Entah kenapa aku takut melihat film ini. Isinya 90% seputar kesedihan dan tangisan. Aku takut perasaanku yang tak terasah ini jadi bangkit, aku takut psikologi Myers Briggs-ku yang INTJ akan berubah jadi ISFJ. Aku tak siap. Namun di tengah ombang-ambing hidup, aku menontonnya juga. Bahkan mungkin tergolong cepat untuk ukuran serial drama Korea yang tak pernah kutamatkan dengan benar. Hari ini aku mendapat kemenangan kecil menamatkan drama Korea 16 episode dalam tiga hari, dengan formasi 3-9-4. Film yang sebenarnya telah lama sekali, saat aku masih SD (hampir 20 tahun sudah). Saat keluargaku dulu tak punya TV, dan satu-satunya kemewahan bisa melihat TV adalah dengan berkunjung ke rumah tetangga. Film itu berjudul "Autumn in My Heart (Endless Love)". Aku tak akan bercerita tentang sinopsis atau jalan ceritanya, karena sudah banyak di Google dan bisa kau baca. Aku hanya ingin menulis kesanku usai menonton film itu.
Aku tahu, aku bukan kakak yang baik untuk adik-adikku. Di film ini aku mencoba belajar banyak bagaimana menjadi kakak yang baik dari Yoon Joon Suh. Aku sadar, aku orang yang suka pindah-pindah dan sering tak konsisten dengan berbagai hal (karier, kerja, kota, tempat menetap, dll), lalu aku belajar bagaimana menjadi pohon dari Yoon Eun Suh. Kata Eun Suh yang kubahasakan ulang: "Jika aku dilahirkan kembali, aku ingin menjadi pohon. Yang mengakar dan tak pindah kemana-mana bersama mereka yang aku cintai dan tak kehilangan siapa-siapa; meski terkena badai dan lainnya." Aku belajar pula dari perkataan Yoon Eun Suh pada Yoon Joon Suh, ketika Shin Ae menuduh Eun Suh mencuri jam: "Aku tak peduli siapapun tak mempercayaiku, yang penting kakak percaya padaku." Validasi paling berharga adalah dia yang paling kita harapkan dalam hidup. Kupikir pula, kapasitas otak linier dengan sikap belagu dan sombong; berbanding terbalik dengan sikap baik, legowo, dan berbakti. Tak masalah tak pintar seperti Shin Ae dan menjadi anak yang tak suka belajar seperti Eun Suh, sikap tetaplah sikap. Manusia tak pernah buta dengan sikap, jangan pura-pura tak tahu dan menganggap orang lain tak melihat.
Juga tentang cinta itu sendiri. Cinta yang sebenarnya memang tak terjelaskan, tapi bukan itu intinya. Cinta bukan soal hubungan darah, tapi lebih ke hubungan chemistry, diadik melibatkan dua orang, atau lebih dalam konteks sosial yang saling peduli, perhatian, dan tanggung jawab. Hubungan cinta bukan segerombolan orang dalam pasar atau sederetan orang dalam bus yang tak berikatan. Cinta datang dari kesetiaan yang hadir dengan tulus, kekuatan untuk berkorban dan tersakiti, keberanian untuk menunjukan kejujuran, serta ikatan perasaan yang tak terbahasakan tersebut.
Terima kasih telah menunjukanku tempat (setting) musim gugur di Korea Selatan yang indah. Aku seperti diajak bersepeda melewati sawah itu, pohon rindang itu, terowongan itu, juga bermain-main di pantai-laut itu. Galeri seni dan lukisan yang memikat, peternakan sapi, ladang ilalang, dermaga kapal, juga empat gelas ajaib itu: Amma, Appa, Joon Suh, Eun Suh. Semua tempat begitu berhubungan denganku sebagai manusia laut dan pecinta seni.
Terima kasih untuk setiap pelajaran berharga terkait keluarga, cinta, sahabat, hidup. Terima kasih telah menunjukan bagaimana bahasa perasaan bisa mewujud dalam suatu serial film. Tak hanya dalam film, tapi juga untuk dua lagu ini: Reason dan Prayer.
Terima kasih. Kamsahamnida.
Semarang, 21 Juli 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar