Usai menggelar diskusi publik, "Pers Mahasiswa Dulu,
Kini, dan Nanti", acara selanjutnya dilaksanakan sarasehan alumni.
Sarasehan dilaksanakan di Gedung CH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 15
Februari 2025.
Pada acara sarasehan, PU LPM Arena, Yudhistira, dalam
sambutannya menyampaikan, terima kasih untuk bapak-bapak, ibu-ibu, dan mas mbak
yang telah hadir. Ada tiga rangkaian di acara Harlah Arena 50 Tahun: diskusi,
pameran arsip, dan sarasehan alumni. Semangat acara ini menyatukan alumni,
dengan acara ini hubungannya lebih dekat dan tak putus. Dia mewakili panitia
mengucapkan selamat datang bagi alumni.
Kemudian sambutan dari Abdul Munim DZ perwakilan dari alumni
mengatakan, dirinya kesini ingin menyambung sanad, dari tahun 80an, beberapa
angkatan ke atas masih nyambung, tapi yang baru-baru belum. Dia ingin menjaga
jangan sampai generasi ini luntur. Dia menyampaikan, kita perlu ada media
penuntun dan menjadi rujukan, tapi sekarang media banyak, entah mana yang benar
karena hanya sedikit yang bisa dipercaya. "Semakin banyak berita semakin
kita tidak tahu," katanya. Apalagi Tempo dan Kompas sudah sulit diakses.
Arena sekarang tradisi moralnya harus diperkuat, penyikapan terhadap masalah
itu penting. Media yang punya tradisi yang kuat dikembangkan, terlebih di media
baru seperti Instagram dan YouTube. Seperti menyiapkan NU online sudah
dipersiapkan medianya. Kalau perlu ada Partai Arena.
.jpeg)
.jpeg)
.jpeg)
Arena itu dulu sebagai ekspresi media yang terhormat.
Mahasiswa yang masuk Arena itu udah kelas tersendiri, mahasiswa pilihan. Dulu
pas NKK/BKK, hanya Arena gerakan yang bisa hidup, jadi center of excellence.
Arena walaupun IAIN, dianggap Perguruan Tinggi kelas dua atau tiga, betapa
di-dismiss, tapi Arena tak pasrah begitu saja. Juga sastra di Arena juga
menjadi ciri khas, sehingga Arena jadi pede. Tahun 80an, Arena jadi episentrum.
"Arena punya sejarah, dan jangan dihilangkan. Alhamdulillah kita semua
berperan," ujarnya.
Ternyata kohesivitas Arena masih berjalan. Di sini dirinya
jadi perantara. Pihaknya sudah lama tak ikut Arena lagi, ketika bertemu fisik
lebih baik. Ketika digital intensif, perlu ada arus balik, sehingga pertemuan
fisik menjadi penting. Di Indonesia apalagi masih banyak yang buta IT.
Acara dilanjutkan dengan doa dan pemotongan tumpeng oleh Pak
Burhan dan Pak Savic, serta pengurus dan alumni Arena yang lain.
Pembukaan sarasehan oleh Ismahfudi, yang sekaligus bertindak
sebagai moderator. Di IAIN Sunan Kalijaga dahulu juga ada pers-pers fakultas
yang bertahan sampai sekarang. Di masa itu ada forum komunikasi pers di UIN
Suka. Pada tahun 96-97, Arena menerbitkan dua sampai tiga edisi. Lalu ada
pergantian pengurus, ada beberapa generasi, seperti generasi Suraji, ada
penyerangan setelah Jumatan, Arena digebrek. Yang jadi sasaran saat itu
komputer Arena, karena dikasi password gak bisa dibuka, akhirnya komputer dibawa.
Arena terus disweeping. Acara kemudian diperkenalkan berbagai nama-nama alumni
dengan latar belakangnya.
Pembicara berikutnya oleh Abrori. Dia mempertanyakan,
sebelum kesini sudahkah kita bercermin? Apa yang dilihat di cermin? Jika hanya
melihat diri sendiri, maka siap-siap cuma berkembang di asbak saja. Arena ini
penuh perjuangan. Dulu tetua, ada alergi dengan frasa-frasa tertentu, seperti
pergantian nama Arena. Arena seperti kesetiaannya harimau. "Adik-adik
jangan gamang masuk Arena karena akhirnya tak terduga," katanya.
Abrori juga tak menyangka akhirnya akan menjadi seperti ini,
dia pernah liputan soal nipah di Madura meski liputan tersebut tak pernah
terbit. Kalau jadi wartawan, dia menyebutnya seperti WTS (Wartawan Tanpa
Suratkabar). Lalu Abrori ikut ke jejak senior lain, menjadi politisi, suatu
jalan yang tak disangka. Dengan memilih jadi politisi, lebih baik jadi kepala
kucing daripada ekor harimau.
Pesannya untuk generasi Z, yang menurutnya fresh tapi rapuh,
tapi dengan menjadi Arena, ini ikhtiar yang harus diikuti dengan rukun-rukun
lain, seperti membaca dan menulis. Seperti Anies Baswedan, yang mentatar ini
Pak Burhan, alumni Arena.
Pesan berikutnya oleh Savic Ali. Dia menyampaikan, dia masuk
Arena tahun 94, habis dibredel. Masuk UIN tahun 93 tapi saat itu gak ada
rekruitmen. Ditugaskan liputan minyak di Probolinggo. Terkait Arena ada
beberapa pengalaman yang dia tak lupa, saat pemrednya Saiful.
Pertama, dia wawancara Mbah Sahal, bagaimana keberpihakan
kiai. Padahal Savic adalah santri Mbah Sahal. Ada perasaan keder, Mbah Sahal
juga jawab sedikit-sedikita, hingga mau nanya apa lagi. Dan sampai keluar
Arena, tulisan itu tak terbit. Kemudian pindah ke Jakarta ke STF. Liputan baru
terbit lagi setelah dirinya di Jakarta. Dia tak menangi Arena terbit.
Majalahnya "Kiai Tanpa Umat" langsung dibredel rektorat.
Kedua, ikatan Arena dan KMPD. Ada demo, pendampingan, dan
PBL. Ada teman yang bisa melompati pagar sampai 1.5 meter. Bagaimana Arena
memberi fondasi dan meramaikan jiwa perlawanan. Ini mempengaruhi garis
hidupnya. Jadi ini menjadi semacam kutukan. "Praktis kuliah saya di Arena,
di Arena nongkrongnya," ujarnya. Di Arena juga ada saudara Arief Hakim
yang memperkenalkan pada buku. Banyak teman yang garis hidupnya dipengaruhi
Arena. Misal juga yang diceritakan Pak Munim, buat NU Online, yang bisa bertahan.
Tak heran Arena mampu bertahan sampai 50 tahun. Arena juga menghidupkan website
sekarang, Arena perlu inovasi. Sekarang menulis untuk dibaca 2.000-5.000
pembaca sudah susah. Sekarang generasi audio-visual. Arena perlu menekuni ini.
Jalur multimedia, jalur tulis menulis sekarang berat. "Terima kasih pada
senior-senior, yang mengubah garis hidup saya," ungkapnya.
.jpeg)
Pembicara lain, Burhan AS, dia menyatakan zamannya adalah
zaman yang tak enak tapi zaman yang asyik. Era 87-97, hampir setahun Reformasi
itu rajin mutasi. Arena itu salah satu yang ngangkat IAIN, karena zaman-zaman
itu yang dikenal UI, ITB, dll.
Yang menarik di Arena itu prosesnya. Waktu itu ada edaran
yang membuat media tak berani melakukan investigasi reporting. Bahkan di Dema
dan Sema juga tak ada yang berani. Arena yang mengawali, investigasi ketika
untuk mengatakan tidak itu tidak boleh. Generasi selanjutnya kemudian
meneruskan. Reformasi Jogja itu dapurnya di Arena.
Arena sejak awal juga menjadi komunitas, penerbitan di
Fakultas itu juga berkomunikasi sama Arena. Saat buat KMPD juga solidaritas
luar biasa. Sejak awal nama besar Arena karena Arena membangun komunitas,
aktivis cum pemikir. Aksi dan refleksi selalu penting. Solidaritas bukan cari
musuh, tapi cari teman. Berusaha sambil negosiasi, ini juga jadi mata pelajaran
yang penting. Pesan Pak Munim menarik, kebutuhan media di era post-truth perlu
digali, perlu bekerja dengan berbagai teman dan kalangan. "Kalau dari Arena
lain, apalagi KMPD lain," ungkapnya. KMPD sering dipanggil Kemped ini,
Keluarga Mahasiswa Pecah nDahe.
Dulu semangat persma melawan Orde Baru, misal kasus Waduk
Kedungombo. Tulisan George Junus Aditjondro yang di Cornell juga bahas itu.
Pembicaraan dilanjutkan oleh Ahadi. Dia menyampaikan, dia
meski sebentar di Arena sangat bermakna. Ketika rapat redaksi menulis bisnis
keluarga Cendana. Dia bercerita, dari awalnya mahasiswa yang di kamar, mesti ke
Jakarta, wawancara dengan Ali Sadikin, Arief Budiman, dan Ariel Heryanto. Pas
wawancara pulangnya perlu nyunggi buku, pulang-pulang jadilah Arena edisi yang
dibredel. Saat itu juga wawancara keluarga Soeharto, tanya, "bagaimana
tentang bisnis Soeharto?" Saat itu modal kendel. Dokumen itu akhirnya ke
Ida dan Ninid.
.jpeg)
Tahun 94 awal dirinya masuk Bernas untuk langsung kerja. Di
Bernas juga tetap gerakan lagi. Saat itu tak bisa bikin koran di daerah
sehingga di Jogja ada Bernas. Tapi ada konflik internal, waktu itu ada
nama-nama besar yang nulis di Bernas, seperti Pratikno, Emha Ainun, Andi
Mallarangeng, dll. Ada cerita-cerita asyik di Arena. Saat itu Arena membersamai
gerakan. Dirinya di IAIN hampir 10 tahun, beruntunglah masuk di Arena.
"Sekarang sudah 50 tahun, Alhamdulilah masih bisa bertemu," ujarnya.
Kemudian dilanjutkan oleh Aul, PU Arena periode 2020an. Di
Arena katanya asyik dan seru. Ada kawan-kawan yang produktif, diajarin banyak
orasi. Perlu berpihak dengan pihak-pihak yang tertindas.
Dilanjutkan dengan Ida dan bersama putranya Elang. Elang
mengatakan, ketika masuk Arena tak ada paksaan, masuk karena inisiatif sendiri
untuk menjadi idealis yang menggebu-gebu (masa muda). Dari dulu, masuk Arena
tak ada rambu-rambu, digembleng dan banyak yang bisa dipelajari. Sementara Ida
menyampaikan, dia merasakan bagaimana Arena menjadi kampus utamanya, bukan
Tafsir Hadis di Ushuluddin. Dia berharap Elang menemukan hal yang serupa.
"Emaknya bangga dengan hidupnya karena salah satunya dengan
ber-Arena," ungkapnya. Elang menambahi, pandangan Arena tiap zaman
berbeda, semangat ini yang buat Elang berbuat baik kapan pun di mana pun, dan
juga jadi versi baik dari dirinya sendiri.
.jpeg)
Kemudian, simulasi wawancara oleh Syifa dan Aconk dari
Banyumas (Arena 87-93). Aconk mengatakan, pengalaman paling berkesan ketika
ketemu seperti Pak Munim, Pak Imam Aziz, dan Pak Burhan. Pak Munim kemana pun
membawa buku, buku wajib yang perlu dibaca, salah satunya UU Agraria. Aconk
mempraktikkan apa yang didiskusikan di Arena. Menurutnya anak-anak generasi
sekarang lebih baik. Di Arena hubungannya bisa lebih dari saudara. Ini akan
melebar ke berbagai hal, sehingga munculnya KMPD. Keprihatinan kadang gak pernah
disengaja. Begitu Aconk lulus tahun 94, jadi wartawan. Harapannya, teman-teman
Arena menyelesaikan "bacaan", tanpa ada bacaan, gak bisa nulis.
Jangan juga sekali pun copy paste, karena sekali dilakukan akan terus-terusan.
Jiwa jurnalisme itu penting.
Kemudian, Fakih Ridho menyampaikan, dia tahun 97 masuk.
Tahun itu puncak gerakan mahasiswa melawan Orde Baru. Arena jadi kebangaan
sendiri. Saat masanya, nerbitin "Petani Menggugat Takdir". Pengalaman
di Arena tak bisa dilupakan karena di sana belajar nulis, belajar berinteraksi
dengan berbagai lembaga. Dia cerita bagaimana rektor diadili Gareng, Irul, dan
dia. Jadi antara rektor dan Arena tak berjarak. Kata Irul, Arena diambil dari
Al-Quran...
Kemudian, sarasehan ditutup dengan penampilan musik dari
Teater Eska.
Jogja, 15 Februari 2025