Sebagai orang yang kebetulan di fisika, saya teringat dengan
Hukum II Termodinamika. Kira-kira bunyinya: kalor mengalir dari suhu yang
tinggi ke suhu yang rendah. Dan tidak mungkin mengalirkan suhu rendah ke suhu
tinggi secara spontan. Kita anggap saja isu-isu sianida, LGBT, dll-nya sebagai
isu suhu rendah yang menutup isu tinggi bersuhu tinggi misal Freeport.
Dari dua pergeseran isu ini menghasilkan entropi (derajat
ketidakaturan) yang berkembang dan menjamur di media-media, baik TV, koran,
khususnya media sosial. Entropi ini memancing situasi di mana kita
dibelok-belokkan isu dan konsentrasi mudah pecah.
Bodohnya sekarang kegalauan menjadi komoditi yang laris
manis. Dan kegalauan ini menyerang para intelektual-inteletual yang fokusnya
malah ikut latah ke isu remah-remah sepah. Sikap dirinya seolah dibeli. Isu
ekopol sengaja ditenggelamkan menjadi isu legalitas, premanisme, sampai
spiritualisme.
Menarik ke diri sendiri, kita seolah dininabobokan oleh
suatu grand design besar politik.
Efeknya semakin ambigu, linglung, dan sering galau (dan galau selemah-lemahnya
iman). Parahnya dari linglungnya diri ini merambat ke psikologi masyarakat.
Sedangkan masyarakat sumber dari media yang memproduksi wacana-wacana publik.
Lebih kritis lagi, di media sekarang ada dua agenda besar
yang berkembang. Pertama, agenda setting
yang diatur siapa pemodal (kapital). Agenda ini mengusung realitas palsu yang
menutupi hal-hal besar. Kedua, agenda publik tentang sesuatu yang mengatur
orang banyak. Di sini media mempunyai peran besar mempropaganda. Propaganda
ABCD.
Indonesia yang mayoritas masyarakatnya masih latah, yang
kagetan, sedikit-sedikit sudah geger menganggap media sebagai realitas sesungguhnya.
Masing-masing media saling menyerobot ideologi, lalu lewat alat media itu dalam
tiap diri individu sangat mudah dibuat kosong—karena memang ada sesuatu yang
membuat kosong. Kekosongan sangat terlihat ketika membaca status-status di medsos.
Sekarang baik yang intelek dan tidak, kesadaran hampir sama saja, bahasanya
saja beda.
Lalu kembali ke pertanyaan dalam judul ini. Mungkin saya
sengaja memberi judul tulisan ini sangat atomis-reduksionis. Ini hanya puzzle kecil merespon isu yang saat ini
ada tentang LGBT. Coba renungkan: perlukan petani bicara LGBT? Perlukah nelayan
bicara kopi sianida? Perlukah buruh berkoar tentang Gafatar? Yang semua itu
hanya menyoal masalah privat? Ah, konyol isu-isu sekarang! Rakyat tak
dipedulikan! Jadi ingat Pram, yang digaruk-garuk hanya pinggir borok, bukan
pusat borok. Ngeri.
Ya, jangan sampai linglung. Jangan sampai kosong. Kita bukan
kita apa adanya. Kita hasil konstruksi. Bergerak maju. Revolusi. Hidup rakyat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar