Sumber ilustrasi: SciVal with data from Scopus |
Umar Kayam pernah membuat cerpen berjudul “Istriku, Madame Schiltz,
dan Sang Raksasa” yang mengulas tentang kultur masyarakat Amerika kota lewat
kacamata orang Timur. Kota dalam cerpen itu digambarkan bisa memakan segalanya,
gedung-gedungnya sampai manusia-manusianya. Tidak peduli halal atau haram. Mengingat
itu, saya jadi kepikiran mengganti judul yang dibuat Umar Kayam menjadi “Xi
Jinping, Cina, dan Negara-Negara Kurcaci”—ya, dengan kisah nyata yang tentu
saja berbeda.
Saat ini tengah tumbuh dengan sehatnya raksasa dunia, sang pemodal
besar yang membekengi banyak negara dunia miskin/berkembang. Membawa negara-negara bawah/menengah itu kian patuh pada “bos
besar”. Meski secara tak sadar mereka tertindas, juga bungkam terhadap persoalan-persoalan
HAM yang dilakukan bos
besar. Kenyataan ini semacam mimpi buruk Marxian, frustasi Orwellian, dan kamar
pengantin Leviathan. Raksasa itu bernama Cina. Negara yang berpotensi memakan
apa saja.
Di tulisan ini saya hendak mengungkapkan pada era sekarang sudah sejauh
mana raksasa itu tumbuh dan apa dampak pertumbuhan itu bagi beberapa negara di
dunia. Begini saya akan memulai ...
Pada awal tahun 2019 tepatnya tanggal 3 Januari, biro Administrasi
Antariksa Nasional Cina (CNSA) menggebrak dunia dengan mendaratnya wahana ruang angkasa Chang’e
4 ke tempat terjauh bulan. Menggunakan bajak angkasa yang dijuluki Yutu-2 atau
Jade Rabbit-2 Cina telah berhasil menjelajah sisi misterius bulan di Kawah Von
Karman dalam Cekungan Kutub Aitken-Selatan, zona tumbukan tertua di bulan.[1] Di sana, Chang’e 4 menanam kehidupan Bumi ke Bulan. Membawa materi
eskperimentasi yang ditaruh di dalam tabung kecil berisi benih kentang,
tumbuhan bunga Arabidophis thaliana, dan telur ulat sutra.[2] Penjelajahan ini juga akan
membantu memahami sejarah kuno Bumi dengan lebih baik. Ilmuwan kemungkinan
dapat mengintip 50 juta hingga 100 juta tahun setelah Big Bang.
Pencapaian Cina tersebut meramaikan lagi eksplorasi ruang angkasa yang
mulai meredup, sebab proyek ini lebih dari sekedar proyek ambisius. Ada hal
lain selain akademis yang ingin disampaikan: Cina mulai menyaingi Amerika Serikat dan Rusia dalam eksplorasi ruang
angkasa. Kabar itu terjadi saat perkembangan penelitian angkasa AS dan Rusia
mengalami stagnasi. Anggaran Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA)
telah turun dalam beberapa tahun terakhir. Sedangkan Presiden Rusia Vladimir
Putin sibuk membiayai operasi militernya di luar negeri.
Pada awal 2000-an, sedikit orang yang percaya Cina akan mampu menjadi
pemain ruang angkasa. Beberapa usaha Cina seperti mengirim astronot pada tahun
2003, pengamat Barat menilai itu sebagai hal yang sia-sia dalam mengejar ketertinggalan.[3] Johnson-Freese peneliti
teknologi luar angakasa di Naval War College menyebut memang teknologi
antariksa AS jauh lebih unggul daripada Cina tapi Cina punya koentji yang
sulit dilawan AS: kemauan politik. NASA memiliki program naik turun tergantung
siapa yang memerintah negara. Di masa Barack Obama, NASA fokus mengeksplorasi
asteroid dekat bumi. Di masa Donald Trump jadi target utama lagi. NASA akan
kembali menargertkan pergi ke bulan pada tahun 2020-an.
Misi luar angkasa Cina
sulit ditebak. Meski ada yang memberi kisi-kisi Cina bersiap membawa sampel
tanah Bulan ke Bumi menggunakan Chang’e 5 TI—tentu ingin mengejek Uni Soviet
yang pada tahun 1976 menggunakan misi Luna 24-nya hanya pulang membawa debu
Bulan. Baiknya pula, Cina tak terburu-buru hanya demi menyaingi AS. Cina
memiliki visi-misi jangka panjang yang salah satunya tertuang dalam Buku Putih
Pertahanan Cina. Alih-alih mengirim antariksawan lalu pulang, Cina lebih memberi
perhatian pada program antariksa berbasis infrastruktur.
Sebenarnya Cina dan AS bisa bekerja sama dalam misinya menjelajah luar
angkasa. Namun tak semudah itu Ferguso, parlemen AS melarang proyek kerjasama
dengan badan antariksa Cina karena dugaan spionase. Di sisi lain pada situasi
perang dingin yang disebabkan ekonomi
dan politik kedua negara
membuat kerja sama ini suram terwujud.
Lalu saya bertanya, transformasi
apa yang sebenarnya terjadi di Cina?
Negara yang memiliki penduduk hampir 1,4 miliar tersebut di bawah
kepemimpinan Presiden Xi Jinping menerapkan reformasi di banyak bidang termasuk
di bidang sains, teknologi, ekonomi, politik, dan lainnya. Chang’e 4 menjadi
bukti berhasilnya Xi menjadikan Cina sebagai salah satu pusat sains dan
referensi inovasi dunia.
Xi dikenal sebagai sosok reformis, dia sadar cara lama yang kaku tak
punya masa depan. Baginya, reformasi adalah sebuah keharusan. Xi tak akan
melakukan reformasi hanya untuk menyenangkan negara lain. Kalau
diperibahasakan: hanya pemakai sepatu yang tahu sepatu yang dipakainya pas atau
tidak, jangan dikte Cina.
Motto Xi: reformasi atau bubar! Tak boleh ada jeda alih-alih mundur.[4]
Sisi penting reformasi ini: meningkatnya kepercayaan diri masyarakat
Cina di hadapan dunia. Sekaligus mengilhami negara Timur dan Selatan untuk berjalan
ke arah yang berbeda dengan Barat dan Utara. Membuat poros yang unipolar
menjadi multipolar.[5] Meruntuhkan
superioritas negara maju serta meningkatkan mentalitas sejarah negara miskin/berkembang. Cina tengah membuktikan
kemampuan diri dan kebanggaan terhadap budaya bangsa dengan terus membebaskan
kekuatan produktif sosial. Berkomitmen pada jalan kemakmuran bersama.
Reformasi Cina juga memberi berkah dunia. Menurut Biro Statistik
Nasional, dalam 40 tahun terakhir Cina berkontribusi terhadap pertumbuhan
global rata-rata sebesar 18,4 persen per tahun. Terbesar kedua setelah AS. Pada
2017 lalu, bahkan Cina menyumbang 27,8 persen total pertumbuhan global. Jumlah
ini lebih tinggi dibandingkan angka kontribusi AS dan Jepang jika disatukan. [6]
Tujuan reformasi Xi ialah menciptakan sistem sosialisme
berkarakteristik Cina. Sesuai dengan amanat Deng Xiaoping yang menerapkan
reformasi ekonomi terbuka pada tahun 1978, untuk mengentaskan kelaparan massal
yang diekseskan Revolusi Kebudayaan era Mao Zedong. Sosialisme wajah baru yang
berintegrasi dengan kapitalisme berkembang membentuk sosialisme pasar. Suatu
sistem yang mengkombinasikan sosialisme dengan kebijakan ekonomi pragmatis,
seperti ramah dengan investasi asing dan aktif dalam perdagangan global.
Sebagai jawaban atas eksprerimentasi sosialis menjawab kapitalis yang
ekstra-lentur.
Nama lain dari pembangunan ini dinamakan sosialisme ilmiah guna
beradaptasi terhadap kondisi objektif yang ada. Cina dianggap telah membawa
keoptimisan bagi politik sosialisme yang diragukan, dianggap usang, dan sempat
tenggelam pasca runtuhnya Uni Soviet. Meski sosialisme pro Marxis tersebut
mencurigakan dan agenda-agenda perjuangan kelas, politik protelatariat masih
perlu dipertanyakan ulang.[7]
Xi menyerukan era ekonomi baru bagi Cina. Bahwa sudah saatnya bangsa
Cina mengubah diri menjadi kekuatan.[8] Cina bukan hanya salah
satu negara yang menjadi pusat kekuatan di Asia Timur, tapi juga seluruh dunia.
Tak hanya menyasar Asia, investasi Cina di sejumlah negara Afrika juga
mengalami kenaikan yang pesat.
Salah satu proyek tendensius Cina adalah One Belt One Road (OBOR). Merupakan proyek integrasi
ekonomi Eurasia melalui perdagangan, telekomunikasi, dan infrastruktur. Strategi
pembangunan ekonomi yang mengajak banyak negara terlibat dalam konektivitas jalur darat dan maritim yang menghubungkan Asia, Eropa, Timur
Tengah, dan Afrika. Proyek ini banyak menjanjikan keuntungan bagi
negara-negara yang terlibat.
Proyek ini memakan banyak sekali
biaya hingga Cina membuat bank khusus bernama Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Bank ini terdiri dari banyak negara di dunia, termasuk
Indonesia untuk mendukung pertumbuhan infrastruktur di wilayah Asia-Pasifik. OBOR
menjadi kendaraan Cina mengendalikan dunia dengan cara menciptakan hukum-hukum
baru dan membangun institusi/aparatus yang mencerminkan kepentingan Cina.[9]
Cina
juga aktif dalam berbagai organisasi internasional. Cina menjadi anggota tetap
pemegang hak veto dalam Dewan Keamanan PBB yang berhasil menciptakan dilema
keamanan bagi negara-negara tetangga seperti Taiwan, Jepang, dan Korea
Selatan. AS dan Cina memberi sanki PPB terhadap perdagangan energi, kelautan,
tekstil Korea Utara untuk mengekang senjata nuklir Pyongyang. Kim Jong-un
setengah mati melakuan perundingan dengan Xi terkait sanksi tersebut. Pertemuan
terakhir mereka dilakukan pada
7-10 Januari lalu di Balai
Besar Rakyat, Beijing. Sekaligus membicarakan tentang
kebijakan-kebijakan Trump.[10]
Di bidang militer Cina memiliki jumlah militer salah satu terbesar di
dunia. Pada tahun 2018 terdiri dari 2.183.000 personel aktif dan 510.000 personel cadangan. Personel-personel itu dibagi ke dalam
tiga kekuatan: darat, laut,
dan. Di mana kekutan darat terbesar dengan dibantu 7.716 tank dan 8.246 artileri.[11] Cina juga menjadi negara
pertama yang berhasil mendirikan pangkalan militer pertamanya di luar negeri,
yakni di Djibouti. Rencana pembangunan selanjutnya di Pakistan. Kekuatan militer ini digunakan Cina untuk petahananan dari serangan
internasional sewaktu-waktu, juga membereskan negara-negara yang tak patuh.
Salah satunya Taiwan.
Sekarang ini Taiwan tengah diambang kehancurannya.[12] Sebab tidak mempunyai kedaulatan di dunia internasional dan
kurangnya pengakuan dan hubungan diplomatik. Satu-satunya negara Afrika yang setia berhubungan diplomatik dengan Taiwan hanya Eswatini.[13] Xi tengah
mengancam Taiwan dari cara halus hingga kasar jika negara itu tetap bandel
menolak kebijakan reunifikasi (Tong Yi). Tsai Ing-wen, presiden Taiwan jelas menolak, sebab 23 juta rakyat
Taiwan dibangun atas dasar konstitusi, ideologi, dan kultur yang berbeda dengan
Cina.
Tsai menyebut
tantangan besar yang negaranya hadapi adalah intervensi Cina pada perkembangan
politik dan sosial Taiwan. Cina masih menganggap Taiwan sebagai salah satu
provinsi yang membangkang. Cina berusahan mengontrol Taiwan dengan kebijakan
halus “Satu Negara Dua Sistem”. Jika tetap tak mau, Xi tidak segan-segan
mengirimkan militernya.[14] Xi menegaskan
tidak ada kemerdekaan untuk Taiwan. Dengan kekuatan militer yang disebutkan di
atas, sangat mudah memporakporandakan Taiwan dari tendangan kaki Xi saja.
Kini Tsai tengah
meminta bantuan internasional untuk membela demokrasi dan cara hidup di Taiwan.
Tsai menyebut jika dunia internasional tidak membantu, akan ada negara-negara
lain yang menjadi korban serupa. “Kita mungkin harus bertanya negara mana
berikutnya itu?” kata Tsai.[15]
Apa dampak menyakitkan dari fakta-fakta di atas?
Pertama, Xi membatasi ekspresi kebebasan berbicara termasuk di negaranya
sendiri. Cina
memberantas musuh-musuh pemerintah dan pengkhianat dalam masyarakat adalah
jalan untuk memulihkan hukum dan ketertiban. Juga sebagai cara untuk “merapikan
negara”. Xi menolak demokrasi terbuka dan konsep kebebasan berbicara ala Barat.
Sikap ini secara otomatis pemberlakuan
kontrol penuh terhadap masyarakat Cina—dan dunia. Xi melanjutkan kediktatoran sebelum-sebelumnya.
Diperkuat dengan isu Xi yang tak mau jabatannya dibatasi dan amandemen
konstitusi terkait aturan itu telah dibuat.[16]
Kedua, bungkamnya pemimpin-pemimpin dunia—khususnya pemimpin
negara Islam—dalam menyikapi persoalan HAM yang terjadi. Kasus yang santer
sekarang adalah menyoal Xinjiang. PBB mengatakan ada sekitar satu juta Muslim
berbagai etnis di Xinjiang—termasuk Uighur[17],
Hui, Kazakh, Kirgistan,
Uzbekistan, dan lain-lainnya—ditahan di kamp
tahanan pemeritah Cina. Juga nasib-nasib
perempuan di kamp-kamp itu. Mereka disiksa, disuntik dengan cairan yang tak
dikenal, berdiri lama di dinding, kaki dibebani beban berkilo-kilo, hingga
mereka dibuat tidak
bisa menstruasi karena obat aneh itu.[18] Meski itu mulai diredakan dengan jalan memperbolehkan PBB
mengunjungi Muslim Uighur di Xinjiang.[19]
Cina banyak membungkam pemimpin Muslim yang lalim dan melanggengkan
penindasan karena struktur
kekuasaan ekonomi-politiknya. Dengan gertak memalukan ala Orba seolah ingin menyampaikan kepada semua negara yang bergantung
padanya: berhenti mengkritik Cina akan
kekerasan HAM. Pakistan yang dikenal getol membela
negara Islam juga keder di hadapan Cina. Pakistan yang pernah mengkritik
habis-habisan pembuatan kartun Nabi
Muhammad dan protes terkait fatwa Ayatollah Ruhollah Khomeini dari Iran terhadap
buku The Satanic Verse karya
Salman Rushdie, menyikapi kasus Muslim di Xinjiang seperti kehilangan pita
suaranya. Faktor ekonomi-politik menjadi faktor utamanya. Dua negara ini
telah membentuk proyek prestisius Koridor Ekonomi Cina-Pakistan (CPEC) yang menjadi jalan
sutra yang menghubungkan Cina ke seluruh pelosok Asia. Cina telah membangun
proyek seharga 75 miliar dolar untuk itu. Pakistan takut kehilangan investasi
besar dari Cina.
Kazakhstan juga
sebelas-dua belas dengan Pakistan menjadi mitra penting dalam
perdagangan dan infrastruktur. Padahal
ada
sekitar 1,5 juta etnis Kazakh tinggal di Xinjiang.[20] Kondisi pembebasan etnis ini sangat tergantung kemurahan ekonomi Cina. Negara Asia Tengah yang kaya minyak itu berada di posisi yang buruk
untuk mengajukan tuntutan pada Cina. Dilepaskannya
2000 etnis Kazakh tak lain hanya upaya Cina meredakan ketegangan.[21]
Tidak habis pikir
kemudian adalah Turki yang katanya negeri maju pun bersikap pengecut. Padahal
Uighur adalah saudara sepupu jauh etnis Turki. Ankara yang dikenal sebagai pembela utama
perjuangan Uighur pun tak berkutik dan tampak menyerah.[22] Sebab Cina membantu Turki mengamankan
stabilitas ekonomi negara tersebut, tapi dengan syarat kantor berita Ankara
berhenti membuat pernyataan yang tidak bertanggungjawab soal Xinjiang.
Hasnet
Lais, pakar Politik Islam dalam tulisan bernasnya di The Independent berjudul China’s brutal crackdown on Uighurs shows no
sign of slowing down – so why aren’t Muslim leader stepping in?, menyebut
tindakan para pemimpin Muslim sebagai pengkhianatan: “Keheningan
memalukan politisi Muslim terkait kejahatan Cina terhadap Uighur lebih dari
sekedar kisah pengkhianatan. Ini adalah kisah tragis tentang bagaimana
globalisasi lebih diagungkan daripada hak asasi manusia.”[23]
Deretan ini bisa diperpanjang lagi dengan menyebut
Malaysia, Bangladesh, juga Indonesia. Butuh kalkulasi serius bagi pemerintah
Indonesia saat ingin memberikan respon pada kasus Uighur. Di mana Indonesia
masih memiliki ketergantungan investasi dengan Cina. Beberapa di antara yang
terlihat ialah proyek-proyek tol, kereta api cepat, pembangkit tenaga listrik,
dan lain-lain. Apakah Indonesia berani? Saya skeptis, meski bukan tidak
mungkin.
Dan pelan-pelan,
raksasa itu memang
hendak memakan segalanya.***
[2] SKH KOMPAS
edisi
Selasa, 8 Januari 2019, hlm. 10.
[4] Lihat
lebih lanjut buku A Study of Xi Jinping Thought on Reform and Opening-up.
[6] SKH KOMPAS
edisi Minggu, 30 Desember 2018, hlm. 7.
[8] Lihat lebih lanjut buku China Shakes The
World: The Rise of a Hungry Nation karya James Kynge.
[15] SKH KOMPAS edisi Minggu, 6 Januarai 2018, hlm. 4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar