Penulis tidak akan tinggal di menara emas, ia akan melebur dengan realitas yang brutal. Budi Darma mengatakan bahwa pengarang yang baik harus mampu mengendapkan dan merenungkan realitas di sekitar hidupnya. Ia butuh pengendapan panjang. Sastra yang hanya menyalin, ia tak bertahan lama. Sastra jenis ini lahir secara menggebu-gebu kemudian tenggelam dan dilupakan.
Melalui
diskursus anggota ARENA pada Minggu,
26 April 2015 mengenai sastra dan realitas, didiskusikan bahwa sastra adalah
cerminan dari realitas itu sendiri. Menurut idealisme Marx sendiri realitaslah
yang membentuk kesadaran, dalam artian keadaanlah yang membuat sadar. Bedanya,
realitas dalam sastra menggunakan rasa. Ia tak sekedar foto kopi, tak hanya
kesadaran utopia.
Realitas merupakan
dasar dari bentuk ekspresi sastra. Di sana ada imajinasi, agar dalam
perenungannya digunakanlah simbol-simbol. Realitas juga hanya sekali terjadi.
Ada proses rekontruksi, tak bisa disamakan yang sesungguhnya dan dengan yang
sastrawan gambarkan. Misalkan anologi bagaimana seorang koki membuat sup. Bahan
dasar membuat sup jika diibaratkan adalah realitas, koki butuh kemapuan yang
mumpuni untuk membuat bahan dasar itu menjadi enak dimasak. Jika bahan dasar
membuat sup dimasukkan secara membabi buat ke panci semua, ia akan chaos pun dalam bersastra.
Realitas sendiri
begitu luas. Karena pelaksanaan malam sastra V ini jatuh pada bulan Mei dan di
bulan ini ada dua hari besar: Pertama, Hari Buruh Internasional 1 Mei. Kedua,
Hari Pendidikan Nasional 2 Mei. Realitas kita batasi temanya mengenai buruh dan
pendidikan.
Berbicara buruh seperti
yang telah ARENA diskusikan bersama pada
Selasa, 28 April 2015 bersama Sabiq Ghidafian Hafidz. Waktu itu ada
pendeskripsian: apa sih yang disebut buruh? Apakah petani Indonesia yang
mempunyai alat produksi sendiri bisa disebut buruh? Melihat ini tentu berbeda
realitasnya. Jika petani konfliknya lebih banyak ke lahan, sedangkan buruh
lebih kepada hak dia dan majikan.
Ditarik ke
realitas yang lebih panjang yakni tentang sejarah mayday sendiri. Bermula pada 1 Mei 1886 di Amerika sekitar 400 ribu
buruh melakukan demo besar-besaran menuntut pengurangan jam kerja menjadi
delapan jam. Demo ini berlangsung selama empat hari dan banyak korban yang
dijadikan martir. Dari situasi itu kita tarik ke Indonesia, bagaimana
kontekstualisasinya?
Kita digiring
membaca itu lewat kacamata ‘basis’ dan ‘struktur’ Marx. Basis buruh menekankan
pada produksinya ia terdiri dari modal (kapital) dan pekerja (proletar). Dua
basis ini menghasilkan produk (sebagai alat) yang memilki nilai yang sifatnya
fungsional, simbolik, dan imajiner. Dari basis menuju ke suprastruktur, di sana
lahir hukum, pendidikan, seni, dan lain-lainnya. Dari sana bisa dilihat
kepemerintahan suatu negara lewat hasil produksinya.
Penindasan real
yang terjadi pada buruh Indonesia bisa kita lihat salah satunya lewat film The New Rules of The World. Malam itu ARENA nonton bareng-bareng pakai satu komputer,
tiga leptop dengan lampu dimatikan
(semoga kenangan ini terus teringat). Di film itu kita melihat bagaimana
mirisnya kehidupan buruh. Di film itu juga disinggung tentang jurnalis dan
beritanya.
Tema spesifik
berikutnya adalah tentang pendidikan. Tema laten yang mungkin akan terus
didialektikakan hingga pohon masih terus berakar. Pendidikan telah ARENA diskusikan secara seru pada Rabu,
29 April 2015 di sekret kita tercinta bersama Januardi Husain (Juju).
Pembacaan
tentang pendidikan dimulai dari pembacaan terhadap kondisi pendidikan di
Indonesia. Kita sekarang mengupasnya melalui kacamata Althusserian. Lewat ideology state apparatus (ISA)
pendidikan berada di aparatus yang sifatnya ideologi. Produk lulusan pendidikan
Indonesia saat itu dibahas ia melanggengkan tirani dan melanjutkan sistem yang
telah ada. Menurut Althusser, kita dididik untuk reproduksi kondisi produksi.
Paulo Freire
juga merumuskan tentang epistemologi mengajar. Masalah besar pendidikan menurut
Freire adalah pendidikan gaya bank. Di mana peserta didik tak berangkat dari realitas nyatanya. Guru dalam sistem
ini menjadi sosok yang superior, materi semuanya dari guru. Pendidikan ideal,
ia berbasis masalah. Siswa harus memodelkan sendiri pendidikannya.
Tak usah
jauh-jauh, kita tarik saja ke kurikulum yang dipelajari di ARENA. Samakah
dengan pendidikan model bank? Bagaimana teman-teman magang disodori materi yang
ke-ARENA-an dan bisakah teman-teman magang (atau pengurus bahkan) membentuk
pola pikir mereka sendiri? Ini tentu menjadi renungan bersama.
Hal yang sulit
adalah melawan kewajaran. Sebagaimana yang dicontohkan Opik pada diskusi itu:
adakah orang yang bercita-cita menjadi bodoh dan ia dengan penuh usaha
mewujudkan cita-citanya itu? Tanpa disadari kita pun terjebak ideologi yang
sifatnya interpelatif dan mematerikan idea. Ya, pada akhirnya, Akarnya adalah
tahu akan posisi kita dengan begitu kita bisa membaca yang di luar.
Malam sastra ini
sebenarnya sebagai salah satu wujud bentuk kesadaran kritis menjawab pertanyaan
Faksi yang berat: apakah malam sastra ini hanya sekedar wacana yang cuma dipresentasikan.
Beramai-ramai hanya dalam pikiran setelah itu selesai? Ya, seperti yang dikatakan
Jamal: “Bersastra adalah berkarya.
Berkarya adalah bekerja!”
Konsep
Buat party dekat kali, juga upaya merayakan bangunan yang mati agar dia
hidup lagi. Kita melakukan pembacaan terhadap realitas buruh dan pendidikan
saat ini, dari sana kita merenungkan secara dalam, kita analisis dengan
teori-teori sosial yang kita terima. Dari perenungan itu bisa dihasilkan karya
untuk dipresentasikan. Bentuknya bisa puisi, dongeng, stand up comedy, monolog, drama, musik, tari, dan lain-lain. Kalau
mentok tidak bisa membuat karya ciptaan sendiri, bisa mengambil dari referensi
lain semisal buku/internet dengan dibacakan dengan jelas penciptanya.
Tempat
Laboratorium Biologi (utara Student Center, pinggir Kali Gajah Wong)
UIN Sunan Kalijaga.
Waktu
Minggu, 3 Mei 2015. Pukul 7 pm
s.d. game over.
MC
Olie
Rundown & Pengisi
13.00 Bersih-bersih, dekor
tempat, siap-siap.
19.00 Pembukaan
19.15 Pembacaan Al Quran (Faksi)
19.30 Sambutan (Jamal)
19.45 Arena 2014 Choir (Ida dkk)
20.00 Drama I (Kurnia, Agus,
Rouf, Ifa, Kartika)
20.10 Pantun I (Dewi, Laila,
Fatih)
20.20 Dongeng I (Zidni, Lisa)
20.30 Monolog (Lugas)
20.15 Puisi I (Ilmi, Rohim)
20.30 Musik Dangdutan (Anis)
20.45 Tari (Agus dkk—Uniq dkk)
21.00 Dongeng II (Isma, Rifki)
21.30 Puisi II (Masodi, Najib,
Kimbo)
21.45 Pantun Berbalas (Iim, Fai,
Nisa)
22.00 Stand up comedy (Muja, Agus)
22.15 Drama II (Amri, Ekmil,
Muti)
22.30 Musik II (Sabiq, Juju, Bayu,
Rimba)
(IS PSDM)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar