11 November 2014
Dear you….
Hari Selasa kemarin cukup padat.
Pertama dari kelas Elektronika Dasar. Yang menarik itu kisah tentang seorang
ilmuwan bernama Geoge Boole. Jadi (berdasarkan cerita singkat dari bapak dosen Nur
Untoro) dalam tugas akhirnya Boole membuat suatu rumus aljabar yang terdiri
hanya dua angka yaitu nol dan satu. Tapi oleh pembimbingnya disepelekan, hingga
membuat si Boole bunuh diri. Akhirnya apa yang diteliti Boole itu menjadi dasar
aljabar Boolean dalam matematika, fisika, dan ilmu komputer. Dari logikanya,
satu itu berarti BENAR, dan nol itu SALAH.
Banyak hal menumpuk juga dari ngerjain laporan
praktikum tentang penyearah gelombang (20 lembar dan ini hasil paling memuaskan
dari yang pernah kubuat di semester III), trus praktikum tentang bab pencacah
yang ngrangkai kabelnya ribet banget. Ngerjain ulang review film Fetih
1453 karena kemarin saking nggak sempatnya aku ngopas review itu dari
internet. Sebagai beban moral, aku membuatnya lagi. Sialnya pas mau ngeprint
lampu mati dan kelas sudah dimulai. Piye jal?
Masuk kelas SKI (sejarah kebudayaan Islam).
Isinya presentasi-diskusi, tentang penjajahan bangsa Eropa dan
kaitannya dengan umat Islam gitu. Ada yang tanya: Apa yang membuat umat muslim
itu maju? Apa yang membuatnya terpuruk? Aku memberi tanggapan: Menurutku
simpel. Cuma satu faktor, "ilmu pengetahuan". Umat Islam maju karena
mengembangkan "ilmu pengetahuan" dan umat Islam mundur karena
meninggalkan "ilmu pengetahuan". Saat meninggalkan itu, umat (maaf)
menjadi bodoh dan terus manut. Sedangkan orang yang terus manut, ia akan selalu
dituntut. Itu larinya ke imperialisme individu.
Habis SKI, masih ada satu kelas lagi, filsafat
ilmu sama pak Mukalam (yang wajahnya ala Orang Tionghoa dan dia mengingatkanku
dengan tokoh bernama Akiong). Di sisi lain, tanggal ini aku ngisi diskusi untuk
anak baru di Arena tentang Teknik Penulisan Berita. Ya, aku harus milih. Aku
milih yang kedua dan bolos filsafat.
Ini untuk pertama kalinya jadi fasilitator di
Arena. Ya, semacam pemateri yang memfasilitasi. Persiapannya udah dari dua
minggu yang lalu juga sebenarnya. Begini kisahnya: awalnya, aku agak grogi ya.
Aku membagi materi jadi empat poin besar: pengertian, macam berita, komposisi
berita, etika menulis berita. Alhamdulillah, anak-anaknya pada aktif, haha.
Yang paling berkesan itu mungkin pas aku nyuruh semua yang ada di
Arena untuk membuat satu judul, terserah. Yang menang hadiahnya tepuk tangan.
Aku senang karena mereka antusias, ide-idenya menarik, dan ada juga yang bikin
ketawa.
Dan…. (jeng-jeng-jeng) pemenang dari lomba buat judul adalah Mas Jamal!
Mas PU. Dia buat judul bunyinya: Menanti
Hujan Subsidi. Ia menang setelah mendapatkan 13 suara dari 21 orang yang
hadir sore itu. *Aplause* Jujur sih, judulnya bikin merinding gimana gitu,
haha. Kalau kata anak baru, ada yang bilang menarik, membuat saya berharap,
sampai so sweet, haha.
Aku juga dipaksa buat judul. Nah, judul ini itu
aku salin dari tulisan di KOMPAS
tanggal 1 Agustus 2014, bunyinya: Yang
Gigih Bekerja dalam Diam. Judul ini juga sempat aku jadikan status fesbuk
dua hari yang lalu. Aku pikir judul itu (sangat) menarik, eh, yang voting cuma
4 orang doang, haha. Lalu dari eksplorasi buat judul itu dibuat standar umum
membuat judul.
yang gigih bekerja dalam diam |
Oke. Dari ruang hangat Arena, kita beralih ke
jalan yang tak pernah sepi, kawasan Malioboro, di daerah nol km. Aku dapat SMS
dari Kemp, intinya: jam 6pm ada aksi
teatrikal, pembacaan puisi, orasi, dll. Wacana yang digulingkan tentang
demokrasi dan keadilan.
Trus, sama anak-anak Kemp kesana bareng. Banyak
yang ikut juga, hehe. Acara ini yang ngadain sebuah LSM gitu. Massanya
kebanyakan dari anak-anak basis FPPI (Front Perjuangan Pemuda Indonesia). Wah,
kerenlah mereka pokoknya. Ketemu sama suhu Mas Opik juga, haha. Lama menghilang
dia sekarang makin tambah radikal saja, haha. Disitu Mas Opik jadi korlap
(koordinator lapangan).
Wujudkan Keadilan |
Lalu, Mas Opik memintaku
untuk milih: orasi atau baca puisi? Aku milih pilihan kedua. Ia lalu memberiku
puisi judulnya Peringatan! Lariknya
berbunyi:
Jika rakyat pergi/ Ketika penguasa berpidato/ Kita harus hati-hati/ Barangkali mereka putus asaDan kalau rakyat sembuyi/ Dan berbisik-bisik/ Ketika membicarakan masalahnya sendiri/ Penguasa harus waspada dan belajar mendengarDan bila rakyat tidak berani mengeluh/ Itu artinya sudah gawat/ Dan bila omongan penguasa/ Tidak boleh dibantah/ Kebenaran pasti terancamApabila usul ditolak tanpa ditimbang/ Suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/ Dituduh subversi dan mengganggu keamanan/ maka hanya satu kata: LAWAN!(Solo, 1986)
Nggak tahu ini puisinya siapa? Bagiku menarik.
Pas membaca puisi itu, deklamator diiringi alat musik dari jimbe, biola,
terompet, dan gitar serta paduan suara menyanyikan lagu kebangsaan. Sesuatu banget.
Yang menarik lagi itu si David. Beberapa saat
pasca David orasi dia bilang ke aku: enak
kan bicara di depan? Mungkin pertama nggak PD, tapi kalau udah tiga kali, bakal
ketagihan. Yang paling berat itu pas awal-awal maju, bingung mau ngomong apa.
Tapi kalau udah di depan, kalimat itu ngalir sendiri. #Good.
Yang berkesan lagi. Aku kenal sama seorang wanita
berumur 30 tahun dengan pakaian coklat kumel, wajah tak keurus, bernama Mbak
Bekti. Dia seorang pengemis yang tidurnya di kawasan jalan Malioboro. Asalnya
dari Bantul. Aku, Afin, Yani, Sukron sedikit ngomong-ngomong sama Mbak Bekti.
Pendidikan dia sampai SMA, tapi sekolahnya di SLB semua. Mbak Bekti bilang polos: Di sekolah umum aku nggak bisa nangkap,
sulit.
Ah, apakah negara juga akan peduli sama
orang-orang, pengemis-pengemis, seperti Mbak Bekti ini? Ya, Indonesia butuh lebih banyak lagi mereka yang gigih bekerja dalam diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar