Sedikit cerita, kemarin pas
tutorial matematika dasar II di MP-01, asdosnya, Mbak Apri.. ngasi pencerahan
gitu tentang pemilu. Sebelumnya juga, aku sama kelompok 5 cm
Kewarganegaraan (aku, Roman, Uki, Darma, Khoer) lagi bahas tentang ‘Good Governance’ dan pas sesi tanya
jawab pertanyaannya kebanyakan soal PEMILU.
Nah, mbak Apri ini cerita kalau
dulu itu dia juga apatis. Tapi dia bilang, kalau bisa ‘nyoblos’ lah. Alangkah
berharganya satu suara itu. Satu suara bisa membuat perubahan. Begitu luar
biasanya satu orang itu.
“Kalian tahu dana yang dipakai
buat kampanye itu?” mbak Apri nanya, kita geleng-geleng.
“Itu uang rakyat! Mereka
buat proposal ke atas dengan judul untuk membantu rakyat, tapi yang sampai ke
kita itu bukan atas nama pemerintah tapi atas nama caleg-caleg itu!” aku
gregetan. Wah, keterlaluan sekali, UANG RAKYAT BRO. UANG RAKYAT.
Flashback ke presentasiku di kelompok V, si Irsyad nanya: “Gimana
sih caranya mengajak orang-orang yang pada golput?” Dengan spontanitas aku
jawab gini, “Mungkin susah ya karena ini menyangkut kesadaran. Tapi mungkin
bisa dipancing dengan saling mengajak orang-orang terdekat. Ayo, ayo, ayolah.
Yang peduli ngajak yang apatis”.
Trus ada argumen yang luar biasa
juga dari Redy: “Pawai itu kan mencerminkan jati diri dari wakil pemimpin
partai yang diusung. Mereka urakan, nggak tertib, rusuh, yang kemudian ini
mempengaruhi generasi muda selanjutnya melakukan hal serupa. Nah, itu solusinya
apa?” Tet-tot, aku bingung jawabnya.
Dia juga berargumen gini: “Onglos
kirim atribut pemilu dari pusat ke daerah-daerah itu kan mahal. Kenapa nggak
memberdayakan masyarakat setempat untuk bisa membuatnya sendiri?” Alternatif
yang keren menurutku. (*melenceng dikit, karena ini menarik maka aku tulis. Si
Redy ini kan datangnya telat. Kami selesai presentasi, dia baru masuk kelas.
Nah, menurut kontrak belajar mahasiswa yang telat diperbolehkan masuk asal
berdiri selama keterlambatan dia berapa menit. Aku kan yang di depan bingung
yaa, ni anak kenapa berdiri terus? Saking menariknya kita apa ya? #LOL. Baru
nyadar saat dosennya bilang, “Salut buat mas yang tadi berdiri, atas tanggung
jawab dan kesediaannya. Baru Anda yang sadar dengan kesalahan dan mau menjalani
konsekuensinya. Di kelas lain saya tidak menjumpai itu. Tiap telat, mereka
langsung duduk. Baru di kelas ini.” #prok-prok-prok. Aplause buat lo Red).
Yang menarik lagi pendapatnya si
Nurul. Dia bilang. “Tiap mau pemilu, perputaran uang itu gampang banget. Kamu
ngajuin proposal apa? Pasti dikabulin. Beda saat nggak pemilu. Proposal untuk
perbaikan masjid aja susahnya minta ampun”
Hal yang sama aku rasakan saat
beli mi ayam di depan kecamatan Gondokusuman habis kelas bahasa Arab (di kedai
mi ayam yang penjualnya esentrik dan unik banget. Bapaknya itu pakaiannya kayak
orang kantoran: kemeja, celana bahan, sabuk. Di gerobaknya juga ada tulisan
‘BUKA’ kalau mi ayamnya masih, dan ‘HABIS’ kalau mi ayamnya sold out. Mungkin kedai sederhananya itu
adalah kantornya. Satu lagi: menurutku mi ayam bapak ini mi ayam ter-enak
se-Jogja). Di kedai ini ada semacam pamflet buat daftar menu gitu kan, nah,
yang nyeponsori caleg. Hal yang sama juga terjadi di burjo-burjo gitu. Tapi,
bapak ini kok pinter gitu. Dia nutup foto caleg sama partainya pakai kertas
bertulis daftar harga, haha.. bapak, bapak.
Nah, ceritanya nih ya, hari ini
kan aku sebenarnya pengen nyoblos. Tapi males banget kalau harus ribet.
Rencananya mau ke Gardena buat beli kertas-kertas gitu, aku bela-belain jalan
kaki. Sampai sana, “Loh, jalanan kok sepi?” tanyaku. Oh, Gardena tutup (sedikit
nggak nyambung juga, Gardena kalau di tempatku (Cepu, Blora) itu toko roti dan ingredients-nya gitu. Di Jogja malah
mall :D) Gardena buka lagi jam 1 siang. Ku lihat, hal yang sama juga terjadi di
toko-toko sebelah yang pada meliburkan diri demi PEMILU. Asumsi awalku, wah…
kesadaran mereka tinggi juga yaa :D
Mau gimana lagi? Baliklah aku ke
kos. Berhubung perut masih lapar. Beli sayur sama lauk di warung dekat kali itu
sambil denger lagu Bams terbaru, “…bahagia
walau tak bersamaku…” #jadi inget ‘…..’ #lupakan. Ibu ini nanya: “Udah
nyoblos mbak?”. Aku jawab belum, trus ibunya ngasi penjelasan, yang di luar
Jogja bisa kok dengan bawa KTP. Aku disuruh ke TPS terdekat di daerah Langensari
(basecamp pramuka Klitren).
Aku langsung kesana. Ketemu sama
anak UIN juga yang jadi saksi. Namanya Umi anak pendidikan bahasa Arab semester
6, aku juga ketemu sama anak UIN lagi, yang sepertinya PU-nya LPM Humaniush gitu :) Next, sama mbak Umi aku disuruh nanya ke panitianya. Apa
yang terjadi? Ternyata tidak bisa sodara-sodara. Harus ada ‘alima-alima’ gitu
#bingung, ini apaan? Semacam surat perpindahan pencoblosan yang ngurusnya
minggu-minggu sebelumnya. Aku cerita sama mbak Umi, curhat. Dia baik banget,
aku dikasi snack-nya dia, hahaha. Ya
udahlah, pulang ke kos, nulis tulisan ini :)
TPS 01 Langensari |
Oya, aku tertarik banget sama
tulisan cerdas pak Radhar Panca Dahana di harian Kompas edisi Kamis, 3 April 2014 yang judulnya “Dramaturgi Pemilu”.
Sebagai anak teater aku langsung excite aja? kok ada Dramaturginya? :D Kebetulan juga tadi malam sanggar nuun juga ngadain pemilu ketua kelas dan sekretaris Afternuun School buat angkatan kemah seni V, yang terpilih si Melia sebagai ketua dengan (20 suara) dan Havid (7 suara). Di artikel pak Radhar ini dijelaskan bagaimana ilustrasi para caleg melakukan kampenya di lanskap kota, desa, sampai jalanan berdebu “sebagai panggung yang riuh, menyesakkan, dan sungguh menganggu citra visual”. Juga tentang kebenaran artifisial yang dilakukan oleh lembaga survei. Mereka mengkondisikan seolah para caleg itu hebat, punya kapasitas, dan masyrakat menganggap itu sebagai sebuah “kebenaran”. Akibatnya, banyak calon pemimpin alternatif yang tersingkirkan, kalah dengan mereka yang mampu menampilkan wajahnya di koran selembar penuh atau mereka yang bolak balik jadi iklan di TV. Terakhir yang bikin aku ‘sakit hati’ tentang pengorbanan rakyat! Pak Radhar bilang gini:
Sebagai anak teater aku langsung excite aja? kok ada Dramaturginya? :D Kebetulan juga tadi malam sanggar nuun juga ngadain pemilu ketua kelas dan sekretaris Afternuun School buat angkatan kemah seni V, yang terpilih si Melia sebagai ketua dengan (20 suara) dan Havid (7 suara). Di artikel pak Radhar ini dijelaskan bagaimana ilustrasi para caleg melakukan kampenya di lanskap kota, desa, sampai jalanan berdebu “sebagai panggung yang riuh, menyesakkan, dan sungguh menganggu citra visual”. Juga tentang kebenaran artifisial yang dilakukan oleh lembaga survei. Mereka mengkondisikan seolah para caleg itu hebat, punya kapasitas, dan masyrakat menganggap itu sebagai sebuah “kebenaran”. Akibatnya, banyak calon pemimpin alternatif yang tersingkirkan, kalah dengan mereka yang mampu menampilkan wajahnya di koran selembar penuh atau mereka yang bolak balik jadi iklan di TV. Terakhir yang bikin aku ‘sakit hati’ tentang pengorbanan rakyat! Pak Radhar bilang gini:
“Menurut LPEM FE UI, biaya yang dikeluarkan
caleg mulai dari tingkat lokal hingga pusat berkisar Rp 320 juta – Rp 9 miliar,
hingga rata-rata didapat Rp 1,18 miliar per caleg. Apabila ketua Komisi
Pemilihan Umum (KPU) menyatakan jumlah jumlah caleg nasional 200.000 orang,
Anda bisa memperkirakan sendiri total uang yang rakyat kita keluarkan untuk
pertunjukan dengan dramaturgi yang menggelikan di atas. Tidak kurang dari 227
triliun.”
“….Bahwa total semua itu sebanding dengan
membuat 5.675 kilometer rel lereta api ganda (cukup untuk seluruh Sumatra)
atau 3,200 kilometer jalan tol (sama dengan target 25 tahun kita) atau sebanding dengan menggratiskan biaya kuliah seluruh
mahasiswa Indonesia selama 32 tahun berdasarkan hitungan Mendikbud RI.”
Sedih banget sebenarnya, coba
sebelum-sebelumnya sudah ku urus, mungkin sekarang bisa nyoblos. Dari
pengalaman dan artikel pak Radhar ini aku jadi 100 kali mikir lagi kalau mau
GOLPUT! NO GOLPUT!
Kamar kos, 9 April 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar