Tidak peduli betapa sulit rintangan
menghadang
Bagaimanapun hukuman dijatuhkan
Aku adalah tuan bagi nasibku
Aku adalah kapten bagi jiwaku
--Invictus, Willian Ernest Henley
Invictus
berarti tak terkalahkan. Sebuah puisi karya William Ernest Henley, penyair
Inggris yang dibuat tahun 1875 ini menggambarkan tentang sebuah tekad yang
datang dari sebuah person. Puisi ini
menggambarkan bagaimana manusia menjadi kapten dalam bahtera hidupnya sendiri.
Bagaimanapun pelik, susah, badai mengobrak abrik, masalah menghadang tak ada
hentinya, manusia adalah pemilik dan pengontrol hidupnya sendiri. Ia memiliki freewill yang bebas membuat arah
hidupnya sendiri, berdasar atas otoritas dan pengetahuannya.
Dalam
film berjudul sama, Invictus, menceritakan
tentang Piala Dunia rugby tahu 1995 dimana saat itu Nelson Mandela menjabat
sebagai presiden Afrika Selatan. Film ini mencoba menguak gagasan besar tentang
“nasib” itu sendiri. Dimana saat itu pertentangan dan rasa sensitif antara
kulit hitam dan kulit putih begitu kental (meski apartheid dihapuskan), dimana tim tuan rumah springboks yang dibenci
rakyatnya sendiri berjuang dalam masa pertandingan. Mandela memiliki pemikiran
besar bahwa jika springboks ini menang maka perdamaian antara kulit hitam dan
kulit putih akan terjadi. Kecurigaan-kecurigaan akan disatukan dalam satu
bahasa yang sama: bahasa kebangsaan.
Mandela
mengatur strategi, ia memanggil kapten rugby tim springboks dan mengobrol banyak
dengan kapten itu. Saat mendekati pertandingan, Mandela memberi sang kapten ini
sebuah puisi Henley tersebut, invictus. Sebuah puisi yang membuat Mandela kuat
hidup 30 tahun di dalam sel penjara meski dia tak salah. Mandela berharap
melalui puisi tersebut juga bisa memberi semangat dan dorongan pada tim
springboks. Akhirnya, latihan keras untuk “mengubah nasib” itu dimulai melalui
perjuangan-perjuangan keras. Singkat cerita pertandingan final antara tim
springboks dari Afrika Sselatan VS All Blacks Selandia baru dilaksanakan dan Springboks menang. Ya, jika kita percaya
akan nasib kita dan mau berusaha, keberhasilan akan datang.
Dalam malam
sastra ke IV dari landasan berpikir invictus (baik puisi dan filmnya sendiri),
ditarik satu gagasan besar mengenai tema, yakni kebebasan. Wacana-wacana
eksistensialis sendiri sudah banyak berkembang. Pelopornya termasuk Sartre,
Heidegger, Marx, dan lain-lain. Wilayah yang bertanggung jawab atas dirinya
sendiri. Jika di masa tahun 1950-an wacana yang timbul dalam kriris kemanusiaan
akan perang dunia II tidak berada dalam wilayah penjajahan tapi kebebasan
berpikir pasca perang, di masa sekarang krisis kebebasan kemanusiaan sendiri di
wilayah mana?
Lalu
“kebebasan” yang dimaksud saat ini seperti apa? Dalam konteks apa? Sebenarnya
kita bebas tidak sih? Lalu bebas yang dikonsepkan itu bebas tidak sih? Kalau
saya bebas melakukan apa saja, siapa yang menjamin nilai saya? Melalui sebuah
refleksi dari pertanyaan-pertanyaan inilah pertunjukan dibuat. Khususnya pada
reflesi apa yang membelenggu kita dan menjadikan kita tidak bebas.
Salam aku adalah tuan bagi nasibku!
KONSEP
Buat
panggung di parkiran, lalu si pengisi yang telah melakukan refleksi dari puisi
dan film “Invictus” mempertunjukan ekspresinya. Juga sebuah pertunjukkan kritik
atas apa yang membelenggu mereka terkait makna dari kebebasan itu sendiri. Bisa puisi, nari, musik, drama, dongeng,
terserah.
TEMPAT
Parkir terpadu Tarbiyah, samping
laboratorium Fakultas Saintek.
WAKTU
Sabtu, 28 Februari 2015. Habis
magrib sampai over dosis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar