Simposium "Kondisi Kerja, Resiliensi Keseharian, dan Solidaritas Kontemporer" di Auditorium Komunikasi FISIP UI, Depok, Selasa (3/12/2024). Sesi I dengan narasumber Vedi R. Hadiz (University of Melbourne), Syarif Arifin (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane/LIPS), dan dimoderatori oleh Diatyka W. P. Yasih (ARC UI):
Vedi R. Hadiz |
2. Mas Iip menyampaikan, LIPS mengorganisir para penulis, ada tiga seri. Totalnya 37 penulis di berbagai sektor (buruh rumahan, IRT, dll), yang gak ada gig ekonomi dan perkebunan. Tempatnya di berbagai tempat, ngomongin perlawanan sehari-hari, soal kesadaran terbentuk, dan bentuknya bermacam-macam, ada yang membuang barang reject ke selokan, gembosi mobil HRD, bolos kerja, dll. Dalam Islam ada istilah iman bisa naik dan turun, tapi bagaimana kesadaran itu terbentuk yang penting. Buku ini digarap empat tahun, seleai pada 2024.
3. Bagaimana kesadaran terbentuk? Dari teman. Bagaimana teman sebaya mempengaruhi, dari teman nongkrong, teman kos, teman kantor, dll. Kedua, dari bagaimana buruh menggunakan waktu luangnya, rata-rata buruh yang nulis ini generasi baru. Menggunakan media sosial untuk melampiaskan kemarahannya, ini menunjukkan mereka hidup di situasi yang baru. Kalau di pabrik sudah pasti kejam, orang berdiri seharian, dipotong gaji, dll, tapi itu tidak semua jadi kemarahan.
4. Menyebut Kurawa sebagai atasan, karena di TV ada cerita Mahabharata. Ada penulis nulis, "Aku Si Malaikat Pencabut Nyawa", yang memilih temannya untuk dipecat. Di on air kebanyakan cerita klenik, makin rajin orang nonton. Tahun 2011, blokade jalan tol Jakarta-Cikampek; ada pula gerebek pabrik dengan tuntutan jadi buruh tetap. Ada juga pemogokan di Batam; juga kisah pemogokan yang melibatkan 1.300 perempuan.
5. Kemarahan itu menemukan artikulasinya dari berbagai macam. Ada cerita soal sekolah malam, isinya diskusi perburuhan. Ada tulisan unik, buruh yang ngorganisir pertemuan rutin, sejak 2006. Awalnya baca Quran, Iqra, 30 menit belajar Iqra, selebihnya belajar perburuhan. Lalu bagaimana mereka menyusun strategi perburuhan.
6. Salah satu isu yang santer tentang upah minimum. Juga status buruh tetap dan tidak. Strategi lain bertemu dengan orang-orang yang memberikan materi.
7. Pertarungan berikutnya, tentang kebijakan negara. Misal belum maksimalnya tenaga kerja fleksibel. Mencari artikulasi lain dari penjahat-penjahat dia. Di pabrik orang dihukum berdiri karena tidak mencapai target diskusi.
8. Bagaimana salah satu guru merekam tawaran kepolisian menerima PHK, hape sebagai media perlawanannya. Dia belajar berserikat, meski keluarga melarang.
9. Dalam keseharian juga ada sesuatu yang memediasi kemarahan.
10. Materi selanjutnya dari Vedi R. Hadiz. Dia menyampaikan, proyek buruh dari pengalaman sehari-hari ini sangat berharga. Dari aspirasi dan pemahaman buruh, selama 30 tahun belajar terkait gerakan buruh, upaya ini adalah lanjutan dari upaya-upaya sebelumnya. Tahun 80an punya konteks sendiri. Sekarang di konteks demokrasi, serikat buruh sudah banyak, bentuk-bentuk industri juga semakin banyak. Profil demografis buruh juga berubah, pengalaman hidup sudah sangat berbeda, misal tak mengalami otoritarianisme, dan tantangannya beda. Tingkat relegiusitas juga tak setinggi sekarang. Leksikon yang beresonansinya juga beda.
11. Bagaimana membangun organisasi yang efektif ini yang penting, bagaimana dia menyebar, sehingga daya tawar tinggi. Tapi apakah hal internal yang bisa meredam militansi secara sengaja, misal fragmentasi dari buruh. Misal kenapa mereka saling bersaing? Mereka juga belajar Pancasila, tapi juga membawa orang untuk patuh pada penguasa.
12. Kita biasa berpikir, semata-mata, masa demokrasi dan otoriter untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Akhir 60an dan awal 70an, rezim domestifikasi buruh, awalnya ditujukan untuk menghilangkan sisa-sisa generasi buruh yang kiri. Itu belum keuntungan sebesarnya, tapi rezim pengendalian buruh. Memang kita berpikir, rezim yang berlaku demi keuntungan buruh, tapi juga untuk kebutuhan politik yang lebih luas, untuk menciptakan populasi masayarakat yang patuh pada neoliberalisme ekonomi yang bergerak dalam sistem demokrasi. Yang dibutuhkan adalah kepatuhan, yang tak hanya dari kekerasan, tapi juga dari ideologinya.
13. Ada pertanyaan: Apakah ini betul-betul kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk menguatkan dan mensejahterakan buruh? Atau hanya alat mobilisasi untuk yang lain. Kepatuhan itu penting, tapi mobilisasi ini juga penting di masa demokrasi. Misal keputusan MK yang menganulir Omnibus Law. Kalau itu terjadi, akan terjadi kesenjangan elite gerakan buruh, sehingga kepercayaan pada pimpinan buruh terganggu ketika ada hal-hal oportunistik yang masuk.
14. Pak Vedi: Ini tanggapan cepat saya, perlu ditempatkan ke ekonomi politik yang positif untuk pengembangan gerakan. Hubungannya dengan politik elite? Juga bagaimana dia terstruktur secara internal.
15. Soal kepatuhan, dengan mempertimbangkan value change yang complex, bukan kepatuhan ke otoritarianisme, tapi juga elite politik dan elite perburuhan, yang tak punya hubungan dengan aliansi? Buruh dijejali dia harus loyal ke negara bangsa juga ditempa hidupnya adalah perjuangan yang individualis yang berdasarkan kerja keras dia. Hal ini membuat buruh di sektor tertentu enggan berserikat karena mereka secara individu berjuang.
16. Irfan (KPSI) : Soal fragmentasi, kadang kemarahan di grass root tak tertranslatekan dengan baik. Ada dialog sosial dengan pengusaha tapi di grass root isinya kemarahan, ada ketidakadilan, ada ketidaksenambungan ini, mereka pecah bikin serikat lagi. Ini root cost dari ketidakpercayaan. Bagaimana memutus rantai tersebut? Juga menyambung nasional dan grass root?
17. Pak Vedi menjawab: Pemimpin mesti accountable 100 persen pada konstitusi tapi sulit jika masa depan tergantung pada elite politik. Harus ada kemampuan grass root memecat kepentingan yang tak mewakili grass root dan hanya mewakili dirinya sendiri saja. Accountability pada grass root. Kemampuan pura-pura bicara pada grass root untuk bahan ke elite.
18. Mas Iip: Ada kontribusi dari fragmentasi, gue harus melawan, tapi serikat problem, jadi bagian pemecahan, tapi itu bagus untuk belajar lebih demokratis, transparan, dll. Ini penting untuk diperhatikan. Nasihat-nasihat dari pabrik banyak misal bersyukur dibandingkan orang yang nganggur, dll. Itu juga datang dari teman sebaya, nanti gimana kalau pabrik collapse. Ini yang membuat ada kreativitas baru, teman-teman ini berserikat dengan media-media baru. Menggunakan pertemuan seperti liwetan dll, alat-alat peredam jadi alat pengorganisasian baru. Mobilisasi anggota buruh memanfaatkan kepatuhan untuk kepentingan pimpinan. Karena tak terjadi demokratisasi internal, mekanisme itu yang tak tersedia. Ada banyak istilah "instruksi", jadi kepatuhan bertambah.
19. Banyak yang mengatakan analisis ekopol itu pesimis, tapi itu bisa mengklarifikasi apa yang harus dilakukan. Penting belajar artikulasi kemarahan, tapi memoderasinya juga penting. Di rezim produksi yang semakin kompleks. (Joke Mas Iip untuk temannya: Dia udah belajar ekopol sebelum lahir, wkwk).
20. Vedi gagal mengartikulasikan dan dia pesimis. Teman-teman buruh menggunakan analisis itu untuk finansialisasi. Buruh banyak bergantung pada uang, di mana perbankan dan non-perbankan menawarkan lebih banyak orang untuk berhutang. Entah itu pinjol atau hutang lain yang membuat dia meninggalkan serikat. Mereka bergantung pada jam kerja, misal susah ngajak orang ke serikat, karena dijebak utang, bergantung pada lembaga keuangan. LIPS sedang mengorganisir buruh menulis. Analisis ekopol, bagaimana diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari dan perlawanan-perlawanan, tak hanya militansi juga ada bentuk kepasrahan, karena kekuatan gak muncul.
21. Ada yang unik dari tulisan buruh ini, ada salah satu buruh rajin ikut pengajian dari Bekasi ke Karawang naik motor. Pernah ikut pengajian jam 1 malam, berangkat jam 8 malam. Jokowi dan Kapolri kadang juga ada. Kata kunci yang selalu diulang, "takdir itu indah", ini yang diartikulasi dalam kehidupan sehari-hari. Padahal dia lagi sakit maag. Uniknya, si buruh ngajak ikut pengajian dan mau ikut, seperti perempuan-perempuan berkerudung. Sistem kontrak ini kejam, kalau leksikon agama itu ada, tapi pas melawan buruh juga punya leksikon sendiri.
Refleksi: Tiga tahun di pemerintahan, rasanya otakku emang sudah terkooptasi dengan logika-logika pemerintahan. Analisis ekopol membuatku bangkit kembali dengan caranya sendiri. Aku seperti kembali ke default-ku yang asli.
*
SESI II: Presentasi Organisasi Perburuhan
Narasumber: (1) Ayu Rikza/Destructive Fishing Watch: Buruh Anak Buah Kapal, (2) Catur Widi/Rasamala: Buruh Tambang, (3) Salma Rizky/Transnational Palm Oil Labour Solidarity: Buruh Perkebunan.
Sesi II |
2. Sebagai perempuan, meneliti ABK yang dominan laki-laki itu lumayan berat. Tantangan ada perbedaan signifikan antara peneliti perempuan dan laki-laki. Sering dapat harrashment, ada strategi, peneliti bisa ikut bekerja sama, hingga terdapat ruang aman. Peneliti perempuan punya kepekaan terhadap reproduksi sosial. Di lapangan minimal 2 minggu.
3. Salma Rizky menjelaskan tentang perlawanan dan solidaritas buruh kebun di kancah perjuangan reproduksi sosial. Kondisi buruh kebun punya ide investigasi dan pola-pola perlawanan. Ada kebun, perumahan, itu ada di ruang yang sama. Perkebunan ini sangat boros, sistem monokultur, satu tanam. Jarak juga diatur, di setiap kotak ada sistem kerja, buruh punya kerja spesifik sendiri, yang memetik buah, yang motong dahan, dan motong dahan. Ada racun-racun kimia yang digunakan tiap hari, oleh buruh perempuan lepas. Ketika lihat ruang ini, misal kebun di Sambas, mereka masih minum dan makan di fasilitas yang sama.
4. Karena ada kedekatan ruang, kita perlu akses ke tempat kerja, semua hal dalam kontrol perusahaan, dan peran negara terasa hampa. Kita juga perlu tahu ada aktor asing RSPO. Mereka menyediakan proses audit dan kadang menjadi jawaban. Di perkebunan ada juga fragmentasi identitas dan tinggal di bedeng-bedeng yang berbeda. Seperti apa serikat buruh di perkebunan sawit? Ini sangat jarang terjadi dan susah. Saking kuat kontrolnya hingga dibubarkan. Kedua, banyak serikat independen, mereka punya sistem yang orangnya kadang itu-itu saja, ada yang puluhan tahun masih jadi pemimpin. Melihat pola perlawanan, ketika bicara masalah kesehatan, ternyata perjuangan upah saja gak cukup kalau harga naik. Juga akses lain seperti rumah sakit, ada pola perlawanan terhadap reproduksi sosial. Bagaimana serikat mendorong sekolah? Banyak masalah sosial, misal lagi masalah air tercemar, mereka cari aliansi ke kawan-kawan setelahnya. Mereka berburu, tapi melakukan investigasi. Jadi meluas permasalahan, narasumber merasa, akses atas pengetahuan, mereka diberi doping lain, misal susu kental manis, lalu minta ganti susu bear brand. Upaya meminta akses, mana BPJS saya?
5. Saya senang memulai dari pertanyaan personal, bisa meluaskan masalah ke hal yang paling privat.
6. Catur menyampaikan, dia ke Morowali November 2022, sampai sana pertama yang dilihat wilayah pertambangan, kalau orang Jawa ke sana, komplain industri 20th lalu, hunian buruh terkonsentrasi yang mayoritas semi-permanen. Di sana harga lebih tinggi, minyak yang harusnya 9 ribu jadi 15 ribu. Lalu sinyal hilang ketika malam. Juga, tiap hari ada bunyi ambulans lalu lalang, untuk buruh kecelakaan. Kalau gak klinik ya ke rumah sakit. Berapa kali kenalan dengan buruh, yang disebut departemennya, di mekanik, di lain-lain. Dalam rekruitmen ternyata terpusat. Kemudian baru ditempatkan ke perusahaan tertentu. Tidak seperti kawasan industri pada umumnya, dia rekruitmen utama. Teman-teman juga bercerita, 2022, ada tetangga teman, lima tahun kerja di SNI, mutasi ke Hosni. Karena satu grup ternyata berlaku umum. Mutasi antar perusahaan di sini terjadi, ada mutasi 6.000 buruh PT Osmi ke CSP. Pemindahan tak hanya satu dua orang tapi juga masal. Dugaan di awal, karena ini membangun, reorganisasi buruh terus dilakukan, caranya dengan mutasi. Misal di smelter, daripada rekruitmen baru, cari yang lama. Mekanik yang tadinya di smelter ke pembangunan.
7. Di MIPP karena hilirisasi, meski tinggi 7-12 juta, ternyata setengahnya ditopang dari upah lembur. Banyak juga yang di bawah UMP, tunjangan perumahan, dan kesehatan. Ketergantungan pada kerja panjang itu jadi prioritas untuk nunjang kebutuhan yang kadang lebih mahal. Buruh seperti komoditas dikontrol dan dipindahkan sesukanya. Ada perkembangan terbaru di fleksibilitas buruh terutama di perusahaan nikel. Buruh TKA BAB di lapangan karena tak ada toilet. Situasi itu tak ada pilihan lain.
8. Pengalaman berdinamika, karena panjangnya kerja, ketemu teman aja itu sulit. Semua menggunakan lembur.
9. Nanda (Tangerang) : Posisi hari ini belum ratifikasi 188, tentang konvensi awak kapal? Ada ratifikasi tentang itu? Juga belum ada pengalaman organisirnya?
10. Ermin (mantan buruk ABK): Punya pengalaman ABK 2023, di ABK ada serikat yang bela. Nyeritain 4 bulan di laut mengharap uang banyak karena cuma dapat 500 ribu, kenal di Facebook. Kontekan WA, kalau serius dijemput, keluarga mengizinkan. Terus menuju Muara Angke, di mess warga, milik calo. Setelah tiga hari pembekalan, bawa alat makan, lalu berangkat ke tengah laut. Awalnya dapat pinjaman 4 juta, cuma dikasi 1,3 juta. Istri nanya, kenapa cuma segini? Tinggal keamanan, mess, asuransi, dll. Setelah di laut, mabuk laut, "Min napa lu? Mabuk laut? Di darat sering mabuk.". Lalu minum air laut sembuh dari mabuk laut. Ditawarkan calo, mancing di laut sehari 30 kg, sehari 270 ribu. Kenyataan, mancing dapat dua ekor. Fasilitas tidur juga tersiksa, tidur di palka, freezer dingin, kerja 12 jam. Tidur siang gak terjamin, ombak nyiram kita, jam 3 dibangunkan kapten, ngerjain pancingan, di saat berat saat menjaring, imannya hampir berapa ton. Ada kejadian, kepatok ular meninggal, ditaruh freezer. Gak mau makan. Gak ada sinyal di tengah laut, punya halusinasi, ombak rata ini air bisa diinjek saya lari. Di dalam kapal 4 ton cumi, 4 milyar, ABK cuma dapat 900 ribu 12 jam kerja. Ada hantu-hantu gak jelas dan lebih galak.
11. Diatyka: Di era sekarang, produksi rumit, fleksibilitas juga naik. Dengan pengalaman di sawit dan ABK, sejauh mana pekerja dengan perusahaan utama. Apakah nahkoda dikerjakan dengan mekanisme yang baik?
12. Sunan: Yang sawit, di basis Kasbi lumayan banyak dari Sumsel sampai Kalbar, ada di beberapa daerah bagus di Sumsel, hak buruh lumayan. Masalah besar di Disnaker, di Sumatera udah banyak serikat, tapi cerita mereka udah melempem karena banyak kongkalikong. Ada yang dari kakek, anak, sampai cucu kerja di perkebunan sawit. Puluhan tahun mereka berputar-putar di situ. Seminimalnya bagaimana serikat bisa buat PKB. Yang di tambang, di migas bukan yang pekerja tetap tapi yang outsourcing.
13. Ada buruh yang menolak mutasi karena kondisinya lebih buruk, infrastruktur juga jelek. Pilihan: mutasi atau resign? Kalau resign gak dapat pesangon. Ketika kolektif mereka punya bargain yang tinggi, sehingga pesangon lebih tinggi.
14. Sawit ada efisiensi, misal rasio 1:10, 10 pekerja ngerjain satu hektar. BHL (Buruh Harian Lepas) kebanyakan perempuan. Selalu ada anak perusahaan yang menggunakan pestisida paling berbahaya.
15. Ada forum berbagi keluh kesah, senang ada pertemuan seperti itu. Ada ABK yang kerja sampai 16 jam, ngejar uang pancing dan uang sirip. Kapten sangat kontrol sekali, berkumpul kerja itu gak produktif. Ada pikiran untuk buat sindikat. Ada yang perlu di-adress juga misal uang transportasi, mark up anggaran konsumsi, dll.
*
SESI III: Presentasi Mahasiswa
Sesi III |
2. Kerja Mulu, Kaya Kagak. Flexploitation.
3. Eksploitasi pekerja lepas desain grafis: beban kerja berlebihan, minim edukasi tentang regulasi dan hak pekerja, upah rendah dan tidak pasti. Saya punya kebebasan menentukan harga tapi kenapa alasannya "untuk mengisi fortofolio".
4. Kesadaran kelas yang paripurna. Ada semangat sama kita semua pekerja dan buruh.
5. Berserikat itu penting bagi pekerja.
6. Di satu sisi ada perlawanan sehari-hari dan proses yang sama akan kepatuhan. Tapi kadang itu spektrum juga. Ada kepatuhan terhadap logika kapital, juga kepatuhan logika aliansi elite, bisnis, dan politik. Bahkan ketika berkumpul juga bisa ditangkap bisnis politik. Merefleksikan terhadap logika kapital, tentang resistensi, baik di ojol, dll. Di konteks individu juga bisa ditanyakan. Kenapa penting bahas kepatuhan, karena ada kesadaran kelas. Ketika semua penelitian mempertanyakan kerja itu siapa, penting melakukan pengamatan konstruksi identitas dalam pekerja. Dalam kepatuhan, yang diulang berkali-kali adalah normalisasi. Dalam identitas dan kesadaran, kita bilang kita pekerja tapi juga ada kotak-kotak. Di pabrik juga kuat, tetap dan tidak tetap. Ini mempengaruhi kelas. Resistensi bisa di dua hal: ide (gak bener) dan membayangkan (kita pekerja ya?). Ide didukung dengan hal-hal material (serikat, asosiasi, dll). Secara inheren ada kesulitan berorganisasi dan berserikat, tetapi organisasi juga berlevel.
7. Tenny: Jam kerja ojol bisa sampai 14 jam, cuma 95 ribu. Ojol kerja lebih lama dari standar perburuhan. Kita bekerja harus konsisten, minimal 8 jam. Kalau enggak, akun akan terganggu. Bekerja lebih lama dengan pendapatan yang lebih sedikit.
8. Bone: Ada gak imajinasi teman freelance, paguyuban dalam grup yang bagi ke grup, dan dikerjakan kolektif. "Serikat buruh perlu peremajaan yang didukung gen Z!" Wkwk.
9. Serdadu: Ada aliansi Dobrak dan KON. Dobrak diinisiasi oleh Serdadu. Berkembang jadi aliansi, dari Cilegon, Rangkas, Serang, dll. Menuntut BPJS di Banten, teman-teman udah nerima. Kemitraan biang kerok dari masalah keojolan.
10. Intelejensia akan jadi motor untuk kesadaran kelas. (Gramsci)
11. Pengalaman komplit dalam bekerja menimbulkan kesadaran penting, kalau tak ada yang mengartikulasikan itu sebagai problem, maka tak akan ada suara bunyi itu. Tapi pengalaman sangat penting. Ini semacam kabut risiko dan eksploitasi dianggap normal. Ada kondisi material, tugas komunitas, asosiasi, serikat, dll, selalu ada overlap dari yang di pabrik dan di luar itu.
ARC UI |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar