LPM Arena menggelar perayaan 50 Tahun Arena bertema "Persma Hari Ini, Dulu, Nanti" di Convention Hall (CH) Lantai 2 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 15 Februari 2025. Diskusi ini mendatangkan narasumber: Hairus Salim (Alumni Arena), Masduki (UII), dan Titah AW (Jurnalis Lepas); dengan penanggap Ach. Nurul Luthfi (LBH Jogja), Aji Bintang Nusantara (PU Arena 2023), Januardi Husin (AJI Jogja), dan dimoderatori oleh Atikah Nurul Ummah.
Dalam sambutannya, Pimred Arena Maria Al-Zahra mengatakan, Persma punya sejarah yang panjang sejak zaman pergerakan. Bisa memanfaatkan kesempatan yang jarang ini untuk menggali ilmu kepada narasumber.Narasumber pertama Hairus Salim menceritakan, dia masuk Arena 1989, juga ada Pak Tri tamu dari UNAS. Dia bikin selebaran independen. Persma hubungannya dekat sekali dengan gerakan politik, founding fathers kita mantan aktivis pers mahasiswa, bukan yang resmi dikelola kampus. Tapi mereka bikin media yang tujuannya macam-macam untuk mengkritik gerakan politik. Dia beruntung masuk Arena, masuk gerakan intelektual di UIN, karena pers umum hampir tak bisa bergerak, ada kontrol SIUP. Pers mahasiswa yang banyak menyuarakan kritik sosial, termasuk Arena. Ketika dirinya bergabung, seluruh organisasi intra kampus sedang dibekukan. Seluruh DEMA saat itu memprotes NKK/BKK, kemudian pemerintah membekukan seluruh gerakan ekstra kampus, ditaruh keluar. Yang intra juga demikian, karena selalu mengorganisir gerakan. Hanya satu gerakan yang saat itu hidup, pers mahasiswa.
Saat itu, ada istilah poros Jogja dan poros Jakarta. Ada juga kelompok diskusi (Keldis), poros tersebut salah satu pertemuan pentingnya ada di Arena. Salah satu investigasi penting yang dibikin Arena adalah soal Waduk Kedungombo, ini gusur rumah penduduk dan banyak utang. Ini bisa dibaca di disertasi George Aditjondro. "Arena kemudian menjadi katalisator gerakan," katanya.
Di Arena unik, di sana ada langganan koran. Arena juga terlibat di belakang protes. Ada anggapan di pers itu belajar, ada juga aliran profesional (netral, cover both sides, dan tak boleh demo), tapi Arena beda, pers mahasiswa harus berpihak, menjadi bagian dari demokratisasi, menjadi bagian dari gerakan mahasiswa.
Di UIN juga ada perpustakaan yang peminjaman buku Pram tinggi. Ada pula Perpustakaan Hatta, tanahnya milik UGM, bukunya milik kakek Prabowo. Perpustakaan ini berlangganan hampir semua koran. Di sana ada diskusi tiap Sabtu juga, dan ada snacknya juga. Banyak buku dari berbagai bahasa. "Hampir tiap sore saya menghabiskan waktu di sana, baca-baca," ujarnya.
Di sana juga banyak aktivis mahasiswa. Kondisi UIN dulu mirip bangunan Sadhar yang ada pohon beringin, dan gedung Balairung dulu.
Zaman Hairus, timnya bahas isu majalah, "Gurita Kekayaan Keluarga Soeharto". Saat itu ujian juga dibatalkan karena mengelem pintu, sampai tiga hari. Brimob mengingatkan. Teman-teman ngeri karena dilempar di truk. Sejak itu timnya gak boleh mimpin Arena, menghilang dari gerakan, di tahun ketujuh fokus skripsi. Kata senior itu terlalu cepat kuliah, Imam Aziz dulu 14 tahun. Durasi ini membuat stamina gerakan dan mahasiswa jadi sangat panjang. "Lalu saya buat LKiS," tambahnya.
Di era 94, Orba semakin keras, Tempo, Detik, dan Editor dibredel. Kemudian dibentuklah AJI, kongres pertama di Jogja, panitianya termasuk Hairus, yang dulu jadi sekretaris. Kongres dilakukan di Sadhar. AJI Jogja berdiri setelah AJI Jakarta. Saat itu pers resmi takut, terutama orang yang sudah berkeluarga. Orang yang melawan pasti dibredel. "Yang paling penting, Arena itu nafas gerakan mahasiswa," ungkapnya.
Antara gerakan mahasiswa, gerakan keras, tapi karena UIN Islam, ada operasi meradikalisasi Arena dan KMPD untuk jadi kiri dengan mensuplai buku-buku. Tapi kurang begitu berhasil, karena UIN basisnya Islam. "Dulu ya dulu, sekarang ya sekarang. Kalaupun yang berdiri senior kalian (jadi rezim gak benar), hantam saja," tandasnya.
Narasumber kedua Titah AW menyampaikan, dirinya kuliah di UGM tahun 2012, tapi gak sempat masuk Persma. Tapi waktu itu dirinya dan kawan-kawan bikin WarningMagz, bahas musik, budaya, dan politik juga.
Bercerita tentang jurnalisme masa kini, sebagai jurnalis, perempuan, disabilitas visual, dan kelas menengah cenderung ke bawah. Jurnalisme banyak spektrumnya dan lintasannya. Dulu Titah pernah kerja di Vice, masih semester tujuh, dia masuk ke jejaring jurnalis lepas di Jakarta. Momen itu menjerumuskan Titah ke kerja kontributor. Setelah direfleksikan, dia punya trust issues yang besar pada media di Indonesia. Dulu dia bercerita pengen kerja di Rolling Stones Indonesia dan Hai, tapi saat itu tutup. Di Tirto juga pengen masuk tapi ada kabar-kabar itu media mau bangkrut.
Ancaman ketidakpastian dihadapi di mana pun. Terbiasa dengan ketidakpastian membuatnya dia pertahan menjadi jurnalis lepas. Di media juga mesti ikut editor, secara kedekatan aktor dan isu, membuatnya jadi jurnalis lepas. Karena kebebasan itu penting, nulis yang dia suka, dengan ritmenya sendiri. Juga ada ritme di media nulis sekian judul berita per hari. "Itu melelahkan," katanya.
Sebagai jurnalis tetap banyak tantangan, tapi juga jurnalis lepas banyak tantangan. Sehingga, bagi Titah, kerja jurnalis tak memberi kepastian, dia juga punya side jobs, seperti jadi penulis, bantuin seniman, dll. Di sini punya kesempatan untuk bangun wacana kita sendiri di tengah kekeosan. Kalau waktu habis mengurusi survival, lelah, dia juga punya satu scope isu dan temanya itu-itu terus. Dengan cara seperti ini, pembaca akan lebih mengenali hal ini ditulis siapa. Di situ juga punya ruang belajar, dia milih scope ekologi, tradisi, sains, hantu-hantu, dll, hingga dia menemukan skena-skena lain. "Aku memilih tidak mau nulis daycare atau politik praktis, itu penting, tapi aku milih tidak," ujarnya.
Ini menunjukkan ekosistem media di Indonesia itu tidak ideal. Dia sudah tak punya waktu untuk memikirkan menjadi jurnalis lepas. Meskipun ada juga harapan atau kemungkinan yang bisa dilakukan, apalagi dalam konteks Persma. Saat bergabung di WarningMagz, Persma moment penting ketika bisa bereksperimen, secara skill, gagasan, relasi, strategi, pengennya apa, dll. "Persma itu waktu untuk bereksperimen. Cuma di Persma bisa praktik jurnalis tanpa banyak tuntutan ketika jadi jurnalis profesional, ada batas-batas sepanjang di pekerjaan. Persma jadi ruang bebas untuk bereksperimen," ceritanya.
Ketika ditanya arah jurnalisme saat ini, Titah mengimajinasikan suatu hari, ketika jurnalis tak dilekati oleh stereotip tertentu. Misal, pakai flanel, bisa semua, banyak pengetahuan, serius, apalagi untuk jurnalis perempuan. Bagi teman-teman di Persma, beranilah jadi diri sendiri, dia intersectional. Menciptakan ruang dialog antar publik ilmuan, dan pembuat kebijakan (policy makers). Produk jurnalisme harus punya ruang itu. Jurnlis tak cuma fokus ke sospol tapi juga jurnalisme lain, sehingga kontennya beragam. "Interseksionalitas jadi sangat penting. Ketika di Persma, plis pakai waktu itu untuk bereksperimen," ujarnya.
Pembicara Masduki dari UII berujar, sekarang sulit menemukan Persma yang umurnya sampai 50 tahun dan hidup di tiga zaman (Orba, Reformasi, Digital). Ekosistem berubah termasuk ekosistem Perguruan Tinggi. Momen ini perayaan panjang umur gerakan mahasiswa, ketika Arena ini masih eksis. Membaca Persma sebagai underground, melalui distribusi yang sifatnya ilegal, membaca jadi suatu hal yang mewah. Pers umum jadi critical ideology dari Persma.
Berbicara tentang sustainability di era digital, yang penting adalah quality journalism di tengah logika algoritma, konglomerasi media, rezim clicks, bukan berbasis minat. Kelahiran Meta (IG, FB, YT) dengan ideologi pasar bebas, ada berita fast news, dalam kondisi seperti ini, apa yang bisa dilakukan oleh pers. "Alhamdulillah Arena masih eksis," katanya.
Saat ini di zaman hybrid, Perguruan Tinggi keagamaan lebih represif ketimbang teman-teman di PTN, ini menarik diteliti. Ada pendekatan baru dalam mengungkapkan isu kepublikan di kampus. Edisi 50 Tahun, muncul tanah ideologi yang dikupas. Arena selain Balairung dan Himmah bagian dari perubahan politik. Masduki juga menulis tulisan "Persma dalam Bingkai Gerakan Mahasiswa".
Dulu kantor Arena dekat masjid, sekarang agak jauh dari masjid. Ini juga lumayan ngaruh. Ketika anak Persma jadi akademisi ini akan mempengaruhi mahasiswanya. Arena tantangannya bagaimana menjadi pendulum intelektualisme kampus, yang menjadi pilar kewarasan di tengah gelombang pragmatisme, baik dosen-dosen maupun mahasiswanya.
Sesi selanjutnya adalah tanggapan.
Januardi Husain menanggapi, dirinya menganggap Arena sebagai rumah tak berpintu. Dia masuk Arena tahun 2010, kerja di JPNN dan jadi Ketua AJI Jogja. Yang dirinya suka dari Arena dan AJI itu semangat egalitarian, senior itu lebih menghargai peran mereka. Dirinya belajar banyak dengan teman-teman di Arena. Di Arena mengajarkan dia berbagai ilmu sosial, tongkrongan dia bukan di kantin barat, tapi di kantin dakwah. Karena di sini dia punya kedekatan emosional. "Selamanya saya berhutang budi pada teman-teman di Arena," ucapnya.
Berbicara jurnalisme hari ini sebagaimana diceritakan Titah AW, menjaga kewarasan itu susah sekarang di jurnalistik. Ketika melihat Persma hari ini berbeda sekali, karena tantangan lebih kompleks. Beberapa faktornya: biaya kuliah mahal, karena gagal mengawal UKT. Ketika dia kuliah tahun 2010, SPP masih 600 ribu, ini pun berkali-kali ditolak. Di pertigaan UIN yang disebut Pertigaan Revolusi itu diprotes. Gerakan mahasiswa sekarang cenderung pragmatis karena biaya kuliah sangat mahal, dan ini berlaku di semua kampus negeri. "Enggan mengulang romantisme masa lalu yang kuliahnya lama," ujarnya.
Ketika jadi jurnalis di Jakarta, dia masuk AJI karena semangat yang sama. AJI menganggap jurnalis harus terlibat dalam gerakan sosial. Kalau kewarasan berekspresi tidak dijaga, akan kehilangan independensi. Tanda-tanda ini tampak, kalau kemarin ramai Revisi UU Penyiaran, ada pasal pelarangan investigasi ini lucu sekali. AJI 13 tahun mengawal RUU Penyiaran, entah kenapa draf itu tiba-tiba ada. Usaha-usaha yang saat ini muncul, kebebasan pers sedang berusaha diotak-atik rezim. Merevisi UU Pers di kondisi saat ini juga kurang bijak. "Kita udah dicukup keras dengan adanya UU ITE," tambahnya.
Januardi melanjutkan, yang disampaikan Titah AW mencerminkan kondisi pers saat ini. Tantangannya bukan lagi pembredelan, para petingginya, penjara, dll, tapi pendekatan yang membuat media massa saat ini melakukan self-sensorship. Media melakukan pembredelan diri sendiri secara halus. Di ruang redaksi yang dipikirkan, bagaimana mendapatkan pendapatan yang signifikan di perusahaan. Semakin banyak pembaca, semakin baik nilainya di mata perusahaan. Juga adanya peraturan yang membuat berputar otak, banyak efisiensi dan PHK dilakukan. Dominasi platform digital saat ini memiliki peran domininan menentukan arah redaksi. Bukan sejauh mana berita penting, tapi bagaimana dia viral. Ini ironi ketika jurnalis bekerja di media saat ini. "Kasta tertinggi atau karir tertinggi bukan jadi pemimpin redaksi, tapi jurnalis freelance. Pimred pun dituntut bagaimana artikel berkontribusi pada pemasukan media massa. Kita mengenal pagar api tapi itu yang dilanggar," ungkapnya.
Ruang-ruang redaksi sekarang menjadi sumir. Perusahaan dan redaksi harusnya lidah, sekarang gak ada lagi garis kalau ada tipis sekali. Membuat berita belasan dalam sehari ini kadang tak masuk akal, mutu akan buruk sekali, jauh dari yang diidealkan. Karier jurnalis freelance, bisa jaga kewarasan berpikir, yang mengedepankan hati nurani. Bagaimana menjaga hati nurani bisa hidup. Persma juga masih waras di tengah media yang kritis. Ada upaya dari rezim menurunkan derajat jurnalistik saat ini, dengan label diinformasi yang keliru.
Sebenarnya berita hoax itu gak ada, karena berita itu disiplinnya kuat. Dulu di Jogja ada liputan yang menerobos etika, Arena jangan terjebak pada positivity toxic. Juga mitos profesionalisme, jurnalis gak boleh bangun masyarakat yang berdaya, ada kasus pembredelan Suara USU, kampus fi IAIN Ambon, di Surabaya juga, kampus yang harusnya punya pandangan clear, malah merepresi. "Sama-sama merawat kewarasan dan demokrasi," ungkap dia.
Juju bertanya pada Hairus, bagaimana dulu aktivis Persma mengartikan produktivitas? Karena dulu majalah Arena sangat ditunggu. Kepada Adi, peran apa yang dilakukan pers mahasiswa di landscape kondisi Indonesia saat ini. Pertanyaan untuk Titah, bagaimana menjadi jurnalis freelance yang masih tetap survive?
Rektor UIN Suka Noorhaidi Hasan yang datang di acara tersebut menyampaikan selamat 50 tahun, semoga memberikan berkah. Saat kuliah 90-94 di sini, dia melihat Arena sangat berjaya, di tengah cengkeraman Orba. Di mana media mainstream belum berani, Arena mengambil inisiatif. Arena punya peran besar dalam melawan otoritarianisme. Selamat tengah menempuh kehidupan yang panjang. Hari ini hari yang membahagiakan, media mainstream, meski berada di media senja yang banyak citizen journalism, yang akhirnya membuat banyak dari kita tak baca koran. Empat hari lalu, Noorhaidi kedatangan orang-orang dari MetroTV, diskusi soal media menghadapi berbagai tantangan dan era disrupsi. "Ini tantangan untuk teman-teman Arena juga bagaimana menjadi tetap relevan di masa sekarang," ungkapnya.
Termasuk hari ini bagaimana soal efisiensi anggaran,
termasuk anggaran Badan Layanan Umum (BLU). Tak ada sistem sistemik yang proper
untuk melawan. Ini realitas politik paling nyata, padahal ingin memberi yang
terbaik bagi mahasiswa. Bagaimana teman-teman Arena mereposisi ulang di tengah
kondisi lokal, nasional, dan global. Bagaimana menghadapi perubahan food
chains, kemiskinan, ketimpangan, dll. Sehingga Arena memberi pencerahan bagi
bangsa. "Semoga Tuhan YME memberkahi Arena," ucapnya.
Penanggap kedua Arena, Ach. Nurul Luthfi menyampaikan selamat untuk Arena ke-50 tahun. Di Arena ada slogan, "Kancah Pemikiran Alternatif", logonya juga orang bingung, Arena kenapa ada kata alternatif? Ketika dicoba refleksikan, alternatif dalam hal berpikirnya atau gerakannya. Dia memperdalam kembali pengertian alternatif. Kata alternatif menjadi slogan, dengan trilogi Arena "membaca, diskusi, menulis", kuliahnya tak di UIN, tapi di Arena. Kantor Arena aktif sore sampai malam, tapi prosesnya, Arena sering berhadapan dengan satpam. Kebebasan Arena di kampus juga dibutuhkan.
Berkaitan dengan tantangan Persma, Arena menjalani banyak
masa, gerakannya akan beda dengan dulu. "Arena ini alternatif ketika dia
menjadi satu-satunya Persma yang menjadi katalisator gerakan," ungkapnya.
Pembacaan bukan soal apa, tapi berpihak kemana? Akhirnya, ditemukan kata alternatif, yang membedakan dengan Persma dan media lain, karena punya pendekatan yang berbeda. Kualitas persma menurutnya ada tiga, pertama, keberpihakan. Kedua, bagaimana penyajian datanya. Ketiga, platformnya. Harapannya, Arena alternatif bisa dimaknai kembali, khususnya di UIN Suka, Arena jadi oposisi permanen sejak pikiran hingga tindakan.
Penanggap terakhir, Aji Bintang Nusantara mengatakan, Arena 50 tahun bukan angka kecil. Dia tak sadar jika usia sudah setua ini. Dia tergelitik dengan ucapan Masduki, soal usia Arena yang ke-50 tahun. Saat masuk Arena tahun 2020, dia masuk UIN karena pengen masuk Arena. Sebenarnya dia bosan mendengar pembredelan, Arena sekarang terbebani dengan sejarah yang besar, menginisiasi ini dan itu. Waktu itu pandemi Covid-19 cukup berat. Membaca sejarah Arena dulu dan saat ini jauh sekali, dan mengejar ketertinggalan itu dengan tertatih-tatih. Setuju dengan Januardi biaya kuliah yang mahal juga menghambat.Di sisi lain, mahasiswa juga pragmatis, juga ada yang gak kenal Arena. Teman saya ada yang nanya, "Arena itu UKM futsal ya?"
Menurut Aji, ada empat masa: Orba, Reformasi, Digital, dan
Pasca-Covid19. Ada moment mengorganisir PTKI Persma, yang dihadiri oleh
Pemimpin Umum (PU), ternyata di sana mengkonsolidasikan gerakan juga masih
susah. Ini yang membuat Arena perlu merefleksikan hal yang alternatif.
Bagaimana Arena menjadi motor gerakan hari ini. Hal ini jadi persoalan besar.
"Gimana Persma hari ini menciptakan kesadaran kolektif?" tanyanya
kepada para mahasiswa.
Sesi tanggapan dari narasumber dari pertanyaan penanggap, Titah mengatakan, untuk survive dia mengusahakan berbagai hal, di antaranya slow journalism, yang udah banyak dipraktikkan. Misal tulisan butterfly effects ini dikerjakan 6 bulan. Dia juga meminta institusi lain seperti pendanaan Pulitzer. Juga side jobs dengan tenggat jurnalisme seminggu atau dua minggu.
Dia juga sadar tengah membangun branding. Di eranya penting mengusahakan tulisannya dibaca publik, dan tidak dipublikasikan baik. Bagaimana mempromosikan tulisan dibaca publik di media sosial. Jika nge-keep tulisa intelektual, orang gak mau baca itu. Mau gak mau ada tugas, ada tulisan ini dan kalian perlu baca. Juga berserikat itu penting, karena praktiknya masih susah. Sekarang yang dueable dengan cara berjejaring, dengan NGO, scientists, masyarakat lokal, dll. Ketika ini dibawa ke jurnalisme, ini akan jadi sesuatu yang baru. Berkenalan dengan sebanyak mungkin orang, agar yang kita bawa ke "meja" tak sama dengan orang lain. Mengambil isu dan angle yang berbeda. Pekerjaan Titah selalu menulis dan storytelling, tapi output-nya bisa beda-beda. Yang bisa dilakukan Persma, bagaimana membuat mahasiswa bisa membaca, bagaimana membuat tulisan megah kita tetap menarik bagi orang paling awam sekali pun.
Tanggapan dari Hairus, Persma bagian tak terpisahkan dari
gerakan mahasiswa. Bagaimana Arena bikin sejarahnya sendiri itu penting. Pada
masanya, banyak mahasiswa itu kelas menengah ke bawah dan mudah untuk
dikompori. Perjuangan adalah memperjuangkan dirinya sendiri. Sekarang style-nya
beda, memperjuangkan UKT tapi bahasnya di kafe. Dulu di kos cukup pakai kapal
api dan gorengan, ini pertanyaan serius.
Saat dirinya jadi Sekretaris AJI, salah satu jawaban, bagaimana menjadikan wartawan sebagai intelektual seperti Mochtar Lubis dan Mahbub Junaidi. Dia menceritakan cita-citanya jadi jurnalis, di Tempo dan Kompas. Sekarang bahkan bahasa Indonesianya saja belum benar. Jika ingin jadi jurnalis yang dibutuhkan dua: kemampuan kapasitas individu, serta komitmen moral dan sosial. Jurnalis ini tidak mungkin jika tidak membaca, saat itu Hairus membaca di Perpustakaan Hatta dari sore sampai malam. Setahun investasi bacaan. Dulu juga pernah menulis untuk menghidupi juga. Misal nulis tiap hari untuk Mojok dan jadi buku. "Investasi bacaan harus kalian pupuk dari sekarang, kalau enggak ya enggak. Kalian bisa beli banyak buku tapi gak bisa beli waktu membaca," ujarnya.
Selanjutnya, Hairus bingung mendalami masalah, ada senior
yang merekomendasikan membaca filsafat, untuk mahami masalah dan tulisan
runtut. Ketiga ada problem tidak bisa berbahasa Inggris, lalu belajar otodidak
belajar teks Inggris. Diterjemahkan dan dibolak-balik, satu tahun meningkatkan
kemampuan bahasa Inggris. Pada saat yang sama, tingkatkan kapasitas individu.
"Kalian jadi pengkritik yang baik kalau kalian cerdas. Kalau ada di level
memahami filsafat moral, etika publik, dan lain-lain, di sana akan meningkatkan
kapasitas moral dengan basis yang jelas," ungkapnya.
Karena ada kawan yang konfrontatif pengen kayak Karl Marx, tapi tak tahu Karl Marx bagaimana, pokoknya seperti Karl Marx. Kemampuan peningkatan kapasitas ini yang sekarang kurang, karena kondisinya sudah berbeda. "Ketika kapasitas individual oke, kapasitas moral dan sosial mengikuti," tandasnya.
Tanggapan narasumber Masduki menyampaikan, Arena perlu
menjadikan sejarah sebagai modal sosial, karena ini akan membangun karakter.
Misal Tempo itu media investigator dan ini terus berlanjut. Ketika Persma Arena
usianya lima tahun juga akan beda dengan 50 tahun. Praktik mahasiswa juga
organik. Kemudian, modal sosial lain yang penting adalah konten. Bagaimana
Arena mengadvokasi dan mengontrol (watch dog), ini yang harus dirawat terus.
Bagaimana misal di Kedungombo diorientasikan hari ini. Di tangan pers umum
punya ketentuan sendiri, Persma dituntut punya jurnalisme yang mendalam. Tak
mesti setiap minggu, tapi ngikuti konteks yang dibutuhkan masyarakat hari ini.
Misal bagaimana ketika mengkritik mahasiswa mengalami represi, tapi tak dapat
jurnalisme mendalam tentang UKT. "Dia relevan bagi situasi Perguruan
tinggi, situasi terkini, demokrasi, dan sejalan dengan jurnalisme
advokasi," ujarnya.
Sehingga, critical analysis ini sangat penting. Masduki merasa telat ketika belajar Filsafat telah terlambat ketika S3 di Jerman. Tapi memang tantangan berbeda, jika dulu setiap beberapa meter ada perpustakaan, sekarang ada mall.
Sesi tanggapan dan tanya jawab:
Pak Tri Agus Susanto menanggapi, sebagaimana yang
disampaikan Hairus Salim, dia dulu aktif di Didaktika, yang terkenal alumni
Didaktika sekarang, Virdika Risky Utama. Ketika teman-teman Didaktika mampir ke
Aren, Didaktika main ke APMD. Di kampus-kampus, pelopor gerakan itu Persma.
Dulu ada Ukhuwwah Persyiah, persahabatan jejaring Persma lintas kampus. Tahun
98 puncak panjang gerakan Persma. Setelah hiruk pikuk 98, tak dengar Persma ini
ironi. "Untuk teman-teman Arena selamat ulang tahun."
Ketika aktivis Persma kerja di dunia profesional, nuansanya masih tetap. Ini contohnya, ketika aktivis berkumpul di UGM, ada aktivis IPT, tiba-tiba di UGM dilarang, teman-teman telepon Tri, hingga akhirnya pindah di APMD (tempat Tri bekerja). Amatan dari tentara bilang, jika di sini seminggu lalu kumpul-kumpul orang-orang PKI. Termasuk juga pas di hari HAM, saat UIN gak bisa, APMD bisa.
Rifki dari UNY (skripsinya terkait AJI), menanyakan kenapa kualitas Persma dan organisasi gerakan turun? Dari amatannya, karena pergeseran parpol yang pragmatis. Hal ini turun ke politik kampus, bagaimana organisasi mahasiswa mempengaruhi kualitas di kampus. Memunculkan gimana cara cari kursi dan kekuasaan, orientasi bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Persma perlu ideologi yang harus dijaga. Bagaimana pendapat narasumber tentang hal ini? Adakah secercah harapan.
Tanggapan dari Hairus, pragmatisme memang dihadapi di banyak
tempat. Dulu itu ada keracunan Paulo Freire, di mana banyak mahasiswa
terpengaruh karena bacaan. Proses pragmatisme terjadi di mana-mana, ketika baca
tulisan Edward Said, bagaimana tahun 70an awal, intelektual mulai dibatasi
perannya dengan memberi banyak beban administrasi. Ini juga terjadi di
Indonesia. Dulu pusat intelektual ada Tempo, Kompas, LP3ES, dll. Intelektual
zaman itu banyak yang selesai kuliah, misal GM, Gus Dur, Emha Ainun banyak yang
kuliahnya tak selesai.
Ada proses profesionlisme yang luar biasa terjadi. Yang duduk di lembaga harus punya titel. Di UIN juga harus doktor semua. Proses penaklukan selesai semua, sehingga akademisi dan mahasiswa gak punya pilihan lain. Pun saat seleksi dosen, ditanya gak kenal ini dan itu. Kenapa perlu menjaga akal sehat di kampus. "Kalian akan jadi minoritas, tapi kalian yang akan didengar dan dibaca. Jadi intelektual ini memang bunuh diri kelas, ini gak disarankan pun orang yang tak kuat akan mundur dengan sendirinya. Ini tanggungjawab etis dan historis baik secara individual dan kolektif," ujarnya.
Hairus menambahkan, Eko Sulistianto pernah nulis skripsi
tentang Arena. Bisa dikontak untuk diminta skripsinya.
Masduki menambahkan, komitmen terhadap ideologi ini yang harus dijaga. Kalau tak mempertahankan ini selesai. Untuk dosen misal, ada tulisan kenapa dosen mendukung otoritarianisme? Dosen sekarang lebih ke CEO daripada harus baca buku apa. Tuntutan bukan pada regularity, tapi pada engagement dan advokasinya.
Sebagai penegasan: Persma tak lepas dari gerakan, yang
harusnya bisa jaga nilai-nilai jurnalisme yang ada.
Jogja, 15 Februari 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar