Jadi, pak Zubaidi ini membahas
tentang topik lama yang dikemas menjadi baru, yaitu tentang doa. Kenapa sih doa
kita itu tak terkabul? Beliau menceritakan tiap kita berdoa, kita menjadikan
harapan sebagai tujuan. Misalnya saat membaca surat X sebanyak Y kali, kita
berharap kita menjadi kaya, dan harapan kita menjadi kaya itu kita jadikan
tujuan kenapa kita membaca surat X sebanyak Y kali. Atau ngggak jauh-jauh doa
usai sholat aja, seberapa banyak sih yang dikabulkan? Kita sholat buat apa sih?
Dewasa ini (meski sudah dikatakan
berulang-ulang) kita kehilangan inti dari ibadah yang kita lakukan. Terkait doa
yang dijadikan tujuan, pak Zubaidi mengkritik itu. Di alam kita yang luas ini:
1/3 dihuni oleh manusia, di atasnya 1/3 dihuni oleh dunia jin, dan 1/3 di
atasnya lagi dihuni oleh nabi penjaga langit, malaikat, dll. Nah, saat kita
berdoa dan menjadikan doa itu sebagai tujuan dan melupakan esensi dari ibadah
itu sendiri, pertanyaannya apakah sampai ke Allah? Jangan-jangan doa kita
dijadikan main-mainan jin yang ada di atas kita? Lalu pak Zubaidi meenjelaskan
panjang lebar juga tentang dunia jin baik di dunia sendiri sampai kerajaan
besar di atas kita. Di dunia, jin disimbolkan bermacam-macam, di Mesir, India,
Asia, penampakannya berbeda-beda. Ada yang lewat patung, perwujudan manusia,
hewan, tumbuhan, dll. Atau biasanya menghuni di atas gunung, itu kenapa
beberapa pesawat yang melewati gunung yang dihuni kerajaan jin pesawat bisa
hilang. Jadi BAHAYA kan kalau doa kita dijadikan main-mainan jin? Atau paling
mentok sampai di malaikat, dan doa itu pun harus mengantri dengan doa-doa
bermilyar manusia yang ada di bumi. Padahal kalau dihitung secara sains
(fisika), agar doa kita sampai ke langit itu membutuhkan berpuluh bahkan
beratus tahun baru nyampai.
Masalahnya sekarang adalah
seberapa dekat sih kita dengan Allah? Apa Allah itu kenal kita? Analoginya,
mungkin kita kenal sama SBY tapi apa pak presiden SBY kenal sama kita? Kalau
kita ke istana negara dan mengaku sebagai rakyat dia, apa dia mau nemuin kita?
Belum tentu kan? Banyak protokol-protokol yang harus dilalui. Presiden aja
gitu, apalagi sama sang penguasa kosmos coba? Nah, kedekatan kita dengan
Allah-lah yang TERPENTING. Bukan karena agar doa kita terwujud kita dekat
dengan Allah tapi karena esensi dari ibadah sendiri yaitu ibadah untuk
beribadah. Dalam bahasa Jawa manunggaling
kawula Gusti (menyatunya kita dengan Tuhan). Itu kenapa dia yang dekat
dengan Tuhan, apa yang dia butuhkan (bukan apa yang dia mau) diberikan oleh
Tuhan.
Berikutnya tentang simbolitas.
Doa yang berupa simbolitas itu lebih mengena dan lebih garang dari verbalitas.
Mungkin saya bisa mengatakan simbolitas mengalahkan verbalitas. Contoh
sederhananya, ada pengemis dijalan mengadahkan tangan. Tanpa pengemis harus berkoar,
“Buk, pak, saudara saya minta uang..” orang sudah mengerti kalau pengemis itu
butuh bantuan. Atau pun seorang anak yang tiap hari dia minta terus sama orang
tuanya ini-itu, lalu dibandingkan dengan seorang anak yang dia menunjukkan ketaatannya
dengan simbol, dengan tindakan. Rajin belajarlah, suka membantu orang tua, dll.
Orang tuanya lebih suka yang mana coba? Lebih besar mana peluang diberikan
sesuatu? Begitu pun dengan berdoa. Kita hanya mengadah saja, Allah sudah tahu kamu
minta sesuatu. Hanya mengadah saja nggak usah ngomong. Faktanya juga, sebagian
besar ibadah-ibadah kita berupa simbolitas. Dalam sholat, puasa, zakat, haji,
dll (lebih jauh teori simbol bisa dipelajari tulisan-tulisan Saussure, Pierce,
atau Barthes).
Ini pun menjadi refleksi untuk
diri saya pribadi: Ma, seberapa dekat kamu dengan Tuhan?
Jogja, 8 Juli 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar