter, lumayan besar
untukku. Dindingnya berwarna putih. Di dinding sebelah barat, aku tempeli dengan
tanggalan dari Bina Desa yang aku gosop dari Arena—karena Arena punya dua (jangan bilang-bilang ya). Di
samping tanggalan ada stereofoam warna putih bertulis kalimat-kalimat semangat
seperti: Keliling Dunia! Ya, semua tulisan di stereofam putih itu adalah
manifestasi mimpiku.
Di samping stereofoam putih ada stereofoam orange berisi
foto-foto saat aku naik ke puncak Gunung Lawu sama Mas Juju, Mas Hari, dan
Faksi. Foto kala aku baca puisi di sekitar nol km Jogja pas Hari Buruh. Foto
ketika pentas teater pertama kali, juga foto dua seniorku di Arena: Mas Opik
dan Mas Folly. Di stereofoam itu ada pula dua bunga mawar dari kertas klobot
yang layu. Di samping bunga ada pesan dari seseorang yang aku tulis besar.
Kalimat tentang kasih yang belum sampai: lebih
baik cari rival Is, daripada cari pacar.
Di bawah tanggalan dan stereofoam ada potongan foto-foto
berlatar Inggris. Juga gambar mimpi tentang rumah yang aku inginkan di masa
depan. Lalu ada papan tulis kecil yang aku tempeli tak jauh juga dari foto
teman-teman filsufku, foto dua macan tutul, dan tulisan dua kota, satu negara. Di depan papan tulis ada sebuah globe kecil hadiah ulang tahun yang
berdiri di atas meja kecil yang tingginya tak lebih tinggi dari dengkulku. Meja
ini kufungsikan sebagai meja belajar.
Di samping kiri meja belajar ada tas berpergian, di atas tas
itu berdiri dengan cantik Melodi (gitar adikku yang kesepian, aku bodoh tak bisa memainkan, di sini aku kerap sedih, karena punya alat tapi gak bisa memanfaatkan itu sebodoh-bodohnya bodoh), lalu di samping
tas berjejer dua kardus berisi buku-buku. Di sebelah kanan meja belajar
tergelar kasur dengan tiga bantal, satu guling, dua selimut. Seprainya warna
merah, hasil dari sarung yang kupotong. Di sini aku biasanya merebahkan tubuh
lelahku.
Di tembok sekitar kasur aku isi tembok-tembok dengan
kertas-kertas berpesan dari Pramoedya, Soe Hok Gie, Soekarno, pesan dari diri
sendiri, sampai slogan All Is Well dari Three Idiots. Juga terhias pula
gambar-gambar dan foto-foto hasil kreativitas dari koran yang kugunting dan
kutaruh di stereofoam yang besarnya meyesuaikan gambar. Ada gambar ilustrasi
seorang perempuan memegang payung merah di bawah hujan, ada ilustrasi sebuah
keluarga, sawah, cover Arena lama, pamphlet studi pentas pertama, sampai
sertifikat menang lomba esai bahasa inggris dari fakultas.
Di dinding sebelah timur, terpampang dengan nyentriknya
poster Einstein yang sedang menjulurkan lidah. Dasar! Kadang aku sering
mengajak dia ngobrol, bukan tentang fisika, tentang hidup. Sayang, aku belum
begitu dekat dengannya. Aku kerap cuek. Di bawah Einstein ada puluhan buku
hasil beli dari pameran buku murah, shoping, dan beberapa pinjaman. Belum kuselesaikan semua. Dekat dengan pintu ada tempat sampah, ember
nyuci, gayung isi perlengkapan mandi, gantungan-gantungan.
Dekat dengan jendela di sebelah utara, ada dua sepatu warna
hitam, ada galon, ada kursi yang di atasnya ada magic jar, dan sebuah almari tua yang dari
fisiknya menyembunyikan banyak cerita. Lemari itu mengingatkanku dengan rumah
di Cepu, rumah ketika mbah nang dan mbah dok ada. Dulu mereka seperti pernah
memiliki lemari itu. Tingginya seleherku. Satu pintu degan tiga ruang di
dalamnya. Warnanya coklat tua.
Ini kosku yang kedua selama di Jogja. Kos pertama di rumah eyang
di Jalan Kusbini No. 23 Demangan. Di sana sejuk karena banyak pohon.
Bangunannnya bangunan tua, ala Holland gitu. Kadang aku kangen kos pertama,
karena di sana suasana dan orang-orangnya lebih tenang dan lebih normal
daripada di kos Bimasakti ini. Ciri khas tetap sama: dinding-dindingnya aku
buat berisik. Ini sebagai balas dendam dari mimpiku sejak kecil yang
bercita-cita ingin punya kamar sendiri tapi nggak kesampaian. Haha.
Ya. Beginilah kosku. Silahkan main.
siapkan hidangan dulu baru sy maen...hahahaha :-)
BalasHapusHahaha, siap!! Mau hidangan apa? :D
HapusHm.. Kemarin saya nyari referensi lumayan banyak mas tentang nulis deskripsi. Saya coba-cobakan di tulisan ini.
Deskripsi elemen penting buat nulis tulisan apapun.
kopi dan cemilan cukup, yg penting kasih obrolan yg banyak, saya jadi pendengar yg baik nanti..haha
BalasHapussaya malah awalnya gak tau kalo jenis tulisan saya itu deskripsi,,hehe, saya sekedar nulis dengan cara yg saya suka,mungkin benar kata mas dani, orang2 otodidak itu lebih detail sbenarnya, entahlah
Saya aja yang jadi pendengar :P :D
Hapus