Sekitar jam delapan pagi Mbak Arik (perawat eyang sang pemilik kos) memanggilku dari pintu. Aku yang tengah asyik membaca bukunya Garth Stein keluar. Mbak Arik memintaku untuk menemani eyang yang sedang sakit. Dia sendirian, sedang Mbak Arik sendiri mau pergi ke pasar untuk belanja dengan Arga dan suaminya. Ditambah satu-satunya anak kos yang masih tersisa hanya aku. Lainnya pada pulang kampung, liburan semester. Aku pun mengangguk.
Nama eyang adalah Bu Supeno, tapi aku tak yakin ini nama aslinya, mungkin nama sauaminya. Ia berasal dari Madiun, Jatim. Umurnya sekarang 74 tahun. Rambutnya putih, kulitnya berkerut, tinggi, dan bicaranya sangat halus. Suaminya meninggal ketika anak keempatnya masih kecil. Single parent yang luar biasa, mewisudakan anak-anaknya hingga mencapai sukses.
Sisi Rumah Eyang di Jl. Kusbini Pengok |
Aku masuk ke dalam kamar eyang yang kelihatan klasik di mataku. Kamar itu bercat putih dengan perabotan-perabotan tua zaman dahulu. Ada lemari tua berjajar dengan baju-baju yang rapi digantung terlihat dari luar. Lalu sejenis meja hias dengan kaca besar dan di samping tempat tidur eyang ada meja lagi berisi buku-buku kesehatan, keislaman, dan alat-alat tulis. Di sudut dekat jendela ada TV 14 inch. Dan eyang berbaring lemah di spring bed warna putih dengan selimut dua lapis. Aku duduk di sebelahnya. Pandanganku jatuh ke foto-foto di dinding sekitar spring bed eyang. Ada foto almarhum suaminya, eyang ketika muda, dan empat foto anak-anaknya.
Aku menyapa eyang... dalam hati kecilku aku kikuk tiap kali dekat dengan eyang. Mungkin karena sifatku yang tak banyak bicara. Hatiku sebenarnya nangis karena di dekat eyang aku tak bisa membuatnya tertawa atau menceritakan sesuatu untuknya seperti halnya Mbak Susi (mbak kosku yang ceria, mudah akrab, dan banyak bicara tapi dia udah menikah dan pindah kos ikut suaminya). Eyang menyuruhku bercerita tapi aku bingung mau cerita apa. "Cerita-cerita mbak, tentang SD, SMP, SMA, atau kuliah..." begitu kata eyang. Aku hanya tersenyum pahit karena aku sebenarnya tipe orang yang sulit bercerita secara oral. Ada perasaan tidak nyaman di antara kami. Entah. Aku menceritakan tentang hal-hal klise, tentang sifatku. Cerita tentang temanku masa SMP dan SMA tak lebih dari sepuluh kata. Saat kami sama-sama diam, aku sedih, aku sedih.
Eyang memintaku juga untuk mengukur tensi darahnya dengan tensimeter digital gitu. Dilekatkan ditangan dan dipencet tombolnya dan keluar hasilnya. Alat sekarang emang canggih-canggih.
Lalu yang bercerita lagi-lagi eyang lagi. Dia bertanya padaku apakah aku sudah kenal dengan adik-adik kos yang baru? Aku menjawab: beberapa aja eyang... beberapa udah pernah saling ngobrol. tapi beberapa cuma sekedar senyum kalau lewat.
Di lingkungan kosku ada empat anak baru, semuanya mahasiswa AA YKPN. Jujur, aku selama hampir satu semester ini tak begitu dekat dengan mereka. Meski tetangga seperti ada gap yang jauh dan serasa tak saling kenal. Ini konyol sekali. Kita tak pernah saling bermain ke kamar kos satu sama lain. Tak saling berbicara, saling individualis seperti kompleks perumahan yang saling tak kenal antar tembok. Kita seperti hidup sendiri-sendiri. Bahkan dengan senior kos yang lebih lama dari aku, dua orang (anak YKPN juga) pun demikian.
Eyang cerita kalau anak kos sekarang dan dulu sangat beda. Eyang tak menyalahkan anak-anak itu, ia melihat zaman sekarang itu berbeda dengan yang dulu. Dulu itu rukun, saling kenal, sering masak, bersihin kamar mandi sendiri. Kalau eyang sakit sering nemenin eyang di kamar, tidur bareng di ruang eyang, nonton TV bareng, malah kalau mau nganterin eyang pergi saling berlomba. Anak sekarang acuh-acuh (nggak nyapa kalau nggak disapa), lebih kotor (bersihin sesuatu mesthi nunggu pembantu), dan individualis. Sungguh, humanismeku dan eksistensialismeku benar-benar dihakimi detik itu dengan cerita-cerita eyang. Aku benar-benar takut apa yang aku rasakan tidak hanya terjadi di lingkungan kosku, tapi juga di kos-kos yang lain. Afin di KEM pernah cerita, dia mau nyapa mbak kosnya aja ragu dan dia pernah ngasi jajan gitu dari ibu kos ke mbak kos, tapi ditolak, Afin bilang rasanya sakit.
Apa yang membuat kita menjadi seperti itu? Semakin autis sendiri, semakin egois, semakin kronis. Apa karena dunia gadget itu?! Wadehel. Di kuliah pun kadang gitu, di organisasi kadang juga gitu! Payah.
Balik tentang eyang, ia beberapa kali menelepon sesorang. Lalu teman eyang yang sesama lansia bernama Bu Edy (tetangga sebelah eyang) berumur 75 tahun berkunjung ke kamar eyang. Dari logat bicaranya, aku kenal sekali dia pasti orang Jawa Barat. Dan benar, pas kutanya darimana? Dia orang Sunda, asal Serang, Banten. Mereka saling bercengkerema mengenai masa tua mereka yang timik-timik. Aku menjadi pendengar setia. Eyang Edy merasa bingung kegiatan apa yang cocok dengan mereka. Mau baca buku sudah lelah, mau nulis gemeteran dan tak jelas. Tua, beruban, sakit-sakitan. Makan ini tak boleh, rasa asem asin manis dibatasi dokter. Maka puas-puaskanlah polah dan icip sebanyak mungkin rasa sebelum kamu tua.
Apalagi aku tak bisa membayangkan jika nanti aku seperti eyang. Di hari tuanya sendirian ditemani pembantu/perawat, sedang anak-anak dengan kehidupan mereka sendiri teresebar di kota-kota besar dan hanya sebulan/2 bulan sekali menjenguk sehari. Kesepian, sendirian. Ah, imajinasiku terlalu jauh ya. Aku jadi teringat novel terjemahan Belanda zaman SMA dulu, aku lupa judulnya apa, kalau tak salah "Wisma Manula". Tentang sebuah panti jompo, orang-orang tua disana kasian sekali karena sebagian besar anak-anaknya tak mau mengurusi mereka lagi. Aku kadang marah sama anak-anak eyang, kenapa tak ada yang menemani satupun eyang disini? Jadi ingat orang tua di rumah. Seperti apa nanti aku akan memperlakukan ibuk dan bapak di masa tuanya?
Is-2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar