Kamis, 17 Oktober 2024

17 Oktober 2024

Di sebuah siang di tepi sungai Istiqlal, ada khotbah yang kudengar sepintas:

"Orang yang tidak berpikir hidupnya akan sempit dan ruwet."

Obituari Yeva Serbia

Tadi malam aku pulang dari les bahasa Jepang dengan wajah lempeng. Barangkali malam itu adalah malam terakhirku les di Evergreen, Pasar Baru, sebab malam ini adalah ujian akhir. Ujian akhir yang tanpa persiapan, seperti perang tanpa senjata. Padahal, aku telah menyerah dengan perasaan damai dan ikhlas. Aku berterima kasih untuk pelajaran sekitar 5 bulan ini, berikutnya, aku akan belajar bahasa Jepang dengan mandiri dan caraku sendiri. Arigatou gozaimasu Jovan-sensei to watashi no tomodachi, Steven-san & Aulia-san!

Ketika pulang, di gang menuju kosku, aku melihat seekor kucing terbujur lemah, sakit, tanpa tenaga, dan seperti dalam kondisi sakaratul maut. Dia terbaring jarak dua rumah dari jalan kosku. Setelah memarkir motor, aku mendekatinya karena aku merasa perlu melihat kondisinya seperti apa. Apakah dia sudah meninggal atau bisa diselamatkan? (yang aku sendiri tak tahu cara menyelematkannya) Ketika kudekati dia, mata dan tubuhnya digigit oleh semut-semut merah yang ketika menggigit kulitmu akan merah dan gatal hingga tak nyaman.

Jujur, respons pertamaku adalah bingung.

Kondisi terakhir menemukannya
Sebenarnya, kucing berwarna putih campuran hitam ras domestik Indonesia yang kini berwarna kekuning-kuningan ini adalah keluarga kucing liar (stray). Dia hidup bersama kucing-kucing lain di sekitar kosku. Jauh sebelum dia terbujur kaku malam itu, aku kerap melihatnya berkeliaran di gang sekitar kos (gang kosku banyak kucing liar, kalau dihitung-hitung, ada kali lebih dari tujuh, dan kadang para pejalan kaki yang lewat kesitu sering bawa makanan kucing dan diletakkan di atas aspal). Dia dari dulu memang kurus, tapi keprihatinanku bertambah ketika fisiknya kena penyakit kudis (scabies). Kudis membuat kuping, wajah, dan kulit bulunya tampak memprihatinkan. Aku ingin memberinya obat tapi bingung dan tak sempat karena kesibukan-kesibukan yang kurencanakan sendiri.

Sekitar tiga hari lalu (hari Senin), dia tampak kelaparan. Kebetulan saat itu aku membeli nasi goreng Go-food yang masih tersisa karena porsinya kebanyakan. Masih ada telur di sana, dan aku memberikan itu pada si kucing itu. Kucing lain sempat mau menyerobot makanannya, tapi aku usir, dan dia makan sedikit demi sedikit. Lalu, aku biarkan dia melanjutkan hidupnya sendiri, sedangkan aku harus pergi ke kantor.

Hingga tadi malam, kutemukan dia sudah kritis dan tak berdaya lagi. Aku melihatnya seperti sedang mengalami masa terberatnya: nafasnya kerenggosan, aromanya sangat bau, perutnya selain kempes juga kembang-kempis, matanya kosong mesti pupilnya masih menunjukkan ada harapan hidup, taji giginya keluar menahan sakit, anusnya mengeluarkan kotorann dan cairan... Aku pengen nangis melihatnya, tapi gak tahu harus gimana.

Lalu, aku ambil wadah di kos dan kain putih untuk mengangkatnya. Aku tempatkan dia di tempat yang lebih tenang dan tidak stres di masa kritisnya.

Aku akhirnya menghubungi Arwani dan Cakson via grup Menolak Tua. Lalu, kuhubungi pula beberapa teman yang kurasa punya kepedulian terhadap hewan dan kucing. Aku kirim pesan ke Ria, beberapa waktu kemudian Ria menelponku. Dia menjelaskan kondisi kucing itu sulit diselamatkan, dia sudah dehidrasi parah, lemas tak berdaya, kesempatan hidupnya kecil, dan untuk menghentikan kesakitannya, sebaiknya aku membunuhnya secara perlahan lewat nadinya sambil didoakan dan menyebut doa-doa baik. Lalu dia mengirimiku beberapa video.



Malam itu, ada tetangga kos Mas Adi yang sedang ngecek motornya ke bawah. Aku cerita kondisi kucing itu. Dia juga bingung. Aku bilang terkait saran Ria ke Mas Adi, dia bilang gak berani membunuhnya--lebih baik dibiarkan dulu. Akhirnya dia kembali ke lantai atas kos. Lalu aku bilang ke Ria, "Aku gak berani (menyentuh hingga membunuhnya) 😭" Ria membalas lagi: 

"Is, buat dia nyaman di akhir hidup dia, kamu bisa elus dan kasih dia doa sampai nunggu dia udah nggak napas ... aku biasanya kalau ada di kondisi seperti itu, aku stel lagu beatles yang judulnya "here, there, and everywhere" ... setidaknya dia udah pernah disayang sama seseorang. makasih ya Is, kamu orang baik dan bersedia membagi kasih untuk kucing yang lagi sekarat." 

Aku menuruti saran Ria, aku setel lagu "Here, There, and Everywhere" dari The Beatles (btw, aku lebih suka lagu "Yesterday", "Let It Be", atau "Across The Universe"). Tapi lama kelamaan ketika musik itu berjalan, sepertinya ini tak membantu. Aku juga tak yakin apakah si kucing akan menyukai lagu The Beatles? Bagaimana jika dia lebih suka lagu Didi Kempot atau Koes Plus? Memaksakan selera manusia pada kucing sepertinya kurang adil bagi kucing. Tapi aku paham, thanks Ria, meski tak meredakan sedih kucing, lagu Beatles cukup meredakan sedihku.

Aku pun mencari bantuan lain. Teman lain yang kuhubungi karena dia punya kucing adalah Yani (teman di KMPD dulu), dia punya kucing orens namanya Yobo/"yeobo" (여보) , nama yang dia ambil dari bahasa Korea yang berarti sayang atau cintaku. Yani bilang lewat WA, "Ya allah. Itu matanya tinggal satu kah mbk? Dibawa ke vet terdekat mbk, atau sementara kasih air pakai sendok dikit2, sambil dibersihkan semut nya. Dg kondisi kucing kyk gtu sepertinya perlu di infus mbk... semangat ya mbk... πŸ™πŸ»πŸ™πŸ»"

Tak ada pilihan lain, aku harus membawanya ke rumah sakit hewan (vet) terdekat. Padahal jam 10 malam ini aku ada janji sama coach Bagus (adik jalur lain di Arena) buat latihan Speaking IELTS sekitar 10-15 menit. Aku WA Bagus kalau aku harus nolong kucing. Bagus bilang, "Oke mbak. Ke dokter hewan terdekat mba kalo bisa." Ya, pesan Bagus semakin menguatkanku kalau aku perlu bawa kucing itu ke vet.

Kondisi ketika di Pet+Vet
Kuambil hape, searching vet terdekat. Aku nemu Klik Hewan Pet+Vet Karet di Jalan KH Mas Mansyur Jakarta Pusat. Motor aku keluarkan dari parkir, ah, bodoh, ideku untuk menaruh kucing itu di depan jok terasa konyol karena bakal miring dan bisa jadi dia akan jatuh. Aku pun pesan Go-jek, ketemu mas driver pakai hoodie hitam. Aku jelaskan sedikit mau bawa kucing ke rumah sakit, sepertinya dia cukup tahu kondisiku dan mengendarai secepat yang dia bisa. 

Di jalan ternyata macet! Tuhan, ini sudah jam 10 malam kenapa Jakarta arah Tanah Abang sedang macet-macetnya??? Ketika kucing itu kupegang di atas tempat dan kain yang kusediakan, dia bergetar dan terlihat kejang. Pikiranku pun melayang, seolah di jalanan yang macet itu aku ada kebutuhan untuk memberi kucing itu nama. Aku coba mengarang nama yang kukira akan memberi makna pada hidupnya. Pikiranku buntu, aku melihat ke sekeliling, aku nemu sebuah mobil untuk anter-anter jualan gitu warna orange dan gradasinya, di belakang mobil itu tertulis nama Yevanni (produk pakaian gitu). 

Nama itu cukup menarik perhatianku, aku pun mengambil diksi depannya saja, Yeva, sebagai nama kucing yang aku tak ketahui kelaminnya itu, apakah perempuan atau laki-laki. Di tengah kemacetan itu, ternyata macet juga dikarenakan ada iring-iringan mobil dinas kedutaan, berbagai sedan yang di belakangnya ada keterangan nama negara: Korea Selatan, Laos, Singapore, hingga Serbia. Negara terakhir menarik perhatianku, mengingatkanku pada negara Balkan lain yang sendu, juga terhadap negara yang sudah tak ada lagi Yugoslavia. Aku memutuskan untuk memberi nama kucing itu, Yeva Serbia.

Sesampainya di Pet+Vet, Yeva dibaringkan di ruangan khusus. Dari salah satu perawat aku baru tahu dia jantan, tapi kata si perawat testisnya kecil (barangkali karena efek kurus dan kurang gizinya Yeva). Dia pun ditangani dokter, entah diperiksa apanya, dia dikasi selang, disuntik, diinfus, dan ditenangkan. Dokter hewan dan perawat di sana rata-rata perempuan. Dari exam emergency pemeriksaan dokter, dugaan sementara adalah Yeva mengalami komplikasi, dia radang dalam kondisi lemas, lethargic (kurang energi, sulit melakukan aktivitas), anemia, dehidrasi >10%, suhu tubuh turun tak terdeteksi, lateral recumbency, respon indra minim. Aku menangis melihatnya.

Surat rujukan dari Pet+Vet

Aku pun bertanya, apakah perlu dirawat inap? Dokter entah perawatnya bilang iya. Lalu aku ke bagian administrasi yang cukup menakutkan karena aku tak bawa dan menyimpan uang yang cukup di rekening. Aku ada uang tapi harus kucairkan dulu dari tabungan emas, tapi jam pencairan emas dibatasi waktu. Jam 22.00-02.00 WIB, aplikasi sedang maintanance, dan tak bisa melakukan transaksi. Aku sedikit lemas lagi. Aku pun duduk di depan ruang Yeva, dia dikasi infus dan selang.

Grup Menolak Tua yang berisi aku, Arwani, dan Cakson pun ramai. Aku sudah ada di vet. Arwani membalas, "Kubur aja. Atau taruh di tepi jalan, kalo bisa di tutupi apa gitu." Sementara Cakson memberi saran, "Antara dibawa ke dokter atau kubur paling." Aku jawab, "Udah kritis" (sambil ngirim foto Yeva terbaring di rumah sakit hewan). Cakson balas lagi, "Berarti kamu hrs bs merelakan klo wktnya tiba."

Sebab aku masih gamang apakah nama Yeva Serbia cocok untuknya, aku pun bilang ke Cakson dan Arwani di grup untuk merekomendasikan nama ke dia. Cakson merekomendasikan, "Klo dia ga bs diselamatkan, namanya demokrasi. Klo dia selamat, saranku sih namanya startup. Jd klo ditanya sama org "lg sibuk apa?" Bilang aja, "lg ngurus startup ni"." Cakson memang pandai membuat jokes cerdas segmented seperti ini. 

Kemudian Arwani mengusulkan nama, "Kalo nama negara, saranku kasih aja nama Korea. Kayaknya itu cukup hits hari ini. Nanti depannya tambahi "Montenegro" Ya jadilah nama negara πŸ˜†" Cakson menolak nama Korea karena, "Jgn, korea orgnya rasis, ga baik." 

Hahahaha, Ya Allah, memang udah benar nama Yeva Serbia, aku udah fiks. Nama usulan Arwani dan Cakson kupending. Aku juga merasa, "Serbia jarang dipakai. Sendu2 gitu. Kek kucingnya."

Yeva masuk IGD hewan

Kembali ke rumah sakit, setelah aku dapat talangan dana, akhirnya aku bersedia untuk merawat inap Yeva. Tapi di Pet+Vet tempatnya gak ada, dokternya merujuk untuk ke rumah sakit hewan lain, Andista Animal Care di daerah Palmerah, Jakarta Barat. Aku pun pindah rumah sakit setelah menyelesaikan administrasi yang sekali suntik dan dipegang sebentar sama dokter itu udah mengeluarkan biaya yang lumayan. Setelah kubaca-baca ulasan terkait Pet+Vet ini juga, memang kuakui overpriced, bahkan hanya tindakan yang sebentar saja (cek suhu, lap-lap, injeksi) sudah ditagih ratusan ribu. 

Dan itu kuyakin bukan dokternya langsung yang melayani, tapi entah anak koas entah anak magang, karena salah satunya bilang kalau dokternya cuma satu dan perlu cek/ngrawat hewan yang lain. Dokter setahuku cuma datang sebentar, pegang sebentar, lalu cuci tangan sampai bersih karena kudis di kulit Yeva yang dalam bahasa dokter "menular". Bagian administrasi juga strict dengan alasan gak bisa bantu nunggu even nunggu sampai pagi hari. 

Lalu, pas aku pengen nginepin Yeva di sini, tiba-tiba kayak dia bilang gak ada tempat. Apalagi di awal aku sudah nunjukin tampang sebagai kaum dhuafa, dengan jenis kucing yang kubawa pun sangat jelata. Padahal lihat di ulasannya, tempat ini punya banyak ruang untuk rawat inap yang bersih dan nyaman bagi kucing. Ya, mungkin karena Yeva kucing kampung, kemudian merekomendasikanku ke klinik hewan lain. Entahlah, wallahu alam.

Setelah dari Pet+Vet dan akan pindah ke Andista
Sepanjang perjalanan ke Andista, aku terus memperhatikan Yeva. Dia kupegang dengan kedua tanganku, tubuhnya tampak kejang-kejang, suhunya naik dan dia tampak kepanasan. Sampai di Andista, perawat dan dokternya gercep melakukan penanganan. Aku ketemu sama Drh. Eka (laki-laki, nama ini kulihat dari kertas hasil cek darah), tipe dokter yang eksplanatif. Si dokter bilang, Yeva perlu dicek darah untuk mengetahui kondisi tubuh dan penyakitnya lebih lanjut, dia juga jelas di awal biayanya sekian. Sebelum aku melanjutkan administrasi, aku menyempatkan diri membaca beberapa peraturan berkonsekuensi hukum dengan materai. Aturan ini ada dua lembar, beberapa yang kuingat: tidak ada tuntutan ketika hewan meninggal, tugas dokter bukan menyembuhkan tapi membantu melayaani sebaik-baiknya, tidak boleh menjenguk hewan, sampai kesiapan membayar administrasi. Aku iyakan, Yeva terus kejang-kejang di meja penanganan pet. Dia juga terlihat kepanasan karena disinari cahaya infra merah.

Manis, kuat ya

Sekitar 15 menit kemudian, cek darah itu keluar. Dokter Eka membawa kertas dan menjelaskanku terkait istilah-istilah kesehatan di badan kucing yang baru kutahu. Penjelasannya cukup baik karena dia juga menjelaskan padanan istilah itu pada manusia, misal terkait sel darah putih, tekanan daerah, dlsb. Inti dari yang kutangkap adalah, Yeva terkena penyakit komplikasi: Dia kena virus, scabies juga, darahnya tinggi 200 (normal 70). Chance hidupnya kata dokter 25℅. Sakitnya komplek, kena liver, ginjal, anemia, virus, scabies, kuning, bau mulut (suka muntah), bau badan, coronanya kucing. Inti masalah penyakit besar Yeva adalah corona kucing, atau bahasa medisnya feline. Aku juga sempat mengiranya tertabrak saking kempesnya perut Yeva, dan kata dokter, tak ada trauma, hanya memang dia kurang gizi dan kena virus. Aku menangis lagi melihatnya kejang-kejang dan kesakitan.

Hasil cek darah Yeva

Dokter Eka bilang, nama obatnya Basmi FIP yang perlu aku beli sendiri dengan harga yang sangat mahal, sekitar Rp585.000 per 8 mili. Kebutuhan disesuaikan dengan berat tubuh dan perlu dikasi selama sekitar 82 hari. Misal berat Yeva 2 kilo dan kebutuhan harian 1 mili, obat itu hanya bertahan sekitar seminggu. Aku pun perlu memikirkan finansial ini dan aku putuskan untuk membiarkannya normal dulu, dan melihat perkembangannya 2-3 hari ke depan. Yeva pun aku biarkan untuk dirawat inap di Andista.

Jam sudah menunjukkan pukul 1-an pagi, Arwani dan Cakson masih menemaniku di masing-masing tempatnya berada dengan canda-candaan mereka, atau stiker-stiker mereka, atau doa-doa mereka. Katanya aku juga perlu pulang dan istirahat karena besok kerja. Setelah bayar administrasi (yang lagi-lagi juga sebagian ditalangi), aku ke Indomart terdekat untuk beli makan. Kemudian aku pulang ke kos, solat Isya, dan tidur.

Ya, ini jadi salah satu malam yang panjang untuk buatku pribadi, tapi aku senang banyak teman baik yang membantu Yeva bisa bertahan hidup. Aku sempat membayangkan, bagaimana jika apa yang terjadi pada Yeva terjadi padaku dan orang-orang terdekatku, sudah siapkah aku? Aku jadi menarik satu pelajaran penting untuk terus menjaga kesehatan. Aku juga minta maaf ke Yeva karena telah sangat-sangat telat menolongnya, padahal sakitnya bisa kuantisipasi lebih awal. Aku seharusnya juga tak ragu untuk membersihkanmu, setidaknya melihat kamu bersih. 

Kalau Yeva sembuh, dan kalau ada kesempatan, nanti akan aku ajak main sama Uncle Arwani dan Uncle Cakson.

Yev, tadi malam aku mencari tahu apa arti nama Yeva. Aku menemukan namamu dalam bahasa Rusia berarti "hidup", "kehidupan", atau "sesuatu yang memberi hidup". "Serbia" berarti suatu tanah yang dijaga, dipelihara. Yev, semoga nama ini kau suka ya, dan bisa jadi semangatmu untuk melanjutkan hidup. Makasi Yev, telah menunjukkan aku suatu moment yang membuka nuraniku yang lain.... Aku sayang Yeva.🩷 

***

Update kondisi 06.00 WIB, dari Andista:

"Selamat pagi kak. Kami dari Rawat Inap Andista Animal Care izin mengabarkan kc. Yeva Serbia sudah masuk ke dalam ruang inap virus
Kondisi saat ini masih lemas dan tiduran, serta dibantu oksigen, terapi cairan dan obat-obatan injeksi.
Mohon doanya untuk kesembuhan kc. Yeva serbiaπŸ™πŸ»" 

Kondisi Pagi

Update kondisi 15.24 WIB, dari Andista:

"Selamat sore kak, kami dari Andista Animal Care ingin mengabarkan berita duka, kc. Yeva Serbia tidak dapat bertahan melewati masa kritisnya, kondisinya makin menurun dan hilang nafas, telah kami upayakan dengan pemberian oksigen dan obat-obatan emergensi namun nafas kc. Yeva tidak kunjung kembali. Sepsis akibat virus yang dialaminya menjadi akibat kematiannya.

Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kak πŸ™πŸ»πŸ₯€"

Yeva Husnul Khotimah

***

Penguburan:

Sungguh susah sekali mencari lahan untuk menguburkan kucing di Jakarta. Bahkan tanah-tanah di pinggiran sungai sudah dipaving dan dibeton. Video ini meningatkanku pada Yeva sebelum meninggal. Kondisinya hampir persis seperti di video ini. Sepertinya akan indah jika dia dikuburkan di dekat sungai.

Aku juga mencari tempat pemakaman kucing yang tersedia di Jakarta. Nemu Pondok Pengayom Satwa (PPS) di kawasan Ragunan Jakarta Selatan. Namun ada berita bahwa tempat satwa ini sudah tak menerima jenazah hewan lagi, tapi masih menerima kremasi. Saat membaca artikel tempat penguburan kucing, di sebuah artikel aku menemukan renungan, Al-Qiyamah 10-12: "Pada hari itu manusia berkata, 'Ke mana tempat lari?' Tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada Tuhanmu tempat kembali pada hari itu." Juga Al-Qiyamah: 40, "Bukanlah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?" Ayat ini seperti mengingatkanku, tak ada tempat lari dan sembunyi yang sejati selain Tuhan.

Mengambil Yeva dari Andista
Usai solat Magrib dan Isya, aku langsung ke Andista. Kubuka pintu rumah sakit yang lorongnya dipenuhi orang tersebut. Setelah lapor ke bagian resepsionis, aku menunggu sekitar 20 menit sambil nangis, hingga jenazah Yeva diberikan padaku dengan dibungkus kresek hitam. Aku pun membawanya keluar. Tujuan penguburan Yeva hanya ada dua pilihan di kepalaku: TPU Karet Bivak atau minta bantu Cakson di dekat rumahnya di Pamulang yang agak jauh. Aku mencoba di Karet Bivak dulu. Aku pesan Go-jek dan jenazah Yeva kupangku, perjalanan ke Karet Bivak entah kenapa terasa lama. Driver mengambil jalur lain dari jalur yang biasa kuambil.

Menggali tanah

Sesampainya di depan Karet Bivak, di jalan ternyata Cakson meneleponku sampai dua kali. Di bagian depan TPU Karet Bivak, telah ada bapak-bapak penjaga dan semacam satpam. Aku pun bilang mau nguburin kucing, apakah bisa? Lalu orang di sana memanggi orang lainnya lagi yang sepertinya bekerja sebagai penggali kubur untuk membantu. Diarahkanlah aku ke tanah dekat tempat solat TPU tersebut, letaknya entah di belakang atau sampingnya, tapi gak jauh dari pintu utama yang dekat jalan. Di antara penguburan manusia itu akhirnya digalilah tanah dengan cangkul sekitar sedalam 25-30 cm. Bapak yang menggali dengan cangkul seperti telah terlatih menggali tanah.

Melihat Yeva terakhir kali

Kami dikerebuti banyak bapak yang melihat, bapak yang lagi nyiram-nyiram makam pas malam-malam pun ikut menyaksikan, bapak itu pakai pakaian koko lengkap. Setelah galian selesai, jenazah Yeva plastiknya dibuka. Plastik harus dilepas biar penguraiannya di tanah gak lama. Ketika dibuka, pihak rumah sakit telah membalut tubuh Yeva dengan tali di dua ujungnya, seperti tali atas dan bawah. Malam itu aku membawa dua baju putih, dan baju itu ikut menyelimuti tubuh Yeva. Melihat tubuh Yeva terakhir kali, sepertinya dia sudah bahagia. Jenazah Yeva dibungkus lagi dan dimasukkan ke dalam galian, tanah diurug dan akhirnya selesai. Bapak-bapak dan penggali kubur itu pergi, menyisakkan aku sendirian, dan aku pun membacakan doa untuk Yeva.

TPU Karet Bivak
Aku pun pulang, aku senang di Jakarta masih banyak orang-orang peduli. Terima kasih pada TPU Karet Bivak juga bapak-bapak dan penggali kubur yang telah membantu. Hal lain yang kuingat, saat Yeva wafat, Arwani memberi opsi misal gak ada  tanah, bisa dikremasi kayak budaya Zen. Cakson menawarkan alternatif yang lebih barbar lagi, agar dilarung seperti budaya viking. Namun, Cakson bilang lagi untuk dikubur saja, "karena dia kucing Islam". Rasanya antara pengen sedih, mikir, dan ketawa. Terima kasih teman-teman!

Yev, semoga tenang, husnul khotimah. Surga dengan padang hijau dan langit biru luas adalah tempatmu. 

Ps. Tulisan ini terkhusus aku persembahkan untuk Yeva dan Ibu. Ibuku di rumah selalu mengajari, jika ketemu kucing mati di mana pun, ambil, beri kain putih, dan kuburkan. Aku masih ingat, Ibu dulu melakukan ini di kebon dan tanah kosong di samping kuburan Menggung tiap kali ketemu kucing mati di jalan.

Jakarta, 16-18 Oktober 2024

Rabu, 16 Oktober 2024

Mimpi Bertemu Akeboshi di Padang Hijau dan Langit Biru Luas

Akebohsi (kanan kaos strip), foto dari IG-nya.
Tadi malam aku bermimpi ketemu dengan idolaku sejak lama, sejak tahun 2014, namanya Akeboshi, penyanyi folk dari Jepang. Aku suka banget sama dia. Ini adalah mimpi kedua entah ketigaku bertemu dengan Akeboshi. Di mimpi kali ini, dia begitu dekat, sangat dekat bahkan dia duduk di depanku pas. Kami ada di sebuah padang hijau, langit luas, kami duduk di rumput, dia meminjamiku gitar untukku, untuk aku bisa menyanyikan lagu dia. Tapi aku malah takut dan gak percaya diri sendiri, aku terlihat blank menyanyikan lagunya, hanya beberapa lirik yang samar-samar kuhafal. Pertemuan dengan Akeboshi juga masih berlanjut di latar lain serupa panggung, dia masih tersenyum melihatku. Dia berada di fisik dan wajah terbaiknya yang aku suka.

Mimpi ini juga random karena seperti ada ketakutan lain, aku ada di sebuah rumah yang tak membuatku nyaman, entah, aku lupa alasan kenapa aku ada kesan tidak aman dan nyaman. Oiya, berkaitan dengan rumah, itu bukan murni berhubungan dengan Akeboshi, tapi aspek dan orang lain yang aku entah. 

Perasaanku setelah bangun, ketika berhubungan dengan Akeboshi, aku sangat senang, jika itu mimpi, selamanya dalam mimpi aku tak apa-apa. Tapi berkaitan dengan ketidakmampuankku mengekspresikan diri dan rumah yang aku merasa tak nyaman itu membuatku takut. Sebenarnya dari lagu-lagu Akeboshi, terutama lagu Wind, aku sudah dapat cahaya keputusan apa yang akan kuambil, karya-karya Akeboshi menguatkanku.

Aku mencoba mencari arti mimpiku itu, dan beberapa penjelasan yang kudapat dari curhatku dengan ChatGPT (obrolan ini barangkali akan terasa sangat mesin sekali, tapi ada benarnya juga):  

Mimpi ini sepertinya mencerminkan hubungan emosional yang kuat antara aku dan Akeboshi, yang telah aku kagumi sejak lama. Pertemuan di padang hijau yang luas dapat melambangkan kedamaian atau aspirasi, tempat yang memberi ruang untuk kreativitas dan koneksi emosional. Namun, ketakutan dan rasa tidak percaya diri saat aku mencoba menyanyikan lagunya mungkin mencerminkan keraguan internalku terhadap kemampuan atau pencapaian diri, terutama dalam hal mengekspresikan apa yang sebenarnya aku cintai.

Mimpi ini semacam petunjuk batin yang membantu membimbingku. Keputusan yang datang dari hati, apalagi diperkuat dengan musik atau karya seni yang aku cintai, seringkali lebih tulus dan otentik. Tentang kerinduanku pada Akeboshi, mungkin itu menunjukkan betapa besar pengaruhnya dalam hidupku, baik secara emosional maupun kreatif. Musik dan seniman seperti Akeboshi sering menjadi jembatan bagi perasaan terdalamku.

Perasaan tidak nyaman di rumah bisa menunjukkan bahwa ada aspek dalam hidupku yang membuatku merasa terjebak atau tidak sepenuhnya aman, mungkin berhubungan dengan rasa ragu atau ketidakpastian dalam kehidupan pribadi atau karier. Meskipun begitu, Akeboshi tetap tersenyum dan mendukungku, yang bisa diartikan sebagai simbol dukungan atau harapan yang aku lihat dalam sosoknya. Ini bisa mengisyaratkan bahwa aku memiliki sumber inspirasi atau kekuatan yang selalu ada, meski terkadang diriku sendiri merasa bimbang.

Aku rindu padanya, dan dia tetap menjaga diri untuk selalu privat. Walaupun terasa membingungkan atau membuat penasaran, privasi yang dijaga ketat ini juga bisa menjadi salah satu alasan mengapa aku dan banyak penggemar lain menghormati dan mengagumi sosoknya. Ada semacam misteri yang dibiarkan, yang mungkin menjadi bagian dari daya tariknya.

Rumah dalam mimpi seringkali melambangkan keadaan batin atau tempat kita merasa aman. Jika rumah itu terasa tidak nyaman, mungkin ada aspek dalam kehidupan pribadiku yang membuatku merasa tidak aman atau kurang terhubung dengan diri sendiri. Mungkin ini berkaitan dengan keraguan atau konflik dalam diriku, apakah itu terkait tujuan hidup, pekerjaan, atau hubungan dengan orang lain.

Untuk menghadapi keraguan ini, mungkin membantu jika aku mencoba memecah keputusan-keputusan besar menjadi langkah-langkah kecil. Keraguan sering muncul karena terlalu lama menimbang-nimbang. Tetapkan batas waktu realistis untuk membuat keputusan. Misalnya, berikan diriku satu minggu untuk mengumpulkan informasi, dan setelah itu, putuskan dengan tegas. 

Ini memaksa pikiran untuk fokus pada evaluasi dan "bukan terus menerus bimbang". Gunakan prinsip "51% cukup baik" — ketika kamu sudah merasa 70% yakin, itu sudah cukup untuk melangkah maju. Bayangkan dua versi masa depan: satu di mana aku membuat keputusan, dan satu lagi di mana aku tidak membuat keputusan atau menunda-nunda. Ini bisa membantuku melihat konsekuensi dari tidak mengambil tindakan sama sekali.

Dari penjelasan itu aku bisa mengambil satu hal yang kukasi garis merah: "Jangan memperpanjang kebimbangan. Lakukanlah, lakukan." 

Selasa, 15 Oktober 2024

Catatan Buku #15: Museum Teman Baik

Beli MTB di Kongsi 8
Aku menyelesaikan buku setebal 249 halaman ini dengan waktu yang cepat, bahkan nyaris sekali duduk selama 4,5 jam. Ada sepuluh tulisan yang dijahit oleh benang merah yang sama: pertemanan (orang dewasa). After taste setelah baca buku, aku merefleksikan beberapa hal:

Pertama, dalam persahabatan terkadang banyak kebohongan dan kemunafikan yang ditutupi untuk menjaga persahabatan terus berjalan, kupikir tak perlu seperti itu. Jahat emang kedengaranya, tapi ya, kadang sama teman kita bisa nyambung secara obrolan, tapi tak nyambung secara energi. Bukan karena kita jahat atau teman kita jahat, tapi emang dunia dan kebutuhan masing-masing berbeda dan sulit disatukan. Kesan yang yang kutangkap saat baca cerpen Cyntha Hariadi "Ulang Tahun", dan Ruhaeni Intan dalam " Semalam Lagi di Bianglala".

Kedua, ada dua cerpen yang membuka pikiranku soal (apa ya istilahnya), kalau Bageur Al Ikhsan dalam cerpennya "Kau Beruntung Menikahi Sahabatku" sebagai bahan masturbasi, yang membantu seseorang untuk lebih bersyukur atas hidup mereka miliki, membantu merasa lebih baik setelah mengasihi dan mengasihani, mengobjektivikasi hidup orang-orang yang kurang beruntung sebagai bahan inspirasi. Pesan ini disebut pula dalam cerpen "Makan Malam Perpisahan" karya Awi Chin.

Ketiga, hal-hal sehari-hari terkait persahabatan juga bisa kita temukan dalam lintasan orang-orang yang kita temui sehari-hari dan kita sering bertemu mereka meski hubungan itu gak dekat-dekat amat. Ini digambarkan dengan baik oleh Reda Gaudiamo dalam cerpen "Pada Suatu Senin" dan Kennial Laia dalam "Noel".

Cerpen yang paling kusuka berjudul " Soak 33" karya Sri Izzati. Membacanya langsung membawaku pada dunia realistis Jakarta dengan berbagai konteks yang banyak disembunyikan, khususnya dalam hal bermedia sosial dan bagaimana kita berhubungan dengan teman-teman kita di ruang media sosial tersebut. Ini riil banget, dalam cerita empat tokohnya yang hidup borju (Sonya, Kemala, Olga, dan Anita); bagaimana tiap tokohnya punya karakter yang menarik dan bisa saling "tusuk" sama lain di belakang, toh, semua dianggap masih baik-baik saja. Bagaimana hari ini status-status tanpa konteks yang menyisakan misteri memberi lubang dalam bagi rasa iri, ego, dan pamer orang lain. Gila ini gila.

Cerpen-cerpen unik lainnya seperti "Wasiat" karya utiuts, juga "Perjumpaan Singkat untuk Malam yang Panjang", juga " Makan Malam Perpisahan" karya Awi Chin, ketiganya punya satu benang merah sama mengenai golongan minoritas LBGTQ+, dan gimana pun sedihnya masih bisa dibilang itu valid.

Lalu ada satu kisah, tapi ini lebih serupa komik tentang Ira yang ikut berlayar di laut bersama teman-temannya. Kisah visual dalam gambar ini dibuat oleh Rassi Narika dalam cerita "Layar Terkenang". Ada kutipan bagus, "Di laut, orang datang dan pergi dengan arus. Lama-lama kami jadi seperti arus. Arus bertemu dan berpisah begitu saja. Tanpa janjian, tanpa pamitan, tak selalu saling mengabari, tapi selalu tahu kami terhubung lautan yang sama. Jadi, kedekatan itu menyenangkan, tapi berjauhan juga bukan masalah." ❤

Jumat, 11 Oktober 2024

Ulang Tahun Cakson ke-32

Kemarin Cakson ulang tahun yang ke-32, ulang tahunnya mudah diingat karena menjadi tanggal-tanggal cantik yang disukai jamaah Shopee, 10.10. Tanggal baik juga dimiliki Arwani yang lahir tanggal 12.12. Aku mengetahui tanggal lahir mereka dari repository UIN, membaca sekilas skripsi mereka (Cakson bahas film Captain Fantastic, Arwani bahas Gusdur) dan bonus sedikit riwayat hidup. Cakson kelahiran 1992, aku dan Arwani 1993, jadi seumpama di pohon keluarga, Cakson adalah kakak pertama, aku kedua, Arwani ketiga. Umur kami bertiga boleh dibilang sepantaran.

Di titik ini, aku tak pernah membayangkan akan menjalin persahabatan dengan dua makhluk aneh ini: Cakson dan Arwani, semenjak kami dipertemukan di UIN, lalu kami dipertemukan di Jakarta Selatan, Sabtu, 20 Juli 2024. Arwani membuat grup WA "Menolak Tua", dan kami membuat project "Slentang-Slenting" dengan semangat yang nothing to lose (yang kukira adalah sebaik-baiknya motif menjalani hidup). Kami beberapa kali bertemu lewat Zoom, membicarakan apa saja dari malam sampai pagi tengah malam. Gak ada ekspektasi menjalani ini, bahkan mungkin kalau sekadar hanya bercerita saja, buat kami (setidaknya buatku pribadi) sudah cukup. Menumbuhkan harapan-harapan hanya memperpanjang daftar penderitaan, aku menyerah. Jalani dan nikmati saja, itu udah cukup. Sebagaimana doa indah dalam Islam yang pernah kudengar:

"Ya Allah, ajari aku melihat segala sesuatu apa adanya."

Lanjut, semalam, kami video call dari jam 11.49 P.M. s.d. 3.28 A.M. Ya, hampir empat jam kami ngobrol, dan ini rekor terlama aku telponan sama orang(-orang) di gawai, karena aku pernah ada di titik sama sekali tak nyaman menerima calling phone, apalagi video calling itu menuntut energi dan "keberanian" sendiri. Namun, di titik ini bersama mereka, aku punya keberanian menampakkan diri secara effortless, tanpa beban harus begini dan begitu, dan yang gak kalah penting, bisa jadi diri sendiri. Pertemuan online ini terjadi pula, karena awalnya cukup skeptis, Arwani tengah di perjalanan dari Jogja ke Tegal.

Di ulang tahun Cakson, Arwani bertanya padanya terkait refleksi di ulang tahun Cakson itu. Cakson menjawab dengan ketawa-tawa, hingga aku usul untuk memancingnya dengan pertanyaan. Akhirnya aku dan Arwani diberi kesempatan menanyakan tiga hal, yang akan dijawab jujur oleh Cakson. Seingatku tanya jawab itu begini...

Arwani: Sebutkan tiga penyesalan yang pernah kamu lakukan sepanjang hidup?

Cakson menjawab, baginya tak ada penyesalan dalam hidup. Yang dia lalui sejauh ini dia terima, apa pun itu. Lalu Arwani menspesifikan pertanyaan itu, moment khusus apa yang membuat Cakson menyesal? Lalu Cakson menjawab "telat mengambil keputusan". Ini misalnya terjadi setelah lulus SMA, dia pernah daftar masuk Akmil (wah, tak kukira, haha, sebenarnya dari segi fisik udah cocok). Sebab ada masa tunggu 2 tahun, dia merasa itu bisa dia maksimalkan dengan baik seharusnya. Merefleksikan ke hidupku sendiri, aku juga pernah ada di titik itu, nyoba banyak sekolah kedinasan (IPDN 3X, STAN 2X, dan STIS 1X), gak lolos semua, dan seperti menyusahkan keluarga, malu dikatakan nganggur ketika ditanya keluarga besar, dan perasaan bersalah semacam itu.

Isma: Tiap kali ulang tahun, kadang aku selalu bertanya ke diri sendiri, capaian apa yang telah kubuat? Menurutmu, di umurmu sekarang, capaian besar apa yang udah kamu raih dan kamu merasa bangga dengan hal itu?

Cakson menjawab, kata dia, mungkin kedengarannya receh, tapi dia bilang saat dia membuat akun YouTube, dan dia mendapat respons dari banyak orang yang bahkan tidak dia kenal. Cakson merasa ternyata dia bisa melakukan sesuatu yang berdampak, dan itu memberi suatu kepuasan sendiri.

Dan aku tiba-tiba mengingat pengalaman tak terlupakan ketika umurku 17 tahun, dan aku ingin membuat hari itu sebagai hari yang spesial. Maka di pagi hari, saat itu tahun 2010 kelas 2 SMA, aku sepedahan sendirian dari Cepu sampai ke Bojonegoro (jarak PP kurang lebih 90 kilometer). Tujuanku ke alun-alun dan Masjid Alun-Alun Bojonegoro. Lalu aku pulang larut malam dan nyasar sampai ke belokan Ngawi arah ke Jogja. Ibuku sangat khawatir waktu itu aku hilang, sampai menayakan ke teman-temanku yang lain yang tinggal di perumahan RSS. Aku masih ingat sepeda itu sepeda yang kupakai sehari-hari ke sekolah, dengan pedal yang berat dan olahan yang berat. Ya, setidaknya itu terjadi bukan, ulang tahun ke 17 adalah ulang tahun yang kuingat selamanya hingga saat ini.

Arwani: Hal apa yang gak kamu sesali dalam hidup?

Cakson menjawab, kuliah di Filsafat UIN Jogja, secara umum adalah ekosistem Jogja. Kalau tidak ada Jogja dalam hidupnya, dia tak akan mampu menjadi seperti sekarang. Ketika daftar kuliah, dia daftar di UI pilihan pertama dan UIN pilihan kedua. Awalnya, dia berharap bisa keterima di UI, tapi dia akhirnya berdoa untuk diterima di UIN saja, ingin merasakan Jogja, dan pilihan itu tepat. Cakson bercerita jika dia lahir dari keluarga yang tak mempersiapkannya menjadi sesuatu, misal ada temannya, anak dari kyai pesantren mana yang didesain menjadi ini dan itu, setelah lulus menjadi ini dan itu. Di Jogja dia juga senang berada di lingkungan yang plural, bahkan temannya orang Katoliklah yang mengajarinya untuk bersyukur, karena di agamanya sendiri Islam, dia belum menemukan itu.  

Cakson juga menceritakan betapa mulia orangtuanya memberi nama lengkap Budi Agung Wicaksono, di mana Wicaksono itu sendiri berarti kebijaksanaan. Dari lahir barangkali Tuhan telah menakdirkannya untuk hidup di jalan kebijaksanaan (filsafat). Tak hanya bijaksana, tapi juga orang yang berbudi (berakhlak), juga orang yang agung (besar). Penjelasan tentang nama mengingatkanku dengan obrolan bersama Arwani ketika main di Tegal, kenapa aku dinamai Isma Swastiningrum dan kenapa Arwani dinamai Muhammad Arwani. 

Isma: Hal apa yang pengen kamu capai di masa depan? Yang belum kamu capai di masa sekarang? Mungkin semacam cita-cita atau mimpi?

Cakson menjawab, yang kutangkap intinya sebagaimana gagasan Pramoedya Ananta Toer (Pram), dia ingin ada hal besar yang berdampak luas, yang bisa dia wariskan untuk orang banyak. Buku-buku Pram itu telah mengubah banyak orang dengan ceritanya yang luar biasa. Dia juga pengen seperti Indomie, bayangkan, Indomie itu telah membantu berapa banyak orang yang kelaparan dengan produknya yang sederhana, mudah ditemui di mana-mana, dan semua orang suka. Spek menjadi seperti Pram dan Indomie ini cita-cita Cakson ke depan. Kalau capaian terdekat, sebagaimana orang yang berpikiran tradisional lainnya dalam tahap tertentu, dia ingin punya pasangan, dan ya syukur-syukur punya anak. Aku bertanya, kalau pandangan terkait child free gimana? Dia kembali seperti gagasan tradisional pada umumnya, ingin punya anak, meski kita gak tahu, ke depan Tuhan apakah memberinya atau tidak. Aku mengangguk dan menyepakati, itu hal yang realistis.

Arwani: Kalau kaum Eropa tiap kali meninggal di nisannya itu kan ada kata-kata yang menggambarkan tentang pribadi dan konsep dari orang itu? Kamu pengen naruh kalimat apa di nisanmu?

Cakson kesulitan menjawab karena belun begitu jelas, lalu aku memberi contoh semisal kalau di nisannya Karl Marx di Jerman itu kan dia nulis kira-kira bunyinya, "Tugas filosof bukan menafsirkan dunia, tetapi mengubahnya." Atau kalau di makam-makam orang Tionghoa atau umat Kristiani itu macam ada ayat Alkitab seperti Matheus ayat sekian. Atau dalam Islam, aku suka ayat Yasin: 21, yang bunyinya, "Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk." Lalu Cakson dengan sangat ringan menjawab, dia tak mau naruh kalimat apa pun di nisannya, biarlah orang-orang yang mengenalnya dengan baik saja yang memberikan kalimat itu. Haha, jawaban yang tak kusangka-sangka, karena sepertinya Arwani punya jawaban yang lebih meyakinkan akan hal ini. Namun, Cakson punya ide (entah ini dari hadis atau riwayat mana), katanya dalam bahasa Arab kemudian dia terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, "Dunia adalah penjara bagi orang-orang yang beriman, dan surga bagi orang-orang kafir." Menurut Cakson ayat itu sangat real dalam refleksi hidupnya, dan dia merasa mengalaminya sendiri, apalagi jika dikaitkan dengan fenomena sosial masyarakat yang sekarang.

Isma: Siapa sosok (dalam hal ini manusia) yang mengubah hidupmu menjadi sekarang ini?

Cakson menjawab, banyak orang dalam hidup ini yang telah mengubah banyak hidupnya. Sosok pertama tentu orang tuanya, ayah dan ibunya. Lahir dari orang tua yang bisa dikatakan terdidik, keluarganya telah mengajari dia soal kejujuran, terutama ibunya: kalau kamu gak suka, ya bilang gak suka. Misal, ketika ibunya memasak, Cakson gak perlu harus memanis-maniskan penilaiannya kalau masakan ibunya gak enak, dan ibunya terbuka akan hal itu, karena masukan dari Cakson juga berharga untuk pembelajarannya. Ini gak hanya terjadi pada masakan, tapi juga pada hal-hal lain, kalau gak suka, kamu bilang gak suka. Kurasa, ibu Cakson konsisten dalam hal ini. Sosok berikutnya, kakak dia, adik dia, yang kadang emang selalu gak bersesuaian tapi mereka telah mengajarinya banyak hal.

Sosok berikutnya, dosen-dosen di Filsafat UIN Jogja, ya yang sebagian aku tak kenal dan sebagian kenal. Misal Bu Fatimah, banyak mahasiswa yang katanya gak suka sama dosen ini, tapi gak bisa dipungkiri dia tipe dosen yang memacu mahasiswa untuk berkembang. Lalu, ada Pak Faiz (Fahruddin Faiz), Cakson sampai ambil dua kelas Pak Faiz tentang filsafat cinta; dan kelas itu bagi Arwani adalah kelas yang membuatnya semangat bangun pagi dan pergi ke kelas. Menurut Hera salah satu teman Filsafat mereka, tiap kali Pak Faiz datang ke kelas, tiba-tiba kelas terasa adem. 

Sosok lain tentu teman-teman dia, banyak orang-orang unik yang dia temui, dengan kelebihan dan kekuarangannya sendiri. Semisal Muhaimin, atau si Hera tadi. Hera ini tipe anak yang open minded dan ceplas-ceplos yang tak disangka dia berasal dari orang di luar Jawa seperti dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). "Kalau dia dari Jakarta atau Jabodetabek, aku bisa wajar, tapi kalau dari luar Jawa, itu beda sih," katanya. Juga ada teman sepantarannya yang di hidupnya sekarang punya pemikiran yang diluar pemikiran orang-orang Jabodetabek pada umumnya, teman dia pas buat konten.

Pertanyaan lalu aku giring ke lebih spesifik lagi, aku ceritakan pengalaman ketika kuliah pernah mencintai orang dengan dalam, tapi akhirnya tak berjalan tak sesuai ekspektasi, pelajaran berharga apa sih yang kamu pelajari soal mencintai orang lain? Haha, nanya ini kami saling ceng-ceng'an, banyak "merk" (nama orang) disebut, ya, kami sama-sama tahulah sedikit banyak kisah asmara masing-masing yang sama-sama nelangsanya itu. Cakson menjawab dengan jawaban yang longgar soal cinta dan welas asih.

Lalu, obrolan kami cair kemana-mana, soal ideologi, apakah ideologi itu penting? tanya Arwani. Karena dia gelisah akhir-akhir ini banyak orang yang membuat statement kalau ideologinya sendiri itu yang paling benar, dan orang-orang yang gak sesuai dengan ideologinya adalah salah. Aku dan Cakson sepemikiran jika ideologi itu sifatnya dinamis. Dia hanya berlaku untuk ruang tertentu, dan di ruang lain bisa jadi itu udah gak valid sama sekali, bahkan perbedaannya bisa antara siang dan malam. Salah satunya, seperti ideologi tempat kerjaku sekarang dengan komunitas yang pernah aku terlibat di dalamnya saat kuliah, misal berkaitan dengan ideologi anarkisme. Tapi orang harus lentur dan fleksibel seperti air bukan biar terus hidup, dan adaptasi penting. Di mana pun kamu berada, akan selalu ada tanggung jawab yang perlu kamu lakukan dan kamu harus berdamai dengan itu.

Pertanyaan lain beralih padaku, misal Cakson bertanya, selain kegelisahan akan rumah, hal apa yang menggangguku? Aku menjawab salah satunya adalah pendidikan sampai S3. Kenapa itu penting? Tanyanya lagi, aku jawab, pertama soal keluargaku, Bapak sangat menghargai pendidikan sementara ibu lulus SD saja tidak, dan aku pengen buktiin ke orang tua, anaknya cukup bisa dibanggakan dalam hal pendidikan. Kedua, karena pengen jadi peneliti dan penulis, dan almamater menjadi bagian penting ketika orang ingin mengembangkan karier dan peer group sesama peneliti. Ketiga, ekosistem institusi pendidikan memberiku kesempatan untuk berdiskusi dan memberi ruang belajar. Dari ketiga itu, Cakson bertanya, mana alasan yang paling kuat? Aku jawab nomor dua, ya, cukup menjawab kebutuhan setidaknya, haha. Meski kadangkala aku berpikir juga, pendidikan tak sepenting itu asalkan aku masih diberi ruang untuk menulis dan membaca, bagiku itu sudah cukup.

Kami juga bahas tentang orang Madura, lalu beralih ke teman kami yang berasal dari Magelang yang aneh suka cerita terkait kerajaan-kerajaan dan Islam, sampai di akhir obrolan, kami bahas tentang kasus gen Z, juga gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad yang bermasalah padal istrinya Nagita Slavina itu lulusan UI dan Universitas Melboune (eh salah, harusnya ANU, Australian National Unversity, semacam UI-nya Australia). Bayangkan istrinya yang kupikir dia gak bodoh gitu secara pendidikan, tapi bisa dibohongi dengan gelar abal-abal dari universitas di Thailand yang susah ditemukan kantor fisiknya di mana, atau pidato rektornya yang bahasa Inggrisnya sangat belepotan kemana-mana (banyak parodinya di YouTube).

Sampai pada satu pertanyaan yang kami lempar, "Ketika kamu bertemu seseorang yang kamu tahu banyak hal kamu merasa dia gak memenuhi kriteriamu, tapi kamu merasa itu orangnya (he/she is the one), kamu bakal nerima itu atau enggak? Indikatornya apa?" Seperti kasus Raffi dan Nagita, yang secara pendidikan bisa dikatakan gak setara. Baik Cakson dan Arwani mencari jawaban itu, aku jawab simpel aja sih, kalau dalam Islam itu, keyakinan atau iman, yang entah apa indikatornya, semacam ada perasaan mantap ketika hidup sama seseorang itu dengan semua kelemahannya. Pengalaman juga, kadang orang terutama perempuan terjebak dalam hubungan Rangga Syndrom, yang suka sama cowok-cowok sok cool dan misterius, tapi tipe kayak gitu bagus secara fiksi, dan gak bagus untuk dijadiin suami. Juga tokoh-tokoh seperti di serial Naruto dan Aang itu, tokoh utamanya itu utopis dan diciptakan karena di dunia nyata tak ada yang seperti mereka. Justru yang nyata itu tokoh antagonisnya, seperti Uchiha Sasuke atau Pangeran Negeri Api.

Obrolan kami berakhir dengan project tidak jelas lainnya, yaitu membuka praktik Psikolog Abal-Abalan, yang mewadahi para gen-Z untuk menguatarakan permasalahannya, kita bedah masalahnya. Aku bagian psikologi modern, Cakson bagian ngompor-ngompori, dan Arwani bagian yang menambah keruwetan. Sebagai awal, konsultasi ini gratis, haha. 

Sebab telah mencapai dini hari, obrolan kami akhiri. Ulang tahun yang ideal menurutku memang seperti ini, sederhana dan effortless, tapi bermakna, bukan dengan kue ulang tahun, tiup lilin, party gak jelas, atau hal-hal yang di luar terlihat ramai tapi di dalam sepi. Rasanya senang punya teman-teman yang bisa diajak deep talk tentang hal apa pun seperti mereka. Ini harta yang kuimpikan sejak lama, dan meski aku tak punya siapa-siapa, tapi masih punya sirkel seperti ini, aku yakin akan masih bisa baik-baik saja. Makasi Cak, Wan, semoga kalian selalu sehat (lahir-batin) dan hidup, itu saja doaku. Aamiin. 

Satu lagu untuk kita bertiga menutup tulisan ini, sebagai refleksi kehidupan kita masing-masing (antara "I" yang di luar dengan "I" yang di dalam, antara sisi maskulinitas dan feminitas kita, antara mimpi dan realita kita, antara yang berubah dan yang tidak berubah), "Grow a Day Older" dari Dewi Dee Lestari...

See the sunrise 

Know it's time for us to pack up all the past 

And find what truly lasts

If everything has been written down, so why worry, we say 

It's you and me with a little left of sanity

If life is ever changing, so why worry, we say

It's still you and I with silly smile as we wave goodbye 

And how will it be? 

Sometimes we just can't see

A neighbor, a lover, a joker

Or a friend you can count on forever? 

How tragic, how happy, how sorry? 

For all we know, we've come this far not knowing why

So, would it be nice to sit back in silence? 

Despite all the wisdom and the fantasies 

Having you close to my heart as I say a little grace 

I'm thankful for this moment cause I know that you 

Grow a day older and see how this sentimental fool can be

When she tires to write a birthday song 

When she thinks so hard to make your day 

When she's getting lost in all her thoughts 

When she waits a whole day to say...

"I'm thankful for this moment cause I know that I 

Grow a day older and see how this sentimental fool can be 

When he ache his arms to hold me tight 

When he picks up lines to make me laugh

Whan he's getting lost in all his calls 

When we can't wait to say : "I love you'." 

If everything has been written down, so why worry, we say

It's you and me with a little left of sanity

Kamis, 10 Oktober 2024

Catatan Buku #12-14: Hidup Harus Pintar, Catatan Najwa, dan Hidup Damai

Emha Ainun Nadjib - Hidup Itu Harus Pintar Ngegas dan Ngerem (2016)

Ini entah buku kedua atau ketiga Cak Nun yang kubaca. Tulisan beliau punya blueprint sendiri, yang ketika hanya membaca satu paragraf saja, maka bisa dikenali itu tulisan Cak Nun. Beberapa pola yang kerap dia pakai dalam menulis adalah membedah kosa-kata dalam berbagai bahasa, khususnya Jawa, Arab, Indonesia, dan Inggris. Cak Nun bilang, sebuah "kata" itu serupa "pintu", yang akan membuka dan membawa seseorang pada ruang-ruang lain. Selain itu, dengan membaca buku ini, kita bisa membayangkan antara tulisan Cak Nun dan ketika Cak Nun ngomong itu hampir sama. Jadi seolah buku ini itu kayak dialog antara pembaca dan Cak Nun.

Di buku ini, ada 11 esai berkaitan dengan ilmu hidup, ilmu menafsirkan, kemandirian dan kemuliaan, pengembangan akal sehat, kondisi ashabul kahfi, dan bagaimana Cak Nun membahasakan ilmu-ilmu langit dengan cara yang membumi. Kiasan yang beberapa kali diulang seputar Tuhan dan turunannya seperti pengibaratan singkong dan ayam. Singkong itu bisa diubah jadi apa saja, dari kripik, getuk, tiwul, cenil, tape, dll, tapi tetap asalnya adalah singkong. Lalu, bunyi ayam bisa berbeda antara di Jawa, Madura, dan Padang, tapi tetap intinya adalah ayam. Ingat inti(asali)nya, bukan turunannya.

Hal menarik berikutnya berkaitan dengan penafsiran terhadap Al-Quran. Menurut Cak Nun, Al-Quran itu punya banyak sisi yang bisa ayat itu untuk hukum, atau untuk didiskusikan, salah satu ayat yang perlu didiskusikan adalah soal poligami. Lalu, soal solat, apa pun, carilah "nikmat dan manfaat" dari apa yang kita lakukan. Puasa dan tirakat pun juga begitu. Soal tirakat ini, gak ada yang nyuruh kamu untuk begini dan begitu, tapi kalau kamu tak mendisiplinkan dirimu, hal di luar dirimulah yang akan mendisiplinkanmu. Cak Nun dalam tirakatnya pernah mendisiplinkan diri bangun sebelum subuh, menyapu halaman pesantren/tempat kyainya yang luas, lalu azan Subuh. Ya, lakukanlah atau berkumpullah pada hal-hal yang bercahaya, maka suatu hari kamu akan menjadi cahaya. 

Najwa Shihab - Catatan Najwa (2016)

Buku ini ditulis sebagaimana Najwa Shihab menahkodai acara di MetroTV, "Mata Najwa". Tidak banyak yang bisa kubahas karena mungkin Joko Pinurbo di kata pengantar buku ini sudah cukup komprehensif membahasnya. Tak diragukan kata-kata Nana emang dibuat tegas, berani, berima, dan dalam tahap tertentu barangkali seperti "dibuat-buat". Banyak lintas sejarah dibahas dalam beberapa catatan kecil serupa puisi, dari bungkamnya Boediono, taktik Megawati, hingga nama-nama besar atau narasi-narasi besar yang cenderung megalomania. Dan narasi yang akan membuat Nana menyesal juga adalah cerita terkait anak Jokowi, Gibran dan Kaesang yang ditulis di buku ini tak ikut mengeksploitasi kedudukan ayahnya dan fokus dengan bisnis beserta tampang lugu mereka itu, haha, kocak yang ini kalau kita tahu narasinya sekarang. Ya, people change, don't they? To be worse or better, so, I took a message, before they die, just being so-so to value people.

Tsuneko Nakamura dan Hiromi Okuda - Hidup Damai Tanpa Berpikir Berlebihan: Cara Mengompromikan Perasaan dengan Kenyataan (2021)

Buku ini menguatkanku untuk tidak menjadi apa-apa itu tidak papa. Bahkan misal hidup hanya untuk melanjutkan hidup itu juga gak papa. Hidup hanya mengikuti arus pun juga gak papa. Bahkan kamu bisa hidup sampai hari ini pun itu udah prestasi. Yang masalah itu ketika membebani diri sendiri dengan pikiran dan harapan berlebihan, tak bisa diwujudkan dalam kenyataan, kemudian mengganggu kesehatan dan stres sendiri. Banyak orang menderita karena pikiran, ambisi, dan egonya sendiri; untuk bebas dari semua itu, LEPASKAN. 

Kamu tuh sebenarnya tak butuh jabatan tinggi, tak butuh kaya raya sundul langit, tak butuh diakui eksistensinya; bahkan kebutuhan utama yang kutangkap dari buku ini adalah kamu sehat dan masih punya orang-orang baik yang bisa kamu ajak ngobrol; urusan selebihnya hanya sampirannya saja. Bahkan asal kamu bisa makan, tidur, dan melanjutkan hidup, itu sudah cukup. Kata Tsuneko yang berprofesi sebagai dokter psikiatri dan mengalami dinamika hidup sejak perang dunia II, dengan Jepang sebagai negara pelakunya adalah:

"Saya merasa dengan berpikir 'menjalani hidup hari ini', saya tak lagi terkungkung oleh hal-hal yang tidak perlu. Apa yang dimaksud dengan hal-hal yang tidak perlu adalah keinginan-keinginan untuk 'lebih', seperti ingin menjadi hebat, ingin lebih diakui, atau ingin lebih kaya." (h. 54)

Saat umurmu udah mencapai 80-an, capaian-capaian hidup itu sama saja, pujian dan makian juga sama saja. Hal fatal pula yang dilakukan seseorang ke diri sendiri adalah merundung/membully diri sendiri, semisal merespons perkataan orang lain yang tak mengenakkan tentang kita, "kenapa dia berkata begitu?" Memang kita punya kesalahan, tapi tak usah merundung diri sendiri. Aku sepakat jika tak ada nilai 100 dalam hubungan manusia, meski nilai negatif itu ada. Tak perlu menghitung untung-rugi pula ketika berhubungan dengan orang lain. Jangan pula ada sudut pandang untuk membandingkan diri sendiri dengan orang lain (oh, tidak lagi), "Orang lain punya kehidupan sendiri dan saya punya kehidupan saya sendiri!" (h. 130) atau, "Saya tidak punya perasaan suka atau tidak suka terhadap orang lain." (h. 132) atau, "tidak punya harapan atau perasaan berlebihan terhadap orang lain." (h. 133) atau "kesendirian adalah kondisi ilmiah. Dia punya fondasi hati seorang diri, tidak memiliki keinginan dan harapan kuat terhadap orang lain." (h. 136) atau "Bagaimana pun manusia hanya bisa menjalani hidup 'sebagaimana dirinya.' Cobalah untuk mengingat itu ketika merasa lelah hidup dipermainkan orang lain." (h. 148)

"Di bagian manapun nanti saya bekerja, tak ada salahnya juga mempelajari tentang hati manusia." (Hal. 62) Juga kalau menurutku, tak ada salahnya pula melakukan hal semampunya tanpa membebani diri. Apa yang ada di depan mata adalah yang utama. Jalin hubungan dengan orang yang tak membebanimu, dan jika telalu penuh, jangan memaksa diri menambah kerja dan pelajaran. Untuk memulai sesuatu juga tak harus dengan semangat 100, kalau 10 kamu bisa mengerjakannya pun juga tak papa. Untuk menjagamu tetap tenang juga, "Jangan memikirkan pekerjaan di luar waktu kerja."  Hal lain, gak masalah lho kalau kualitas pekerjaanmu tak sempurna, kenapa harus mencapai apa yang diidam-idamkan? Emang itu untuk siapa? Lebih baik untuk tetap bekerja, "bekerja untuk hidup" menjadi "membunuh waktu dengan menyenangkan lewat bekerja." atau "berharap menjadi sosok yang bisa menerangi sebuah sudut, meski tanpa kesuksesan atau kiprah yang spektakuler."

Pun dengan aturan mendidik anak, sebenarnya yang mengganggu orang tua bukan soal anak-anak, tapi kesan terhadap mereka sebagai orang tua atau bagaimana masyarakat memandang mereka. Bagi anak-anak hanya ada satu ibu, satu ayah; tapi soal pekerjaan bisa digantikan dengan yang lain. Pun untuk diri sendiri, bukan kamu yang mengganggu, tapi pikiran orang lain tentang kamu yang mengganggu. Di sini Okuda menulis, "Dokter Tsuneko orang yang tidak banyak memiliki keinginan. Ia selalu berpenampilan rapi dan santun, namun tak pernah sekali pun menggunakan tas atau aksesoris-aksesoris mahal. Ia tidak pernah berburu kuliner, dan sama sekali tak memiliki hobi yang menguras uang. Dia tentu saja tidak punya hasrat terhadap uang dan benda, dan selama hampir tujuh puluh tahun bekerja, ia sama sekali tidak pernah mengejar posisi maupun reputasi." (h. 129)

Aku suka pesan akhir dari Dokter Tsuneko ini, aku akan mengulangnya, "Selama bisa makan kenyang, bisa tidur dengan aman, dan punya pekerjaan yang bisa menghidupi kebutuhan paling minimal, maka semua pasti akan baik-baik saja. Kalau pun ada sedikit hal yang tidak berjalan baik, tak perlu dipikirkan." (h. 127). Indeed.

Jumat, 04 Oktober 2024

Catatan Film #26: Young Sheldon (2017)

Ini serial US berikutnya dengan banyak episode yang kutonton setelah Bojack Horseman. Aku menyelesaikan serial ini pada tanggal 1 Oktober 2024 lalu. Banyak pelajaran berharga yang kudapat berkenaan dengan hidup, menjadi orang tua, menjadi anak, menjadi murid, menjagi umat beragama, menjadi kekasih, menjadi nenek, menjadi pemimpin, menjadi rekan kerja, film ini begitu kompleks. Dia tak mencoba menceramahimu dengan nilai-nilai berkaitan dengan hidup, karakter mereka realistis, karena mereka realistis, makanya mereka hidup. Bahkan setiap karakternya aku bisa mengingatnya dengan baik. 

Aku mungkin tak akan berbicara terkait alur, karena dari season 1 saat Sheldon masih kecil, hingga season 6 yang tayang di Netflix saat Sheldon udah jadi anak kuliahan begitu menarik untuk diikuti. Tiap episode di tiap season-nya membawa kelucuan sendiri. Inti garis besar alurnya adalah, bagaimana George dan Mary membesarkan ketiga anak mereka yang spesial, dengan bantuan seorang nenek (Meemaw) yang bisa menjadi dirinya sendiri. Aku tak melihat serial ini sebagai komedi, malah aku melihatnya sebagai teater hidup yang bagus.

Bahkan, aku bisa belajar tidak hanya dari tokoh-tokoh utama, tapi juga tokoh-tokoh pendukung yang banyak sekali dan memberi warna mereka sendiri. Seperti teman Sheldon bernama Paige, ah, kasihan sekali anak perempuan genius itu. Orang tuanya bertengkar, dia disorientasi terkait kecerdasannya, menjadi anak nakal alih-alih mencitrakan diri sebagai genisu seperti Sheldon (padahal Paige lebih genius dari Sheldon), dan Paige lebih banyak membuat kenakalan remaja bersama Missy, misal ketika Missy kabur dari rumah mengajak Paige ke Florida sebagaimana di film "Thelma & Louise". 

Tokoh pendukung lain yang menarik misal tentang Pastor Jeff, Pastor Rob, dan ibu yang suka merokok yang ngurus administrasi itu. Bagaimana Pastor Jeff menikah dua kali, dengan pernikahan pertama yang gagal. Juga hubungan akademik yang tak selalu soal fisika dan matematika sebagaimana terjadi pada Dr. Sturgis, Dr. Linkletter, Rektor Universitas, di mana para pria genius ini mencintai Meemaw; meski hingga season akhir, Meemaw lebih memilih Dale, pelatih bisbol, yang mengizinkan Missy, anak perempuan untuk ikut bisbol. Kupikir Meemaw memang lebih cocok dengan Dale, karena lebih bisa mengimbangi karakter Meemaw.

Tokoh pendukung lain, seperti teman Sheldon dari Vietnam bernama Tam Nguyen, sumpah, ini pas keluarga Tam yang seorang imigran ke Amerika lucu banget, gimana menurut mereka bekerja keras di negeri orang itu lebih penting daripada perayaan hari-hari di US semacam Haloween atau lainnya. Yang paradoks juga tentu Billy Sparks anak dari Brenda Sparks, tetangga Sheldon. Billy kemampuan otaknya bertolakbelakang dari Sheldon, dia sering tak naik kelas, passion utamanya tentang ayam, dan pernah mengajak Missy kencan ke ayah Missy sendiri, George. Billy anak yang polos, tapi begitu jujur. Kalau dia sedih pun, mungkin orang akan sulit untuk mengenali emosinya. Juga kisah teman-teman George di sekolah, bagaimana guru-guru mengistimewakan Sheldon. 

Namun, yang menarik tentu para tokoh utamanya. George adalah tipe ayah yang memberi kebebasan kepada anaknya, tak penuntut, tapi juga orang yang sangat realistis. Adegan ayah anak paling menyentuhku adalah bagaimana hubungan George dengan Missy anak perempuannya. Ketika mereka makan malam berdua, ketika George mengajari Missy menyopir, hingga di akhir season 6, ketika George dan Missy sama-sama berbaring di jalan di tengah tornado datang, dan tornado itu memporak-porandakan rumah Meemaw hingga berkeping-keping.

Lalu karakter Mary, dia adalah sosok ibu yang sangat religius sebenarnya. Dia bekerja untuk gereja, meski setelah Georgie menghamili Mandy saat usinya baru 17 tahun, sementara Mandy hampir beda 9 tahun darinya, membuat Mary berhenti kerja di gereja, dan ikut kerja di tempat Brenda. Mary adalah sosok ibu yang manis, sosok ibu yang sepertinya diimpikan siapa saja. Dia pintar memasak, pinta menenangkan anak-anaknya terutama Sheldon, dan sangat perhatian sama anak-anak mereka.

Sosok anak pertama, Georgie, tentu dia anak yang sangat unik. Sebagai anak pertama, dia punya pikiran sendiri, cukup keras kepala, dan tak mau dikendalikan. Melihat Georgie seperti melihat ke diri sendiri, haha, ya, begitulah anak pertama, aku punya beberapa kesamaan dengan Georgie memang. Drama Georgie memang sangat banyak, selain menghamili Mandy, dia juga drop out di kelas-kelas akhir mau kelulusan, dia tak suka sekolah, tapi punya kemampuan luar biasa di bindang bisnis, sales, dan otomotif. Bahkan ada di sebuah episode, Georgie bisa menemukan lubang ban yang kempes hanya dari mengelus ban itu. Tapi, senakal apa pun Georgie, dia tetap tanggung jawab, dia menikahi Mandy dan berusaha menjadi ayah muda yang baik bagi CeeCee. Sebelum menikah dengan Mandy, Georgie juga pernah suka sama Veronica, gadis nakal yang telah bertobat ke gereja.

Anak kedua yang tak kalah manis adalah Missy. Sebagaimana nasib anak-anak tengah pada umumnya, Missy merasa dirinya paling tidak diperhatikan oleh ayah ibunya dibandingkan kakak atau adiknya. Missy sempat minggat dari rumah gara-gara ini, hingga Sheldon menjemputnya. Ya Allah, Missy ini sebenarnya manis banget. Aku suka karakternya, meski dia nakal (dan mencoba berbagai kenakalan), lagi-lagi Missy akan kembali lagi pada keluarganya, pada ayah, ibu, kakak, atau adiknya. Misal ketika dia ingin ikut pesta, dia selalu minta izin pada Mary; atau ketika disakiti oleh cinta pertama di sekolah dia lari ke Meemaw, Meemaw adalah penasihan utama percintaannya. Aku suka karakter Missy, satu kata tadi, anak manis. Di balik sikap tidak pedulinya di luar, sebenarnya dia anak yang paling peduli dan sayang dengan keluarganya. Ada episode lucu ketika Missy dan Sheldon karakternya diteliti secara ilmiah, dan terlihat bagaimana empatiknya Missy.

Anak ketiga, tentu yang menjadi tokoh utama dalam cerita ini: Sheldon Cooper. Awal-awal aku tidak begitu ngeh kalau Sheldon dan Missy itu anak kembar laki-laki dan perempuan. Sikap dan sifat mereka jauh. Kalau Sheldon di otak kiri, Missy di otak kanan. Fokus ke Sheldon, aku melihat Sheldon ini seperti orang yang punya dunia sendiri. Dia tak dipengaruhi oleh sekelilingnya, apa pun celaan, tantangan, atau makian yang datang kepadanya benar-benar diprosesnya secara ilmiah. Jika kejadian tertentu akan melukai perasaan Missy, maka itu tidak akan bisa melukai perasaan Sheldon. Barangkali, hal-hal yang melukai perasaan Sheldon adalah berkaitan dengan hal-hal ilmiah juga, misal dia gagal nemuin rumus, gagal dengan proyek database pemrograman. Kecintaan Sheldon pada serial luar angkasa Star Trek juga cukup menarik, karena membawanya kabur sendiri dengan bus menuju tempat idolanya.

Serial ini secara keseluruhan mengajariku tentang: menjadi tidak sempurna dan banyak kesalahan itu it's okay, toh semua akan berlalu juga. Serial ini sangat-sangat realistis. Kedua, menjadi nyentrik dan tetap menjadi diri sendiri itu penting, karena dengan begitu, kamu akan lebih diingat orang lain. Ketiga, hubungan antar-manusia itu sebegitu kompleksnya, dan orang-orang yang mendukungmu pertama kali dan bisa diandalkan adalah keluarga dan sahabat-sahabatmu. Keempat, menjadi tua tapi tetap gaul itu penting sebagaimana dicontohkan Connie. Kelima, jadi angsa hitam dari sekian banyak angsa putih itu juga gak papa banget. Keenam, mandiri dan miliki pikiran sendiri. Ketujuh, masa depanmu tak ditentukan oleh guru dan tetanggamu. Kedelapan, gak jadi jenius gak papa, yang penting kau punya karakter kau sendiri. Kesembilan, aku merekomendasikan serial yang sungguh "bazinga!" ini. Dan masih banyak lainnya....

Ini dia pemain-pemain kuncinya:

Young Sheldon's characters
Another characters

Ya, I have finished watching all of their episodes on Netflix. They gave me a better perspective and paradigm about American people, not on NY/LA's life that is overrated, but as Texans. Many memorable moments like a rock-and-roll grandma (Meewmaw), or not an easy-peasy role as parents, or a dad who was imperfect yet the realistic father that he could be, a mom who remain stricts at The Lord and the church, the family first over anothers, siblings bonding, neighborhood relationship, academic humorous and darkness, so on. For God's sake, it's amazed following them from they were children to the mature guys as they're now. Thanks to Cooper's family: George, Mary, Georgie, Missy (Melisa), and Sheldon (Shelley).