Pada Senin malam, 1 Desember 2025, pertemuan spiritual antara Shraddha Ma dan kami (saya, Nadya, Mbak Wulan, Bu Itoh, Mbak Tri, Mas Aris) dilakukan lewat Zoom. Pertemuan ini merupakan kepanjangan dari kegiatan 5am with God atau kelompok Dzikir Bersama, dengan sesi satsang yang rutin berlangsung setiap Senin malam pukul 20.00 WIB. Kegiatan ini merupakan bimbingan bagi mereka yang ingin lebih mendalami perjalanan spiritual.
Kami bertujuh melakukan sharing spiritual dan latihan meditasi secara online untuk lebih menyadari Tuhan. Malam itu dibuka dengan bacaan Al-Fatihah, kemudian acara meditasi singkat selama dua kali dengan durasi masing-masing sekitar 10 menit. Juga ada doa dari Shraddha Ma, doa yang masih saya ingat, semoga kita tidak mengulangi kesalahan yang sama kembali.
Doa ini sangat mengena di hati saya pribadi karena salah satu inti masalah yang sering saya lakukan adalah mengulang kesalahan lama. Di aspek tertentu, saya tidak juga lulus dengan ini, melakukan meditasi dengan rutin salah satunya, saya masih bergulat dengan komitmen dan disiplin saya pribadi. Doa yang saya ingat: "Ya Allah, izinkan saya tidak mengulangi kesalahan, ajarkan saya bijaksana, ajarkan saya tidak melakukan hal-hal yang tak patut."
Pertemuan dilanjutkan dengan sharing dari kami bersama Shraddha Ma. Shraddha Ma meminta kami untuk merasakan vibrasi spiritual. Untuk merasakan cinta yang murni, tanpa gender, tanpa batas.
Dilanjutkan dengan sharing, beberapa pembahasan yang masih saya ingat:
Bu Itoh bercerita tentang konsep cermin diri, merujuk pada refleksi satsang di Bandung pada Sabtu sebelumnya. Nadya menambahkan bahwa ketika seseorang berbuat sesuatu kepada kita dan kita tidak merasa terpicu (ter-tirgger), itu tandanya tidak ada masalah dalam diri kita. Sebaliknya, jika kita terpicu, berarti ada hal yang belum selesai dalam diri kita.
Namun, Shraddha Ma mengingatkan tidak semua situasi perlu direspons—“Kau adalah cerminku.” Bahwa konsep cermin hanya berlaku pada kondisi tertentu. Tidak semua hal adalah cermin. Misalnya, ketika seseorang berniat menipu, menyakiti, memperkosa, atau melakukan kekerasan verbal, itu bukanlah cermin bagi diri kita.
Kondisi ketika kita tidak membaca konteks terkait cermin ini bisa dikatakan dengan istilah "lost in translation." Penggunaan kata² harus hati-hati. Shraddha Ma menyebut, agar kita tidak terikat kata, termasuk ketika mengartikan "cermin diri". Shraddha Ma meminta kami untuk terus melakukan pembinaan diri dan mengarahkan ke kesadaran yang lebih tinggi.
Malam itu, Mas Aris juga sharing terkait pengalaman malam itu yang seperti ada semacam udara masuk ke ubun-ubun kemudian membuat tubuh rasanya lebih tenang. Dia tidak memahami energi apa tersebut, tapi rasanya seperti itu. Shraddha Ma menjelaskan bahwa itu adalah Energi Ilahi yang dianugerahkan bagi yang tulus membina diri. Energi/cahaya Ilahi inilah yang berperan penting dalam pembersihan pikiran & jiwa.
Saya juga sharing terkait buku yang sedang saya baca. Psikiater Austria, Viktor E. Frankl, dalam bukunya "Man's Search for Meaning" (1946) bercerita panjang terkait pengalamannya sebagai tawanan di kamp Austwicth kala NAZI memberangus warga Yahudi dengan genosida mengerikannya. Aneka kekejaman dia saksikan, dan di antaranya dia alami sendiri. Viktor juga mempelajari apa yang membedakan di antara tawanan-tawanan itu. Kenapa ada tawanan yang mudah menyerah, putus asa, kemudian dimasukkan ke "ruang pengasapan"? Namun, kenapa juga ada tawanan yang sangat kuat dan tidak menyerah dengan kondisi sesakit apa pun yang dihadapi?
Dari pengalaman itu, Viktor menemukan suatu teori yang dia namai "logoterapi". Berasal dari bahasa Yunani, "logos" (makna) dan "therapeia" (perawatan atau penyembuhan). Inti teori ini, manusia mempunyai kebutuhan akan "makna", yang akan terus dia cari kemana pun dia pergi. Bahkan dengan cara berputar-putar, dia akan terus mencari-cari sampai ketemu. Orang yang telah menemukan makna hidupnya akan tumbuh menjadi manusia yang mampu menghadapi apa pun dalam hidupnya, sementara yang tidak, dia akan mudah menyerah, menderita, dan kesulitan menghadapi berbagai ancaman/tantangan/cobaan yang datang dalam hidup. Jika dia sudah menemukan "why", dia akan sanggup menjawab "how".
Lalu terkait dengan agenda ziarah makam yang dulu sering saya lakukan, dan saat ini tengah mengalami hibernasi. Saya bercerita terkait pengalaman ketika berkunjung ke sebuah makam tokoh di Tegal bernama Amangkurat I. Awalnya seorang teman melarang saya untuk datang, tapi karena saya dasarnya skeptis, saya pun nekat berkunjung. Ketika berkunjung, memang agak kurang nyaman karena serasa diminta cepat-cepat, banyak pengemis anak-anak di gerbang depan makam, dan semacam rasa tidak kerasan.
Ketika kembali ke Jakarta, saya sempatkan untuk membaca sejarah. Ternyata sosok yang makamnya saya kunjungi cukup problematik. Dia pernah melakukan pembunuhan ribuan ulama dan keluarga mereka hanya dalam waktu setengah jam menggunakan teknologi tercanggih masa itu. Dia juga tak segan untuk mengorbankan orang-orang terdekatnya, perang dengan saudaranya, untuk mempertahankan kekuasaan. Saya juga mengalami dilema moral dengan apa yang saya lakukan. Apakah ke depan saya perlu menghindari pergi ke makam yang serupa? Saya coba diskusikan ini dengan kolega saya, intinya yang saya ingat, semua tergantung niat. Kita bisa belajar dari yang baik maupun yang jahat. Tapi saya harus bijaksana memilahnya agar tetap berada di jalan yang lurus.
Malam itu, Shraddha Ma menyarankan saya untuk mengurangi ziarah ke tempat² yang tidak murni, yang tidak membawamu ke Tuhan. Sebab energi makam berbeda-beda. Meski jasad meninggal, energinya masih ada.
Malam itu sesi sharing diakhiri dengan doa dan salam. Mbak Tri membacakan Surat Al-Insyrah, yang berarti "Bukankah Allah telah melapangkan dadamu..." Ayat yang beberapa waktu sebelumnya, saya dengar juga di sebuah pengajian rutin digelar kantor. Ayat yang mengingatkan saya, setiap kesulitan selalu hadir kemudahan, setiap kesulitan selalu ada kemudahan.