Tadi malam gladi kotor pentas kolosal "Noktah Merah". Aku ingin menulis yang menjadi catatanku kemarin pas evaluasi. Seorang bapak berkata:
Apa yang aktor rasakan di panggung, dirasakan juga oleh penonton.
Manis sekali pesan ini. Penonton adalah hakim. Mereka bisa nge-judge apa saja yang mereka lihat. Mereka selalu disakralkan. Pemuasan merekalah yang seolah ingin diraih. Karena katanya mereka telah berkorban banyak: waktu, tenaga, uang, dll-nya. Ia bisa saja datang jauh-jauh dari pulau sebelah hanya untuk menonton. Belum lagi perjuangan-perjuangan mereka, saat hujan, nunggu di bus,kecelakaan, dll-nya (ini yang selalu didengungkan evaluator). Lama-lama, aku kok merasa pendapat ini begitu naif. Yang berkorban lebih banyak siapa ya? Aktor apa penonton? (Sudahlah, nanti saya salah lagi, karena makin kesini, isi tulisan ini makin tidak fokus dan sedikit rasis. Saya minta maaf.) Yang pasti, penonton datang dengan membawa harapan, ekspektasi, dan niat masing-masing. Lagian, karakter penonton berbeda-beda. Meski kebanyakan mereka berkarakter "hore".
Yang ingin aku katakan lagi dari perjalanan spiritual kemarin pas gladi kotor. Aku jadi ingat perkataan Mas Pentol ketika TM Sanggar pertama kali. Ia bilang: Aktor yang baik adalah aktor yang iklhlas dirinya dimasuki peran apa saja. Hal itu akan kerasa banget kalau aktor tahu apa karakter dan aksi dari yang tokoh inginkan. Malam itu aku seolah memijamkan badan aku untuk tokoh. Aku hanya sekedar jadi perantara dia untuk menyampaikan sesuatu. Ya, kunci satu lagi: ikhlas.
Intinya: menjadi kurator untuk diri sendiri. Pitiki??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar