Kamis, 27 Februari 2025

Sederhana Tapi Berarti

I am listening to a song titled "Teruntuk Mia" by Nuh. This song has thrown me to many places I had visited for years. The vibes, the melody, the sounds, the simple lyrics. It gives me a reminder: Please, be kind to yourself, don't be too hard, simple but it's worth it. To become a human, you need to become kind to yourself first, just from a little thing to respect yourself.

Berdua menunggu di sini

Berharap hujan tak berhenti

Tetes demi tetes basahi

Jalanan kota ini


Dengan dirimu ku di sini

Տederhana tapi berarti

Տenyummu tetap melingkari

Teduh tatapi beri


Di antara senyumanmu

Dan hujan di hari itu


Aku tak tahu mana yang lebih indah

Di antara senyumanmu

Dan hujan di hari itu

Aku tak tahu mana yang lebih indah


Berdua menunggu di sini

Berharap hujan tak berhenti

Satu demi satu basahi

Jalanan kota ini


Dan ketika hujan tlah mereda

Kita lanjutkanlah berjalan



Di antara senyumanmu

Dan hujan di hari itu

Aku tak tahu mana yang lebih indah


Di antara senyumanmu

Dan hujan di hari itu

Aku tak tahu mana yang lebih indah

Aku tak tahu mana yang lebih indah

Minggu, 23 Februari 2025

My Second Taking the IELTS Test

It is a hard journey, and maybe a lot of effort, time, money, and tears. You have been trying anything, and lastly, you are aware that what you need to do is just how to try thinking in English. Stop translating from Bahasa Indonesia into English, because they do not match. 

I want to share my experience taking the IELTS test. For the first IELTS test, I took at IDP Bandung. There were six people there, and all Indonesian ethnic (Javanese, Sundanese, Melayu). My second test was taken at SUN Meruya, West Jakarta. I became a minority here, from 10 people, 9 of them were Chinese. They are young and were born between 2000 and 2007, the oldest was born in 1990. They took IELTS maybe for their Bachelor's study overseas. Their names are modern.

IDP Bandung and SUN Meruya are opposite places. My POV is not from infrastructure facilities, both of them are good, but rather my mental condition. At SUN Meruya, some of the participants were accompanied by their parents. Oh my God, how sweet, their parents supported him/her. Just looking at them, they looked great: they dressed well, had optimistic faces, had mental and economic support, had good education from good schools, and 3.2 million to take the IELTS test are only number from them, easy peasy. 

I felt inferior, I think their first language is English too daily, so they did not have any problem doing the assignments, from Listening, Reading, Writing, and Speaking. To get over 7 is not rocket science. How about me? Nope. When we were waiting in the waiting room, I felt that I was left 15 years from their conditions now. Sure, I felt sad. But the best thing I could do was we were the same.

I was confident doing the Reading session, and fifty-fifty in Listening and Writing. In Speaking, I have been aware that: 

"In conversations and other situations where you need the ability to process information and respond quickly, thinking and translating slow you down. Let alone, the translated sentences may not sound natural in English because the sentence structure is often different in your native language and in English. By thinking in English first, you don’t have to translate in your head, and this strategy can improve fluency." (Suri Do, Medium, 2017). 

Damn! I miss my English First (EF), oh, nope. Generally speaking, "thinking in English" is the best way to improve our fluency. As Suri said: 

"It means all you need is to speak without paying attention to the rules and pronunciations ... Don’t worry about making mistakes. It’s much better to practise English by speaking and making mistakes than not to speaking in English because of the fear of making mistakes."   (Suri Do, Medium, 2017).

From Gabby's article, I have learned too:

"Your brain is so amazing that it will begin to recognize patterns and want to follow them too! ... My English is getting better each day." (Gabby Wallace, Youtube, 2017)

As an ESL (English Second Language) person, the hard thing to improve English is our confidence, not grammar and vocabulary. So, my advice to myself is, that being confident is very crucial, English is not always about what to say, but how to say it. Gabby Wallace said it well too:

"Often, learners who understand English well hesitate to speak up. In contrast, those who speak up, despite making mistakes, tend to learn faster. Therefore, remember, the goal is to communicate, not to be perfect ... concentrate on how you communicate ... try imagining a confident version of yourself ... it’s about ‘faking it till you make it’... Focus on your willingness to learn and grow, rather than on being flawless ... remember that your voice is important. Speaking up is not just about practicing English; it’s about sharing unique perspectives ..." (Gabby Wallace, Medium, 2024, and Youtube, 2017) 

I will try to implement it then. Thank you EF, IELTS, SUN Meruya, and all of the things that have been helping me. You are a rock.

Jumat, 21 Februari 2025

Tentang Guru Sejati

Kamis, 20 Februari 2025, di Monas ramai pelantikan serentak kepala daerah oleh Presiden. Sebagai Humas, aku dan teman-teman ke tempat acara, menunggu sampai acara selesai. Di sana juga ketemu teman lama pas masih di persma, reuni kecil-kecilan dengan Muja, Farid, dan Yaqin.

Cerita ini lebih ke pembicaraanku dengan salah satu kolega, seorang bapak dari Jawa Barat. Dia menceritakan kisah hidupnya yang menurutku menarik untuk dicatat. Pembicaraan ini mungkin di luar ilmiah, lebih cenderung merujuk ke ilmu-ilmu dan adat istiadat, serta mind set dunia Selatan dan Timur.

Sebab Bapak ini cenderung orang yang suka bicara, dan jika sudah bicara, dia tak bisa berhenti, bahkan bisa berjam-jam, maka dia luwes bicara apa saja. Tapi aku akan bercerita tentang hal yang menurutku paling menarik perhatianku.

Dia bilang jika setiap orang itu, bagaimana pun karakternya tidak per se dari orang itu sendiri, tapi ada sosok-sosok lain yang ikut padanya. Sosok ini dalam bahasa Jawa disebut “khodam”, istilah lainnya “reinkarnasi” dan “karma”. Beberapa orang tertentu, dia memiliki kelinuwihan tertentu bisa membaca dan melihat ini secara gamblang.

Si (katakanlah) khodam ini serupa roh yang mengikuti karakter dia yang searah dan cocok. Misalnya si khodam ini pendiam, dia akan cari wadah atau orang yang sama juga. Misalnya, khodamku ini adalah seorang pandita yang bisa menerjemahkan situasi dan hal-hal yang terjadi di dunia pada sebuah tulisan. Bakat ini tak dimiliki oleh orang lain yang khodamnya, katakanlah lebih suka berkelahi daripada menulis. Ketika seorang itu menulis, seolah ada energi lain yang menuntun orang ini untuk mengeluarkan kata-kata dan kalimat ini, dan tidak itu. Tipe pandita katanya seperti itu.

Dia menggambarkan juga jika diri manusia ini serupa lapangan luas tak bertepi yang bisa dimasuki oleh makhluk/potensi khodam apa saja. Ketika itu masuk, bisa berpengaruh ke semesta manusia itu sendiri, dan manusia yang sadar punya cara untuk “mengkavling” agar hal-hal baiklah yang bisa masuk ke dalam dirinya. “Pengkavlingan” ini lewat lelaku tirakat macam puasa, zikir, dan aneka hal baik lainnya.

Hal berikutnya yang menurutku menarik, tentang guru sejati. Menurut si Bapak Sunda ini, “guru sejati adalah segala hal yang menunjukkanmu hal-hal penting yang kamu benar-benar butuhkan”. Guru sejati tidak hanya sebatas pada orang, tapi juga kejadian, barang, atau hal-hal yang itu penting untukmu. Dari pengertian ini, aku pun bertanya, berarti guru sejati bisa hadir dalam berbagai macam bentuk? Dan dia menjawab iya.

Pasti kamu pernah kan, ada di suatu moment di mana ucapan seseorang begitu berarti dan mengubah hidupmu kemudian, nah, berarti orang itu salah satu guru sejatimu. Nah, masalahnya, kadang guru sejati ini tak bisa ditangkap karena seseorang begitu tidak peka dengan sekelilingnya. Contoh nih contoh, yang aku alami, dalam seminggu ini, ada tiga orang yang mengingatkanku agar aku cepat-cepat ambil S2, dan itu hal yang sebenarnya aku butuhkan.

Guru sejati ini muncul dari tiga sosok teman, pertama ketika di Jogja, si temanku ini bilang intinya, “Mbak A itu dari dulu ngomong pengen S2, tapi gak jadi-jadi, sudah sejak tahun kapan, di dalam negeri enggak, di luar negeri enggak. Mbok yo kalau ilmunya Bang E, mau S2 gak usah koar-koar, langsung saja, lek koar-koar malah gak jadi.” Aku tiba-tiba langsung jleb, ya, dia mengkritik orang lain, tapi itu sampai juga kritiknya ke aku. Aku sejak lulus S1 pun ingin S2, tapi setelah 7 tahun kemudian gak kewujud.

Peristiwa kedua, saat baca tulisan teman lagi. Jadi dia nulis yang secara gak langsung aku kayak merasa kesindir, dia nulis intinya, kalau gak benar-benar aku perjuangkan, berarti memang itu bukan hal yang sungguh-sungguh kuinginkan. “Bukan sungguh-sungguh kuinginkan dan kubutuhkan.” Aku mungkin ingin S2, tapi malah lambat banget progresnya, sampai diri sendiri ngerasa ngeh, “Lu butuh S2 gak sih, Is?!” Sementara di sisi lain, aku tak mau mempelajari kerumitan sendiri, sehingga tersesat, merasa itu sesuatu yang sulit, dan bukan sebagai sesuatu yang sederhana dan bisa tercapai.

Kejadian ketiga adalah hari ini lewat si Bapak Sunda ini. Aku bilang padanya ingin lanjut S2, si Bapak bilang, “Harus dimulai S2 itu, jangan hanya wacana saja, tiba-tiba waktu berjalan, sudah habis saja. Hidup itu sederhana, kalau bisa ambil ya ambil, kalau enggak, ya sudah.” Ini jleb untuk ketiga kalinya. Jadi selama tujuh tahun ini aku apa saja? Dan aku merasa, tiga ucapan orang berbeda inilah yang benar-benar aku butuhkan sampai akhirnya aku sadar, untuk secepat mungkin merealisasikannya.

Bahkan sampai di tingkat kesadaran, Ya Allah, aku sudah ikhlas, semisal tes IELTS yang kulakukan di hari Sabtu besok nilaiku tidak sesuai kehendakku, tapi sesuai kehendak-Mu, aku tidak apa-apa Ya Allah, itu tandanya, aku memang harus berjuang untuk sekolah di dalam negeri dulu, menyampingkan egoku keluar negeri, dan aku akan mencoba sekuat hati untuk mencobanya tahun ini. Ya, begitulah doaku sekarang. Nilai IELTS-ku yang 6 ini juga bukan perjuangan yang mudah untuk aku sampai sana. Sebab jika aku tak segera, aku tahu S2-ku ini hanya mimpi belaka, sementara umurku sudah merangkak ke-32.

Nah, kira-kira guru sejati seperti itu, bentuk dan macamnya banyak sekali. Bisa lewat orang, kejadian, dan barang. Si Bapak Sunda tadi juga menceritakan tentang makna solat, bertemu Tuhan ketika solat. Bagaimana solat itu wujud kehambaan seseorang, doa paling mustajab menurutnya adalah doa di antara dua sujud, yang meminta kesehatan, rezeki, jodoh yang baik, dlsb, sehingga perlu direnungi dengan dalam. Kemudian, dia juga bertanya padaku, kenapa puasa Senin-Kamis? Kamu harus tahu alasannya, kata dia. Dia menjelaskan, Senin itu hari lahir Nabi Muhammad dan Kamis itu hari di mana rapor amal diserahkan ke Tuhan di waktu Ashar.

Lebih lanjut, kita runut dulu, karena dia orang Sunda, menurut adat di sana, surga manusia itu terjadi ketika dia masih berada di dalam kandungan, karena di sana dia nyaman, tidak melakukan apa-apa, makan tinggal menyesap dari nutrisi ibunya, dan belum mengenal kejahatan dunia. Ketika dia lahir, di situlah fase neraka terjadi. Dunia ini kata dia neraka, ini kenapa ketika bayi lahir, dia menangis. Ketika mati, maka yang mati ini adalah tubuhnya saja, yang kena siksa itu tubuhnya, bukan roh, sementara roh bisa naik ke atas.

Dia juga cerita tentang kelemahan dia, bagaimana laki-laki itu harus berani berkelahi karena kehidupan di luar itu keras. Dia juga mengaku bukan orang yang baik, tapi dia orang yang bisa mengendalikan diri. Di rumah dia, alih-alih pajangannya foto-foto keluarga, tapi malah golok, kalau berkelahi pun berkelahi di rumah dengan orang itu hal yang tak aneh lagi.

Hidup baginya sederhana, jangan terlalu ngoyo, santai saja. Jangan sampai kayak temannya yang mau jabatan ini itu tapi gak jadi dan gak ada yang mempromosikan, akhirnya pecah pembuluh darahnya. Jika menyinggung di rapat saat pimpinan sedang emosi dengan mengatakan, “memangnya dia saja yang bisa bersinar, saya juga,” menurutnya ucapan itu diambil ketika dia emosi. Sebab dia ada urusan personal dengan pejabat lain yang membuatnya merasa tidak dihargai dan diremehkan, terlalu baik tapi selalu disalip orang. Pimpinan kami itu memang berani karena dilahirkan dari latar belakang militer, tapi kurang elok jika emosinya seperti itu diperlihatkan di depan bawahan.

Terlepas dari semua yang kuceritakan ini, aku jadi ingat tulisan Bagus tentang guru juga. Kamu bisa membacanya di link berikut: “TentangGuru” dan “Guru Sebagai Prinsip”.

Sabtu, 15 Februari 2025

Sarasehan Harlah Arena ke-50 Tahun

Usai menggelar diskusi publik, "Pers Mahasiswa Dulu, Kini, dan Nanti", acara selanjutnya dilaksanakan sarasehan alumni. Sarasehan dilaksanakan di Gedung CH UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Sabtu, 15 Februari 2025.

Pada acara sarasehan, PU LPM Arena, Yudhistira, dalam sambutannya menyampaikan, terima kasih untuk bapak-bapak, ibu-ibu, dan mas mbak yang telah hadir. Ada tiga rangkaian di acara Harlah Arena 50 Tahun: diskusi, pameran arsip, dan sarasehan alumni. Semangat acara ini menyatukan alumni, dengan acara ini hubungannya lebih dekat dan tak putus. Dia mewakili panitia mengucapkan selamat datang bagi alumni.

Kemudian sambutan dari Abdul Munim DZ perwakilan dari alumni mengatakan, dirinya kesini ingin menyambung sanad, dari tahun 80an, beberapa angkatan ke atas masih nyambung, tapi yang baru-baru belum. Dia ingin menjaga jangan sampai generasi ini luntur. Dia menyampaikan, kita perlu ada media penuntun dan menjadi rujukan, tapi sekarang media banyak, entah mana yang benar karena hanya sedikit yang bisa dipercaya. "Semakin banyak berita semakin kita tidak tahu," katanya. Apalagi Tempo dan Kompas sudah sulit diakses. Arena sekarang tradisi moralnya harus diperkuat, penyikapan terhadap masalah itu penting. Media yang punya tradisi yang kuat dikembangkan, terlebih di media baru seperti Instagram dan YouTube. Seperti menyiapkan NU online sudah dipersiapkan medianya. Kalau perlu ada Partai Arena. 

Arena itu dulu sebagai ekspresi media yang terhormat. Mahasiswa yang masuk Arena itu udah kelas tersendiri, mahasiswa pilihan. Dulu pas NKK/BKK, hanya Arena gerakan yang bisa hidup, jadi center of excellence. Arena walaupun IAIN, dianggap Perguruan Tinggi kelas dua atau tiga, betapa di-dismiss, tapi Arena tak pasrah begitu saja. Juga sastra di Arena juga menjadi ciri khas, sehingga Arena jadi pede. Tahun 80an, Arena jadi episentrum. "Arena punya sejarah, dan jangan dihilangkan. Alhamdulillah kita semua berperan," ujarnya.

Ternyata kohesivitas Arena masih berjalan. Di sini dirinya jadi perantara. Pihaknya sudah lama tak ikut Arena lagi, ketika bertemu fisik lebih baik. Ketika digital intensif, perlu ada arus balik, sehingga pertemuan fisik menjadi penting. Di Indonesia apalagi masih banyak yang buta IT.

Acara dilanjutkan dengan doa dan pemotongan tumpeng oleh Pak Burhan dan Pak Savic, serta pengurus dan alumni Arena yang lain.

Pembukaan sarasehan oleh Ismahfudi, yang sekaligus bertindak sebagai moderator. Di IAIN Sunan Kalijaga dahulu juga ada pers-pers fakultas yang bertahan sampai sekarang. Di masa itu ada forum komunikasi pers di UIN Suka. Pada tahun 96-97, Arena menerbitkan dua sampai tiga edisi. Lalu ada pergantian pengurus, ada beberapa generasi, seperti generasi Suraji, ada penyerangan setelah Jumatan, Arena digebrek. Yang jadi sasaran saat itu komputer Arena, karena dikasi password gak bisa dibuka, akhirnya komputer dibawa. Arena terus disweeping. Acara kemudian diperkenalkan berbagai nama-nama alumni dengan latar belakangnya.

Pembicara berikutnya oleh Abrori. Dia mempertanyakan, sebelum kesini sudahkah kita bercermin? Apa yang dilihat di cermin? Jika hanya melihat diri sendiri, maka siap-siap cuma berkembang di asbak saja. Arena ini penuh perjuangan. Dulu tetua, ada alergi dengan frasa-frasa tertentu, seperti pergantian nama Arena. Arena seperti kesetiaannya harimau. "Adik-adik jangan gamang masuk Arena karena akhirnya tak terduga," katanya.

Abrori juga tak menyangka akhirnya akan menjadi seperti ini, dia pernah liputan soal nipah di Madura meski liputan tersebut tak pernah terbit. Kalau jadi wartawan, dia menyebutnya seperti WTS (Wartawan Tanpa Suratkabar). Lalu Abrori ikut ke jejak senior lain, menjadi politisi, suatu jalan yang tak disangka. Dengan memilih jadi politisi, lebih baik jadi kepala kucing daripada ekor harimau.

Pesannya untuk generasi Z, yang menurutnya fresh tapi rapuh, tapi dengan menjadi Arena, ini ikhtiar yang harus diikuti dengan rukun-rukun lain, seperti membaca dan menulis. Seperti Anies Baswedan, yang mentatar ini Pak Burhan, alumni Arena.

Pesan berikutnya oleh Savic Ali. Dia menyampaikan, dia masuk Arena tahun 94, habis dibredel. Masuk UIN tahun 93 tapi saat itu gak ada rekruitmen. Ditugaskan liputan minyak di Probolinggo. Terkait Arena ada beberapa pengalaman yang dia tak lupa, saat pemrednya Saiful.

Pertama, dia wawancara Mbah Sahal, bagaimana keberpihakan kiai. Padahal Savic adalah santri Mbah Sahal. Ada perasaan keder, Mbah Sahal juga jawab sedikit-sedikita, hingga mau nanya apa lagi. Dan sampai keluar Arena, tulisan itu tak terbit. Kemudian pindah ke Jakarta ke STF. Liputan baru terbit lagi setelah dirinya di Jakarta. Dia tak menangi Arena terbit. Majalahnya "Kiai Tanpa Umat" langsung dibredel rektorat.

Kedua, ikatan Arena dan KMPD. Ada demo, pendampingan, dan PBL. Ada teman yang bisa melompati pagar sampai 1.5 meter. Bagaimana Arena memberi fondasi dan meramaikan jiwa perlawanan. Ini mempengaruhi garis hidupnya. Jadi ini menjadi semacam kutukan. "Praktis kuliah saya di Arena, di Arena nongkrongnya," ujarnya. Di Arena juga ada saudara Arief Hakim yang memperkenalkan pada buku. Banyak teman yang garis hidupnya dipengaruhi Arena. Misal juga yang diceritakan Pak Munim, buat NU Online, yang bisa bertahan. Tak heran Arena mampu bertahan sampai 50 tahun. Arena juga menghidupkan website sekarang, Arena perlu inovasi. Sekarang menulis untuk dibaca 2.000-5.000 pembaca sudah susah. Sekarang generasi audio-visual. Arena perlu menekuni ini. Jalur multimedia, jalur tulis menulis sekarang berat. "Terima kasih pada senior-senior, yang mengubah garis hidup saya," ungkapnya. 

Pembicara lain, Burhan AS, dia menyatakan zamannya adalah zaman yang tak enak tapi zaman yang asyik. Era 87-97, hampir setahun Reformasi itu rajin mutasi. Arena itu salah satu yang ngangkat IAIN, karena zaman-zaman itu yang dikenal UI, ITB, dll.

Yang menarik di Arena itu prosesnya. Waktu itu ada edaran yang membuat media tak berani melakukan investigasi reporting. Bahkan di Dema dan Sema juga tak ada yang berani. Arena yang mengawali, investigasi ketika untuk mengatakan tidak itu tidak boleh. Generasi selanjutnya kemudian meneruskan. Reformasi Jogja itu dapurnya di Arena.

Arena sejak awal juga menjadi komunitas, penerbitan di Fakultas itu juga berkomunikasi sama Arena. Saat buat KMPD juga solidaritas luar biasa. Sejak awal nama besar Arena karena Arena membangun komunitas, aktivis cum pemikir. Aksi dan refleksi selalu penting. Solidaritas bukan cari musuh, tapi cari teman. Berusaha sambil negosiasi, ini juga jadi mata pelajaran yang penting. Pesan Pak Munim menarik, kebutuhan media di era post-truth perlu digali, perlu bekerja dengan berbagai teman dan kalangan. "Kalau dari Arena lain, apalagi KMPD lain," ungkapnya. KMPD sering dipanggil Kemped ini, Keluarga Mahasiswa Pecah nDahe.

Dulu semangat persma melawan Orde Baru, misal kasus Waduk Kedungombo. Tulisan George Junus Aditjondro yang di Cornell juga bahas itu.

Pembicaraan dilanjutkan oleh Ahadi. Dia menyampaikan, dia meski sebentar di Arena sangat bermakna. Ketika rapat redaksi menulis bisnis keluarga Cendana. Dia bercerita, dari awalnya mahasiswa yang di kamar, mesti ke Jakarta, wawancara dengan Ali Sadikin, Arief Budiman, dan Ariel Heryanto. Pas wawancara pulangnya perlu nyunggi buku, pulang-pulang jadilah Arena edisi yang dibredel. Saat itu juga wawancara keluarga Soeharto, tanya, "bagaimana tentang bisnis Soeharto?" Saat itu modal kendel. Dokumen itu akhirnya ke Ida dan Ninid. 

Tahun 94 awal dirinya masuk Bernas untuk langsung kerja. Di Bernas juga tetap gerakan lagi. Saat itu tak bisa bikin koran di daerah sehingga di Jogja ada Bernas. Tapi ada konflik internal, waktu itu ada nama-nama besar yang nulis di Bernas, seperti Pratikno, Emha Ainun, Andi Mallarangeng, dll. Ada cerita-cerita asyik di Arena. Saat itu Arena membersamai gerakan. Dirinya di IAIN hampir 10 tahun, beruntunglah masuk di Arena. "Sekarang sudah 50 tahun, Alhamdulilah masih bisa bertemu," ujarnya.

Kemudian dilanjutkan oleh Aul, PU Arena periode 2020an. Di Arena katanya asyik dan seru. Ada kawan-kawan yang produktif, diajarin banyak orasi. Perlu berpihak dengan pihak-pihak yang tertindas.

Dilanjutkan dengan Ida dan bersama putranya Elang. Elang mengatakan, ketika masuk Arena tak ada paksaan, masuk karena inisiatif sendiri untuk menjadi idealis yang menggebu-gebu (masa muda). Dari dulu, masuk Arena tak ada rambu-rambu, digembleng dan banyak yang bisa dipelajari. Sementara Ida menyampaikan, dia merasakan bagaimana Arena menjadi kampus utamanya, bukan Tafsir Hadis di Ushuluddin. Dia berharap Elang menemukan hal yang serupa. "Emaknya bangga dengan hidupnya karena salah satunya dengan ber-Arena," ungkapnya. Elang menambahi, pandangan Arena tiap zaman berbeda, semangat ini yang buat Elang berbuat baik kapan pun di mana pun, dan juga jadi versi baik dari dirinya sendiri. 

Kemudian, simulasi wawancara oleh Syifa dan Aconk dari Banyumas (Arena 87-93). Aconk mengatakan, pengalaman paling berkesan ketika ketemu seperti Pak Munim, Pak Imam Aziz, dan Pak Burhan. Pak Munim kemana pun membawa buku, buku wajib yang perlu dibaca, salah satunya UU Agraria. Aconk mempraktikkan apa yang didiskusikan di Arena. Menurutnya anak-anak generasi sekarang lebih baik. Di Arena hubungannya bisa lebih dari saudara. Ini akan melebar ke berbagai hal, sehingga munculnya KMPD. Keprihatinan kadang gak pernah disengaja. Begitu Aconk lulus tahun 94, jadi wartawan. Harapannya, teman-teman Arena menyelesaikan "bacaan", tanpa ada bacaan, gak bisa nulis. Jangan juga sekali pun copy paste, karena sekali dilakukan akan terus-terusan. Jiwa jurnalisme itu penting.

Kemudian, Fakih Ridho menyampaikan, dia tahun 97 masuk. Tahun itu puncak gerakan mahasiswa melawan Orde Baru. Arena jadi kebangaan sendiri. Saat masanya, nerbitin "Petani Menggugat Takdir". Pengalaman di Arena tak bisa dilupakan karena di sana belajar nulis, belajar berinteraksi dengan berbagai lembaga. Dia cerita bagaimana rektor diadili Gareng, Irul, dan dia. Jadi antara rektor dan Arena tak berjarak. Kata Irul, Arena diambil dari Al-Quran...

Kemudian, sarasehan ditutup dengan penampilan musik dari Teater Eska.

Jogja, 15 Februari 2025