Satsang dan meditasi edisi Sabtu, 29 November 2025 ini bertema "Melampaui Persepsi Pikiran: Menyadari Diri Sendiri". Acara dilaksanakan di Bakum Space Bandung pada pukul sepuluh pagi hingga sekitar jam satu siang. Materi satsang disampaikan oleh Ust. Hasan.
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Ust. Hasan menjelaskan jika hidup ini serupa perjalanan yang seolah tanpa akhir, dari awalnya bayi hingga kemudian meninggal. Setelah meninggal pun, juga akan hadir perjalanan yang lain. Lalu, ada pertanyaan: Apa yang bernilai dari hidup ini? Ustadz bertanya pada Bu Itoh, yang jauh-jauh dari Teluk Naga (Tangerang) ke Bandung, apa yang bernilai dari kedatangannya kesini? Bu Itoh menjawab jika ada rasa rindu terkait suasana zikir bersama. Ada kerinduan luar biasa yang tidak terbendung. Rindu inilah yang menjadi nilai yang diungkapkan Bu Itoh.
Ustadz menjelaskan jika kita hidup mencari nilai. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh filsuf Sokrates, "Hidup yang tidak punya nilai, tidak layak dijalani." Nilai ini bermacam-macam bagi setiap orang, ada yang menganggap nilai itu materi, jabatan, anak, pasangan. Lalu, Ustadz bercerita tentang batu yang berkelip-kelip yang ditemui seorang anak di hutan. Si anak datang pada ayahnya, bertanya terkait nilai dari batu tersebut. Si ayah menyarankan untuk menanyakannya pada tiga orang.
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Pertama, tukang sayur, yang sayangnya tidak tahu nilai batu tersebut. Kebutuhannya uang, bukan batu. Jika pun diminta untuk menilai, batu itu hanya dihargai satu ikat bayam. Kedua, tukang ikan, yang sayangnya juga tak tahu nilai batu tersebut, dan hanya bisa menghargainya dengan satu ekor ikan. Ketiga, tukang batu/bangunan, batu tersebut tidak berharga sama sekali karena di sekelilingnya sudah banyak. Sebab tidak puas dengan nilai yang diberikan ketiga orang ini, si ayah meminta si anak untuk datang ke tukang perhiasan. Si tukang perhiasan mengatakan, "Aku gak bisa menilainya." Bahkan artisan perhiasan itu menilai jika batu itu lebih mahal daripada
outlet-nya.
Dari kisah ini kita bisa belajar, jika nilai berkaitan erat dengan persepsi. Bagi persepsi tukang sayur, hanya seharga seikat sayuran; begitu juga dengan tukang ikan dan bangunan, akan dihargai sebagaimana kadar pengetahuan dan kebutuhannya. Persepsi ini juga berkaitan dengan, apa pun yang kita lihat sebagai sesuatu yang "bernilai" itu merupakan kecenderungan pikiran. Namun, apa pun itu, dia bisa hilang, terlebih jika merujuk pada "identitas" yang melekat. Bahkan nama itu pun bukan identitas kita. Lalu apa yang benar-benar bernilai? Yang tak bisa dibandingkan apa pun? Jawabannya adalah "diri sejati" atau "Tuhan".
Pembahasan An-Nur: 35
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Ustadz Hasan kemudian melanjutkan pembahasan terkait QS An-Nuur: 35, yang artinya:
- Allah adalah cahaya langit dan bumi.
- Perumpamaan cahaya-Nya seperti lampu (misykat) di dalamnya ada pelita.
- Pelita itu di dalam kaca,
- dan kaca itu bagaikan gemintang yang gemerlap (mutiara),
- yang dinyalakan dari pohon yang diberkahi, (yaitu) zaitun, yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya.
- Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang menghendaki.
- Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia.
- Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
Di dalam ayat tersebut, yang disebut
"langit" adalah dunia batin yang terdiri dari pikiran, emosi, imajinasi, intelek,
desire. Sementara,
"bumi" merupakan dunia zahir atau tubuh kita. Lebih dalam, makna dari QS An-Nuur: 35 ini digambarkan seperti
Lampu Semprong Jawa; keseluruhan Tubuh Lampu Semprong disebut Misykat. Lalu ada kaca (Az-Zujajah), ada api di dalamnya (pelita), minyak yang menjadi sumber pelita (jika di Arab minyak ini disebut zaitun). Kebanyakan kaca ini gelap sehingga cahaya tak memancar.
Namun, dalam diri manusia, ada pertanyaan kamu menghendaki cahaya itu atau tidak? Sebab, kebanyakan manusia banyak yang terjebak pada jelaga-jelaga yang ada di kaca, sehingga tak bisa melihat cahaya sejati. Alasan lainnya disebabkan karena banyak orang yang berkutat pada dogma. Dogma terberat adalah agama dan adat. Sementara, Vedanta mengajak kita melepas jelaga-jelaga yang ada di kaca, sehingga gemintang bisa dipendarkan. Drama hidup memunculkan jelaga-jelaga. Kita harus sadar jika ada yang terus menyala. Tugas kita menyadari pikiran, jika sumber hidup kita adalah Tuhan.
Pertanyaannya kemudian, bagaimana melepas jelaga-jelaga di kaca tersebut? Setidaknya ada empat cara.
- Knowledge (viveka): pengetahuan membantu kita membedakan dengan jelas mana yang datang dan pergi, mana yang tetap/sejati.
- Meditasi: pikiran kita selalu bergelombang. Lewat meditasi kita belajar mengambil titik fokus sehingga bisa stabil, tidak terombang-ambing.
- Zikir/chanting: mengulang-ulang nama suci.
- Bertemu guru yang sudah merealisasi Tuhan, melalui ini, pikiran seperti disucikan.
Selain keempat hal di atas, cobaan hidup juga akan membuat kita belajar. Sebab manusia melalui cobaan dibenturkan dengan rasa sakit. Cobaan adalah cara Tuhan mengembalikan manusia pada sumber.
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Kemudian, Ustadz Hasan mengajak kita untuk latihan fokus pada bulatan merah yang tampil di layar selama tiga menit. Di layar itu juga ada berbagai gangguan dari musik, dance, suara dan gerak hewan, wajah manusia, dlsb. Tugas kita adalah kembali ke kesadaran yang kokoh. Jika tidak, pikiran nanti akan gentayangan. Dari latihan ini, ada peserta yang bisa fokus sampai di bagian dance, atau pada bacaan tertentu yang harusnya tidak dibaca tapi ikut terbaca.
Usai latihan fokus, acara dilanjutkan dengan sesi bernyanyi syair "Lailahaillallah..." oleh Ustadz Hasan dan Tante Chika. Dilanjutkan dengan lagu "Terima Kasih Tuhan" dari Tante Chika.
Acara selanjutnya adalah "Journaling dan Refleksi" yang dipandu oleh Mbak Novi. Ada beberapa pertanyaan kunci:
- Hal apa yang berubah dalam perjalanan hidupku?
- Hal apa yang mengganggu dan terus kugenggam?
- Apakah aku mau melepaskan yang kugenggam tersebut?
Jawaban dari pertanyaan ini menjadi rahasia dari masing-masing kita pribadi. Untuk diresapi, ditelusuri, dan direfleksikan jawabannya.
Sharing Pengetahuan dari Peserta
Sharing pertama dari Bu Irna dari Bandung. Dia merasa flashback 10-20 tahun yang lalu saat masih bersahabat dekat dengan Tante Chika, kemudian hubungannya agak terputus karena jarak. Kemudian di acara ini diundang oleh Tante Chika, ada perasaan senang bisa bertemu lagi. Bu Irna melanjutkan, pengalamannya hidup sendiri selama 14 tahun lebih membuatnya fokus ke diri sendiri. Dari pertemuan ini ada yang mengena dirinya untuk kembali kepada Diri yang Sejati, kepada Tuhan. Ia merasa, begitu banyak ilmu yang ia dapatkan sebelumnya tapi yang mengena sedikit. Pak Pur kemudian menanggapi, ketika kita siap, Tuhan akan datang dan memeluk kita dengan cara-Nya.
Sharing kedua dari Bu Itoh. Menurutnya, Allah itu dekat sekali dengan kita. Terkait pejalanan ke Bandung ini, Shraddha Ma mengirim video. Dia merasa hatinya terkoneksi terus. Lalu beliau bercerita tentang pengalamannya mengenakan cadar. Setelah itu, ia sempat menjadi relawan, lalu terjadi salah komunikasi yang membuatnya merasa tidak nyaman. Namun ia tetap berusaha menikmati momen yang ada saat ini. Dia juga melanjutkan, apa pun yang terjadi adalah takdir baik—tidak ada takdir buruk. Semua yang terjadi adalah bentuk kasih sayang dari Allah SWT.
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Kemudian Mas Aris yang jauh datang dari Purwakarta bercerita bahwa dirinya sebelum datang ke Bakum telah menjalani tiga Zoom secara berurutan. Dia tak berpikiran untuk datang, tapi ada dorongan untuk hadir di Bandung. Ketika pagi datang, ia ragu-ragu lagi. Namun, akhirnya ia memutuskan datang dengan tidak berekspektasi apa pun, hanya ingin menjadi gelas kosong.
Menurut Mas Aris, penjelasan terkait surat An-Nuur: 35 melalui metafora semprong paling mudah dipahami, karena sebelumnya ribet, seperti analogi seperti sesuatu yang ditempel di tembok, sementara dia membayangkan sesuatu itu seperti cahaya lampu sekarang, atau lampu LED.
Mas Aris menitikkan air mata, pada titik itu dirinya seperti mendapat pencerahan dari penjelasan itu. Dia seperti merasa menjadi anak kecil yang telah lelah bermain, ingin pulang, tapi tidak tahu jalan pulang. Sementara, hari sudah sore, dia tidak tahu jalannya kemana. Dia merasa ketakutan, kebingungan, dan hari semakin sore, semakin gelap. Dia sampai nabrak-nabrak, terjatuh, terperosok karena gelap.
Namun, kemudian seolah ada yang menuntun. Dia merasa ditemani, dikasih cahaya, "Saya seperti pulang. Karena asyik bermain, saya lupa pulang. Kesana-kemari mentok." Seperti ada yang menuntun dan mengembalikannya ke orangtua. Seandainya Tuhan ditanya, dia di mana? "Tuhan ada di diri saya." Sebab kata orang, Tuhan ada empat penjuru mata angin. Dia berputar-putar tapi tak menemukan. Terlalu banyak jelaga. Hingga lewat penjelasan semprong itu dirinya menemukan cahaya mana yang sejati.
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Mas Aris juga bercerita, pernah ada di titik benci dengan solat. Ini berakar dari saat masih kecil, bagaimana solat diajarkan kepadanya. Ketika telat, dia dipukul dan kejadian ini sangat membekas. Maksud orangtua memang baik, barangkali orangtua juga diperlakukan hal yang sama dengan orangtua mereka sebelumnya. Peristiwa ini menjadi luka batin; disuruh solat tapi malah sakit. Mas Aris cukup lama menerima kondisi tersebut. Sampai dia memahami, itu bentuk cinta, tapi saat itu orangtua tidak tahu caranya. Dia pernah merasa, hidup mentok, jatuh bangun, banyak jelaga, tidak melihat cahaya. Momentum pertemuan ini menyadarkannya, bahwa kita cukup masuk ke dalam, jangan berputar-putar.
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
.jpeg) |
| (Foto: Tim IVS) |
Pak Pur menanggapi, dari pengalaman itu, Mas Aris bisa mengambil jarak dari luka. Ketika mengikuti jatuh bangun terus menerus, maka kita akan suffering. Perpindahan sudut pandang dari sakit ke cinta ini salah satu tanda sayang dari Tuhan agar kita berkembang untuk merealisasi Tuhan. Kemudian acara ditutup dengan latihan meditasi, dilanjutkan dengan ucapan hamdallah dari Mas Saenuri, yang juga mengatakan, agar apa yang diterima hari ini tidak hanya jadi booster di pengetahuan, tapi juga tindakan. Alhamdulillah.
Usai satsang, siang itu kami makan bersama. Uni Elma dan keluarga dengan penuh kebaikan hati dan penuh kasih menyiapkan makan siang untuk kami semua. Ada sup sayur hangat, tumis ikan, bihun goreng, telur balado, jamur krispi, hingga sambel pete. Makanannya terasa benar-benar enak. Makasi Uni...
Post Script
Tambahan cerita: Sore hari menuju malam mendung, juga sempat turun hujan. Pada malam hari, sekitar pukul delapan malam, kami para peserta IVS yang menginap juga mampir minum bandrek dan bajigur ke warung tenda Ibu Hj. Siti Maemunah yang berdiri sejak 1958. Ditemani cemilan gorengan: nangka goreng, tahu goreng, pisang goreng. Yang tak terlupakan, malam itu juga ada
performance musik dari musisi setempat, kami bernyanyi bersama. Lagu-lagu yang dinyanyikan di antaranya: "Suci Dalam Debu" (Iklim), "Andaikan Kau Datang Kembali" (Koes Plus), "Isabella" (Search), "Have You Ever Seen The Rain" (Rod Stewart), dll.
Keesokan paginya di hari Minggu, Mbak Wulan, Bu Itoh, dan saya menyempatkan diri berkunjung ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra Bandung, yang sangat dekat sekali dengan Bakum, hanya tinggal jalan kaki. Pada pagi hari sekitar pukul 7 pagi, kami mengunjungi pusara Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Beliau pahlawan nasional sekaligus wartawan berdarah campuran Eropa-Jawa yang kritis terhadap eksploitasi kolonial. Dia perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, Tiga Serangkai bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Setelah itu, kami berkunjung ke Gedung Sate dekat Gasibu, untuk wisata dan olahraga sebentar.
Alhamdulillah, kegiatan satsang edisi ini berjalan lancar.