Minggu, 07 Desember 2025

Wishes

Today, I have been crying three times: (1) in the morning about my work that I think will never be good enough for my boss, (2) in the afternoon, remembering my past love, (3) in the night when I am listening to Beach House singing a song titled "Wishes". I am sorry, I'm a bit sentimental today; even a little thing can make me cry. 

The roses on the lawn
Don't know which side you're on
In a daze, it will change
Wishes on a wheel
Wishes on a wheel

The voices in the hall
Will carry on their talking
Carry weight you can't take
Wishes on a wheel
Is it even real?

The contact that you make
The moment when a memory aches
Who can tell?
You do it well

Wishes on a wheel
How's it supposed to feel? 

As a sad girl, hearing this song is like holding me. I want to sleep on the lawn where the sky is good. 

Rabu, 03 Desember 2025

3 Desember 2025

Manifesto Tamansari:
1. Jalan Kerajinan
2. Jalan Kebahagiaan
3. Jalan Keutamaan Dalam
4. Jalan Kebahagiaan Belakang
5. Jalan Talib

Senin, 01 Desember 2025

Sharing dengan Shraddha Ma pada 1 Desember 2025

Pada Senin malam, 1 Desember 2025, pertemuan spiritual antara Shraddha Ma dan kami (saya, Nadya, Mbak Wulan, Bu Itoh, Mbak Tri, Mas Aris) dilakukan lewat Zoom. Pertemuan ini merupakan kepanjangan dari kegiatan 5am with God atau kelompok Dzikir Bersama, dengan sesi satsang yang rutin berlangsung setiap Senin malam pukul 20.00 WIB. Kegiatan ini merupakan bimbingan bagi mereka yang ingin lebih mendalami perjalanan spiritual.

Kami bertujuh melakukan sharing spiritual dan latihan meditasi secara online untuk lebih menyadari Tuhan. Malam itu dibuka dengan bacaan Al-Fatihah, kemudian acara meditasi singkat selama dua kali dengan durasi masing-masing sekitar 10 menit. Juga ada doa dari Shraddha Ma, doa yang masih saya ingat, semoga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama kembali. 

Doa ini sangat mengena di hati saya pribadi karena salah satu inti masalah yang sering saya lakukan adalah mengulang kesalahan lama. Di aspek tertentu, saya tidak juga lulus dengan ini, melakukan meditasi dengan rutin salah satunya, saya masih bergulat dengan komitmen dan disiplin saya pribadi. Doa yang saya ingat: "Ya Allah, izinkan saya tidak mengulangi kesalahan, ajarkan saya bijaksana, ajarkan saya tidak melakukan hal-hal yang tak patut."

Pertemuan dilanjutkan dengan sharing dari kami bersama Shraddha Ma. Shraddha Ma meminta kami untuk merasakan vibrasi spiritual. Untuk merasakan cinta yang murni, tanpa gender, tanpa batas. 

Dilanjutkan dengan sharing, beberapa pembahasan yang masih saya ingat:

Bu Itoh bercerita tentang konsep cermin diri, merujuk pada refleksi satsang di Bandung pada Sabtu sebelumnya. Nadya menambahkan bahwa ketika seseorang berbuat sesuatu kepada kita dan kita tidak merasa terpicu (ter-tirgger), itu tandanya tidak ada masalah dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita terpicu, berarti ada hal yang belum selesai dalam diri kita.

Namun, Shraddha Ma mengingatkan tidak semua situasi perlu direspons—“Kau adalah cerminku.” Bahwa konsep cermin hanya berlaku pada kondisi tertentu. Tidak semua hal adalah cermin. Misalnya, ketika seseorang berniat menipu, menyakiti, memperkosa, atau melakukan kekerasan verbal, itu bukanlah cermin bagi diri kita.

Kondisi ketika kita tidak membaca konteks terkait cermin ini bisa dikatakan dengan istilah "lost in translation."  Penggunaan kata² harus hati-hati. Shraddha Ma menyebut, agar kita tidak terikat kata, termasuk ketika mengartikan "cermin diri". Shraddha Ma meminta kami untuk terus melakukan pembinaan diri dan mengarahkan ke kesadaran yang lebih tinggi.

Malam itu, Mas Aris juga sharing terkait pengalaman malam itu yang seperti ada semacam udara masuk ke ubun-ubun kemudian membuat tubuh rasanya lebih tenang. Dia tidak memahami energi apa tersebut, tapi rasanya seperti itu. Shraddha Ma menjelaskan bahwa itu adalah Energi Ilahi yang dianugerahkan bagi yang tulus membina diri. Energi/cahaya Ilahi inilah yang berperan penting dalam pembersihan pikiran & jiwa. 

Saya juga sharing terkait buku yang sedang saya baca. Psikiater Austria, Viktor E. Frankl, dalam bukunya "Man's Search for Meaning" (1946) bercerita panjang terkait pengalamannya sebagai tawanan di kamp Austwicth kala NAZI memberangus warga Yahudi dengan genosida mengerikannya. Aneka kekejaman dia saksikan, dan di antaranya dia alami sendiri. Viktor juga mempelajari apa yang membedakan di antara tawanan-tawanan itu. Kenapa ada tawanan yang mudah menyerah, putus asa, kemudian dimasukkan ke "ruang pengasapan"? Namun, kenapa juga ada tawanan yang sangat kuat dan tidak menyerah dengan kondisi sesakit apa pun yang dihadapi?  

Dari pengalaman itu, Viktor menemukan suatu teori yang dia namai "logoterapi". Berasal dari bahasa Yunani, "logos" (makna) dan "therapeia" (perawatan atau penyembuhan). Inti teori ini, manusia mempunyai kebutuhan akan "makna", yang akan terus dia cari kemana pun dia pergi. Bahkan dengan cara berputar-putar, dia akan terus mencari-cari sampai ketemu. Orang yang telah menemukan makna hidupnya akan tumbuh menjadi manusia yang mampu menghadapi apa pun dalam hidupnya, sementara yang tidak, dia akan mudah menyerah, menderita, dan kesulitan menghadapi berbagai ancaman/tantangan/cobaan yang datang dalam hidup. Jika dia sudah menemukan "why", dia akan sanggup menjawab "how".

Lalu terkait dengan agenda ziarah makam yang dulu sering saya lakukan, dan saat ini tengah mengalami hibernasi. Saya bercerita terkait pengalaman ketika berkunjung ke sebuah makam tokoh di Tegal bernama Amangkurat I. Awalnya seorang teman melarang saya untuk datang, tapi karena saya dasarnya skeptis, saya pun nekat berkunjung. Ketika berkunjung, memang agak kurang nyaman karena serasa diminta cepat-cepat, banyak pengemis anak-anak di gerbang depan makam, dan semacam rasa tidak kerasan. 

Ketika kembali ke Jakarta, saya sempatkan untuk membaca sejarah. Ternyata sosok yang makamnya saya kunjungi cukup problematik. Dia pernah melakukan pembunuhan ribuan ulama dan keluarga mereka hanya dalam waktu setengah jam menggunakan teknologi tercanggih masa itu. Dia juga tak segan untuk mengorbankan orang-orang terdekatnya, perang dengan saudaranya, untuk mempertahankan kekuasaan. Saya juga mengalami dilema moral dengan apa yang saya lakukan. Apakah ke depan saya perlu menghindari pergi ke makam yang serupa? Saya coba diskusikan ini dengan kolega saya, intinya yang saya ingat, semua tergantung niat. Kita bisa belajar dari yang baik maupun yang jahat. Tapi saya harus bijaksana memilahnya agar tetap berada di jalan yang lurus.

Malam itu, Shraddha Ma menyarankan saya untuk mengurangi ziarah ke tempat² yang tidak murni, yang tidak membawamu ke Tuhan. Sebab energi makam berbeda-beda. Meski jasad meninggal, energinya masih ada. 

Malam itu sesi sharing diakhiri dengan doa dan salam. Mbak Tri membacakan Surat Al-Insyrah, yang berarti "Bukankah Allah telah melapangkan dadamu..." Ayat yang beberapa waktu sebelumnya, saya dengar juga di sebuah pengajian rutin digelar kantor. Ayat yang mengingatkan saya, setiap kesulitan selalu hadir kemudahan, setiap kesulitan selalu ada kemudahan.

Minggu, 30 November 2025

Catatan Nonton Konser Rony Parulian di Now Playing Festival 2025 Bandung

Nonton konser "Now Playing Festival" di Tritan Point Bandung ini sama sekali gak direncanakan. Hanya semacam peribahasa, sekali mendayung dua pulau terlampaui. Aku membandingkan harga tiketnya cukup worth it untuk 25 musisi yang ditampilkan, dengan beragam genre. Akhir² ini aku memang cukup mabok konser yang dihelat dengan model borongan seperti ini. Jujur aku lebih menikmati yang satu penampil saja yang diisi emang sama fans militan mereka seperti di konser Perunggu, 22 November lalu. Bahkan Perunggu buat statement ke para fansnya untuk gak dikit-dikit go public, nunggu setahun dulu kalau mau upload videonya. 

Tentu, musisi yang jadi tujuan utamaku satu, Rony. Daerah Tritan ini masuk di Bandung atas, mirip Lembang. Tapi jadwal Rony jam 1 siang habis The Lantis. 

Rasane koyok dipepe ngisor srengenge.  



Gak seperti biasa lagu pertama yang dinyanyikan Rony adalah "Pesona Sederhana", biasanya "Butuh Waktu" dimainkan setelah sesi overture. Beberapa WeR1 di sampingku ngomong, suara Rony bindeng. Setelah nyanyi, sekitar empat lagu, Rony juga minta maaf karena lagi pilek. Cuaca emang kurang mendukung, meskipun di telingaku, penampilan dia tetap well seperti biasa tak kurang apa pun. Yang bikin aku terharu, di saluran WA dia, Rony nulis, "maapkan hri ini kureng maksimal. semoga tetep asik yaps🤘🏼" Entahlah, kurasa gak banyak musisi mau legowo mengakui kekurangannya langsung macam ini. Rony, sehat terus ya. Tuhan memberkati Rony, tadi pas panas-panasnya, Tuhan ngirimin awan-awan lho buat nutupin matahari. Makasi sudah bekerja "Sepenuh Hati".

Rony di panggung NPF ini menyanyikan tujuh lagu. Track list-nya:

  1. Pesona Sederhana
  2. Sepenuh Hati
  3. Mengapa
  4. Salahi Aku
  5. Satu Alasan
  6. Tak Ada yang Sepertimu
  7. Tak Ada Ujungnya 

Yang lagu "Sepenuh Hati" seingatku dinyanyikan juga dengan mode raggae. Karena sesi acara yang ngaret sampai sekitar sejam, Ron The Room masuk panggung pukul 13.30 WIB. Agak kecewa sebenarnya acara yang harusnya seberpengalaman NPF yang digelar hampir tiap tahun bisa molor seperti ini. Untungnya, tempatnya menarik, karena di antara pegunungan gitu, kalau matahari gak seterik itu, udaranya masih sejuk. Hal yang jadi kritik lainku, ini sinyal benar-benar parah, mau beli makanan dan minuman juga susah. Belum lagi harga FnB-nya juga kata anak-anak yang nonton "gak ngotak", bisa sampai 3 kali lipat dari harga normal. Yang harusnya 15 ribu jadi 40 ribu seperti nasi goreng; yang 20 ribu jadi 50 ribu seperti bakso bakar.  

Selain Rony, penampil lainnya yang aku ngeh dan kunikmati konsernya seperti: Diosdu, The Lantis sebagaimana kusebut di awal, Barasuara, Raim Laode, Maliq & D'Essential, Perunggu, Tulus, Bernadya, dan terakhir Denny Caknan. Lainnya aku gak konsen (tapi lebih tepatnya gak kenal dan bukan genre yang bisa kunikmati dengan baik), sebab pas Perunggu berakhir, hujan menderas sampai malam, sampai Denny Caknan tampil. Travelku berangkat pukul 21.15 WIB. Aku berdoa hujan selesai paling tidak jam 20.00 WIB, dan alhamdulillah selesai 20.10 WIB. Usai Caknan nyanyi dua lagu, aku keluar arena konser, ambil tas yang kutitipkan (meski bawahnya basah, bukuku "Man's Search for Meaning" kebes sampai kos, macam lembar per lembarnya dimandiin).

The Lantis
The Lantis
Pengalaman yang gak lupa juga di konser ini, aku ndepipis, atau bahasa Inggrisnya being alone in the corner, karena emang gak ada teman. Pas hujan deras nemu tempat duduk di bawah tenda mie sedaaap buat neduh. Setelah nunggu lumayan lama, akhirnya bisa duduk juga. Panggung emang gak kelihatan, tapi setidaknya itu lebih baik karena aku tak bawa mantol. Belum lagi beberapa area konser yang dipenuhi sekitar 13 ribu manusia ada yang banjir. Kadang aku kasihan lihat yang kedinginan, ada yang sakit juga dijaga pacarnya sambil makan terus minum obat, tapi ada juga satu keluarga nonton konser Tulus dengan semangat meski hujan bersama mama mereka.

Maul Perunggu
Perunggu
Selain penampilan Rony, aku sangat menikmati konser Perunggu. Aku bertemu para Merunggu yang ada di bagian-bagian belakang pas rintik-rintik hujan jatuh. Mereka berkelompok gitu, ceweknya satu. Aku berdiri tak jauh dari mereka nyanyiin hits-hits Perunggu, yang kuingat ada "Ini Abadi', "33x" sampai pamungkasnya "Pikiran yang Matang". Rasanya begitu puas nyanyi dan teriak-teriak lagu-lagu Perunggu. Atau di momen lagi, aku menikmati saat Maliq & D'Essential membawakan lagu "Setapak Sriwedari". 

Lihat langit di atas selepas hujan redaDan kau lihat pelangi seperti kau di siniHadirkan Sriwedari dalam surga duniawi

Maliq & D'Essential
Aku benar-benar menikmati lagu dan lirik di atas, di bawah hujan, tanpa merekam, murni enjoy the moment. Sepertinya, aku lebih menyukai suasana seperti itu alih-alih berdiri di paling depan, sing along tapi sibuk ngrekam. Sepertinya, aku emang tipe fans yang gak ngoyo-ngoyo amat untuk bisa dekat-dekat dengan si bintang, hanya pengen mindfullness saja dengan apa-apa yang bisa dinikmati dan dimaknai detik itu juga. 

Raim Laode
Rony Parulian
Mazhabku sebagai fans lebih kepada golongan yang lebih suka memaknai, alih-alih mendekati atau hal-hal yang mengarah pada clingy. Ya, ini aku aja sih. Tapi soal loyalitas, aku bisa diuji, haha. Aku tak pernah melupakan semua idola yang kukagumi dari aku kecil sampai umurnya 32 tahun sekarang. Rasaku pada mereka rata-rata masih sama, meskipun aku tahu, kadang apa yang aku kagumi tak disukai orang. Bagiku itu hal yang niscaya dan biasa aja sekarang. Barangkali, ini bukti dari self growth yang terjadi pada diriku juga, bahwa aku autentik, pengalamanku dan mereka berbeda, begitu juga kebutuhanku. Kalau mereka nge-judge ya biarkan, aku belajar untuk tidak menghakimi apa pun selera orang lain.

Now Playing Festival
Gate
Hujan
Begitu juga dengan caraku sebagai fansnya Rony. Rasa sayang ke Rony sebagai seorang idola tumbuh karena aku sadar kebutuhanku: aku lemah pada segala hal yang berbau emosi, perasaan, dan Rony hadir di sana. Aku telalu sibuk memenuhi otakku dengan musisi yang dianggap progresif tingkat lokal, nasional, maupun internasinal, yang rata-rata itu membuatku berpikir, otakku penuh. You can name it-lah, yang rata-rata digilai anak-anak indie, yang musisi itu dalam tingkat tertentu mungkin sampai "dituhankan". Otakku penuh, aku mungkin cerdas karena musik mereka, atau setidaknya menjadi sedikit edgy. Namun, aku sadar ada yang kurang aku rawat, yaitu perasaanku, dan gak banyak musisi yang kukira bisa memasuki ruang pribadiku yang rapuh itu, dan Rony bisa. Rony bisa menembus rasa itu. Kejujuran ini yang tentu tak bisa kulogikakan dengan cara apa pun. 

WeR1

Rony di umurku sekarang, seperti Ada Band ketika aku masih SD, saat vokalisnya Donnie Sibarani. Musikus/musisi yang mengajariku terkait "cinta" dengan caranya yang aneh. Rony sungguh tak perlu merasa minder dengan kemampuan menulisnya yang pernah kudengar "tak begitu puitis seperti penyair", dia cukup jadi diri dia sendiri. Sebab aku percaya, yang dari hati akan sampai juga di hati. Rony sudah sangat cukup untuk menjadi dirinya sendiri. Pas pulang dari NPF Bandung untuk kembali ke Jakarta, aku senang banget bisa nonton Rony dengan segala perjuangan dan lika-liku hidup yang naik-turun. Aku sedih dan menangis ketika di shuttle Baraya sambil nonton story-story Rony dan WeR1 di Instagram, rasanya, dalam hidupku yang sendirian itu. Namun aku senang, aku setidaknya memiliki "teman". Makasi ya, RonTuhan memberkati.

Satsang Bandung: "Melampaui Persepsi Pikiran, Menyadari Diri Sendiri"

Satsang dan meditasi edisi Sabtu, 29 November 2025 ini bertema "Melampaui Persepsi Pikiran: Menyadari Diri Sendiri". Acara dilaksanakan di Bakum Space Bandung pada pukul sepuluh pagi hingga sekitar jam satu siang. Materi satsang disampaikan oleh Ust. Hasan.

(Foto: Tim IVS)

Ust. Hasan menjelaskan jika hidup ini serupa perjalanan yang seolah tanpa akhir, dari awalnya bayi hingga kemudian meninggal. Setelah meninggal pun, juga akan hadir perjalanan yang lain. Lalu, ada pertanyaan: Apa yang bernilai dari hidup ini? Ustadz bertanya pada Bu Itoh, yang jauh-jauh dari Teluk Naga (Tangerang) ke Bandung, apa yang bernilai dari kedatangannya kesini? Bu Itoh menjawab jika ada rasa rindu terkait suasana zikir bersama. Ada kerinduan luar biasa yang tidak terbendung. Rindu inilah yang menjadi nilai yang diungkapkan Bu Itoh.

Ustadz menjelaskan jika kita hidup mencari nilai. Sebagaimana yang pernah diucapkan oleh filsuf Sokrates, "Hidup yang tidak punya nilai, tidak layak dijalani." Nilai ini bermacam-macam bagi setiap orang, ada yang menganggap nilai itu materi, jabatan, anak, pasangan. Lalu, Ustadz bercerita tentang batu yang berkelip-kelip yang ditemui seorang anak di hutan. Si anak datang pada ayahnya, bertanya terkait nilai dari batu tersebut. Si ayah menyarankan untuk menanyakannya pada tiga orang.

(Foto: Tim IVS)
Pertama, tukang sayur, yang sayangnya tidak tahu nilai batu tersebut. Kebutuhannya uang, bukan batu. Jika pun diminta untuk menilai, batu itu hanya dihargai satu ikat bayam. Kedua, tukang ikan, yang sayangnya juga tak tahu nilai batu tersebut, dan hanya bisa menghargainya dengan satu ekor ikan. Ketiga, tukang batu/bangunan, batu tersebut tidak berharga sama sekali karena di sekelilingnya sudah banyak. Sebab tidak puas dengan nilai yang diberikan ketiga orang ini, si ayah meminta si anak untuk datang ke tukang perhiasan. Si tukang perhiasan mengatakan, "Aku gak bisa menilainya." Bahkan artisan perhiasan itu menilai jika batu itu lebih mahal daripada outlet-nya. 

Dari kisah ini kita bisa belajar, jika nilai berkaitan erat dengan persepsi. Bagi persepsi tukang sayur, hanya seharga seikat sayuran; begitu juga dengan tukang ikan dan bangunan, akan dihargai sebagaimana kadar pengetahuan dan kebutuhannya. Persepsi ini juga berkaitan dengan, apa pun yang kita lihat sebagai sesuatu yang "bernilai" itu merupakan kecenderungan pikiran. Namun, apa pun itu, dia bisa hilang, terlebih jika merujuk pada "identitas" yang melekat. Bahkan nama itu pun bukan identitas kita. Lalu apa yang benar-benar bernilai? Yang tak bisa dibandingkan apa pun? Jawabannya adalah "diri sejati" atau "Tuhan". 

Pembahasan An-Nur: 35

(Foto: Tim IVS)
Ustadz Hasan kemudian melanjutkan pembahasan terkait QS An-Nuur: 35, yang artinya:

  • Allah adalah cahaya langit dan bumi.
  • Perumpamaan cahaya-Nya seperti lampu (misykat) di dalamnya ada pelita.
  • Pelita itu di dalam kaca,
  • dan kaca itu bagaikan gemintang yang gemerlap (mutiara),
  • yang dinyalakan dari pohon yang diberkahi, (yaitu) zaitun, yang tumbuh tidak di timur dan tidak pula di barat, yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya.
  • Allah memberi petunjuk menuju cahaya-Nya kepada orang yang menghendaki.
  • Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia.
  • Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

Di dalam ayat tersebut, yang disebut "langit" adalah dunia batin yang terdiri dari pikiran, emosi, imajinasi, intelek, desire. Sementara, "bumi" merupakan dunia zahir atau tubuh kita. Lebih dalam, makna dari QS An-Nuur: 35 ini digambarkan seperti Lampu Semprong Jawa; keseluruhan Tubuh Lampu Semprong disebut Misykat. Lalu ada kaca (Az-Zujajah), ada api di dalamnya (pelita), minyak yang menjadi sumber pelita (jika di Arab minyak ini disebut zaitun). Kebanyakan kaca ini gelap sehingga cahaya tak memancar.

Namun, dalam diri manusia, ada pertanyaan kamu menghendaki cahaya itu atau tidak? Sebab, kebanyakan manusia banyak yang terjebak pada jelaga-jelaga yang ada di kaca, sehingga tak bisa melihat cahaya sejati. Alasan lainnya disebabkan karena banyak orang yang berkutat pada dogma. Dogma terberat adalah agama dan adat. Sementara, Vedanta mengajak kita melepas jelaga-jelaga yang ada di kaca, sehingga gemintang bisa dipendarkan. Drama hidup memunculkan jelaga-jelaga. Kita harus sadar jika ada yang terus menyala. Tugas kita menyadari pikiran, jika sumber hidup kita adalah Tuhan.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana melepas jelaga-jelaga di kaca tersebut? Setidaknya ada empat cara.

  1. Knowledge (viveka): pengetahuan membantu kita membedakan dengan jelas mana yang datang dan pergi, mana yang tetap/sejati.
  2. Meditasi: pikiran kita selalu bergelombang. Lewat meditasi kita belajar mengambil titik fokus sehingga bisa stabil, tidak terombang-ambing.
  3. Zikir/chanting: mengulang-ulang nama suci.
  4. Bertemu guru yang sudah merealisasi Tuhan, melalui ini, pikiran seperti disucikan.

Selain keempat hal di atas, cobaan hidup juga akan membuat kita belajar. Sebab manusia melalui cobaan dibenturkan dengan rasa sakit. Cobaan adalah cara Tuhan mengembalikan manusia pada sumber.

(Foto: Tim IVS)

Kemudian, Ustadz Hasan mengajak kita untuk latihan fokus pada bulatan merah yang tampil di layar selama tiga menit. Di layar itu juga ada berbagai gangguan dari musik, dance, suara dan gerak hewan, wajah manusia, dlsb. Tugas kita adalah kembali ke kesadaran yang kokoh. Jika tidak, pikiran nanti akan gentayangan. Dari latihan ini, ada peserta yang bisa fokus sampai di bagian dance, atau pada bacaan tertentu yang harusnya tidak dibaca tapi ikut terbaca.

Usai latihan fokus, acara dilanjutkan dengan sesi bernyanyi syair "Lailahaillallah..." oleh Ustadz Hasan dan Tante Chika. Dilanjutkan dengan lagu "Terima Kasih Tuhan" dari Tante Chika. 

Acara selanjutnya adalah "Journaling dan Refleksi" yang dipandu oleh Mbak Novi. Ada beberapa pertanyaan kunci:

  1. Hal apa yang berubah dalam perjalanan hidupku?
  2. Hal apa yang mengganggu dan terus kugenggam?
  3. Apakah aku mau melepaskan yang kugenggam tersebut?
Jawaban dari pertanyaan ini menjadi rahasia dari masing-masing kita pribadi. Untuk diresapi, ditelusuri, dan direfleksikan jawabannya.

Sharing Pengetahuan dari Peserta 

Sharing pertama dari Bu Irna dari Bandung. Dia merasa flashback 10-20 tahun yang lalu saat masih bersahabat dekat dengan Tante Chika, kemudian hubungannya agak terputus karena jarak. Kemudian di acara ini diundang oleh Tante Chika, ada perasaan senang bisa bertemu lagi. Bu Irna melanjutkan, pengalamannya hidup sendiri selama 14 tahun lebih membuatnya fokus ke diri sendiri. Dari pertemuan ini ada yang mengena dirinya untuk kembali kepada Diri yang Sejati, kepada Tuhan. Ia merasa, begitu banyak ilmu yang ia dapatkan sebelumnya tapi yang mengena sedikit. Pak Pur kemudian menanggapi, ketika kita siap, Tuhan akan datang dan memeluk kita dengan cara-Nya.

Sharing kedua dari Bu Itoh. Menurutnya, Allah itu dekat sekali dengan kita. Terkait pejalanan ke Bandung ini, Shraddha Ma mengirim video. Dia merasa hatinya terkoneksi terus. Lalu beliau bercerita tentang pengalamannya mengenakan cadar. Setelah itu, ia sempat menjadi relawan, lalu terjadi salah komunikasi yang membuatnya merasa tidak nyaman. Namun ia tetap berusaha menikmati momen yang ada saat ini. Dia juga melanjutkan, apa pun yang terjadi adalah takdir baik—tidak ada takdir buruk. Semua yang terjadi adalah bentuk kasih sayang dari Allah SWT.

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)

Kemudian Mas Aris yang jauh datang dari Purwakarta bercerita bahwa dirinya sebelum datang ke Bakum telah menjalani tiga Zoom secara berurutan. Dia tak berpikiran untuk datang, tapi ada dorongan untuk hadir di Bandung. Ketika pagi datang, ia ragu-ragu lagi. Namun, akhirnya ia memutuskan datang dengan tidak berekspektasi apa pun, hanya ingin menjadi gelas kosong. 

Menurut Mas Aris, penjelasan terkait surat An-Nuur: 35 melalui metafora semprong paling mudah dipahami, karena sebelumnya ribet, seperti analogi seperti sesuatu yang ditempel di tembok, sementara dia membayangkan sesuatu itu seperti cahaya lampu sekarang, atau lampu LED. 

Mas Aris menitikkan air mata, pada titik itu dirinya seperti mendapat pencerahan dari penjelasan itu. Dia seperti merasa menjadi anak kecil yang telah lelah bermain, ingin pulang, tapi tidak tahu jalan pulang. Sementara, hari sudah sore, dia tidak tahu jalannya kemana. Dia merasa ketakutan, kebingungan, dan hari semakin sore, semakin gelap. Dia sampai nabrak-nabrak, terjatuh, terperosok karena gelap.

Namun, kemudian seolah ada yang menuntun. Dia merasa ditemani, dikasih cahaya, "Saya seperti pulang. Karena asyik bermain, saya lupa pulang. Kesana-kemari mentok." Seperti ada yang menuntun dan mengembalikannya ke orangtua. Seandainya Tuhan ditanya, dia di mana? "Tuhan ada di diri saya." Sebab kata orang, Tuhan ada empat penjuru mata angin. Dia berputar-putar tapi tak menemukan. Terlalu banyak jelaga. Hingga lewat penjelasan semprong itu dirinya menemukan cahaya mana yang sejati.

(Foto: Tim IVS)
Mas Aris juga bercerita, pernah ada di titik benci dengan solat. Ini berakar dari saat masih kecil, bagaimana solat diajarkan kepadanya. Ketika telat, dia dipukul dan kejadian ini sangat membekas. Maksud orangtua memang baik, barangkali orangtua juga diperlakukan hal yang sama dengan orangtua mereka sebelumnya. Peristiwa ini menjadi luka batin; disuruh solat tapi malah sakit. Mas Aris cukup lama menerima kondisi tersebut. Sampai dia memahami, itu bentuk cinta, tapi saat itu orangtua tidak tahu caranya. Dia pernah merasa, hidup mentok, jatuh bangun, banyak jelaga, tidak melihat cahaya. Momentum pertemuan ini menyadarkannya, bahwa kita cukup masuk ke dalam, jangan berputar-putar.

(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)
(Foto: Tim IVS)

Pak Pur menanggapi, dari pengalaman itu, Mas Aris bisa mengambil jarak dari luka. Ketika mengikuti jatuh bangun terus menerus, maka kita akan suffering. Perpindahan sudut pandang dari sakit ke cinta ini salah satu tanda sayang dari Tuhan agar kita berkembang untuk merealisasi Tuhan. Kemudian acara ditutup dengan latihan meditasi, dilanjutkan dengan ucapan hamdallah dari Mas Saenuri, yang juga mengatakan, agar apa yang diterima hari ini tidak hanya jadi booster di pengetahuan, tapi juga tindakan. Alhamdulillah.

Usai satsang, siang itu kami makan bersama. Uni Elma dan keluarga dengan penuh kebaikan hati dan penuh kasih menyiapkan makan siang untuk kami semua. Ada sup sayur hangat, tumis ikan, bihun goreng, telur balado, jamur krispi, hingga sambel pete. Makanannya terasa benar-benar enak. Makasi Uni...

Post Script

Tambahan cerita: Sore hari menuju malam mendung, juga sempat turun hujan. Pada malam hari, sekitar pukul delapan malam, kami para peserta IVS yang menginap juga mampir minum bandrek dan bajigur ke warung tenda Ibu Hj. Siti Maemunah yang berdiri sejak 1958. Ditemani cemilan gorengan: nangka goreng, tahu goreng, pisang goreng. Yang tak terlupakan, malam itu juga ada performance musik dari musisi setempat, kami bernyanyi bersama. Lagu-lagu yang dinyanyikan di antaranya: "Suci Dalam Debu" (Iklim), "Andaikan Kau Datang Kembali" (Koes Plus), "Isabella" (Search), "Have You Ever Seen The Rain" (Rod Stewart), dll.

 

Keesokan paginya di hari Minggu, Mbak Wulan, Bu Itoh, dan saya menyempatkan diri berkunjung ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Cikutra Bandung, yang sangat dekat sekali dengan Bakum, hanya tinggal jalan kaki. Pada pagi hari sekitar pukul 7 pagi, kami mengunjungi pusara Ernest Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi. Beliau pahlawan nasional sekaligus wartawan berdarah campuran Eropa-Jawa yang kritis terhadap eksploitasi kolonial. Dia perintis gerakan kebangkitan nasional Indonesia, Tiga Serangkai bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hajar Dewantara. Setelah itu, kami berkunjung ke Gedung Sate dekat Gasibu, untuk wisata dan olahraga sebentar.

Alhamdulillah, kegiatan satsang edisi ini berjalan lancar.

Jumat, 28 November 2025

Meditasi Kesadaran Edisi 20 & 27 November 2025

Kamis, 20 November 2025

Ini hari keduaku ikut meditasi kesadaran di Grha Pemuda, Katedral Jakarta. Aku datang telat sekitar 3 menit karena menunggu gojek yang lumayan lama di tengah cuaca yang sedang hujan. Aku telat mendengarkan Rm. Mahar memberikan materi terbaru terkait meditasi. Beberapa yang masih aku ingat, selain teknik nafas, Romo memperkalkan teknik baru, yaitu mengamati tubuh dari ujung kepala sampai kaki. 


Dalam meditasi Buddhis kuno, teknik yang berfokus pada kesadaran nafas untuk memenangkan pikiran ini disebut sebagai "Anapanasati". Anapana yang berarti menghirup dan menghembuskan nafas, sementara sati berarti perhatian. Kita diajak untuk mengembangkan konsentrasi dan ketenangan batin dengan hanya mengamati aliran nafas secara alami, "tanpa mengendalikannya". Mencoba mengamati sensasi yang ada dirasakan oleh lubang hidung atau gerakan perut. Ketika pikiran rekreasi, maka perlu dikembalikan lagi ke nafas. 

Selanjutnya, praktik meditasi yang berfokus pada pengamatan tubuh dalam tradisi Buddhis dikenal sebagai "kayanupassana". Meditasi ini melibatkan perhatian yang sadar dan tekun pada fisik, termasuk di dalamnya sensasi tubuh, gerakan, dan fenomena fisik lain. Tujuan dari meditasi ini untuk mengembangkan pemahaman tentang ketidak-kekalan dari keberadaan fisik. Kayanupassana ini bagian dari Satipatthana. Dia landasan pertama dari Satipatthana yang terdiri dari: (a) kayanupassana: perenungan tubuh, (b) vedananupassana: perunungan perasaan, (c) cittanupassana: perenungan pikiran, dan (d) dhammanupassana: perenungan objek-objek pikiran/fenomena batin.

Usai meditasi sekitar 45 menit, kemudian Rm. Mahar membuka sesi sharing, ada peserta yang berbagi pengalaman jika meditasi nafas lebih sulit dilakukan daripada meditasi tubuh. Romo pun menyampaikan jika memang meditasi nafas ini lebih sulit. Beliau juga menganjurkan untuk fokus pada satu teknik dulu yang dirasa lebih cocok untuk diri, jangan berganti-ganti teknik.

Kamis, 27 November 2025

Hari ini, meditasi dari yang awalnya di lantai III, dipindahkan ke lantai I Grha Pemuda. Menurutku, kedua tempat ini sama-sama representatif. Bahkan, kalau diminta memilih, aku lebih suka energi di lantai I. Aku hadir tepat waktu. Aku berangkat dari kos pukul 18.30, sampai di parkiran PosBloc 18.45, dan jalan kaki ke Katedral selama lima menit, sampai pukul 18.50. Di sana sudah banyak orang. Aku senang, dari banyak orang itu, di pintu masuk ada yang menyapaku. Aku juga mengisi absen, duduk sebelahan dengan perempuan berumur 20-an bernama Lia. Kami berkenalan, ini pengalaman pertama dia ikut meditasi kesadaran. Dia diajak oleh temannya, karena Romo Mahar adalah guru dari temannya itu. 

Di depanku juga sudah duduk rapi, ibu yang pertama kali kukenal di retret pertama, yang tinggal di Kalibata. Dia berangkat naik kereta. Dia juga berencana bulan Desember akan ke Jogja, merayakan Natal di sana. Secara, beliau pernah 11 tahun tinggal di Jogja. Dia merasa sangat senang ketika bisa pulang lagi karena orangtua di sana, anak-anak beliau juga kuliah di sana. Ibu ini menyapaku, dia mengakui jika dirinya ceriwis, dan bilang kira-kira begini, "Minggu lalu kamu ikut juga kan? Eh, Romo nanyain kamu lho, kamu tiba-tiba udah pergi." Aku langsung merasa dalam hati, "Ada apakah?" Hihihi. Lalu si Ibu bilang, "Kamu bisa ngobrol atau tanya-tanya sama Romo. Ajak teman-teman juga."

Acara puncak yaitu meditasi. Romo Mahar membimbing kami dengan wajahnya yang tenang dan teduh. Dia menjelaskan ada dua teknik yang diajarkan sebelumnya, yaitu meditasi nafas dan meditasi scanning tubuh. Kita diminta milih salah satu dan tidak berpindah-pindah teknik meditasi. Beliau juga berbicara dengan filosofis terkait pertanyaan: Apa yang kita dapat dari meditasi? Mungkin udah sebulan, dua bulan, tiga bulan, dst? Romo menjawab, "Tidak dapat apa-apa." Kami pun langsung tertawa. Beliau melanjutkan lagi, "Yang didapat hanya kehilangan-kehilangan." 

Berhenti sebentar, semacam kita mendapat prank, lalu dilanjutkan bagian intinya, "Kehilangan marah, kehilangan sedih, kehilangan sakit, kehilangan ngedumel, kehilangan rasa tidak suka, kehilangan dendam. Maka berbahagialah mereka yang pernah mengalami kehilangan-kehilangan." Langsung cespleng seketika rasanya. Aku teringat kehilangan terbesarku di tahun ini, mendengar perkataan Romo ini, rasanya hatiku sungguh sangat lapang, dan justru bersyukur dengan kehilangan itu. Aku bersyukur tak diperbudak materi. 

Meditasi malam ini berlangsung selama 50 menit. Pengalaman berkesan yang ingin kubagikan, kadang pas nekuk lutut di posisi meditasi, aku sering merasa kesemutan. Namun, sebelum meditasi itu dimulai, aku udah bilang dulu sama lutut dan kaki untuk kerja sama. Aku bilang ke dia, tolong bantu aku, jangan kesemutan, jangan merasa pegal, dan terjadi dong. Sepanjang meditasi lutut dan kakiku gak banyak drama, wkwk. Karena di meditasi kesatu dan kedua semacam susah antengnya ini kaki. Hal lain soal latihan nafas, karena aku memilih meditasi nafas daripada tubuh, aku mulai mengamati bagian diafragma yang sebenarnya lebih powerful kalau bicara nafas, khususnya bagiku secara personal. 

Diafragma ini otot yang letaknya di bawah paru-paru, dan menjadi pembatas antara paru-paru dan perut. Dia akan membuka dan menutup secara otomatis ketika seseorang bernafas. Mirip lensa kalau dalam kamera. Fungsi utama diafragma adalah memfasilitasi pernafasan. Ketika bersuara dengan bantuan otot perut, ya, mungkin istilah lainnya begitu, suara kita juga jadi lebih jernih, tak mudah capek, dan lebih ringan jika didasar pada tenggorokan lalu ke hidung semata. nafas ini juga membantu kita mengurangi tekanan pada jantung hingga tekanan darah. Aku rasanya perlu belajar lebih banyak lagi terkait ini.

Romo usai meditasi juga mengingatkan, kalau sedang meditasi, jangan lupa tersenyum. Ini membantu badan rileks, kalau rileks jadi lebih nyaman menjalaninya. Tubuh jadi tidak merasa kaku dan tertekan. Aku juga sempat kenalan sama Romo, aku bilang tinggal di Petojo, asli Blora, kuliah di Jogja. "Kerja di Jakarta ya?" Aku jawab "iya, Bapak." Hehe, aku manggilnya masih Bapak. "Jangan lupa diajak teman-temannya kesini," pesannya. 

Rabu, 26 November 2025

Catatan Klenik Studies Edisi 20 November 2025: "Hantu di Institusi Pendidikan"

I. Pembukaan Diskusi

Tema Klenik Studies edisi Kamis, 20 November 2025 adalah “Hantu di Institusi Pendidikan.” Pertemuan via Zoom ini dihadiri oleh: Khumaid Akhyat Sulkhan, Nurul Diva Kautsar, Nurizky Adhi Hutama, dan Isma Swastiningrum. Diskusi ini mengajak peserta untuk memeriksa: lapisan historis dari sekolah, fungsi sosial cerita hantu di lingkungan pendidikan, hingga hubungan antara ruang, ingatan, dan trauma.

Sulkhan membuka diskusi dengan menegaskan bahwa hubungan antara institusi pendidikan, ruang-ruang tua, dan cerita horor sudah menjadi bagian penting dari pengalaman banyak orang di Indonesia. Ia menyebut bahwa tiap peserta diskusi membawa latar belakang berbeda. Misal Sulkhan sendiri yang pernah mondok, lalu ada yang dibesarkan di sekolah negeri, dan cerita terkait sekolah yang didirikan di lahan bangunan kolonial. Masing-masing latar ini mempengaruhi cara kita memahami hantu di ruang pendidikan.

II. Hantu dan Fungsi Moral dalam Lingkungan Pendidikan

Sulkhan membuka sesi dengan cerita folklor dari Tambakberas, Jombang, mengenai santri yang berak sembarangan dan menggunakan lembar Al-Qur’an sebagai instinja (membersihkan najis). Kyai kala itu mengeluarkan pernyataan bahwa pelaku “akan kualat”. Ketika liburan dan pulang kampung, santri yang diduga si pelaku itu mengalami kecelakaan di rel kereta dan meninggal secara tragis. Dari cerita itu, berkembang legenda tentang “tangan santri”. Konon, tangan santri itu gentayangan di kamar mandi pesantren, muncul dari kloset, bahkan dijuluki “Tangan Extra Joss”, nama yang ikut tersebar ke pesantren-pesantren lain. Cerita berkembang seperti dongeng nyata dan menjadi ingatan kolektif pesantren.

Ia menyoroti bagaimana kisah tersebut membungkus pesan moral: penghormatan pada yang sakral, bahaya melanggar norma, dan kekuatan kata-kata kyai. Cerita itu diwariskan turun-temurun, tanpa ada yang tahu mana fakta dan mana mitos, tetapi fungsinya jelas: membentuk perilaku santri.

Nurul menambahkan bahwa banyak urban legend sekolah sebenarnya bekerja seperti alat pengendalian sosial. Contohnya kasus siswa yang kecelakaan menjelang ujian di sekolahnya (SMPN 1 Palimanan), yang lalu dijadikan contoh agar siswa lain disiplin. Menurutnya, narasi hantu membantu memperkuat pola “jangan aneh-aneh menjelang ujian” atau “jangan melanggar aturan sekolah,” dengan cara yang lebih emosional dan mudah diterima. Kisah berkembang untuk pengendalian sosial, bukan sekadar cerita hantu.

III. Fragmen Urban Legend

Nurizky membuka kisah urban legend dari Yogyakarta. SMPN 8, SMA 6, SMPN 1, dan SMPN 5 Yogyakarta yang meskipun letaknya berjauhan tapi satu gank yang dihubungkan oleh banyak gorong-gorong. Bangunan-bangunan sekolah ini juga merupakan sekolah kuno, yang bahkan menggunakan bangunan sejak zaman Belanda. Ada sebuah gorong-gorong besar yang menghubungkan beberapa sekolah dan menjadi pusat berbagai cerita hantu. Di sekitar sekolah-sekolah ini juga sering terjadi kecelakaan dan kesurupan, kemudian gorong-gorong akhirnya ditutup dan dibangun masjid di atasnya. Ini contoh bagaimana masyarakat mencoba “menjinakkan” ruang traumatis melalui ritual dan fungsi baru.

Nurizky juga menyebut aula yang merupakan bangunan lama. Aula itu dekat dengan masjid, di bangunan itu menjadi ruang kesenian yang menyimpan alat musik Jawa dan ruang biologi. Dia berkisah tentang keberadaan kerangka manusia asli di ruang Biologi yang sering dianggap sebagai simbol pengabdian. Kerangka itu berasal dari Pak Kebon yang sangat mengabdikan diri pada sekolah dan meninggalkan wasiat agar bagian dari dirinya tetap berada di sekolah, sehingga muncul cerita tulang si Pak Kebon dijadikan replika dalam pelajaran biologi. Ada dua kerangka: satu replika; satu kerangka asli disimpan di boks kaca, lengkap dengan tanda pori-pori, patahan, dan bagian kemerahan.

Kemudian, Nurizky juga bercerita cerita tentang gamelan yang dapat bergerak sendiri menjelang sore hari, terutama gong. Guru kesenian (ibu Nurizky) juga kerap mendengar suara gamelan saat ruangan sedang kosong. Namun, suatu hari ketika ruang yang menyuarakan gamelan itu didatangi, gamelan berhenti sendiri. Rangkaian insiden lain di sekolahnya seperti: fenomena kesurupan yang berpindah-pindah kelas, ada siswa yang diam di pojokan sendiri, wanita merah saat kegiatan malam (PMR/jerit malam), serta aktivitas hantu meningkat pada jam sore-maghrib. Selain itu, ia menyinggung fenomena penampakan “murid tambahan” yang tiba-tiba muncul ketika jumlah siswa dihitung. Keangkeran ini juga memicu pihak sekolah membuat aturan tertentu, seperti penutupan aula yang dianggap angker tiap jam 4.

Isma juga menyebut urban legend tentang murid ekstra di kelas Cikini, sebuah motif yang mirip dengan kisah “murid tambahan” di kota lain. Ia menekankan bahwa sekolah-sekolah peninggalan kolonial, dengan arsitektur bergaya luar negeri dan sejarah panjang penuh kekerasan, sering kali menciptakan atmosfer yang subur bagi lahirnya narasi-narasi hantu tersebut.

IV. Hantu dan Psikologi Ruang

Fenomena hantu di instansi pendidikan juga berkaitan dengan psikologi ruang. Perpustakaan di sekolah Nurul, SMPN 1 Palimanan, dibangun di area bekas kompleks rumah sakit yang juga bekas bangunan tua. Ada yang bercerita pernah mendengar ketukan dari dalam, buku terbuka sendiri, dan ada legenda penjaga perpustakaan tanpa kepala. Kemudian, Kelas 7G–7H berada di area belakang, dekat pagar, banyak tumpukan meja rusak, dan jarang terawat sehingga memperkuat kesan angker.

Ia menjelaskan bahwa ruang-ruang tertentu, seperti perpustakaan bekas rumah sakit, ruang belakang sekolah, gudang meja rusak, mengaktifkan memori kolektif kita soal ruang horor yang dibentuk film, budaya populer, dan pengalaman masa kecil. Beberapa poin yang disorot: (a) Ruang terpencil atau minim cahaya memicu asosiasi negatif. (b) Ruang yang jarang dipakai menjadi tempat ideal untuk imajinasi hantu bekerja. (c) Ia menekankan bahwa hantu sering muncul bukan karena “ada entitas,” tetapi karena manusia membaca ruang melalui memori budaya.

V. Hantu Sekolah sebagai Ingatan terhadap Tragedi dan Ketidakadilan Ruang

Sulkhan memperluas pembahasan dengan memberi contoh bagaimana banyak sekolah di Indonesia berdiri di lahan-lahan yang penuh “ingatan sejarah”: bekas kuburan, lahan sengketa, atau tempat tragedi. Di situ, cerita hantu muncul sebagai ingatan simbolik yang belum selesai. Ia mengangkat contoh kasus Mbah Maryam, yang tanahnya diambil negara tanpa kompensasi layak, lalu muncul cerita bahwa arwahnya gentayangan. Cucu-cucunya santai saja, tetapi masyarakat tetap menghidupkan narasinya. Dalam kacamata kajian memori, ini bentuk ingatan yang kembali ketika masyarakat gagal mengingat dengan benar.

Sementara itu, Isma bercerita fragmen urban legend dari Bandung dan Malang. Ia mengisahkan sosok Nancy, hantu noni Belanda yang terkenal di SMAN 5 dan SMAN 3 Bandung, satu figur yang kuat karena latar historis kolonial yang menyertainya. Konon terdapat hantu Noni Belanda bernama Nancy yang dilecehkan dan dibunuh secara kejam, kini bergentayangan di area sekolah. Nancy dipercaya hanya bisa “ditenangkan” oleh juru kunci bernama Mang Ucha. Dari Malang, ia menyinggung kisah tentang “darah abadi” di sebuah sekolah yang dipercaya sebagai jejak pembantaian masa kolonial dan tidak pernah benar-benar hilang meski telah berkali-kali dibersihkan.

Nurizky menuturkan cerita mengenai Masjid Syuhada di Yogyakarta yang dikenal memiliki “rumah kodok” serta kisah lama tentang mayat anak kecil. Konon, sore hari sering terlihat sosok anak kecil bermain sendirian di area tersebut tanpa ada yang benar-benar mengetahui latar ceritanya. Lokasi ini merupakan tempat bermain anak-anak TK dan SD, dan hingga kini sebagian kisahnya masih hidup melalui cerita tukang becak serta warga setempat. 

VI. Ruang UKS dan Imajinasi Kolektif tentang Horor

Isma membahas secara khusus ruang UKS yang hampir selalu dianggap angker. Alasan yang muncul: (1) Letaknya terpencil, sering di ujung gedung. (2) Bau obat → asosiasi rumah sakit. (3) Ruangan jarang dipakai, sunyi, dan sering gelap. (4) Banyak sekolah yang tidak merawat UKS dengan baik. Pada titik ini, dapat disimpulkan bahwa UKS adalah salah satu ruang yang paling konsisten dianggap horor di sekolah Indonesia.

Isma mengungkapkan bahwa kemunculan hantu di ruang-ruang sekolah mungkin sebenarnya dipicu oleh faktor lain. Ia mencontohkan bahwa persepsi siswa bisa saja dipengaruhi kesalahan pengamatan atau perhitungan, maupun oleh fenomena ilmiah seperti kondisi suhu, tekanan, sirkulasi udara, hingga pencahayaan di ruangan. Menurutnya, fisika menyediakan banyak indikator yang dapat menjelaskan kejadian-kejadian semacam itu. 

VII. Kisah Siswa yang Meminta Bantuan Hantu saat Ujian

Nurizky menceritakan legenda sekolah tentang siswa yang meminta bantuan kepada hantu ketika ujian. Dalam cerita itu, pulpen siswa diberi tanda tertentu dan konon bisa membantu siswa untuk menghasilkan nilai seratus. Ia mendengar kisah ini dari ibunya, terkait siswa yang meminta tolong pada penghuni gaib di sekolah. Nurizky menambahkan bahwa saudaranya di SMA 6 juga pernah mendengar kisah serupa tentang siswa yang tidak belajar tetapi tetap mengerjakan ujian dengan lancar, seolah mendapat bantuan tak terlihat. Ia menghubungkan cerita ini dengan kisah-kisah lain di SMA 6 maupun SMA 1 tentang sosok gaib yang dipercaya menghuni sekolah-sekolah tersebut, termasuk narasi mengapa SMA 1 kemudian dikenal sebagai sekolah yang kuat dengan identitas rohis.

VIII. Instansi Pendidikan sebagai Ruang Bullying 

Isma dan Nurizky juga menyinggung bagaimana sekolah bisa menjadi ruang terjadinya bullying. Isma bercerita bagaimana masa SMP-SMA pernah menjadi masa terberatnya juga, ketika tak punya teman. Pernah juga dalam kerja kelompok, dia tak mendapatkan kelompok, kemudian menangis sendiri saat jam istirahat. Sementara Nurizky menceritakan pengalamannya sendiri ketika sering terisolasi dalam tugas kelompok dan bagaimana perasaan tertekan itu pernah berkembang menjadi amarah yang intens. Ia mengaku pernah membawa pisau cutter secara iseng karena rasa dendam yang memadat, dan hal ini diketahui ayahnya. Menurutnya, pengalaman semacam ini menjelaskan mengapa beberapa siswa merasa “terwakili” oleh figur-figur hantu di sekolah, sementara masalah bullying, dan tekanan sosial menjadi bagian dari problem remaja yang terus menerus muncul dalam konteks sekolah modern.

IX. Fenomena “Mbak Yayuk” 

Nurul, Sulkhan, dan Nurizky menguraikan kisah tentang sosok “Mbak Yayuk,” hantu perempuan yang dikenal di lingkungan sekolah. Menurut cerita yang didengar, Mbak Yayuk adalah seorang perempuan yang hamil di luar nikah lalu bunuh diri di sekolah, dan setelahnya dipercaya sering membantu siswa. Nama “Yayuk” sendiri dianggap sebagai tanda atau semiotik khas hantu perempuan di wilayah Yogyakarta—mirip dengan nama-nama lain seperti Mbak Chelsea yang populer pada era berbeda. Nurizky mencatat bahwa petugas keamanan (security) sekolah atau instansi biasanya menjadi pihak yang paling sering mengetahui atau menceritakan ulang kisah-kisah semacam ini.

X. Penutup

Diskusi ditutup dengan kesimpulan bersama bahwa cerita hantu di sekolah bukan sekadar kisah seram, melainkan: alat pengendalian moral, ruang untuk mengolah trauma sosial, manifestasi ingatan sejarah, serta cermin bagaimana manusia membaca ruang melalui memori budaya. Hantu muncul sebagai “ingatan” terhadap ketidakadilan ruang. Dalam tradisi Jawa-Islam, kematian tidak wajar selalu melahirkan cerita roh gentayangan. Di sekolah, tradisi itu berpadu dengan tekanan sosial dan ruang traumatis.

Kesimpulan diskusi secara umum: Pertama, keberadaan hantu di sekolah dipahami sebagai fenomena yang terkait dengan ruang atau kondisi spasial bangunan tertentu. Kedua, cerita hantu sekolah banyak muncul dari pengalaman sosial seperti bullying, pergaulan bebas, dan tekanan emosional yang membentuk trauma kolektif di lingkungan pendidikan. Ketiga, beberapa fenomena yang dianggap mistis dapat dijelaskan secara ilmiah, misalnya kesalahan hitung jumlah siswa, kondisi cahaya, suhu, sirkulasi udara, atau faktor fisika lain yang memengaruhi persepsi manusia terhadap ruang.

Pertemuan berikutnya akan dilaksanakan pada Kamis, 18 Desember 2025 pukul 21.00 WIB. Tema diskusi masih melanjutkan pembahasan tentang hantu di institusi pendidikan, namun akan berfokus pada tingkat universitas atau perguruan tinggi, mengingat pertemuan kali ini lebih banyak mengangkat pengalaman di jenjang SD, SMP, dan SMA. Adapun tema pertemuan selanjutnya adalah: “Hantu, Lembaga Pendidikan, dan Problem Sosial.”