Teman-teman baik memberiku ruang sembuh yang lebih cepat dibandingkan resep-resep dokter. Ya, setidaknya itu yang kutangkap dari perjalanan hectic yang kulalui seminggu ini: Jakarta - Jogja - Magelang - Jogja - Solo - Jogja - Jakarta - Semarang - Jakarta. Aku mengalami kelelahan fisik yang lumayan, badanku di satu titik tumbang juga, aku jatuh sakit, pun ketika sampai Jakarta lagi di tanggal 12 Desember 2024, 12.12, ulang tahun Arwani. Tanggalnya cantik ya, sama kayak tanggal lahir Cakson, 10.10. Entahlah, berkomunikasi dengan mereka tiba-tiba serasa recharge semangat. Mereka dua sahabatku ini adalah pendengar yang baik.
Kami semalam video call via WA selama 2 jam 58 menit 35 detik, 3 jam kurang sedikit. Kami mulai pukul 11 an malam hingga hampir 2 pagi. Malam itu Arwani terlihat lebih bahagia dan segar, atau entah perasaanku saja. Dia bercerita hari ini, tanggal cantik ini 12.12 di toko online, dia manfaatkan untuk membeli sempak (celana dalam) baru isi tiga dengan harga belasan ribu. "Awalnya mau beli selusin, terus kupikir buat apa? Tiga ini cukup buat seminggu, iyo toh Cak? Satu sempak buat beberapa hari," katanya sambil tertawa. Malam itu Arwani tengah membantu kerja gunting-gunting stiker di studio temannya di Tegal.Lalu, aku bilang padanya, "Selamat ulang tahun yo Wan, sing kepiro iki?" Dijawab sama dia masih 20-an, korupsi usia beberapa tahun, lalu dituakan oleh Cakson jadi usia 61 tahun. Arwani bercerita lagi jika bulan Desember mengingatkannya dengan berbagai lagu-lagu bertema Desember: "My December" (Linkin Park), "Desember" (Efek Rumah Kaca), dll. Desember membawanya pada refleksi, bukan sekadar refleksi akhir tahun, tapi juga berkaitan dengan refleksi hidupnya sendiri.
Obrolan pun meluncur kemana-mana, kami membicarakan tentang makanan, karena malam itu untuk mengobati badanku yang teng greges, aku beli bakmi godog Jawa. Lalu muncul pertanyaan, apa spesialnya bakmi godog? Karena dari pengalamannya makan kuliner tersebut di Jogja, rasanya aneh, dan dia lebih memilih mi ayam. Aku dan Cakson pun menolak, "Yo bedo jauh nho," ujar Cakson. "Urung petok nggon sing bakmine penak berarti kowe," diriku menambahkan. Aku berpendapat, yang membedakan bakmi godog dengan resep mi yang lain adalah kaldunya, cara masaknya di atas tungku, sampai bumbu, bentuk mi, sampai isiannya.
Cakson pun memberikan alternatif tempat-tempat makan Bakmi Godog di daerah Magelang kota. Lalu, Arwani mengkritik lagi yang kurang di bakmi godog juga terkait cabainya yang gak diulek, tapi langsung dirajang dan dimasukkan. Tapi, di Jakarta sendiri, cabenya diulek, meski di Jogja-Solo mungkin rata-rata dirajang ya.
Obrolan pun beralih ke mi ayam. Cakson agak komplain dengan mi ayam Jogja yang rasanya rata-rata manis, dia belum menemukan tempat penjual mi ayam yang sedap sebagaimana yang dia standarkan. Aku dan Arwani pun menolak, "woh, rung ketemu warung mi ayam enak kowe," komentar kami yang secara ide kurang lebih sama. Lalu aku menyebut tempat makan mi ayam enak, salah satunya di daerah Kotagede di dekat Nathan, sampingnya pas, di situ enak, dan Arwani juga sepakat.
Aku pun bertanya lagi, "Lek soto piye?"
Kami bertiga sepakat jika secara umum soto itu enak, khususnya soto Lamongan untuk lidah Arwani, dan soto bersantan untuk lidah Cakson. Cakson tak begitu suka dengan soto bening khas Jogja, rasanya aneh, "Soto iku yo santenan, ora bening," kritiknya. Aku sendiri sih fine-fine aja, mau bening atau mau santen bisa menikmati semua. Aku menyebut salah satu tempat makan soto yang menurutku enak di daerah Sagan, bukan yang ramai itu ya, tapi arah yang mau ke Sunmor, dekat sama lampu lalu lintas.
"Gimana dengan soto Tumini dekat Teminal Giwangan?" Cakson dan Arwani sama-sama menolak di situ sebagai tempat makan soto enak, menurut mereka biasa saja, terus ramainya juga bikin mereka bilang, wis ora-ora. Karena aku pernah ada pengalaman makan di situ sama teman, ya, menurutku enak-enak aja sih, wkwk. Ya, meski kalau dibandingkan dengan lainnya lagi, masih ada yang lebih enak. Dan menurutku yang enak tetap di Jalan Sagan itu, ini alasannya bukan karena resepnya ya, tapi lebih karena ada kenangan dan tiap kali aku sakit, aku selalu kesana, makan soto itu, dan sakitku sembuh.
Arwani lalu menyebut pengalaman dia dan Cakson makan soto kuning khas Bogor. Rasa soto itu menurut mereka sangat enak, dagingnya banyak, dan harganya murah, dua porsi hanya 50 ribu. Aku pun memberi rekomendasi spot makan enak di Bogor, khususnya di Jalan Suryakencana (Surken). Kapan-kapan emang bertiga perlu nyobain berbagai kuliner di jalan bersejarah itu.
Agenda puncaknya tentu menanyai Arwani dengan tiga pertanyaan. "Padal aku wis nunda-nunda untuk gak sampai sana lho," kata Arwani, wkwk. Ya, pertanyaan ini sebenarnya bertujuan untuk menggali diri Arwani lebih dalam lagi. Aku pun memulai pertanyaan pertama:Isma: Aku ingin memulainya dengan suasana sedih. Kapan terakhir kamu nangis Wan? Atau moment menangis apa yang masih kamu ingat sampai sekarang? Kenapa itu terjadi?
Arwani menjawab, (Dia menjawab dengan sebuah cerita ketika masih di Jogja, dan ini tentang kisah cinta). Ya, ini tentang perempuan, yang dia temui di banyak moment yang penuh dengan ketidaksengajaan. Dari warung kopi, mart terdekat sampai ke jalan pertigaan. Aku tak tahu perasaan apa yang dia rasakan dengan banyak kebetulan itu, tapi aku yakin, dua hati yang saling terpaut bisa jadi akan tetap dipertemukan dalam suatu kondisi yang tidak disengaja. Aku menanyakan pertanyaan sedih ini ke Arwani karena aku ingin tahu, moment apa yang memantik empati dan hatinya, dan moment itu terkait dengan cinta. Malam itu Arwani menangis beneran, dia melepas kacamatanya. Selain tentang perempuan, ketika dia menulis cerpen terakhirnya tentang sebuah langgar, dia juga menangis karena menghayati cerita yang dia tulis.
Cakson: Apa pendapatmu tentang kasus viralnya Gus Miftah dengan penjual es teh? Apakah kamu menganggap Miftah itu sebagai orang yang baik?
Pertanyaan Cakson ini sebenarnya adalah lanjutan dari perdebatan kami di grup Whatsapp, aku dan Cakson menolak Gus Miftah dengan gayanya yang seperti itu (seksis, menggunakan guyonan tubuh, dan menghina yang kadang tak tepat tempat). Tapi di sisi lain, Arwani sudah belajar terkait sosok dan sepak terjang si Miftah di Jogja. Gaya ceramah Miftah juga menurutnya memang realita yang terjadi di kalangan masyarakat kelas bawah, guyonan seperti itu wajar di kelas bawah--pertanyaannya kemudian, apakah kita akan menormalisasinya? Arwani menganggap si Miftah sebagai sosok yang baik atau biasa saja di matanya. Poin yang dia tekankan di sini adalah "politik bansos" yang menjadikan masyarakat atau banyak orang bermental "pengemis". Dia juga tak setuju dengan pola pikir grudukan yang khas dari viralitas. Orang sering diombang-ambingkan dengan berbagai informasi dan mem-fomo-inya begitu saja.
Isma: Bagus Dwi Danto atau Sisir Tanah pernah bilang di liriknya, "Tak ada tempat yang benar-benar merdeka". Kamu sepakat dengan itu gak? Atau kondisi yang seperti apa sih yang menurutmu merdeka itu?
Menurut Arwani (yang kutangkap), merdeka itu selalu menuntut tanggung jawab. Seseorang bisa mencapai suatu kemerdekaan tertentu ketika dia berhasil melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik.
Cakson: Kamu lagi kehilangan pegangan hidup po?
Jujur ini pertanyaan yang berat, wkwk. Pertanyaan ini seperti lanjutan dari pertanyaan Cakson yang pertama. Arwani menjawab, yang kalau kusimpulkan sendiri, dia mencoba bilang tidak. Mungkin dulu iya, tapi tidak. Dia menjalani hidup ini dengan keyakinannya, dan sejauh ini dia masih baik-baik saja. Namun, Cakson melihat berbeda, jawaban Arwani dirasakannya seperti jawaban saat "Cakson Muda". Pertanyaan ini ideologis, karena apa yang diucapkan dan dilakukan seseorang mencerminkan keyakinan terdalam dirinya. Ya, mungkin di lidah kita bisa menolak sesuatu, tapi bahasa tubuh tak bisa membohongi. Itu juga kenapa, berbagai motivasi yang kita dapat dari sumber mana pun bisa menguap begitu saja karena tidak menubuh, yang itu dibentuk dari kebiasaan (habit), yang bisa merubah seseorang bukan perkataan tapi kebiasaan.
Isma: Kalau ada Aladin masa kini yang bisa mewujudkan tiga keinginan, keinginan apa yang ingin kamu minta ke Tuhan?
Arwani menjawab, (1) Diberikan waktu yang luang yang banyak untuk melamun dan melakukan yang dia suka, karena ini baginya suatu bentuk hadiah yang sangat dia butuhkan. (2) Aku lupa, wkwk, tapi sepertinya berkaitan dengan literasi, tentang buku, menulis, dan membaca, terus menjalani hobi yang dia sukai. (3) Arwani ingin punya anak perempuan, sebagai manifestasi dari ego atau semacam inner child dia, sebagai bagian dari dirinya yang lain. Lalu, Cakson sendiri ingin punya anak laki-laki yang bisa dia ajak balapan dan motoran. Di umur segini dia akan membelikan perkakas otomotif ini dan itu. Arwani membantah memaki ide Kahlil Gibran, "anakmu bukan anakmu, biar dia jadi apa yang dia inginkan."
Aku sendiri cukup diplomatis, haha, aku udah di tingkat pasrah mau cowok atau cewek, aku menerima semua, karena gen kelamin ditentukan oleh sang ayah yang memiliki DNA XY sekaligus, sementara perempuan hanya memiliki DNA XX. Kalau nanti anakku cowok, ya, dia bisa dekat denganku. Anak cowok milik ibunya bukan? Kalau dia cewek, biar dia dekat sama bapaknya. Aku ingin melihat sebuah pertunjukkan fatherhood yang menghangatkan hati setiap hari nantinya. Peran ayah ini yang penting, karena banyak ayah yang tak bisa atau belum bisa menjadi sahabat terdekat anaknya, yang bisa diajak apa saja, dari main, gibah, mikir, masak, dll, dlsb.
Arwani menanyakan pertanyaan ini kembali kepadaku, dan saat ini aku menjawab ingin: (1) diberikan hidup yang selalu dekat sama Gusti Allah, (2) diberi hati yang seluas laut dan langit, (3) jadi orang yang kaya raya biar bisa menolong banyak orang. Yang terakhir emang agak mirip sama Nabi Sulaiman yang kaya raya dan dermawan sih, haha. Kalau Cakson sendiri, dia tak punya keinginan apa-apa, kalau pun Aladin ada, dia ingin bertemu dengan kakeknya dan Soekarno, lalu berbincang tentang apa saja dengan santai. Bertanya bagaimana mereka menjalani hidup, pedomannya, dan hal-hal lain.
Cakson: Apa rencanamu ke depan Wan?
Aku sempat
ingin ketawa saat Arwani menjawab pertanyaan ini dengan "aku ingin punya
rumah untuk menyimpan buku-buku dan ruang personal untuk dirinya
sendiri." Pasalnya, ini cita-cita yang sama dengan yang pernah kubagikan
pada Arwani dan Cakson sebuah episode Podcast kami di
Slentang-Slenting. Persoalan rumah ini bagiku memang cukup sentimentil.
Ya, begitulah Arblam. Aku cukup sepakat dengan apa yang dia tulis di blognya: https://arblamstory.blogspot.com
"Dalam beberapa hal kita berdebat, dan sepertinya kita memang tidak banyak saling bersepakat satu sama lain. Beberapa hal mungkin karena ego personal, dan dalam sebagian besar memang kita hidup dengan cara masing-masing. Aku senang dengan pertemanan ini, serasa sebagai anugerah dalam “kesunyianku”, dan kita adalah tiga orang buta yang terus berdebat soal arah mata angin."
Ungkapan Arblam yang sangat-sangat jujur, betapa berbedanya otak dan pandangan kita, debat sana-sini dan sering gak sepakat sama banyak hal. Tapi ya karena beda itu juga kita tumbuh, punya sahabat tak selalu harus sepakat, lebih sering debat, dan karena itu hidup jadi berwarna dan kita masih terus belajar.
Aku ingin menutup tulisan ini dengan quote favoritnya Arwani dari sastrawan besar Mark Twain, “Good friends, good books, and a sleepy conscience: this is the ideal life.” Ya, that's absolutely right.
Aku juga ingin memberikan lagu dari Dee Lestari berjudul "Selamat Ulang Tahun" untuk Arwani. Lagu ini menyentuh dan cocok untuk jiwa-jiwa yang sejatinya melankolis seperti dirinya.
Bagiku Desember adalah refleksi akhir tahun universal, sekalian refleksi personal. And my alone secret story. Wkwkwk
BalasHapusThanks Is, to connecting talk to stay.( Gak jelas kan 😂)
Sure, just stay connect to the real of you and God. Hope you will grow better and better in the next year, Wan :)
HapusAmiin. kamu juga Is.
HapusAamiin-aamiin.
Hapus