Sebuah malam yang sunyi pada sebuah desa kecil di Amartya. Bintang-bintang ditemani bulan berbentuk C memberi terang sebuah lapangan luas rerumputan. Jika siang hari, lapangan ini berwarna hijau, ketika malam berubah kelabu. Kiri dan kanan lapangan ini ditumbuhi pohon-pohon mangga yang teduh, yang di kaki-kakinya tumbuh bunga-bunga pukul 9 berwarna ungu, putih, kuning, dan merah muda. Jika nakalku kumat, aku akan dengan senang hati memoteknya beberapa dan diam-diam akan kutaruh di jendela kamarmu setiap tanggal 14 saat siang.
Sambil menunggumu, aku duduk di rerumputan. Lalu terbangun dengan suara lonceng sepeda onthel milik ayahmu yang telah kau hiasi dengan keranjang berisi roti-roti kesukaanku. Malam ini kita akan berangkat ke pasar malam.
Sepeda itu kau parkirkan sebentar. Kau menemaniku duduk. Kita saling berhadapan memandang sambil mendengar orkestra jangkrik dan gemerlap kunang-kunang. Kau tersenyum, aku tersenyum. Kau meraih tangan kananku dan mengajakku berdiri. Kita bersama naik sepeda. Kamu di depan dan aku menggonceng di belakang. Tanganku kulingkarkan di perutmu yang kurus, dan kepalaku kusandarkan di punggungmu yang lurus. Lalu kudengar kau sedikit tertawa dan berkikik.
Lebih erat, katamu. Aku hanya menurut.
Di sepanjang jalan kita asyik bercakap persoalan-persoalan yang tidak penting. Seperti merk buku tulis ketika kita masih SD, anak kucing tetangga yang baru saja melahirkan, potongan rambut kakek yang asimetris, panenan padi, hingga beranjak ke hal-hal yang sedikit penting. Kita mengulangi tentang mimpi masing-masing. Keinginanku pergi ke New York memakai mantel biru laut, keinginanmu memainkan gitar di tepi danau kecil saat musim semi Freiburg.
Mimpi-mimpi kita terlalu kolonial, ujarmu.
Bukankah imaji itu menarik?
Ya, untuk sementara.
Dalam hati, ketika denganmu aku tak butuh mimpi-mimpi lagi. Tapi itu tak mungkin kuucap karena kutakut kata-kata itu akan kehilangan maknanya.
Kayuhanmu mulai melambat, roda kurasakan terseret dengan kasar. Dan ban sepeda bocor.
Tenang, ini bukan produk kesialan, ucapmu sambil mengelus-elus setang sepeda; dan tanganmu mengelus-elus rambutku yang berantakan diterpa angin sejak dari tadi.
Tak ada jalan lain, kita akan berjalan hingga pasar malam.
Siap.
Dan tangan kirimu dan tangan kananku saling menggenggam. Tangan kita berayun-ayun di udara. Kita bercerita tentang hal-hal tak penting lagi. Kita juga memplesetkan pepatah-pepatah dan mitos-mitos. Semisal bagaimana jika kisah Bawang Merah dan Bawang Putih itu diganti menjadi Bawang Bombay dan Selada. Kita mereka-reka kisah yang mungkin muncul, dan di akhir dongeng kita selalu tertawa bersama saking lucunya akhir cerita yang kita buat.
Akhirnya kita sampai di pasar malam. Sepeda kau letakkan di sudut bawah tiang reklame. Kita menuju pusat keramaian dan menyaksikan hiburan-hiburan lokal.
Kau mau main apa?
Kora-kora.
Kau tak takut perutmu sakit?
Asal kau menjagaku.
Lalu kau tersenyum manja. Kau tarik tanganku naik di tempat duduk paling belakang, posisi gravitasi paling menantang. Hanya kita berdua di sana. Lalu mesin mengayun. Semakin cepat, semakin cepat, semakin cepat. Aku yang tak pandai berteriak lalu berteriak dengan sangat keras. Tapi kau tak bersuara, kau terlihat sangat ketakutan. Tanganmu kupegang dan sangat dingin. Lalu aku tak bisa mengkondisikan diriku, aku refleks memelukmu erat, sangat erat dan tidak berteriak. Aku melihatmu memejamkan mata dan kulakukan hal serupa. Tiba-tiba rasanya diriku masuk ke dalam sebuah putaran cahaya. Gravitasi semakin besar mengguncang perutku, mengguncangmu. Aku harus kembali ke kenyataan. Kuharap kau belum mati karena permainan ini.
Aku masih memelukmu, tapi kau begitu berubah. Kau tertawa terkekeh saat kubuka mata. Aku menangis tiba-tiba: dasar! Kamu jahat buat aku khawatir!
Kamu lalu berteriak. Kita sama-sama berteriak. Hingga bandul itu berhenti. Kita turun dan memuntahkan isi perut. Lemas. Kita saling menertawakan diri sendiri.
Kau tak kapok?
Tidak.
Mau main lagi?
Permainan yang lain.
Komidi putar?
Boleh.
Tunggu di sini ya, aku ambil roti di keranjang sepeda dulu. Biar kita kuat lagi.
Ya.
Dua menit kemudian kau datang membawa keranjang roti itu. Kau mengajakku duduk di tepi keramaian dan kita makan bersama. Saling menyuapi.
Aku menatap matamu. Aku ingin membaca matamu lebih dalam. Aku ingin bercerita tentang masa lalu dan masa depan. Juga ingin kukatakan, betapa bahagianya kekonyolan malam ini bersamamu. Aku pasar dan engkau malam. Kita malam ini menjadi pasar malam.
Komidi putar masih bergerak. Tubuhmu menanti. Wajahmu mendekat ke wajahku: nanti di atas kita ciuman ya, bisikmu nakal. Aku pura-pura tak mendengar, karena detik itu kembang api dalam jiwaku tengah kau nyalakan. Kita pun naik, dalam kurungan yang tertutup. Penjara yang rasanya ingin aku diami seumur hidup.
Di dalam kurungan itu, tanganmu mendekap pundakku. Kusenderkan kepalaku di pundakmu dan semua beban hidup rasanya pergi. Ketika kurungan menuju puncak tertinggi, tanganku semakin gemetaran. Tubuhmu kau rekahkan, dan kedua tanganmu membentuk cincin di leherku. Kita begitu dekat, dan matamu mendekat, bibirmu mendekat. Kita bertemu di bibir yang satu, di puncak yang satu. Kembang api dalam tubuhku telah meledak.
Yogyakarta, 21 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar