Aku baca kembali tatapan matamu saat
pertama kau menyapaku di perpustakaan dulu. Di lain hari kita sering berteorema
membahas tentang sejarah musim, anjing yang berfilsafat, atau manusia yang butuh
difalsifikasi.
Malam Minggu di bawah gerimis yang
anggun, kita berjalan berdua beriringan saling tak bicara. Di pinggir jalan
kenangan. Kita hanya percaya, rasa dan kata bisa digetarkan lewat diam.
Saat aku ingin menyeberang, tanganmu
menyentuh pundakku. Kurasakan hangat kebahagiaan yang menjalar dalam tubuhku
yang pendiam. Larut bersama pipiku yang gugup.
Deretan bangunan dan keletar kendaraan
lalu sinis melihat kita yang romantis. Biarlah, KTP mereka belum cukup dewasa
sehingga tak mengerti rasanya jatuh cinta.
Masalah:
Tiba di kamar aku menulis: aku mengasmaraimu.
Pembahasan:
Berharap adalah satu-satunya racun
mematikan penyebab penderitaan. Aku berharap asmara garpuku bisa bertaut dengan
sendokmu dalam sebuah piring makan. Aku benci mencari aman. Kini saatnya
kuungkapkan rasa ini padamu.
Setelah
kau tahu………
Kau hanya membalasnya dengan biasa-biasa
saja. Kau hanya bilang: ada yang salah
dengan pemahaman kita mengenai relasi sosial.
Aku gemetaran. Aku kaku.
Kamu tahu tapi kamu tak mengerti!
Dan aku pergi
Kesimpulan:
Aku memang tolol karena telah
mengasmaraimu yang biasa saja.
Daftar
pustaka:
Hatiku. Hatimu. Riwayatku. Riwayatmu.
Medula Oblongata, 2015
Opo too Is, cah kok galau wae.
BalasHapusMales galau, mengganggu kerja kerakyatan, haha. Puisi lama iki.
Hapus