Sore itu Arena juga kedatangan
tamu alumni yang sekarang kerja di Tribun
Batam. Aku udah janjian sama teman sealiran Ria buat datang bareng ke acara
diskusi itu. Kita pedahan berdua bareng pit kita masing-masing kesana. Setelah
kita menemukan gedung PKKH yang mirip gedung teater, kita ngisi daftar
hadir, juga beli buku kumpulan puisi tiga penyair itu seharga lima ribu.
Kita duduk di urutan kedua dari
depan. Sekitar jam delapan malam acara dimulai, telat setengah jam. Sebelumnya
mau say congrats buat pak Jokpin
karena cerpennya yang berjudul Jalan Asu dimuat di koran Kompas Minggu (10/8). Aku suka kalimat
pembukanya: Hari ini adalah hari rindu.
Hari untuk pulang. Hari untuk bertemu. Setelah mandi dan menunaikan ibadah
puisi………(dst)
Oke, tak mau berpanjang lebar.
Yang menarik buat aku saja yang aku tulis.
Kiri: Aziz, Yulden, Jokpin saat Membacakan Puisi |
Iya, tentang analisis Ria untuk
tiga penyair malam ini.
Ria, anak filsafat ini emang gila.
Coba perhatikan kalimat pembuka puisi-puisi Aziz Manna berikut:
//selamat tinggal langit,
//hujan apakah ini, ibu,
//lambung kapal ini telah pecah,
//laut memudar, delta pecah,
Ini aku ambil dari judul-judul
pembuka puisi Aziz yang berbeda-beda. Tiap pembukanya itu seolah konsisten
dengan hidupnya yang mungkin miris. Tiap pembukanya menggambarkan sebuah
kondisi yang mengerikan:
//menyusun kembali tubuhmu,
//candi-candi beruntuhan,
//mayat yang dibasahi lumpur,
//minyak menelan rumah kami,
//kesendirian yang aneh,
//kau akan mati,
Pengantar dikit, F. Aziz Manna
lahir di Sidoarjo, 8 Desember 1978. You
know that, about Sidoarjo, Lapindo and etc. Ria penasaran sama si Aziz
Manna, psikologinya kayak apa sih nih orang? Dari wajahnya aja udah serius
banget, seperti menyimpan beban yang tak terselesaikan. Dan pas pak Jokpin dan
pak Yulden baca puisi, Ria merhatiin dia (Aziz) memegang kepala dengan tangan
sambil mikir. Mungkin hobi dia mikir. Wajahnya serius.
Coba bandingkan pembuka
judul-judul puisi Aziz dengan pembuka puisi-puisi Jokpin (seri surat) berikut:
//Aku mengarang surat ini di hadapan cermin
//Maaf, baru sekarang aku membalas surat
//Lima menit menjelang minum kopi
//Kau tak ada di kakiku
//Tenanglah. Aku tak pernah mengharap
Dibayanganku ini seperti
penggambaran adem ayem, santai, nggak ada beban seserius puisi pembuka Aziz.
Ria berkomentar, andai Aziz dan Jokpin ini umurnya sama, si Aziz pasti udah
mati duluan gara-gara beban psikologis daripada Jokpin, haha #LOL. (Aziz
kelahiran ’78; Jokpin ’62; Yulden ’72. Aziz termuda.) Apa benar yang
dikatakan mbak Retno bahwa dalam puisi Aziz kita “Melihat arsitektur luka yang
begitu menyakitkan.” Tentang luka yang ditelanjangi dengan detail. Juga tema
lumpur Lapindo yang tidak selesai-selesai? Entah.
Puisi Aziz lebih realis daripada
puisi Jokpin yang penuh imajinasi. Perbedaannya lagi, puisi Aziz sekilas aku
melihat dari morfologinya yang memanjang mirip paragraf cerpen. Setuju dengan
si pembahas Retno: melelahkan. Tapi dari segi substansi dan kebaruan, dia puisi
banget dan mendobrak tatanan nyaman puisi-puisi mainstream.
Jokpin kenapa imajinatif? Coba
perhatikan larik-larik puisinya berikut:
“Sebagian rambutku sudah jadi rambut salju.
Jangan sedih. Aku belum lupa cara berbahagia.
Dompet boleh padam, rezeki tetap menyala.”
Atau yang ini:
“Akhirnya batumu hamil. Dari Rahim batumu
lahir air mancur kecil yang menggemaskan.
Air mancur itu sekarang sudah besar,
sudah bisa berbincang-bincang dengan hujan”
Mungkin juga karena cerita dari
Jokpin langsung yang bilang dia tidak rutin mebuat karya itu satu hari satu
karya. Dia perlu waktu panjang untuk mikir. Sekali nulis, itu langsung banyak,
kau bisa menyebutnya jurus “mak droll”.
Terlepas dari dua penyair di
atas, pak Yulden ada di tengah-tengah Aziz dan Jokpin. Bentuknya pun juga, ada
di tengah-tengah. Dia sebagai katalisator. Substansinya pun antara realis dan
imajinatif. Fiktif dan faktual. Coba perhatikan puisi Pak Yulden berikut:
//Sedikit aneh, sedikit terlambat, buah-buah mangga matang Terlalu
cepat,
jejak kemarau menapak langkan rumah tua. Pagi-pagi seorang tukang pos
mengantar sepucuk surat, Seolah semacam isyarat: satu keluarga
mesti pergi, sebelum…..
Puisi ini lebih realis, tidak
imajinatif seperti Jokpin yang mengubah rambut hitam menjadi rambut salju. Puisi Yulden di atas judulnya
Hantu-hantu Halaman Rumah, tentang
penolakan lupa terhadap mayat-mayat PKI. Lalu bandingakan dengan puisi pak
Yulden yang lain (yang imajinatif):
//Di Portland yang dingin, sepasang gagak
menolak menjadi
angin. Matamu tersedak
mencari langit yang lin. Fajar musim semi
Terlepas dari perbedaan itu
semua. Ya, kembali ke selera masing-masing. Ria bilang lebih suka puisi Jokpin
dengan keindahan diksi-diksinya, daripada Aziz yang nelangsa. Yang menjadi
catatan adalah apa yang dikatakan pak Yulden. Bahwa sastra akan menyentuh hati Anda. Merampas jantung
Anda. Sastra menganggu ingatan agar kita tidak lupa. Sastrawan membuat jarak
menjadi dekat. Teknik bisa bermacam-macam, tapi substansi itu yang perlu
diraih. Sastra merebut hati Anda hingga Anda bergetar.
Jogja Belum Mandi, 14 Agustus
2014
Is
Terima kasih Ria atas apresiasinya
BalasHapusIya mas... Entar tak sampaikan :) Anda keren...
HapusTapi kadang apa yang dikatakan seseorang tak pernah sampai dengan kelakuan.
BalasHapusItu yang menjadi jurang, seolah antara "apa yang terkata" dengan "realita" menjadi dunia tersendiri. Saya hanya teringat bahwa: people respect about our show, not our say. (Means action speaks louder).
Hapus