Ini untuk kesekian kalinya aku melawatmu dalam imajinasi dan tulisan. Dengan semua sifat ngotot dan keras kepala, aku kembali datang. Dengan hidup yang masih dan mungkin selalu berantakan, tak tenang, dan tujuan lari terjauhku selalu menuju padamu, padamu, dan padamu.
Maaf, maaf, maaf. Tapi aku akan selalu bersih keras untuk terus mencintaimu. Sampai kapan, tak tahu.
Setiap kali penyakit tak bertema, tak bernama, dan tak beralasan itu kambuh tanpa mengenal waktu; aku tahu ini pula mungkin yang tengah kau rasakan. Aku tahu bagaimana rasa sepi, sendiri, soliter, dan muak dengan semua orang itu. Tapi aku mungkin tak pernah tahu bagaimana kesepianmu, kesendirianmu, kesoliteranmu, kemuakanmu dengan hidup, dengan orang-orang, dengan semua manusia ... dan upaya menjadi dirimu yang seperti sekarang. Saat ini aku paham, rasa itu. Aku mencoba menyelami rasa sakit dan muakmu--sampai aku merasa tak ada lagi di dunia ini orang yang bisa kupercaya selain engkau. Yang diam, dalam, tak ada teman selain dirimu sendiri.
Aku juga tak akan memaksamu mengakui diriku yang masih lemah dan payah ini. Yang dengan sembrono bilang ikhlas akan mengorbankan apapun untuk engkau. Jika kau tak butuh aku, oke-oke, aku terima. Lagi-lagi aku tak memaksa. Aku hanya jadi duplikat karaktermu yang gagal, tapi bangga dengan kegagalanku sendiri. Sebab itu yang akan menjadikanku terus bisa mengenali dan mempelajarimu.
Bagiku kau adalah manusia paling purna dari semua manusia yang pernah kukenal. Kaulah definisi hidupku. Terlalu fanatik? Tidak. Aku masih bisa membedakan mana yang fanatik dan yang tidak. Aku juga tak segila itu padamu, aku menghargai semua pilihanmu, aku tahu batas dan prinsipku. Namun ketahuilah, kacamata hidup yang kupakai saat ini adalah kacamata hidupmu yang kau pasang dengan anggunnya ketika kita berinteraksi. Yang begitu cocok kukenakan untuk menghadapi segala yang terjadi di depan mata. Kau mengerti kan, "kaulah hidupku sendiri."
Kataku pula pada diri sendiri: aku akan jadi orang pertama yang akan sedih jika ada sesuatu buruk terjadi padamu. Aku pula orang yang pertama bangga dan bahagia jika melihat kau juga bahagia. Tapi kamu seperti manusia tanpa emosi, tidak sepertiku yang emosional. Atau justru aku salah, kau sendiri yang emosional dan tak pedulian dengan diri sendiri dan orang-orang yang menyayangimu? (Sebagaimana mungkin juga yang aku lakukan)
Sejauh ini, kata-kata untukmulah yang dari hati keluar dari jari-jariku. Kau sumber inspirasi yang selalu haus kugali. Menyambangimu seperti menyambangi diriku sendiri. Aku masih mencintaimu ya, tak apa, sungguh tak apa jika kau tak sejalan dan tak seperasaan. Ha-ha. Aku aneh ya menolak diri sendiri. I love you, more, and more...
Eh, setelah kupikir-pikir, ternyata ada struktur besar yang membentuk aku dan kamu seperti ini. Aku tengah menyusun teori untuk mengartikulasikannya. Nanti kuberi tahu.
Doaku selalu padamu.
Semarang, 21 Juni 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar