Kamis, 20 Februari 2025, di Monas ramai pelantikan serentak kepala daerah oleh Presiden. Sebagai Humas, aku dan teman-teman ke tempat acara, menunggu sampai acara selesai. Di sana juga ketemu teman lama pas masih di persma, reuni kecil-kecilan dengan Muja, Farid, dan Yaqin.
Cerita ini lebih ke pembicaraanku dengan salah satu kolega, seorang bapak dari Jawa Barat. Dia menceritakan kisah hidupnya yang menurutku menarik untuk dicatat. Pembicaraan ini mungkin di luar ilmiah, lebih cenderung merujuk ke ilmu-ilmu dan adat istiadat, serta mind set dunia Selatan dan Timur.Sebab Bapak ini cenderung orang yang suka bicara, dan jika sudah bicara, dia tak bisa berhenti, bahkan bisa berjam-jam, maka dia luwes bicara apa saja. Tapi aku akan bercerita tentang hal yang menurutku paling menarik perhatianku.
Dia bilang jika setiap orang itu, bagaimana pun karakternya tidak per se dari orang itu sendiri, tapi ada sosok-sosok lain yang ikut padanya. Sosok ini dalam bahasa Jawa disebut “khodam”, istilah lainnya “reinkarnasi” dan “karma”. Beberapa orang tertentu, dia memiliki kelinuwihan tertentu bisa membaca dan melihat ini secara gamblang.
Si (katakanlah) khodam ini serupa roh yang mengikuti karakter dia yang searah dan cocok. Misalnya si khodam ini pendiam, dia akan cari wadah atau orang yang sama juga. Misalnya, khodamku ini adalah seorang pandita yang bisa menerjemahkan situasi dan hal-hal yang terjadi di dunia pada sebuah tulisan. Bakat ini tak dimiliki oleh orang lain yang khodamnya, katakanlah lebih suka berkelahi daripada menulis. Ketika seorang itu menulis, seolah ada energi lain yang menuntun orang ini untuk mengeluarkan kata-kata dan kalimat ini, dan tidak itu. Tipe pandita katanya seperti itu.
Dia menggambarkan juga jika diri manusia ini serupa lapangan luas tak bertepi yang bisa dimasuki oleh makhluk/potensi khodam apa saja. Ketika itu masuk, bisa berpengaruh ke semesta manusia itu sendiri, dan manusia yang sadar punya cara untuk “mengkavling” agar hal-hal baiklah yang bisa masuk ke dalam dirinya. “Pengkavlingan” ini lewat lelaku tirakat macam puasa, zikir, dan aneka hal baik lainnya.
Hal berikutnya yang menurutku menarik, tentang guru sejati. Menurut si Bapak Sunda ini, “guru sejati adalah segala hal yang menunjukkanmu hal-hal penting yang kamu benar-benar butuhkan”. Guru sejati tidak hanya sebatas pada orang, tapi juga kejadian, barang, atau hal-hal yang itu penting untukmu. Dari pengertian ini, aku pun bertanya, berarti guru sejati bisa hadir dalam berbagai macam bentuk? Dan dia menjawab iya.
Pasti kamu pernah kan, ada di suatu moment di mana ucapan seseorang begitu berarti dan mengubah hidupmu kemudian, nah, berarti orang itu salah satu guru sejatimu. Nah, masalahnya, kadang guru sejati ini tak bisa ditangkap karena seseorang begitu tidak peka dengan sekelilingnya. Contoh nih contoh, yang aku alami, dalam seminggu ini, ada tiga orang yang mengingatkanku agar aku cepat-cepat ambil S2, dan itu hal yang sebenarnya aku butuhkan.
Guru sejati ini muncul dari tiga sosok teman, pertama ketika di Jogja, si temanku ini bilang intinya, “Mbak A itu dari dulu ngomong pengen S2, tapi gak jadi-jadi, sudah sejak tahun kapan, di dalam negeri enggak, di luar negeri enggak. Mbok yo kalau ilmunya Bang E, mau S2 gak usah koar-koar, langsung saja, lek koar-koar malah gak jadi.” Aku tiba-tiba langsung jleb, ya, dia mengkritik orang lain, tapi itu sampai juga kritiknya ke aku. Aku sejak lulus S1 pun ingin S2, tapi setelah 7 tahun kemudian gak kewujud.
Peristiwa kedua, saat baca tulisan teman lagi. Jadi dia nulis yang secara gak langsung aku kayak merasa kesindir, dia nulis intinya, kalau gak benar-benar aku perjuangkan, berarti memang itu bukan hal yang sungguh-sungguh kuinginkan. “Bukan sungguh-sungguh kuinginkan dan kubutuhkan.” Aku mungkin ingin S2, tapi malah lambat banget progresnya, sampai diri sendiri ngerasa ngeh, “Lu butuh S2 gak sih, Is?!” Sementara di sisi lain, aku tak mau mempelajari kerumitan sendiri, sehingga tersesat, merasa itu sesuatu yang sulit, dan bukan sebagai sesuatu yang sederhana dan bisa tercapai.
Kejadian ketiga adalah hari ini lewat si Bapak Sunda ini. Aku bilang padanya ingin lanjut S2, si Bapak bilang, “Harus dimulai S2 itu, jangan hanya wacana saja, tiba-tiba waktu berjalan, sudah habis saja. Hidup itu sederhana, kalau bisa ambil ya ambil, kalau enggak, ya sudah.” Ini jleb untuk ketiga kalinya. Jadi selama tujuh tahun ini aku apa saja? Dan aku merasa, tiga ucapan orang berbeda inilah yang benar-benar aku butuhkan sampai akhirnya aku sadar, untuk secepat mungkin merealisasikannya.
Bahkan sampai di tingkat kesadaran, Ya Allah, aku sudah ikhlas, semisal tes IELTS yang kulakukan di hari Sabtu besok nilaiku tidak sesuai kehendakku, tapi sesuai kehendak-Mu, aku tidak apa-apa Ya Allah, itu tandanya, aku memang harus berjuang untuk sekolah di dalam negeri dulu, menyampingkan egoku keluar negeri, dan aku akan mencoba sekuat hati untuk mencobanya tahun ini. Ya, begitulah doaku sekarang. Nilai IELTS-ku yang 6 ini juga bukan perjuangan yang mudah untuk aku sampai sana. Sebab jika aku tak segera, aku tahu S2-ku ini hanya mimpi belaka, sementara umurku sudah merangkak ke-32.
Nah, kira-kira guru sejati seperti itu, bentuk dan macamnya banyak sekali. Bisa lewat orang, kejadian, dan barang. Si Bapak Sunda tadi juga menceritakan tentang makna solat, bertemu Tuhan ketika solat. Bagaimana solat itu wujud kehambaan seseorang, doa paling mustajab menurutnya adalah doa di antara dua sujud, yang meminta kesehatan, rezeki, jodoh yang baik, dlsb, sehingga perlu direnungi dengan dalam. Kemudian, dia juga bertanya padaku, kenapa puasa Senin-Kamis? Kamu harus tahu alasannya, kata dia. Dia menjelaskan, Senin itu hari lahir Nabi Muhammad dan Kamis itu hari di mana rapor amal diserahkan ke Tuhan di waktu Ashar.
Lebih lanjut, kita runut dulu, karena dia orang Sunda, menurut adat di sana, surga manusia itu terjadi ketika dia masih berada di dalam kandungan, karena di sana dia nyaman, tidak melakukan apa-apa, makan tinggal menyesap dari nutrisi ibunya, dan belum mengenal kejahatan dunia. Ketika dia lahir, di situlah fase neraka terjadi. Dunia ini kata dia neraka, ini kenapa ketika bayi lahir, dia menangis. Ketika mati, maka yang mati ini adalah tubuhnya saja, yang kena siksa itu tubuhnya, bukan roh, sementara roh bisa naik ke atas.
Dia juga cerita tentang kelemahan dia, bagaimana laki-laki itu harus berani berkelahi karena kehidupan di luar itu keras. Dia juga mengaku bukan orang yang baik, tapi dia orang yang bisa mengendalikan diri. Di rumah dia, alih-alih pajangannya foto-foto keluarga, tapi malah golok, kalau berkelahi pun berkelahi di rumah dengan orang itu hal yang tak aneh lagi.
Hidup baginya sederhana, jangan terlalu ngoyo, santai saja. Jangan sampai kayak temannya yang mau jabatan ini itu tapi gak jadi dan gak ada yang mempromosikan, akhirnya pecah pembuluh darahnya. Jika menyinggung di rapat saat pimpinan sedang emosi dengan mengatakan, “memangnya dia saja yang bisa bersinar, saya juga,” menurutnya ucapan itu diambil ketika dia emosi. Sebab dia ada urusan personal dengan pejabat lain yang membuatnya merasa tidak dihargai dan diremehkan, terlalu baik tapi selalu disalip orang. Pimpinan kami itu memang berani karena dilahirkan dari latar belakang militer, tapi kurang elok jika emosinya seperti itu diperlihatkan di depan bawahan.
Terlepas dari semua yang kuceritakan ini, aku jadi ingat tulisan Bagus tentang guru juga. Kamu bisa membacanya di link berikut: “TentangGuru” dan “Guru Sebagai Prinsip”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar