Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya ilahi
Bila hati kian bersih pikiran pun akan jernih Semangat hidup nan gigih prestasi mudah diraih Jika hati berkarat semua terasa berat segeralah bersholawat kepada Nabi Muhammad
Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini Jagalah hati jangan kau nodai Jagalah hati cahaya ilahi
Bila hati kian suci tak ada yang tersakiti pribadi menawan hati ciri Mukmin sejati Namun bila hati busuk pikiran jahat merasuk Akhlak kian terpuruk jadi mahluk terkutuk
Jagalah hati jangan kau kotori
Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai Jagalah hati cahaya ilahi
Shalatullah Salamullah Alla Toha Rasullilah Shalattullah Sallamullah Alla Yasin Habibillah
Tawassalna Bibismillah Wabil Hadi Rasulillah Wakulli Mujahidilillah Bi Ahlil Badri Ya Allah
Jagalah hati mulai saat ini Jagalah hati dari iri dan dengki Jagalah hati ingatlah ilahi
Jagalah hati sholawat pada nabi
Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini Jagalah hati jangan kau nodai
Jagalah hati cahaya ilahi Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini
Jagalah hati jangan kau nodai Jagalah hati cahaya ilahi
Bila hati kian bersih pikiran pun akan jernih Semangat hidup nan gigih prestasi mudah diraih Namu bila hati keruh batin selalu gemuruh seakan dikejar musuh dengan Allah kian jauh
Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini Jagalah hati jangan kau nodai Jagalah hati cahaya ilahi
Shalatullah Salamullah Alla Toha Rasullilah Shalattullah Sallamullah Alla Yasin Habibillah
Tawassalna Bibismillah Wabil Hadi Rasulillah Wakulli Mujahidilillah Bi Ahlil Badri Ya Allah
Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini Jagalah hati jangan kau nodai Jagalah hati cahaya ilahi
Jagalah hati jangan kau kotori Jagalah hati lentera hidup ini Jagalah hati jangan kau nodai Jagalah hati cahaya ilahi
Lisa (Aurora Ribero) dan Sarah (Arawinda Kirana) ini secara wajah dan
fisik tampak seperti anak kembar. Mereka dua sahabat yang saling membuat
konten ASMR bersama, ibu Lisa seorang muallaf yang hidup di keluarga ekonomi menengah ke bawah dan harus membantu warung mi milik ayah barunya. Sementara Sarah, dari keluarga menengah atas, tapi orang tuanya meninggal karena kecelakaan dan harus hidup dengan kakak satu-satunya Ario yang diperankan oleh Kevin Julio. Konten ASMR ini menjual sensualitas dengan harapan akan mendapat respons yang banyak dari netizen.
Tertarik film ini karena pernah diulas sama Bhena di Remotivi, setelah menontonya, film garapan Gina S. Noer ini memang bagus. Maksudku, eksekusinya baik di tengah generasi Z dengan pola pikir yang seperti itu: eksplorasi, viralitas, vitalitas, dan aneka percobaan hidup masa muda. Secara teknis, sinematografinya juga bagus. Kesan menonton film ini, aku berani lagi mengangkat jari tengah untuk pria-pria di luar sana yang sebrengsek Devan (Jerome Kurnia). Betapa nasib perempuan emang bisa sehancur dan sepatah itu di depan pria yang otaknya ditaruh di selangkangan, kemudian masih bisa hate speech dan victim blaming ke yang lain.
Home Sweet Loan (2024)
"Home Sweet Loan", film yang terlalu relate sama cita-cita dasar banyak orang: punya rumah sendiri. Apalagi bagi anak yang punya banyak saudara, para saudara sudah menikah dan punya anak. Satu rumah harus ditinggali tiga keluarga, yang bahkan tak punya ruang privasi satu sama lain. Betapa crowded dan bermasalahnya. Tokoh utamanya, Kaluna, tipe anak terakhir yang dijadikan kalahan, suka dijadikan "pembantu", yang harus "nerimo" apa pun keputusan orangtua dan kakak-kakaknya. Kaluna rela gak jajan, gak ngopi, gak makan-makanan enak, gak hiburan khas Jakarta yang macem-macem, kerja keras teros cuma pengen beli "rumah". Suka pas adegan dia dan teman2 gengnya (Danan, Tenish, Miya) cek rumah KPR, yang teliti banget sampai rambut tembok dan suara dinding yang kedap dan gak diperhatikan. Karena punya pengalaman serupa, beli KPR tapi lihat unit show up yang udah full furnished itu agak sulit masuk ke logikaku, karena di aslinya akan beda jauh. Overall, film yang katanya diangkat dari novel Almira Bastari ini bagus, 8/10.
Aku rindu membaca cerita dengan nuansa seperti yang dihadirkan oleh "Semasa". Barangkali genre-genre tulisan seperti ini adalah jenis tulisan yang kusuka: dekat, sehari-hari, tidak menggebu-gebu, tidak terbebani ide-ide akan sejarah/politik/ekonomi yang besar, dan satu hal yang terpenting, ditulis dengan perasaan. Kisah Sachi dan Coro yang dikisahkan Maesy dan Teddy sederhana saja, dua orang sepupu yang bernostalgia akan kehidupan rumah di perkebunan teh, dan bagaimana rumah itu akhirnya dijual. Bukan fisik tentunya yang membuat rumah itu susah dilepaskan, tapi soal kenangan masa kecil, ikatan persaudaraan antara Bapak Coro, Bibi Sari, dan Paman Giofridis. Alurnya lamban dan lurus seperti tiang bendera, tapi tiap kalimatnya memang dipilih untuk sedekat mungkin dengan kehidupan. Dulu pas peluncuran pertama buku ini, aku masih ingat berada di Jogja, sama Mas Eka, Mbak Ratih, Maesy, Teddy, dll, aku tak ingat isi diskusinya, yang kuingat hanya kesannya, menyenangkan. Seperti masakan ibu, begitulah rasa buku ini.
Tadi malam aku pulang dari les bahasa Jepang dengan wajah lempeng. Barangkali malam itu adalah malam terakhirku les di Evergreen, Pasar Baru, sebab malam ini adalah ujian akhir. Ujian akhir yang tanpa persiapan, seperti perang tanpa senjata. Padahal, aku telah menyerah dengan perasaan damai dan ikhlas. Aku berterima kasih untuk pelajaran sekitar 5 bulan ini, berikutnya, aku akan belajar bahasa Jepang dengan mandiri dan caraku sendiri. Arigatou gozaimasu Jovan-sensei to watashi no tomodachi, Steven-san & Aulia-san!
Ketika pulang, di gang menuju kosku, aku melihat seekor kucing terbujur lemah, sakit, tanpa tenaga, dan seperti dalam kondisi sakaratul maut. Dia terbaring jarak dua rumah dari jalan kosku. Setelah memarkir motor, aku mendekatinya karena aku merasa perlu melihat kondisinya seperti apa. Apakah dia sudah meninggal atau bisa diselamatkan? (yang aku sendiri tak tahu cara menyelematkannya) Ketika kudekati dia, mata dan tubuhnya digigit oleh semut-semut merah yang ketika menggigit kulitmu akan merah dan gatal hingga tak nyaman.
Jujur, respons pertamaku adalah bingung.
Kondisi terakhir menemukannya
Sebenarnya, kucing berwarna putih campuran hitam ras domestik Indonesia yang kini berwarna kekuning-kuningan ini adalah keluarga kucing liar (stray). Dia hidup bersama kucing-kucing lain di sekitar kosku. Jauh sebelum dia terbujur kaku malam itu, aku kerap melihatnya berkeliaran di gang sekitar kos (gang kosku banyak kucing liar, kalau dihitung-hitung, ada kali lebih dari tujuh, dan kadang para pejalan kaki yang lewat kesitu sering bawa makanan kucing dan diletakkan di atas aspal). Dia dari dulu memang kurus, tapi keprihatinanku bertambah ketika fisiknya kena penyakit kudis (scabies). Kudis membuat kuping, wajah, dan kulit bulunya tampak memprihatinkan. Aku ingin memberinya obat tapi bingung dan tak sempat karena kesibukan-kesibukan yang kurencanakan sendiri.
Sekitar seminggu lalu (hari Kamis), dia tampak kelaparan. Kebetulan saat itu aku membeli nasi goreng Go-food yang masih tersisa karena porsinya kebanyakan. Masih ada telur di sana, dan aku memberikan itu pada si kucing itu. Kucing lain sempat mau menyerobot makanannya, tapi aku usir, dan dia makan sedikit demi sedikit. Lalu, aku biarkan dia melanjutkan hidupnya sendiri, sedangkan aku harus pergi ke kantor.
Hingga tadi malam, kutemukan dia sudah kritis dan tak berdaya lagi. Aku melihatnya seperti sedang mengalami masa terberatnya: nafasnya kerenggosan, aromanya sangat bau, perutnya selain kempes juga kembang-kempis, matanya kosong mesti pupilnya masih menunjukkan ada harapan hidup, taji giginya keluar menahan sakit, anusnya mengeluarkan kotoran dan cairan... Aku pengen nangis melihatnya, tapi gak tahu harus gimana.
Lalu, aku ambil wadah di kos dan kain putih untuk mengangkatnya. Aku tempatkan dia di tempat yang lebih tenang dan tidak stres di masa kritisnya.
Aku akhirnya menghubungi Arwani dan Cakson via grup Menolak Tua. Lalu, kuhubungi pula beberapa teman yang kurasa punya kepedulian terhadap hewan dan kucing. Aku kirim pesan ke Ria, beberapa waktu kemudian Ria menelponku. Dia menjelaskan kondisi kucing itu sulit diselamatkan, dia sudah dehidrasi parah, lemas tak berdaya, kesempatan hidupnya kecil, dan untuk menghentikan kesakitannya, sebaiknya aku membunuhnya secara perlahan lewat nadinya sambil didoakan dan menyebut doa-doa baik. Lalu dia mengirimiku beberapa video.
Malam itu, ada tetangga kos Mas Adi yang sedang ngecek motornya ke bawah. Aku cerita kondisi kucing itu. Dia juga bingung. Aku bilang terkait saran Ria ke Mas Adi, dia bilang gak berani membunuhnya--lebih baik dibiarkan dulu. Akhirnya dia kembali ke lantai atas kos. Lalu aku bilang ke Ria, "Aku gak berani (menyentuh hingga membunuhnya) 😭" Ria membalas lagi:
"Is, buat dia nyaman di akhir hidup dia, kamu bisa elus dan kasih dia doa sampai nunggu dia udah nggak napas ... aku biasanya kalau ada di kondisi seperti itu, aku stel lagu beatles yang judulnya "here, there, and everywhere" ... setidaknya dia udah pernah disayang sama seseorang. makasih ya Is, kamu orang baik dan bersedia membagi kasih untuk kucing yang lagi sekarat."
Aku menuruti saran Ria, aku setel lagu "Here, There, and Everywhere" dari The Beatles (btw, aku lebih suka lagu "Yesterday", "Let It Be", atau "Across The Universe"). Tapi lama kelamaan ketika musik itu berjalan, sepertinya ini tak membantu. Aku juga tak yakin apakah si kucing akan menyukai lagu The Beatles? Bagaimana jika dia lebih suka lagu Didi Kempot atau Koes Plus? Memaksakan selera manusia pada kucing sepertinya kurang adil bagi kucing. Tapi aku paham, thanks Ria, meski tak meredakan sedih kucing, lagu Beatles cukup meredakan sedihku.
Aku pun mencari bantuan lain. Teman lain yang kuhubungi karena dia punya kucing adalah Yani (teman di KMPD dulu), dia punya kucing orens namanya Yobo/"yeobo" (여보) , nama yang dia ambil dari bahasa Korea yang berarti sayang atau cintaku. Yani bilang lewat WA, "Ya allah. Itu matanya tinggal satu kah mbk? Dibawa ke vet terdekat mbk, atau sementara kasih air pakai sendok dikit2, sambil dibersihkan semut nya. Dg kondisi kucing kyk gtu sepertinya perlu di infus mbk... semangat ya mbk... 🙏🏻🙏🏻"
Tak ada pilihan lain, aku harus membawanya ke rumah sakit hewan (vet) terdekat. Padahal jam 10 malam ini aku ada janji sama coach Bagus (adik jalur lain di Arena) buat latihan Speaking IELTS sekitar 10-15 menit. Aku WA Bagus kalau aku harus nolong kucing. Bagus bilang, "Oke mbak. Ke dokter hewan terdekat mba kalo bisa." Ya, pesan Bagus semakin menguatkanku kalau aku perlu bawa kucing itu ke vet.
Kondisi ketika di Pet+Vet
Kuambil hape, searching vet terdekat. Aku nemu Klinik Hewan Pet+Vet Karet di Jalan KH Mas Mansyur Jakarta Pusat. Motor aku keluarkan dari parkir, ah, bodoh, ideku untuk menaruh kucing itu di depan jok terasa konyol karena bakal miring dan bisa jadi dia akan jatuh. Aku pun pesan Go-jek, ketemu mas driver pakai hoodie hitam. Aku jelaskan sedikit mau bawa kucing ke rumah sakit, sepertinya dia cukup tahu kondisiku dan mengendarai secepat yang dia bisa.
Di jalan ternyata macet! Tuhan, ini sudah jam 10 malam kenapa Jakarta arah Tanah Abang sedang macet-macetnya??? Ketika kucing itu kupegang di atas tempat dan kain yang kusediakan, dia bergetar dan terlihat kejang. Pikiranku pun melayang, seolah di jalanan yang macet itu aku ada kebutuhan untuk memberi kucing itu nama. Aku coba mengarang nama yang kukira akan memberi makna pada hidupnya. Pikiranku buntu, aku melihat ke sekeliling, aku nemu sebuah mobil untuk anter-anter jualan gitu warna orange dan gradasinya, di belakang mobil itu tertulis nama Yevanni (produk pakaian gitu).
Nama itu cukup menarik perhatianku, aku pun mengambil diksi depannya saja, Yeva, sebagai nama kucing yang aku tak ketahui kelaminnya itu, apakah perempuan atau laki-laki. Di tengah kemacetan itu, ternyata macet juga dikarenakan ada iring-iringan mobil dinas kedutaan, berbagai sedan yang di belakangnya ada keterangan nama negara: Korea Selatan, Laos, Singapore, hingga Serbia. Negara terakhir menarik perhatianku, mengingatkanku pada negara Balkan lain yang sendu, juga terhadap negara yang sudah tak ada lagi Yugoslavia. Aku memutuskan untuk memberi nama kucing itu, Yeva Serbia.
Sesampainya di Pet+Vet, Yeva dibaringkan di ruangan khusus. Dari salah satu perawat aku baru tahu dia jantan, tapi kata si perawat testisnya kecil (barangkali karena efek kurus dan kurang gizinya Yeva). Dia pun ditangani dokter, entah diperiksa apanya, dia dikasi selang, disuntik, diinfus, dan ditenangkan. Dokter hewan dan perawat di sana rata-rata perempuan. Dari exam emergency pemeriksaan dokter, dugaan sementara adalah Yeva mengalami komplikasi, dia radang dalam kondisi lemas, lethargic (kurang energi, sulit melakukan aktivitas), anemia, dehidrasi >10%, suhu tubuh turun tak terdeteksi, lateral recumbency, respon indra minim. Aku menangis melihatnya.
Surat rujukan dari Pet+Vet
Aku pun bertanya, apakah perlu dirawat inap? Dokter entah perawatnya bilang iya. Lalu aku ke bagian administrasi yang cukup menakutkan karena aku tak bawa dan menyimpan uang yang cukup di rekening. Aku ada uang tapi harus kucairkan dulu dari tabungan emas, tapi jam pencairan emas dibatasi waktu. Jam 22.00-02.00 WIB, aplikasi sedang maintanance, dan tak bisa melakukan transaksi. Aku sedikit lemas lagi. Aku pun duduk di depan ruang Yeva, dia dikasi infus dan selang.
Grup Menolak Tua yang berisi aku, Arwani, dan Cakson pun ramai. Aku sudah ada di vet. Arwani membalas, "Kubur aja. Atau taruh di tepi jalan, kalo bisa di tutupi apa gitu." Sementara Cakson memberi saran, "Antara dibawa ke dokter atau kubur paling." Aku jawab, "Udah kritis" (sambil ngirim foto Yeva terbaring di rumah sakit hewan). Cakson balas lagi, "Berarti kamu hrs bs merelakan klo wktnya tiba."
Sebab aku masih gamang apakah nama Yeva Serbia cocok untuknya, aku pun bilang ke Cakson dan Arwani di grup untuk merekomendasikan nama ke dia. Cakson merekomendasikan, "Klo dia ga bs diselamatkan, namanya demokrasi. Klo dia selamat, saranku sih namanya startup. Jd klo ditanya sama org "lg sibuk apa?" Bilang aja, "lg ngurus startup ni"." Cakson memang pandai membuat jokes cerdas segmented seperti ini.
Kemudian Arwani mengusulkan nama, "Kalo nama negara, saranku kasih aja nama Korea. Kayaknya itu cukup hits hari ini. Nanti depannya tambahi "Montenegro" Ya jadilah nama negara 😆" Cakson menolak nama Korea karena, "Jgn, korea orgnya rasis, ga baik."
Hahahaha, Ya Allah, memang udah benar nama Yeva Serbia, aku udah fiks. Nama usulan Arwani dan Cakson kupending. Aku juga merasa, "Serbia jarang dipakai. Sendu2 gitu. Kek kucingnya."
Yeva masuk IGD hewan
Kembali ke rumah sakit, setelah aku dapat talangan dana, akhirnya aku bersedia untuk merawat inap Yeva. Tapi di Pet+Vet tempatnya gak ada, dokternya merujuk untuk ke rumah sakit hewan lain, Andista Animal Care di daerah Palmerah, Jakarta Barat. Aku pun pindah rumah sakit setelah menyelesaikan administrasi yang sekali suntik dan dipegang sebentar sama dokter itu udah mengeluarkan biaya yang lumayan. Setelah kubaca-baca ulasan terkait Pet+Vet ini juga, memang kuakui overpriced, bahkan hanya tindakan yang sebentar saja (cek suhu, lap-lap, injeksi) sudah ditagih ratusan ribu.
Dan itu kuyakin bukan dokternya langsung yang melayani, tapi entah anak koas entah anak magang, karena salah satunya bilang kalau dokternya cuma satu dan perlu cek/ngrawat hewan yang lain. Dokter setahuku cuma datang sebentar, pegang sebentar, lalu cuci tangan sampai bersih karena kudis di kulit Yeva yang dalam bahasa dokter "menular". Bagian administrasi juga strict dengan alasan gak bisa bantu nunggu even nunggu sampai pagi hari.
Lalu, pas aku pengen nginepin Yeva di sini, tiba-tiba kayak dia bilang gak ada tempat. Apalagi di awal aku sudah nunjukin tampang sebagai kaum dhuafa, dengan jenis kucing yang kubawa pun sangat jelata. Padahal lihat di ulasannya, tempat ini punya banyak ruang untuk rawat inap yang bersih dan nyaman bagi kucing. Ya, mungkin karena Yeva kucing kampung, kemudian merekomendasikanku ke klinik hewan lain. Entahlah, wallahu alam.
Setelah dari Pet+Vet dan akan pindah ke Andista
Sepanjang perjalanan ke Andista, aku terus memperhatikan Yeva. Dia kupegang dengan kedua tanganku, tubuhnya tampak kejang-kejang, suhunya naik dan dia tampak kepanasan. Sampai di Andista, perawat dan dokternya gercep melakukan penanganan. Aku ketemu sama Drh. Eka (laki-laki, nama ini kulihat dari kertas hasil cek darah), tipe dokter yang eksplanatif. Si dokter bilang, Yeva perlu dicek darah untuk mengetahui kondisi tubuh dan penyakitnya lebih lanjut, dia juga jelas di awal biayanya sekian. Sebelum aku melanjutkan administrasi, aku menyempatkan diri membaca beberapa peraturan berkonsekuensi hukum dengan materai. Aturan ini ada dua lembar, beberapa yang kuingat: tidak ada tuntutan ketika hewan meninggal, tugas dokter bukan menyembuhkan tapi membantu melayani sebaik-baiknya, tidak boleh menjenguk hewan, sampai kesiapan membayar administrasi. Aku iyakan, Yeva terus kejang-kejang di meja penanganan pet. Dia juga terlihat kepanasan karena disinari cahaya infra merah.
Manis, kuat ya
Sekitar 15 menit kemudian, cek darah itu keluar. Dokter Eka membawa kertas dan menjelaskanku terkait istilah-istilah kesehatan di badan kucing yang baru kutahu. Penjelasannya cukup baik karena dia juga menjelaskan padanan istilah itu pada manusia, misal terkait sel darah putih, tekanan darah, dlsb. Inti dari yang kutangkap adalah, Yeva terkena penyakit komplikasi: Dia kena virus, scabies juga, darahnya tinggi 200 (normal 70). Chance hidupnya kata dokter 25℅. Sakitnya komplek, kena liver, ginjal, anemia, virus, scabies, kuning, bau mulut (suka muntah), bau badan, coronanya kucing. Inti masalah penyakit besar Yeva adalah corona kucing, atau bahasa medisnya feline. Aku juga sempat mengiranya tertabrak saking kempesnya perut Yeva, dan kata dokter, tak ada trauma, hanya memang dia kurang gizi dan kena virus. Aku menangis lagi melihatnya kejang-kejang dan kesakitan.
Hasil cek darah Yeva
Dokter Eka bilang, nama obatnya Basmi FIP yang perlu aku beli sendiri dengan harga yang sangat mahal, sekitar Rp585.000 per 8 mili. Kebutuhan disesuaikan dengan berat tubuh dan perlu dikasi selama sekitar 82 hari. Misal berat Yeva 2 kilo dan kebutuhan harian 1 mili, obat itu hanya bertahan sekitar seminggu. Aku pun perlu memikirkan finansial ini dan aku putuskan untuk membiarkannya normal dulu, dan melihat perkembangannya 2-3 hari ke depan. Yeva pun aku biarkan untuk dirawat inap di Andista.
Jam sudah menunjukkan pukul 1-an pagi, Arwani dan Cakson masih menemaniku di masing-masing tempatnya berada dengan canda-candaan mereka, atau stiker-stiker mereka, atau doa-doa mereka. Katanya aku juga perlu pulang dan istirahat karena besok kerja. Setelah bayar administrasi (yang lagi-lagi juga sebagian ditalangi), aku ke Indomart terdekat untuk beli makan. Kemudian aku pulang ke kos, solat Isya, dan tidur.
Ya, ini jadi salah satu malam yang panjang untuk buatku pribadi, tapi aku senang banyak teman baik yang membantu Yeva bisa bertahan hidup. Aku sempat membayangkan, bagaimana jika apa yang terjadi pada Yeva terjadi padaku dan orang-orang terdekatku, sudah siapkah aku? Aku jadi menarik satu pelajaran penting untuk terus menjaga kesehatan. Aku juga minta maaf ke Yeva karena telah sangat-sangat telat menolongnya, padahal sakitnya bisa kuantisipasi lebih awal. Aku seharusnya juga tak ragu untuk membersihkannya, setidaknya melihat kamu bersih.
Kalau Yeva sembuh, dan kalau ada kesempatan, nanti akan aku ajak main sama Uncle Arwani dan Uncle Cakson.
Yev, tadi malam aku mencari tahu apa arti nama Yeva. Aku menemukan namamu dalam bahasa Rusia berarti "hidup", "kehidupan", atau "sesuatu yang memberi hidup". "Serbia" berarti suatu tanah yang dijaga, dipelihara. Yev, semoga nama ini kau suka ya, dan bisa jadi semangatmu untuk melanjutkan hidup. Makasi Yev, telah menunjukkan aku suatu moment yang membuka nuraniku yang lain.... Aku sayang Yeva.🩷
***
Update kondisi 06.00 WIB, dari Andista:
"Selamat pagi kak. Kami dari Rawat Inap Andista Animal Care izin mengabarkan kc. Yeva Serbia sudah masuk ke dalam ruang inap virus Kondisi saat ini masih lemas dan tiduran, serta dibantu oksigen, terapi cairan dan obat-obatan injeksi. Mohon doanya untuk kesembuhan kc. Yeva serbia🙏🏻"
Kondisi Pagi
Update kondisi 15.24 WIB, dari Andista:
"Selamat sore kak, kami dari Andista Animal Care ingin mengabarkan berita duka, kc. Yeva Serbia tidak dapat bertahan melewati masa kritisnya, kondisinya makin menurun dan hilang nafas, telah kami upayakan dengan pemberian oksigen dan obat-obatan emergensi namun nafas kc. Yeva tidak kunjung kembali. Sepsis akibat virus yang dialaminya menjadi akibat kematiannya.
Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya kak 🙏🏻🥀"
Yeva Husnul Khotimah
***
Penguburan:
Sungguh susah sekali mencari lahan untuk menguburkan kucing di Jakarta. Bahkan tanah-tanah di pinggiran sungai sudah dipaving dan dibeton. Video ini meningatkanku pada Yeva sebelum meninggal. Kondisinya hampir persis seperti di video ini. Sepertinya akan indah jika dia dikuburkan di dekat sungai.
Aku juga mencari tempat pemakaman kucing yang tersedia di Jakarta. Nemu Pondok Pengayom Satwa(PPS) di kawasan Ragunan Jakarta Selatan. Namun ada berita bahwa tempat satwa ini sudah tak menerima jenazah hewan lagi, tapi masih menerima kremasi. Saat membaca artikel tempat penguburan kucing, di sebuah artikel aku
menemukan renungan, Al-Qiyamah 10-12: "Pada hari itu manusia berkata,
'Ke mana tempat lari?' Tidak! Tidak ada tempat berlindung. Hanya kepada
Tuhanmu tempat kembali pada hari itu." Juga Al-Qiyamah: 40, "Bukanlah
(Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkan orang mati?" Ayat ini seperti mengingatkanku, tak ada tempat lari dan sembunyi yang sejati selain Tuhan.
Mengambil Yeva dari Andista
Usai solat Magrib dan Isya, aku langsung ke Andista. Kubuka pintu rumah sakit yang lorongnya dipenuhi orang tersebut. Setelah lapor ke bagian resepsionis, aku menunggu sekitar 20 menit sambil nangis, hingga jenazah Yeva diberikan padaku dengan dibungkus kresek hitam. Aku pun membawanya keluar. Tujuan penguburan Yeva hanya ada dua pilihan di kepalaku: TPU Karet Bivak atau minta bantu Cakson di dekat rumahnya di Pamulang yang agak jauh. Aku mencoba di Karet Bivak dulu. Aku pesan Go-jek dan jenazah Yeva kupangku, perjalanan ke Karet Bivak entah kenapa terasa lama. Driver mengambil jalur lain dari jalur yang biasa kuambil.
Menggali tanah
Sesampainya di depan Karet Bivak, di jalan ternyata Cakson meneleponku sampai dua kali. Di bagian depan TPU Karet Bivak, telah ada bapak-bapak penjaga dan semacam satpam. Aku pun bilang mau nguburin kucing, apakah bisa? Lalu orang di sana memanggi orang lainnya lagi yang sepertinya bekerja sebagai penggali kubur untuk membantu. Diarahkanlah aku ke tanah dekat tempat solat TPU tersebut, letaknya entah di belakang atau sampingnya, tapi gak jauh dari pintu utama yang dekat jalan. Di antara penguburan manusia itu akhirnya digalilah tanah dengan cangkul sekitar sedalam 25-30 cm. Bapak yang menggali dengan cangkul seperti telah terlatih menggali tanah.
Melihat Yeva terakhir kali
Kami dikerebuti banyak bapak yang melihat, bapak yang lagi nyiram-nyiram makam pas malam-malam pun ikut menyaksikan, bapak itu pakai pakaian koko lengkap. Setelah galian selesai, jenazah Yeva plastiknya dibuka. Plastik harus dilepas biar penguraiannya di tanah gak lama. Ketika dibuka, pihak rumah sakit telah membalut tubuh Yeva dengan tali di dua ujungnya, seperti tali atas dan bawah. Malam itu aku membawa dua baju putih, dan baju itu ikut menyelimuti tubuh Yeva. Melihat tubuh Yeva terakhir kali, sepertinya dia sudah bahagia. Jenazah Yeva dibungkus lagi dan dimasukkan ke dalam galian, tanah diurug dan akhirnya selesai. Bapak-bapak dan penggali kubur itu pergi, menyisakkan aku sendirian, dan aku pun membacakan doa untuk Yeva. Aku bersyukur Yeva bisa dimakamkan di sini, satu kompleks makam dengan Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, MH Thamrin, Ismail Marzuki, Fatmawati, Benyamin Sueb, dan tokoh-tokoh penting lainnya, keren juga lu Yev.
TPU Karet Bivak
Aku pun pulang, aku senang di Jakarta masih banyak orang-orang peduli. Terima kasih pada TPU Karet Bivak juga bapak-bapak dan penggali kubur yang telah membantu. Hal lain yang kuingat, saat Yeva wafat, Arwani memberi opsi misal gak ada tanah, bisa dikremasi kayak budaya Zen. Cakson menawarkan alternatif yang lebih barbar lagi, agar dilarung seperti budaya viking. Namun, Cakson bilang lagi untuk dikubur saja, "karena dia kucing Islam". Rasanya antara pengen sedih, mikir, dan ketawa. Terima kasih teman-teman!
Yev, semoga tenang, husnul khotimah. Surga dengan padang hijau dan langit biru luas adalah tempatmu.
Ps. Tulisan ini terkhusus aku persembahkan untuk Yeva dan Ibu. Ibuku di rumah selalu mengajari, jika ketemu kucing mati di mana pun, ambil, beri kain putih, dan kuburkan. Aku masih ingat, Ibu dulu melakukan ini di kebon dan tanah kosong di samping kuburan Menggung tiap kali ketemu kucing mati di jalan.